Ada satu penyiksaan di zaman modern yang tidak melukai fisik tapi menghancurkan jiwa secara perlahan. Namanya: RAPAT STRATEGIS.
Hari ini, aku menerima undangan email dengan subject merah menyala: "URGENT: Q3 REVIEW & Q4 STRATEGIC HOLISTIC SYNERGY ALIGNMENT."
Waktunya: 09.00 - 11.00 WIB. Lokasi: Ruang Meeting "Nusantara 1" (Ruangan paling dingin di kantor, tempat di mana harapan dan impian membeku).
Aku, staff senior yang tugasnya "palugada" (apa lu mau gue ada), datang tepat waktu membawa laptop, buku catatan, dan semangat yang masih tersisa 50%. Aku tidak tahu bahwa aku sedang berjalan masuk ke dalam lubang hitam distorsi waktu.
Jam 09.00 WIB. Semua peserta kroco (staff dan manajer level bawah) sudah hadir. Kami duduk rapi mengelilingi meja oval yang panjangnya kayak landasan pacu pesawat. AC ruangan disetel di suhu 16 derajat Celcius. Mungkin tujuannya supaya otak kami awet dan tidak membusuk saat menunggu.
Masalahnya: Pak Big Boss (Pak Brata) belum datang. Tanpa Pak Brata, rapat tidak bisa dimulai. Beliau adalah Matahari, dan kami hanyalah planet-planet debu yang mengelilinginya.
Jam 09.30 WIB. Hening. Hanya suara tik... tok... jam dinding dan suara perut Mas Andi yang keroncongan. "Pak Brata di mana ya?" bisik Siska, sekretaris rapat. "Katanya lagi otw dari lift," jawab seseorang.
Masalahnya, lift kantor kami cuma naik 10 lantai. Kalau "lagi di lift" memakan waktu 30 menit, itu artinya Pak Brata merangkak lewat kabel lift atau beliau mampir dulu ke dimensi lain.
Jam 09.55 WIB. Kami sudah mulai berjamur. Seseorang mencoba mencairkan suasana dengan small talk paling basi sedunia. "Gimana cuaca di Bekasi, Mas Cahyo? Panas?" "Panas, Pak. Sepanas hati saya nungguin bapak ini," jawabku dalam hati. Mulutku cuma senyum kecut.
Jam 10.00 WIB. (Satu jam berlalu sia-sia). Pintu terbuka. Angin surga berhembus. Masuklah Pak Brata. Beliau berjalan santai sambil menelepon, tertawa-tawa. "Hahaha, iya Pak Menteri, siap, nanti kita golf ya."
Beliau duduk di ujung meja, meletakkan HP mahalnya. Tidak ada kata maaf. "Oke, kita mulai. Maaf tadi saya traffic (padahal kantornya di lantai atas). Yuk, screen-nya mana?"
Presenter hari ini adalah Mas Rian, Manajer Data yang gugup. Mas Rian mencolokkan kabel HDMI ke laptopnya. Layar proyektor berkedip. Blep. Lalu muncul tulisan: NO SIGNAL.
Kepanikan melanda. "Waduh, kok nggak nyala?" Mas Rian keringat dingin. "Coba ditiup lubangnya, Mas," saran seseorang (solusi kaset Nintendo tahun 90-an). "Coba ganti kabel!" "Coba restart laptop!" "Coba restart proyektornya!" "Coba restart hidup Anda!"
15 menit terbuang hanya untuk urusan kabel. IT dipanggil. IT datang dengan wajah malas, mencabut kabel, mencolok lagi. Nyala. Ternyata tadi cuma kurang nancep. Semua orang tepuk tangan seolah baru saja menyaksikan pendaratan manusia di bulan.
Jam 10.20 WIB. Rapat dimulai. Sisa waktu tinggal 40 menit dari jadwal asli. Mas Rian membuka slide presentasinya.
Slide pertama muncul. Ya Tuhan. Itu bukan slide presentasi. Itu KORAN. Satu slide isinya teks semua. Font Arial ukuran 10. Rata kanan-kiri. Penuh dari pojok ke pojok. Tidak ada gambar. Tidak ada grafik. Cuma tembok tulisan.
Dan dimulailah siksaan itu: PowerPoint Karaoke. Mas Rian berdiri membelakangi kami, menghadap layar, dan MEMBACA ISI SLIDE KATA PER KATA.
"Baik Pak, seperti yang tertulis di sini... Poin satu: Sinergi antar departemen adalah kunci keberhasilan yang fundamental dalam menghadapi disrupsi pasar global yang semakin volatil..."
Aku menatap layar. Aku bisa membaca sendiri, Mas! Aku Sekolah! Aku bisa baca! Kenapa harus dibacakan?!
Pak Brata, yang duduk di ujung, mulai memijat pelipisnya. Atau mungkin beliau tidur dengan mata terbuka. Aku tidak tahu. Aku mulai menghitung jumlah ubin di lantai untuk menjaga kewarasan. Satu... dua... tiga... empat...
Tiba-tiba Pak Brata menyela. "Tunggu, Mas Rian." Jantung Mas Rian copot. "Ya, Pak?" "Itu di paragraf 3, baris ke-4. Kata 'Analisa' itu baku-nya 'Analisis' ya. Tolong diperbaiki. Saya nggak suka typo."
Hening. Kita sedang membahas strategi perusahaan triliunan rupiah, dan Pak Brata mempermasalahkan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). "Siap, Pak. Saya ganti sekarang," kata Mas Rian gemetar. Dia keluar dari mode slideshow, mengedit teks di depan mata kami semua. Typing... typing... Laptopnya lemot. Kursornya muter-muter. 5 menit terbuang lagi.
Jam 11.00 WIB. (Jadwal rapat harusnya selesai). "Lanjut aja ya, nanggung," kata Pak Brata. Perutku mulai berdemo. Cacing-cacing di perutku mulai melakukan orasi minta logistik.
Sekretaris membagikan Snack Box. Harapan: Roti sobek lembut, pastel hangat, lemper ayam. Realita: Kotak kardus putih polos. Isinya:
- Arem-arem yang dingin dan kerasnya bisa buat nimpuk maling.
- Kue Sus yang krimnya sudah asem.
- Air Mineral Gelas yang sedotannya susah ditusukan (selalu bengkok).
Aku mencoba membuka plastik arem-arem pelan-pelan. KRESEK... KRESEK... Di ruangan hening ber-AC, suara plastik itu terdengar seperti suara petasan. Semua orang menoleh ke arahku. Pak Brata melirik tajam.
Aku membeku. Aku mencoba mengunyah arem-arem itu. Keras banget. Nasinya kayak belum matang. Saat aku menelan, rasanya seperti menelan batu kerikil. Glek. Sakit di tenggorokan, sakit di hati.
Jam 11.45 WIB. AC ruangan semakin dingin. Suhu mungkin sudah minus 5 derajat. Aku merasa alisku mulai jadi es. Efek samping kedinginan + minum air gelas tadi = KEBELET PIPIS.
Ini adalah siksaan level tertinggi. Aku mau izin ke toilet, tapi Pak Brata sedang berapi-api membahas grafik penjualan (yang warnanya mirip semua jadi nggak jelas mana yang naik mana yang turun).
"Jadi, Cahyo!" tiba-tiba namaku dipanggil. Aku kaget. Otot kandung kemihku kontraksi. Nyaris bocor. "Ya.. Ya Pak?"
"Menurut kamu, kenapa grafik biru ini turun?" Aku menyipitkan mata. Grafik biru? Semuanya biru, Pak! Ada biru tua, biru muda, biru laut, biru langit. "Emm... Itu karena... faktor eksternal, Pak. Daya beli masyarakat sedang wait and see," jawabku ngasal (jawaban aman semua umat).
"Hmm. Wait and see. Masuk akal," gumam Pak Brata. Aman. Aku selamat. Tapi hasrat pipis ini makin tak tertahankan. Kakiku mulai gemetar di bawah meja. Aku duduk dengan posisi aneh, menyilangkan kaki rapat-rapat seperti putri keraton yang menahan malu.
Aku mencoba telepati ke Pak Brata: "Pak... bubarin Pak... saya mau meledak Pak..." Tapi Pak Brata malah berkata: "Oke, kita masuk ke sesi diskusi mendalam. Deep Dive."
Mampus. Deep Dive. Itu artinya minimal 1 jam lagi. Ginjal kiri dan ginjal kananku mulai berdebat siapa yang harus nyerah duluan.
Jam 12.30 WIB. Rapat berubah menjadi ajang pamer istilah Inggris biar kelihatan pinter.
Manajer Marketing: "Kita harus leverage aset kita untuk create awareness yang impactful." Manajer HRD: "Betul, tapi manpower kita sedang burnout. Kita butuh healing capacity." Manajer Finance: "Asal Cost Efficiency terjaga dan Bottom Line aman, saya agree."
Aku? Aku cuma mikir: "TOILET. TOILET. TOILET."
Mereka berdebat tentang warna logo selama 30 menit. Warna merah marun atau merah bata? "Merah marun lebih berani," kata A. "Merah bata lebih down to earth," kata B. "Merah darah lebih cocok menggambarkan perasaan saya sekarang," batinku.
Aku sudah tidak kuat. Keringat dingin bercucuran. Wajahku pucat. Aku mengangkat tangan sedikit. "Pak... izin ke..."
"Tunggu Cahyo!" potong Pak Brata. "Ini poin penting. Saya mau dengar pendapat kamu soal warna ini."
Tuhan, cobaan apa ini? "Saya... saya setuju merah bata Pak. Karena... karena kokoh." Jawabku asal, sambil menahan pipis sekuat tenaga. Rasanya ada bendungan Katulampa di dalam celanaku yang siaga 1.
Jam 13.00 WIB. (4 jam di dalam ruangan es). Perut lapar, kandung kemih kritis, otak beku. Akhirnya Pak Brata melihat jam tangannya (Rolex emas yang berkilau mengejek kemiskinan kami).
"Waduh, sudah jam satu. Saya ada lunch meeting sama investor di Senayan."
Semua peserta rapat menegakkan punggung. Harapan muncul di mata kami. "Jadi, Pak, keputusannya gimana? Strategi A atau B?" tanya Mas Rian penuh harap.
Pak Brata berdiri sambil merapikan jasnya. "Hmm... diskusinya tadi bagus. Sangat daging. Tapi saya rasa kita belum bisa memutuskan sekarang. Datanya masih kurang tajam. Warnanya juga belum sreg."
Hening. Kami sudah duduk 4 jam. Menahan lapar dan pipis. Berdebat soal warna. Dan jawabannya adalah... BELUM BISA MEMUTUSKAN?
"Jadi gini aja," lanjut Pak Brata santai. "Kita parkir dulu isunya. Mas Rian, tolong revisi slide-nya. Ganti font-nya jadi Times New Roman biar lebih klasik. Kita schedule ulang rapat ini minggu depan ya. Di jam yang sama."
"Minggu depan...?" suaraku tercekat.
"Iya. Oke? Good meeting everyone! Semangat! Synergy!" Pak Brata melambaikan tangan dan keluar ruangan dengan langkah ringan.
Pintu tertutup. Kami, 10 orang peserta rapat, masih duduk mematung di kursi masing-masing. Rasanya seperti baru saja dirampok, tapi yang diambil bukan dompet, melainkan semangat hidup.
Siska menutup laptopnya dengan kasar. BRAK! "Empat jam..." desisnya. "Empat jam cuma buat ganti font?"
Aku tidak punya tenaga untuk mengeluh. Prioritasku satu: TOILET. Aku berdiri. Kakiku kram karena duduk posisi menahan pipis terlalu lama. Aku berjalan ngangkang kayak pinguin lari menuju toilet pria.
Brrrtttt..... Di toilet, aku merasakan kenikmatan duniawi yang hakiki. Lega. Tapi air mataku menetes. Aku kembali ke meja kerjaku. Melihat layar komputerku yang penuh notifikasi email pekerjaan yang tertunda selama 4 jam rapat tadi.
Lalu Mas Rian lewat di sebelahku, wajahnya kusut kayak kanebo kering. "Yo... bantuin gue dong..." "Apa Mas?" "Cariin cara ganti semua font slide jadi Times New Roman dalam sekali klik. Gue udah nggak kuat..."
Aku menatapnya nanar. "Mas... mending kita ke kantin. Kita makan mie instan pake telor. Lupakan strategi, lupakan sinergi. Kita butuh micin."
Hari itu, produktivitas kantor kami nol besar. Tapi setidaknya kami belajar satu hal: Rapat adalah tempat di mana Menit dikumpulkan untuk membuang Jam.
Dan minggu depan... siksaan itu akan terulang kembali. Meeting Invite Accepted. (Dengan air mata).