MISTERI HILANGNYA dr. YUNIAR

Seorang perempuan berwajah pucat duduk sendirian di ruang tunggu depan klinik kebidanan Puskesmas Tuala Kukang, disebelah ada sebuah box persegi empat besar berwarna biru tua. Rambutnya panjang di gelung, pada sisi kanannya tersemat juntaian bunga melati, mengenakan kebaya kutu baru berwarna coklat tua dan kain batik. Pandangannya tertunduk menyapu lantai.

“Maaf, Ibu. Klinik sudah tutup karena sudah sore. Ibu bisa kembali lagi ke sini besok.” Ujar seorang perawat yang telah bersiap untuk pulang.

“Saya ingin bertemu dengan dr. Yuniar.” Katanya mengangkat kepala, tatapannya kosong.

“Tidak ada dr. Yuniar di sini.” Kata perawat yang pada badname-nya tertulis nama Wita.

“Ada apa, Wit?” tanya Alea yang baru ke luar dari ruang kerjanya. Perempuan berwajah pucat langsung berdiri mendekat.

“Saya ingin bertemu dengan dr. Yuniar!” ulangnya masih dengan tatapan kosong.

 “Saya dr. Alea pengganti dr. Yuniar. Ibu ada perlu apa?” Alea mengajak perempuan itu untuk duduk, tetapi ia menolaknya. Tangan perempuan itu dingin sekali.

“Saya hanya ingin menitipkan ini untuk anak saya. Tolong dokter berikan ini kepada anak saya.” Katanya menyerahkan box persegi empat berwarna biru tua kepada Alea. Alea menerima box biru itu dengan perasaan bingung.

“Tunggu sebentar. Nama Ibu siapa, anak ibu ada di mana dan siapa namanya?” Alea berdiri, menangkap lengan perempuan yang bersiap-siap untuk pergi. Ia membalikan tubuh menghadap Alea.

“Nama saya Qomariah, putra saya bernama Anggara. Saya menitipkannya kepada dr. Yuniar. Mereka tinggal di sana.” Ia menunjuk ke arah timur laut. Arah yang membelakangi mereka berdiri.

Alea dan Wita memutar kepala ke arah yang ditunjuk Ibu Qomariah. Hanya ada dua rumah diujung timur sana, keduanya persis berada di dekat pantai. Tapi masalahnya dr. Yuniar sudah tidak ada di rumah itu lagi sejak warga menyatakan dokter specialis kandungan itu menghilang. Alea mengembalikan arah kepala pada Ibu Qomariah, tetapi ibu itu sudah tidak ada.

“Loh! Ke mana Ibu tadi?” Alea dan Wita saling pandang, lalu keduanya celingukan mencari sosok Ibu Qomariah yang raib.

“Kamu kenal Ibu Qomariah?” Wita menggeleng, ia mulai takut.

“Saya nggak kenal, Dok. Saya juga baru di sini. Kok dia cari dr. Yuniar ya? Dokter itu kan sudah meninggal tiga tahun yang lalu!”Wita menatap Alea mencari kebenaran.

“Menghilang atau meninggal?” lagi-lagi Wita hanya menggeleng.

Beberapa detik berlalu dalam hening. Alea menjinjing box biru yang ternyata cukup berat, lalu mengajak Wita menemui Pak RT untuk menanyakan perihal Ibu Qomariah dan putranya bernama Anggara.

“Anggara anak Ibu Qomariah yang ke-12. Ia baru berusia delapan bulan saat ibunya hamil lagi, tapi sayang kehamilan Ibu Qomariah yang ke-13 itu tak terselamatkan, janinnya menghilang saat kandungannya berusia tujuh bulan, ia stress dan bunuh diri. Selama empat bulan setelah kematiannya, ia selalu menemui dr. Yuniar, mengirimkan box berisi ASI-ASI dalam botol untuk diberikan pada Anggara yang ia titipkan pada dr. Yuniar, takut terjadi sesuatu pada Anggara, dr. Yuniar membawa anak itu ke kota dan kembali lagi ke sini menjalankan tugasnya. Tiga tahun kemudian dr. Yuniar menghilang, kami tak tahu apakah ia mati atau diculik!” Tutur Pak RT membuat Alea dan Wita bengong, mereka baru sadar kalau tadi mereka di datangi oleh hantu Qomariah.

 

3 disukai 3K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction