Kusuma menarik bukunya yang ditindih sikunya Beni. Mencari-cari. "Liat pensilku nggak?"
"Nggak." Beni menyahut singkat. Cuek. Lalu sibuk membuka tas punggungnya. "Kamu gimana sama cewek kelas XII IPA itu?"
"Siapa?" Kusuma masih tetap sibuk mencari pensilnya.
"Siapa itu? Warni, ya?"
"Mawar!"
"Lha, iya. Mawarni."
Kusuma baru saja membuka mulut mau menanggapi. Beni malah buru-buru angkat jari.
"Sudah. Diam. Nggak usah kebanyakan alasan! Seluas-luasnya hutan, masih luas alasanmu, Bray."
"Siapa yang tanya, siapa yang jawab," Kusuma menggumam.
Dia kembali fokus mencari pensilnya. Sedang Beni kembali sibuk mengaduk-aduk tas punggungnya sampai wajahnya menempel di lubang tas. Kusuma yang melihat kelakuan Beni, malah jadi curiga.
"Eh! Pensilku kamu yang sembunyikan, ya?"
"Bibirmu ndower! Nggak! Aku lho punya pensil sendiri," kata Beni menoleh sebentar. Terus kembali mengaduk tasnya lagi.
"Lha, terus? Kamu bawa apa?" Kusuma menarik tas temannya. Ingin tahu.
"Adalah! Orang kok kepoan!"
Kusuma malah jadi jengkel. Karena itu, dia langsung memasukkan kepala Beni ke dalam tas. Beni jadi kelabakan. Tangannya mengepak-ngepak seperti itik minta ehem-ehem.
Pas bangku yang mereka duduki mau ambruk, Kusuma buru-buru berdiri. Tapi sial. Beni meraih tangannya, lalu jadilah jatuh bersamaan. Dua orang itu kelesotan di lantai, kesusahan bangkit.
Beni melepas tas dari kepalanya sehingga isinya berserakan. Terutama remahan rengginang yang berhamburan. Rambut dan wajahnya juga tidak kurang awut-awutan. Karena jengkel, Beni langsung langsung ngacak-ngacak Kusuma tanpa ampun.
Tepat waktu itu, ada Wulan yang melihat kelakuan keduanya sambil melongo.
"Sebenarnya apa tidak suka perempuan, lho!" kata Wulan semaunya sambil meletakkan pensil Kusuma di meja.
Kusuma dan Beni sama-sama melongo. Sama-sama pula mengawasi pensil yang ada di atas meja.
"Kambing gimbaalll!"
Wulan berlari kabur.