Disukai
1
Dilihat
1,498
The Writer
Misteri

"Tin! Tin-tin-tin! Tin!"

Suasana jalan raya sore itu terlihat sangat kacau dan berantakan.

Kemacetan dimana-mana sejauh mata memandang.

Ditambah suhu udara yang sangat panas pada sore hari itu, benar-benar mendidihkan otak-otak para manusia tersebut, yang terpacking dengan sangat rapi dan siap untuk diledakkan pada tujuan akhir masing-masing.

"Boom!"

Terlihat dari kejauhan, nampak sebuah ledakan besar terjadi di dalam sebuah area pasar tradisional yang penuh sesak oleh ratusan, atau mungkin, ribuan pedagang dan pembeli yang berlalu-lalang didalamnya.

Beberapa saat kemudian terdengar suara ledakan kedua dan ketiga, yang tidak kalah besarnya dengan yang pertama, dalam waktu yang nyaris bersamaan.

Ribuan manusia, ratusan kucing, tikus dan burung berhamburan dari dalamnya. Terbang dan berlari pontang-panting tak tentu arah dan saling menabrak, dan beberapa menginjak, satu sama lain berusaha menyelamatkan nyawa dan materi masing-masing dari amukan api neraka yang menyala-nyala dengan penuh semangatnya.

Tak lama kemudian, beberapa mobil pemadam kebakaran mulai berdatangan satu persatu, bergabung dengan beberapa warga yang sudah terlebih dahulu berperang melawan para iblis neraka dengan hanya bersenjatakan beberapa ember air yang terus menerus kehabisan amunisi.

Para prajurit berbaju dan bertopi merah itu dengan cepat memanggil naga-naga air mereka dan memerintahkannya untuk menembakkan meriam-meriam air mereka ke arah iblis-iblis terkutuk itu.

Namun, para iblis tak tinggal diam begitu saja menerima serangan-serangan dari para naga air tersebut. Meskipun banyak dari mereka yang langsung lenyap oleh serangan tersebut, para prajurit neraka itu justru semakin bersemangat untuk terus melancarkan serangan-serangan mematikan mereka.

Saat barisan depan mereka terus dipukul mundur oleh para naga, mereka mulai melebarkan dan membentangkan sayap-sayap api mereka dan mulai, secara perlahan, mengepung para naga dalam sebuah lingkaran berapi.

Para umat manusia, dengan bantuan para naga, juga tak mau kalah. Mereka, dengan semangat juang yang ikut melebur dalam kobaran api yang terus menyerang, terus menembakan meriam-meriam air mereka ke segala arah.

Namun, ledakan demi ledakan terus terjadi dalam medan perang. Para umat manusia, secara perlahan, dipaksa mundur, selangkah demi selangkah, hingga ketakutan dan keputusasaan mulai membayangi mereka dalam panasnya api peperangan.

Beruntung bagi mereka, saat semua seakan akan berakhir dan terbakar, harapan itu datang.

Belasan mobil pemadam yang lain kini mulai berdatangan satu-persatu, mengirimkan prajurit-prajurit yang tangguh dan gagah berani ke dalam pertempuran.

Dengan menaiki naga-naga air mereka, para prajurit sejati itu berhasil memukul mundur pasukan iblis kebelakang, membuat mereka terdesak, dan akhirnya menyerah dalam kepungan para naga.

Malang bagi para iblis, para naga air tersebut tak mau memberi pengampunan kepada mereka.

"Aaarrgh!!!"

Dengan serangan gabungan dari para naga, yang menyatukan tembakan meriam-meriam air mereka menjadi sebuah pusaran air raksasa yang menggulung-gulung di udara, sisa-sisa dari prajurit iblis itu berhasil di kirim kembali ke neraka.

"Wow ... keren," ucapku terperangah dari atas sebuah jembatan penyeberangan melihat pertempuran epik dari sebuah api dan air tersebut.

"Kau lihat itu, kawan?" tanyaku kepada Fred.

"Aku tidak pernah melihat pertempuran yang menakjubkan seperti itu sebelumnya."

"Kau pernah," ucap Fred dengan raut wajah kecewa menatap sisa-sisa kehancuran dari kaumnya.

"Tidak secara langsung," balasku berbinar-binar melihat wajah yang menyedihkan itu.

"Kau meledekku, ha!?" teriak Fred kesal dan berapi-api.

"Haha, bercanda. Wajahmu jelek sekali kalau begitu," ucapku kembali mengalihkan perhatianku ke arah medan perang tersebut.

Para naga terlihat puas dan lega atas kemenangan mereka. Mereka mengapung-ngapung di udara dengan tenangnya, saling melingkar satu dengan lainnya, bagaikan pusaran air di lautan, yang kemudian menyembur dengan sangat deras ke udara, menembus awan menuju langit biru, lalu mengubahnya menjadi guyuran air hujan yang menyegarkan.

Terlihat, di bawah guyuran air hujan, para anak manusia dengan riang gembira merayakan kemenangan dengan menari-nari di atas abu hitam kehancuran, yang segera terhapus oleh air hujan dan dihanyutkan dalam aliran kebahagiaan.

Namun, sepertinya tidak semua orang senang akan sebuah kemenangan.

Disisi lain, hanya berjarak beberapa meter dari panggung tarian dadakan para bocah, tampak orang-orang dewasa yang sedang bersedih meratapi nasib barang-barang berharganya.

Ada yang hanya diam mematung menatap kekosongan di hadapannya, ada yang meneteskan air mata, ada yang marah-marah dan meledak-ledak seperti orang gila.

"Jedar!!!"

Hujan semakin lebat mengguyur seluruh kota, langit semakin suram di akhir pekan, dan petir mulai menyambar-nyambar pepohonan.

"Brukkk!"

Sebuah pohon dengan ukuran cukup besar roboh menimpah bangunan di pinggir jalan.

Tak lama kemudian tiang listrik ikut terjatuh, memutus aliran listrik, menambah kekacauan, dan membawa seluruh kota ke dalam abad kegelapan.

Orang-orang mulai kesal dan menyalahkan satu sama lain. Bahkan nyaris terjadi sebuah baku hantam di jalan.

Para warga lain yang melihat hal tersebut langsung bertindak untuk menenangkan kedua belah pihak.

Namun ada juga yang diam saja, tidak peduli dengan segala kekacauan disekitarnya dan hanya duduk diam menatap guyuran air hujan. Meratapi nasib, merenungi dunia yang kacau di hadapannya, dan bertanya-tanya, kapan hujan menyebalkan itu akan berhenti.

Sampai akhirnya ....

"Brakkk!!!"

Sebuah truk pengangkut BBM melaju dengan sangat kencang dari arah Timur tak dapat menghentikan lajunya dan menabrak puluhan kendaraan di hadapannya, kemudian tergelincir karena jalan yang licin, terbolak-balik dan menggelinding beberapa kali dan "Boom!", truk itu meledak dengan sangat luar biasa, membunuh ratusan nyawa disekitarnya dan membangkitkan kembali sang iblis dari neraka.

"Aaarrgh!"

"Tolong! Panas!"

"Aaarrgh!!!!"

Kehancuran dan kematian kembali terjadi dimana-mana, kekacauan merajalela ke seluruh kota, dan badai juga ikut berpesta.

"Yes!!!" teriak Fred bersuka-cita.

"Tidak ... apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba jadi begini?"

"Pembalasan. Waktunya membalikkan keadaan," ucap Fred semakin panas, secara harfiah, kemudian melompat ke dalam kekacauan dan ikut berpesta bersama teman-teman lamanya.

"Hahahahaha!"

"Ayo Fredy! Kau tidak mau ikut bersenang-senang!?" teriaknya sambil terus membakar dan meledakkan segalanya.

"A-pa yang kau lakukan, bodoh?" ucapku gemetar menyaksikan sebuah pembantaian besar-besaran di hadapanku itu.

"Selamat datang di realita."

Seseorang dengan sebuah masker putih dan sorot mata yang dalam, menunduk menatap permukaan jembatan penyeberangan yang rusak dan terkoyak, memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku Hoodie berwarna abu-abu, orang itu mendongak dan menatap kepadaku.

"Boom!"

Ledakan lain terjadi tepat di belakangnya, tepat saat mata hitam itu membekukanku, sebuah roda dari sebuah mobil melayang di belakangnya lalu terjatuh kembali di atas kekacauan di bawahnya saat kilatan cahaya petir dan ledakan bercampur menjadi satu, membuat orang tersebut terlihat seperti sesosok malaikat penghancur yang telah turun dari langit beserta rombongan mimpi buruk di belakangnya.

"Siapa kau?" tanyaku pada akhirnya.

"The Writer," sahut Fred yang tiba-tiba sudah berada di sampingku kembali.

"The Writer?" ulangku sesaat setelah pada akhirnya menyadari betapa mengerikannya sosok iblis yang sudah ku anggap sahabat itu.

"Jadi kau orangnya?" tanyaku kembali fokus kepada sosok misterius itu.

"Orang dibalik semua kehancuran ini?"

Orang itu tidak menjawab dan mendongakkan kembali kepalanya lebih tinggi, menatap langit-langit yang berlubang dan meneteskan tetesan air hujan ke atas keningnya lalu mengalir dengan perlahan ke bawah wajahnya yang tertutupi oleh masker berwarna putih, mengikuti arah tarikan dari gaya gravitasi, dan menghilang di balik masker tersebut.

Orang itu memejamkan matanya, seakan ingin merasakan sensasi sepenuhnya antara campuran dari setetes air hujan dan sebuah kehancuran.

"Aku tidak menyangka dunia ini begitu penuh dengan keceriaan, sempurna," ucap Fred tersenyum lebar kepada orang tersebut, seakan benar-benar puas dengan hasil karya dari orang tersebut, membuatku cukup terkejut mendengar ucapan yang keluar dari mulut jelek satu-satunya sahabatku itu.

"Keceriaan, huh?" ucap orang itu pada akhirnya, masih memejamkan kedua bola matanya.

"Sepertinya kau benar-benar gila, huh? Beda sekali dengannya."

Orang itu akhirnya membuka kembali kedua matanya dan menatap Fred dengan tatapan datarnya.

"Sepertinya aku lebih menyukai pria itu daripada kau."

"Sepertinya kau membuat sebuah kesalahan," balas Fred, masih terus menunjukkan senyum mengerikannya.

"Aku pikir tidak. Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik, kau benar-benar menjaga anak ini dan membawanya kepadaku."

"Itu bukan kesalahan, itu keajaiban."

"Ya, terserah," sahut Fred, kali ini dengan wajah yang sedikit kesal.

"Cepat selesaikan semua ini. Aku ingin segera pulang," lanjutnya.

"Ya, baiklah."

"Ikuti aku," ucap orang itu mengambil langkah.

Dia berjalan dengan santainya, mengabaikan semua kekacauan yang ada dan terus menuntun kami ke dalam kegelapan.

Dalam lorong yang gelap dan sepi, yang dihuni oleh banyak hewan pengerat di dalam tong-tong sampah yang penuh dan bau, dia terus melangkah tanpa ragu.

"Oi, kemana kau akan membawa kami pergi?" tanyaku kepadanya yang terlihat sangat mencurigakan.

"Rumah," jawabnya terus berjalan.

"Rumah?"

Beberapa saat kemudian kami sudah berada di ujung lorong yang buntu ini, tidak ada jalan lagi, hanya ada setumpuk batu bata yang disusun menjadi sebuah tembok, tidak ada bedanya seperti sebelumnya.

"Oi, ini jalan buntu," ucapku kesal.

"Apa kau tidak pernah belajar, nak?"

Setelah melontarkan pertanyaan tersebut, orang aneh itu mengulurkan tangan kanannya ke depan, ke arah tembok tua dan jelek itu, lalu secara ajaib muncul sebuah gagang berbentuk roda pada genggaman tangannya, orang itu memutarnya melawan arah jarum jam, kemudian, seperti sebuah pintu pada sebuah kapal yang telah lama ditinggalkan, tembok itu terbuka dan memperlihatkan sebuah keajaiban.

"Selamat datang di rumah."

Orang itu berjalan perlahan memasuki tempat, atau apapun itu, yang penuh dengan ladang bunga yang menakjubkan dan tak terbatas itu disaat aku hanya bisa terperangah melihat apa yang ada di dalamnya.

