Disukai
6
Dilihat
648
Pesawat Kertas
Drama

Di balik meja kayu berlapis taplak batik lusuh, kamu membiarkan peluhmu kering dengan sendirinya. Tanpa lap, apalagi kertas tisu yang sudah lama tidak kamu bawa-bawa, karena kamu terlalu yakin, menggunakan kertas tisu hanya akan menyia-nyiakan pohon tumbang. Kamu berlari, ke balik pintu, melakukan ritualmu seperti malam-malam sebelumnya, dengan napas tersengal-sengal.

Kamu ingin memandanginya lagi di balik jendela. Ia yang duduk memandangi jalanan dengan tatapan kosongnya, dan selalu kamu anggap tengah terbuai asmara. Sungguh kamu ingin meraihnya, lantas memohonnya agar bersuara, menelan bunyinya jika perlu.

Kamu ingin mengiriminya secangkir teh hangat, agar ia tak sendiri menatap langit yang kian subam. Namun, kamu ragu, karena tatapannya begitu kosong, tak punya sedikitpun ruang untuk merindu apalagi menatap sendu matamu. Yang kamu curi darinya hanya binar kekosongan, pada memori yang entah siapa dan ada di mana.

Suatu hari, kamu rindu padanya hingga kekosongan mengisap udara dari segala rongga dalam tubuh, membuatmu nyaris mati karena sungkawa, padanya yang kamu bahkan tak tahu siapa namanya.

Lalu, malam itu datang juga ketika selembar surat datang dengan torehan tinta seperti tak punya warna, yang hanya bisa kamu baca di balik kaca. Aksara berderet, membuatmu tersenyum dan malu-malu seperti baru saja tumbuh jadi remaja.

Kamu mengintipnya lagi di balik pintu, mencari tatapnya yang memandangi langit kelam bak titik api. Kamu ragu, apakah ia bahkan tahu kalau dirinya begitu elok menyaingi binar bintang, atau apakah ia tahu kalau kamu begitu ingin tahu ada apa di balik bibirnya yang tak pernah melengkungkan senyum itu.

Setiap pagi, kamu akan kembali berlari setelah merangkai kata, menoreh kalimat tanpa warna, agar yang kamu baca hanya pikiranmu sendiri, dan bayangan akan senyum manisnya duduk di pinggir jendela. Keningmu yang dilapisi peluh, adalah wujud kasihmu padanya yang masih belum menyebutkan siapa namanya.

Malam ini, adalah saatnya kamu membalas setiap ucapannya, menuliskan prosa terbaik yang terpantik rasa rindumu kembali pada sosok memesona itu. Kali ini, yang kamu lihat hanya bayangannya di balik jendela kaca. Terduduk dengan bahu bergoyang-goyang. Ia tampak ringkih di balik bayang malam yang hampir hilang. Hingga yang kamu tuliskan, hanya sebait prosa sendu tentang gadis yang telah mencuri kilau rembulan, dan menjadikannya manik mata.

Meja kayumu yang telah letih, berganti taplak polos bertoreh pola menyulur, mejamu yang telah menjadi kawanmu selama tiga puluh empat hari mencuri pesona di balik jendela. Ia yang tak juga berani kamu hampiri, dan mengirimimu jawaban lewat kata-katamu sendiri. Kamu dan kotak pos adalah saksinya, wujud jalinan kisah rindumu pada binar matanya yang dicuri kelam malam.

Dadamu sesak, bahkan tak bisa dipakai untuk mengambil napas dan mengembus dengan lega. Butuh mesin untuk memompa udara, agar masuk ke rongga parumu, dan bisa bersukma seperti manusia lainnya. Ketika kamu berlari dari pagi ke pagi, hanya untuk membalas rasa cintamu padanya, menoreh jawaban untuk dirimu sendiri.

Hari ini, kamu tak menemukannya duduk di balik jendela, bahkan tak ada surat-surat yang sampai ke mejamu untuk mengucap rindu atau selamat malam menjelang tidur lelapmu. Namun, kamu tahu di luar sana ada nestapa yang tengah menunggumu, berjuang melawan rasa sakit di tubuhmu, menemaninya menatap entah apa yang ada di balik jelaga.

Suara ketuk kecil di jendela, membuat napasmu kembali tersengal. Ada bayangan di balik pohon sana, yang membatasi jendelanya dengan jendelamu. Ada ketuk pelan yang membuat matamu terjaga, tetapi tak sanggup berbuat apa-apa, selain hanya mendengarkan, berharap seseorang melangkah, mendekati dan mengembuskan napas lega ke paru-parumu.