"Oh, mengejutkan," ucap Fred terkejut melihatnya.

"Ayo masuk, Fredy."

"Ini sebuah kejutan," ucap Fred masuk kedalamnya.

"Namaku Alexander, bodoh," protesku kesal lalu mengikuti langkah mereka untuk masuk kedalam keajaiban tersebut.

Saat aku telah melangkahkan kaki-kakiku untuk masuk sepenuhnya, pintu itu menutup kembali dengan sendirinya dan menghilang dalam keindahan ini.

"Dimana kita sebenarnya? Jangan bilang 'rumah'. Ini sama sekali bukan rumah," tanyaku masih terperangah melihat bunga-bunga yang bermekaran dengan sangat indahnya itu.

"Ketiadaan. Awal dari segala-galanya," ucap orang aneh itu yang kini menjadi semakin tambah aneh dengan rambut hitam legamnya yang tiba-tiba berubah menjadi putih pucat saat ia melepas masker putihnya dari wajah tirusnya itu.

"Dan itu disebut dengan 'rumah'," lanjutnya.

"Semua berawal dari rumah, bukan?"

"Benar," sahut Fred mulai memetik dan membakar satu persatu bunga-bunga indah tersebut.

"Crot!"

Tiba-tiba, tanpa peringatan, orang itu mengarahkan telapak tangan kirinya ke arah Fred, lalu mengeluarkan sebuah tulang runcing dari dalamnya yang langsung melesat dengan cepat menembus dada sebelah kiri setan merah tersebut.

"Argh."

"A-pa yang kau lakukan, bodoh?" ucap Fred tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi kepadanya.

Dia, dengan sekuat tenaga, berusaha memalingkan pandangannya dan berbalik menatap orang berambut putih itu dengan tatapan yang penuh dengan amarah dan kekesalan.

"Tugasmu sudah selesai. Sekarang pulanglah ke neraka."

Setelah orang itu menyelesaikan titahnya, tulang runcing yang menembus dada Fred tersebut mulai menyebarkan jaringan tulang ke seluruh tubuh merah Fred hingga menutupi tubuh merah itu dengan sempurna.

Kemudian, tubuh setan merah yang sudah terbungkus bak mummy itu mulai menunjukkan keretakan di seluruh tubuhnya hingga tubuh itu benar-benar pecah dan hancur menjadi tumpukan debu yang mengotori keindahan tempat suci dan sakral ini.

"Kau. Ikut aku," perintahnya kepadaku.

Aku mengikuti orang, yang masih belum menyebutkan namanya tersebut, terus menyusuri indahnya taman surga ini. Sejauh mata memandang hanya ada hamparan bunga beraneka ragam yang sangat luas.

Cahaya kuning yang hangat terus terpancar dari atas langit-langit yang dipenuhi cahaya. Menyinari seluruh kehidupan yang ada serta memberikan ketenangan dan kedamaian dalam tempat, yang dia sebut dengan "ketiadaan" ini.

"Kau bilang tempat ini adalah sebuah ketiadaan. Tapi kenapa semua yang kulihat dari tadi justru terlihat seperti surga?"

"Apa ini memang benar-benar surga?"

"Apa sebenarnya ketiadaan adalah surga dan begitu pula sebaliknya?"

"Maksudku. Kau tau kalau aku sebenarnya sudah mati?"

"Ya, aku tau. Karena aku yang menulisnya."

"Apa maksudmu?"

"Fred sudah bilang kan, siapa aku sebenarnya."

"The Writer."

Orang itu tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menatapku datar dari balik bahunya.

"Aku yang menciptakan segalanya dari ketiadaan ini. Aku yang menciptakanmu, duniamu, kehidupanmu dan juga kematianmu. Aku yang menentukan takdir dari segalanya."

"Dalam hal ini, aku adalah Tuhan."

Sepasang mata hitam itu terlihat dipenuhi dengan kebencian dan kegelapan yang sangat dalam saat orang berambut putih pucat itu menyatakan diri sebagai Tuhan.

"Tapi aku lebih suka disebut sebagai penulis," ucapnya kemudian kembali memunggungiku.

"Penulis yang menyedihkan. Yang hanya bisa memberikan kesengsaraan kepada ciptaan-ciptaannya."

"Termasuk kau. Maaf."

"Kau sudah menderita selama ini karenaku. Karenaku yang sudah tenggelam sangat dalam dalam kebencian."

"Maafkan aku."

"Tapi sekarang, kau, dan semuanya, tidak perlu lagi menderita karena keegoisanku. Semua akan berubah mulai sekarang. Tidak akan ada lagi penderitaan dan kesengsaraan. Semuanya seimbang, jadi tidak perlu ada lagi seseorang yang menyedihkan yang akan mengorbankan dirinya dan hidupnya sendiri demi keselarasan dunia dan kehidupan orang lain. Semua sudah berakhir. Semua mimpi buruk itu. Saat dunia terbangun, semuanya hanya akan melihat kedamaian, kebahagiaan dan cahaya dimana-mana. Matahari akan selalu menerangi dan menyinari dunia untuk selamanya, seperti tempat ini sekarang. Dulu tempat ini hanyalah sebuah kehampaan yang tak terbatas. Kau bisa melihat dan mengetahui segalanya disini, tapi kau tidak akan bisa berbuat apa-apa. Hanya mematung ditempat dan dipaksa melihat semua kebrutalan dan kekejian dari dunia yang terkutuk. Hingga pada akhirnya, sebuah pengorbanan terjadi dan menyembuhkan segalanya, segala penyakit terkutuk itu. Semua akan dimurnikan sekarang, dari sini, tempat ini, sebuah ketiadaan, awal dari segalanya, sumber dari segala kehidupan dan kematian, kebahagian dan kesedihan, kami akan menghapus semuanya dan mulai menulis ulang kembali segalanya, jauh lebih baik dari sebelumnya. Sebuah kesempurnaan yang tidak pernah ada sebelumnya. Kami akan menciptakan surga untuk dunia, untuk kehidupan dan segalanya. Dan kami, sebagai simbol dari sebuah kutukan, akan selalu berada disini mengawasi semuanya. Bersumpah akan menjaga semua itu akan tetap bertahan untuk selamanya. Dan mengurung semua kutukan bersama kami, disini, di dalam kehampaan yang abadi."

"Kami? Siapa maksudmu dengan kami?" tanyaku tidak mengerti.

Tepat saat itu juga, empat orang, yang tidak kalah anehnya, muncul secara tiba-tiba dari sebuah pusaran cahaya yang sangat terang di belakang orang berambut putih itu.

"Kami. The Nightmare."

"Mimpi buruk yang akan menghukum segala sesuatu yang akan atau berusaha merusak kehidupan."

"Lalu, kenapa kau mengatakan semua ini kepadaku?"

"Karena kau adalah ... putraku."

"Apa?!"

"Aku menciptakanmu berdasarkan kehidupanku yang menyedihkan dan juga gambaran terhadap putraku di masa depan."

"Tapi aku justru membuatmu merasakan semua penderitaanku."

"Aku benar-benar penulis dan ayah yang buruk, bukan?"

"Kau memang pecundang, kawan," sahut seseorang dengan brewok tipis pada wajah cokelatnya.

Mendekapkan kedua tangannya di atas dada dan bersikap angkuh di atas pasir terbangnya.

"Borg," ucap orang berambut putih.

"Ya?" sahut manusia cyborg di belakangnya.

"Hajar dia."

"Baik," ucap manusia cyborg tersenyum lebar, lalu menghajar manusia pasir di sebelahnya dengan brutal.

Pada akhirnya, dua manusia super itu benar-benar terlibat dalam sebuah baku hantam di tengah-tengah taman berbunga ini.

"Tenang saja, mereka hanya bermain-main," ucap orang berambut putih itu yang kembali fokus kepadaku.

"Jadi, ya, hanya itu saja yang ingin kukatakan padamu, nak. Aku minta maaf atas segalanya dan selamat tinggal untuk selamanya. Tolong jaga ibumu baik-baik. Dia wanita yang cerewet, tolong bersabarlah. Dan pastikan dia untuk tidak meneteskan air matanya lagi. Itu bisa akan sangat merepotkan nanti."

"Selamat tinggal."

"Tunggu, apa?!"

Sebuah ledakan cahaya yang sangat menyilaukan mata terjadi tepat di hadapanku, seakan itu benar-benar terjadi dalam kedua bola mataku.

"Apa?!"

"Dimana aku?"

Aku terbangun di atas sebuah tempat tidur dalam sebuah kamar yang terlihat familiar bagiku, sebuah boneka kecil berwujud setan merah yang memakai sebuah seragam merah bernamakan "Fred The Red" di punggungnya dan beberapa poster dari klub sepakbola Manchester united, termasuk sprei yang menutupi kasur empukku, aku pulang.

Aku bangkit dari kasur merahku, membuka pintu, dan berjalan keluar ruangan menuju ruang tengah yang di cat merah.

Kenapa semuanya merah? Entahlah, aku juga tidak terlalu mengetahuinya.

Aku melihat seseorang berambut putih pucat sedang duduk di atas sebuah kursi kayu terlihat fokus dengan buku tua pada genggaman tangannya.

Aku berdiri mematung, berusaha mencerna dengan baik apa yang sebenarnya sedang terjadi.

"Oh, Alex. Ada apa? Semua baik-baik saja?" tanya orang itu.

"Hei, Alex. Halo?" ucapnya kembali. Sekarang sambil melambaikan tangan kanannya ke udara dan menatapku dengan penuh keheranan.

Dia akhirnya melepaskan buku tua itu dari genggamannya, meletakkannya di atas meja bundar kecil yang terbuat dari kayu, lalu berjalan perlahan mendekatiku, berjongkok, berusaha menyesuaikan tingi kami berdua, menatapku penuh kehangatan dan berkata, "ada apa, jagoan?"

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Siapa kau? Dimana aku?"

Orang itu terlihat cukup terkejut saat mendengar pertanyaanku, lalu tersenyum simpul kepadaku.

"Pasti mimpi buruk lagi," ucapnya mengelus lembut rambut hitam legamku.

"Mimpi buruk?" ulangku.

"Ya."

"Kau tidak sengaja mengaktifkan kekuatanmu lagi? Lain kali kau harus lebih berhati-hati saat sedang tidur atau kau akan tersesat dan terjebak di dalam sana, Limbomu. Untung kau masih bisa kembali."

"Tolong lebih berhati-hatilah lain kali."

"Aku tidak ingin kehilanganmu lagi."

"Dan kau bisa merusak serta menghancurkan segalanya kembali."

"Kau mengerti kan, jagoan?"

"Maaf," ucapnya.

"Ayah menyayangimu," pungkasnya kembali mengelus rambutku lalu berjalan kembali ke kursinya dan membaca buku tua itu kembali.

"Ada apa, sayang?"

Seorang wanita cantik berambut hitam panjang berjalan masuk ke ruang tengah dari arah dapur, membawa secangkir kopi hitam dan sepiring kue kering.

"Oh, tidak. Alex, dia mimpi buruk lagi," ucap orang berambut putih pucat itu.

"Oh, jadi kau bermain-main lagi dengan kekuatanmu, ya?"

Wanita itu meletakkan kopi dan kue kering di atas meja lalu bertolak pinggang dan menatapku dengan tatapan yang sangat menakutkan.

"Ibu sudah bilang kan jangan pernah bermain-main dengan sesuatu yang belum benar-benar kau kuasai!"

"Kalau ingin latihan bicara dulu dengan ayah atau ibu. Kalau kau terjebak disana dan tidak bisa kembali bagaimana?!"

"Sudahlah. Tenanglah. Alex masih kecil, mungkin dia tidak sengaja mengaktifkan kekuatannya saat tidur. Jangan terlalu menekannya."

"Justru itu, apa kau mau kehilangan anak kesayanganmu, huh?!"

Mereka berdua terus berdebat tentang sesuatu yang tidak aku pahami sama sekali.

Apa benar mereka berdua adalah orang tuaku? Apa aku benar-benar anak mereka? Apa aku sudah terbangun dari tidurku? Atau aku masih terjebak dalam mimpiku, limboku?

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@semangat123 : Soalnya lagi mls nulis panjang" kak, hehe 😅
Banyak juga cerpennya, Kak👍🥰
Rekomendasi dari Misteri
Rekomendasi