Hari kedua, ketukan pelan itu datang lagi. Namun, tubuhmu masih membatu di balik bebat alat pacu napas yang lagi-lagi membuatmu tersengal-sengal. Kamu tahu, kalau tak mungkin ada jawaban lewat surat-surat itu, karena kamu tak sanggup menulis jawaban untuk dirimu sendiri.

Sampai pertahananmu runtuh, napasmu kini memelan tak menyisakan lagi daya juang untuk bertahan. Ketuk itu lanjur hilang, dan tak ada lagi sayup gemerisik di jendela sebelah, menunggumu mengintip sosoknya yang memuja jelaga bak tengah sembahyang.

Kamu percaya, suatu saat semesta akan mengirimkan do’amu ke langit dan membalasnya dengan jawaban yang maha rencana. Kamu akan ditemani, menghabiskan waktumu di dunia, mengarunginya dengan segala cerita dan kisah yang akan kamu ceritakan, pada turunan-turunanmu kelak. Namun, kini kamu ragu, sanggupkah waktu kan berhenti dan menunggu napasmu kembali mengalir dengan lelas, tanpa kendala.

Seseorang datang membawakanmu do’a agar bisa entas dari beban hidup yang membelenggu. Ia memintamu, untuk melepaskan waktumu di dunia. Lalu, kamu memberanikan diri untuk bertanya. Siapakah di balik jendela di kamar sebelah, yang membuatmu selama ini jatuh hati dan tenggelam dalam renjana yang begitu asing dan ganjil.

Ia hanya mengatakan kalau di balik jendelamu, tergolek ratusan kertas yang dibentuk menyerupai pesawat lipat. Tersebar, hingga halamanmu nyaris seperti lautan pesawat, yang terkirim setiap detik demi detik, ketika kamu terlelap.

Namun, tak ada satu katapun menjelaskan makna di baliknya. Hanya lipatan kosong berisi ketiadaan. Siapakah dia? ucapmu pada setiap manusia yang mendatangimu. Tak ada jawaban, tak pernah ada penjelasan. Hingga yang kamu tahu, dirimu dililit rindu melebihi beban penyakit yang kamu derita dalam tubuhmu sendiri.

Setiap lipatan pesawat kertas, tersurat misteri yang dikirimkannya tanpa bicara, tanpa kata-kata, apalagi makna. Ia hanya melepas pesawatnya, menukik di udara, meliuk menembus hawa malam dan tersesat di pekaranganmu, mengetuk jendelamu, seolah memohon agar kamu jangan dulu pergi.

Orang-orang berdatangan, mengucap do’a, merapal penyesalan dan nestapa. Bukan padamu yang kini masih bertahan, bukan untukmu yang kian hari kian menguat. Namun, untuk sesosok misterius yang terbujur kaku di kamarnya. Dililit belenggu tali dan membiarkan mulutnya menganga tanpa udara, dan detak nadi hilang di pelipisnya. Mereka menemukan sosok tubuh kaku tak bernyawa, di balik jendela rumah tempat sosok cantik itu mengurung rindumu.

Kamu yang kian hari kian menguat, mulai sanggup melangkah mengirimkan ratusan surat untuk dirimu sendiri. Ratusan jawaban dari kecantikan yang pernah kamu temui di balik jendela. Sosok elok, yang mencuri binar kartika dan menuntunmu melawan penyakit yang kamu derita. 

Hingga satu malam, jendelamu diketuk lagi. Sebuah pesawat kertas menerjang angin malam, membuatmu terjaga. Kali ini, torehan di kertasnya terbaca dengan gamblang. Kalau ia tengah merindu, menantimu menatapnya di balik jendela. Menunggumu menolongnya mengentas derita, dan bertanya kenapa kamu tak pernah datang mengintipnya di balik sengsara.

Kamu hanya bisa diam, dan sesal bertubi-tubi menghunjam dadamu. Tak ada lagi sesak, tak ada lagi rasa sakit yang mendera tubuhmu seperti biasanya. Yang tersisa hanya rindu, pada sosok yang tak pernah kamu tahu siapa namanya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@mikhaangelo : Ah, iya, kah?? Hahaha baru mas/mba lho, yang komentar begini 😄😄🙏🙏 Terima kasih ya, sudah sebegitu detailnya 😊🙏 Because life is tragic nor comedy, semua berputar pada porosnya (serius amat) 🤭🙏
kenapa karya kakak banyaknya tragis? :(
Seperti membuang-buang waktu 🤭. Pesawat kertas kan ada lagunya 😆
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi