Jika kalian membedah dadaku sekarang, kalian akan menemukan sepasang paru-paru yang warnanya merah muda, bersih, suci, dan mungkin beraroma bedak bayi. Tidak ada noda hitam, tidak ada flek, tidak ada aspal jalanan yang menempel di sana.
Bagi dokter, ini prestasi. Bagi asuransi kesehatan, ini aset. Aku bukan tidak merokok karena prinsip kesehatan. Aku bukan tidak merokok karena takut mati. Aku bukan tidak merokok karena kampanye pemerintah yang memasang gambar tenggorokan bolong di bungkus rokok.
Aku tidak merokok karena SEMESTA TIDAK MENGIZINKANNYA. Seolah-olah Tuhan, malaikat, setan, dan hukum fisika bersatu padu membuat pagar betis setiap kali aku menyentuh benda silinder berisi tembakau itu.
Ini adalah kronologi sejarah bagaimana alam semesta menggagalkan cita-citaku menjadi lelaki "cool" yang bisa menghembuskan asap berbentuk bulat.
BABAK 1: KEPALA VS PAWON (Tragedi Lebaran Kelas 5 SD)
Semua bermula saat aku duduk di bangku kelas 5 SD. Waktu itu adalah momen Lebaran. Seperti tradisi keluarga Jawa pada umumnya, kami mudik ke rumah Kakek di sebuah desa terpencil yang sinyal HP saja harus dicari dengan cara memanjat pohon kelapa.
Malam takbiran adalah malam kebebasan. Di teras rumah joglo Kakek yang luas, para lelaki dewasa berkumpul. Pakde, Budhe (eh Budhe perempuan ya, skip), Paman, Om, dan sepupu-sepupu yang sudah sunat, semuanya duduk melingkar. Kopi hitam pekat tersaji, toples nastar berjejer, dan tentu saja: Asap Rokok.
Aku, bocah ingusan yang masih pakai celana pendek bergambar Power Rangers, duduk di pojok mengamati mereka. Mereka terlihat sangat gagah. Pakde Slamet menghisap rokok kreteknya dalam-dalam... fuhhh... asap mengepul tebal. Wajahnya terlihat berwibawa bak mafia Italia versi kearifan lokal. Om Joko menjentikkan abu rokok dengan gaya yang keren banget.
Otak kecilku berbisik: "Cahyo, kalau kamu mau jadi lelaki sejati, kamu harus bisa mengeluarkan naga dari mulutmu seperti mereka."
Hasrat itu tak tertahankan. Tapi masalahnya satu: Kalau aku minta rokok terang-terangan, bisa-bisa aku disabet ortuku pakai sapu lidi sampai pantatku bermotif batik. Jadi, aku menyusun rencana kriminal pertamaku.
Tengah malam, saat gema takbir masih terdengar sayup-sayup dan semua orang dewasa sudah mendengkur (suara dengkuran Pakde Slamet setara gempa 5 Skala Richter), aku beraksi. Aku mengendap-endap ke ruang tamu. Mataku tertuju pada bungkus rokok "Gudang Garam Merah" yang tergeletak pasrah di meja. Isinya tinggal 3 batang. Dengan tangan gemetar, aku mencuri satu batang. Jantungku berdegup kencang: Dag-dig-dug-dher. Rasanya lebih tegang daripada nonton film horor Suzanna.
Misi 1 berhasil: Rokok di tangan. Misi 2: Mencari Api. Ini masalah besar. Zaman itu di desa, korek gas adalah barang mewah. Korek kayu (korek api jes) biasanya dikantongi bapak-bapak. Aku mencari ke seluruh meja, nihil.
Aku berlari ke dapur belakang. Dapur Kakek masih sangat tradisional. Lantainya tanah, dindingnya anyaman bambu, dan kompornya bukan kompor gas elpiji, melainkan Pawon (tungku tanah liat yang menggunakan kayu bakar). Di dalam kegelapan dapur, aku melihat secercah harapan. Di salah satu lubang Pawon, masih ada sisa pembakaran sore tadi. Bara api merah menyala terlihat samar di dalam tumpukan abu.
Logika anak SD-ku bekerja: "Ada bara, berarti bisa bakar rokok." Aku mendekat. Aku mencoba menjulurkan tangan, memasukkan rokok ke dalam lubang tungku untuk menyentuh bara. Gagal. Tangan kependekan, panasnya minta ampun. Bulu tanganku hampir hangus.
Aku berpikir keras. "Gimana caranya rokok ini nyala?" Tiba-tiba aku ingat teori fisika dasar (yang salah kaprah dan absurd): "Rokok itu harus DIHISAP sambil DIBAKAR supaya nyala." Berarti, posisi rokok harus ada di mulut, dan ujungnya harus kena bara.
Karena tanganku nggak bisa ngambil baranya, maka kepalaku yang harus mendatangi baranya. Ide brilian! (Brilian untuk ukuran calon pasien RSJ).
Aku berlutut di depan Pawon. Menggigit batang rokok kretek yang rasanya manis-pedas itu. Perlahan tapi pasti, aku memasukkan kepalaku ke dalam lubang tungku. Ya, kalian tidak salah baca. Kepala anak manusia, masuk ke lubang pembakaran. Rasanya seperti masuk ke simulasi neraka jahanam level 1. Panas, pengap, bau abu.
Mataku perih. Tapi demi gaya, aku bertahan. Ujung rokok sudah hampir menyentuh bara merah itu. Aku bersiap menghisap. Aku menarik napas panjang lewat hidung untuk ancang-ancang hisapan maut. Hhhhhhhh....
BENCANA TERJADI. Hembusan napasku yang kuat di dalam ruang sempit tungku itu menciptakan efek Aerodinamika Bencana. Angin dari hidungku meniup tumpukan abu vulkanik di dalam tungku. WUUUSSSHHHH!!!
Abu panas yang halus itu berterbangan, meledak di dalam tungku, dan tentu saja... MENYERBU WAJAHKU. "HUAARGGHHH! PANAS! PEDIH! BUTA!" Aku tersedak abu. Mataku kemasukan debu panas. Hidungku menghirup partikel sisa pembakaran kayu jati. Bukannya menghisap rokok, aku malah batuk-batuk hebat di dalam tungku. UHUK! UHUK! HOEEEKK!
Rokok di mulutku jatuh entah ke mana, hilang di telan abu. Aku panik. Aku mencoba menarik kepalaku keluar. DUG! Jidatku kejedot bibir tungku saking paniknya.
Aku berguling-guling di lantai tanah dapur sambil memegangi muka. Wajahku cemong total. Rambutku penuh abu putih, mukaku hitam kayak pemain pantomim gagal. Suara gaduh itu membangunkan Ibuku. "Ya Allah! Cahyo! Kamu kenapa Le?!" teriak Ibu histeris melihat anaknya berguling-guling seperti cacing kepanasan.
Ibu melihat kondisiku: Muka hitam, mata merah, mulut komat-kamit kepanasan. Analisa Ibu: KERASUKAN SILUMAN DAPUR. "Bapak! Bangun Pak! Cahyo kesurupan penunggu Pawon!"
Malam itu, bukannya dikasih salep luka bakar, aku malah diseret ke ruang tamu. Pakde, Budhe, Kakek, semua bangun. "Ambilkan air putih! Bacakan ayat kursi!" perintah Kakek. Aku mau bilang, "Bukan Kek, aku mau ngerokok..." tapi tenggorokanku sakit penuh abu.
Akhirnya, jam 2 pagi di malam takbiran, aku menjalani prosesi Ruqyah Dadakan. Seorang Pak Ustadz tetangga diseret datang. Aku didudukkan di kursi. Wajahku disemprot air doa. CROT! CROT! "Keluar kamu jin fasik! Jangan ganggu cucu saya!" bentak Pak Ustadz sambil menepuk jidatku yang benjol.
Aku pasrah. Basah kuyup, muka cemong, jidat benjol, paru-paru penuh debu. Dan rokoknya? Masih utuh tertinggal di dalam tungku, menjadi saksi bisu kegagalanku.
BABAK 2: ROMANSA TERLARANG DI PINGGIR KALI (SMP Kelas 1)
Trauma tungku sudah sembuh. Masuk SMP, hasrat menjadi "anak nakal" muncul lagi. Kali ini aku tidak sendirian. Aku punya sekutu bernama Udin. Udin adalah teman sekelas yang gayanya selangit, padahal uang jajannya cuma cukup buat beli es teh plastik. Udin mengklaim dirinya sudah merokok sejak dalam kandungan (bohong banget).
"Yo, kita ngerokok yuk. Gue punya stok Djarum Coklat nih, nyolong punya bapak gue," bisik Udin di sekolah. "Ayo! Di mana?" "Di pinggir sungai. Aman. Nggak ada orang."
Sepulang sekolah, kami berdua menuju bantaran sungai di belakang desa. Tempatnya sepi, banyak semak belukar, dan sialnya anginnya kencang bukan main karena mau hujan. Kami duduk di atas batu besar. Merasa seperti dua koboi yang sedang istirahat.
Udin mengeluarkan dua batang rokok yang sudah agak bengkok karena diduduki di saku celana. "Nih, satu buat lu." Aku menerimanya dengan bangga. Ini kesempatan kedua!
Udin mengeluarkan korek api kayu. Srek! Api nyala. Wussss... Angin bertiup. Api mati. "Sial, anginnya kenceng," gerutu Udin.
Percobaan kedua. Srek! Nyala. Wussss... Mati lagi. Percobaan ketiga, keempat, kelima. Batang korek api berserakan. Tinggal satu batang terakhir. "Ini nyawa terakhir, Yo. Kita harus pake strategi," kata Udin serius.
"Gimana caranya?"
"Gue nyalain rokok gue dulu sambil ngumpet di balik baju. Nah, kalau rokok gue udah nyala baranya, lu nyalain rokok lu pake rokok gue. Teknik Estafet Bara."
Udin berhasil menyalakan rokoknya dengan perjuangan menutupi korek pakai jaket sampai hampir membakar alisnya sendiri. "Oke, nyala! Buruan Yo! Tempelin rokok lu!"
Angin makin kencang. Badai akan datang. Agar bara api tidak mati kena angin saat proses transfer, kami harus meminimalkan jarak. Udin mendekatkan wajahnya. Aku mendekatkan wajahku. Kami berdua menangkupkan tangan di sekitar mulut masing-masing untuk melindungi bara api suci itu.
Posisi kami: Duduk berhadapan di atas batu. Wajah kami berjarak cuma 5 cm. Mata kami saling menatap (fokus ke ujung rokok). Tangan kami saling bersentuhan menutupi angin. Bibir kami monyong memegang rokok.
Dari sudut pandang orang ketiga (atau kamera CCTV alam), ini terlihat SANGAT MENCURIGAKAN. Posisi ini lebih mirip adegan dua remaja dimabuk asmara yang hendak melakukan ciuman pertama yang romantis di pinggir sungai.
Saat ujung rokokku baru saja menyentuh ujung rokok Udin... KRESEK... KRESEK... Semak-semak di belakang kami tersibak.
Seorang Bapak-bapak pencari rumput muncul dengan celurit di tangan. Matanya melotot melihat kami. Kami kaget. Rokok masih nempel di mulut. Wajah masih deketan.
Bapak itu berteriak dengan suara menggelegar: "WOOOIII!!! ASTAGFIRULLAH!!! JANGAN CIUMAN DI SINI!!!" "MASIH KECIL UDAH HOMO! SAYA LAPORIN PAK RT YA!!"
Jantungku berhenti berdetak. Bukan takut ketahuan merokok. Tapi takut dituduh REMAJA HOMO! Ini fitnah akhir zaman! "Bukan Pak! Kami cuma mau ngerok--!" teriak Udin membela diri.
"HALAH! ALASAN! PERGI SANA JANGAN MAKSIAT DISINI!" Bapak itu mengangkat celuritnya.
Tanpa dikomando, aku dan Udin lari terbirit-birit. Saking paniknya, rokok di mulutku terlempar jatuh ke sungai. Rokok Udin juga jatuh. Kami lari sekencang-kencangnya, melompati parit, menerobos kebun singkong, dikejar bayang-bayang fitnah keji itu.
Sesampainya di tempat aman, kami ngos-ngosan.
"Gila lu Din..." kataku megap-megap. "Gue hampir dituduh ciuman sama lu. Najis tralala." "Sama, gue juga ogah. Mending gue dituduh maling ayam."
Rokok hilang. Harga diri nyaris hancur. Paru-paru masih bersih, tapi mental ternoda.
BABAK 3: FILTER BASAH BEKAS ILER (SMP Kelas 2 - Study Tour)
Kesempatan ketiga. Kali ini harus berhasil. SMP mengadakan Study Tour ke Jakarta. Menginap di asrama haji yang murah meriah. Malam hari di Jakarta, suasana kebebasan sangat terasa. Guru-guru sibuk karaoke di lobi, murid-murid sibuk bikin dosa di belakang asrama.
Aku diajak oleh geng "Anak Belakang" untuk nongkrong di jemuran lantai atas. Ada sekitar 10 anak duduk melingkar. Si Bos Geng, sebut saja namanya Joni, mengeluarkan sebungkus rokok mahal. Marlboro Merah. "Wuidih, rokok orang kaya," gumamku kagum.
Masalahnya: Rokoknya cuma ada 3 batang tersisa. Orangnya ada 10. Matematika kenakalan remaja berlaku: SISTEM JOINAN MUTAR. Satu rokok dihisap bergilir. Dua kali hisap, oper ke teman sebelah.
Aku datang paling telat, jadi aku duduk di posisi paling ujung lingkaran. Giliran terakhir. Joni membakar rokok. Menghisapnya dengan nikmat. Fuhhh... Dia oper ke Budi. Budi oper ke Cecep. Cecep oper ke Dodo.
Aku mengamati perjalanan rokok itu dengan seksama. Dan semakin lama aku mengamati, semakin perutku mual.
- Joni: Perokok santai. Filternya masih kering.
- Budi: Budi ini tipe yang kalau ngomong muncrat. Dia menghisap rokok sampai pipinya kempot. Pas dioper, ujung filternya mulai agak lembap.
- Cecep: Cecep lagi flu berat. Hidungnya meler. Dia menghisap rokok sambil sesekali menyeka ingus. Aku curiga ada partikel lendir yang migrasi ke filter rokok.
- Dodo: Dodo baru saja makan gorengan berminyak. Bibirnya glossy penuh minyak jelantah. Pas dia ngerokok, filternya jadi licin dan berminyak.
Rokok itu terus berputar. Sampai di Eko. Eko ini pakai kawat gigi (behel). Entah kenapa, air liurnya produksinya berlebih. Dia ngerokok sambil ngeces dikit. Pas rokok itu keluar dari mulut Eko, filternya sudah berubah warna. Dari oranye menjadi COKELAT GELAP BASAH. Bentuknya sudah tidak bulat lagi, tapi GEPENG karena digigit-gigit.
Rokok itu dioper lagi ke Fajar. Fajar punya kebiasaan menjilat bibir sebelum merokok. Rokok itu sekarang tampak seperti bubur kertas yang dipadatkan. Basah, benyek, berminyak, dan penuh DNA campuran 9 orang laki-laki yang belum sikat gigi.
Akhirnya, rokok itu sampai di depanku. Sisa rokoknya tinggal 2 cm (tinggal busanya doang sebenernya). Fajar menyodorkan benda menjijikkan itu padaku. "Nih, Yo. Last hit. Abisin."
Aku menatap benda itu. Ujung filternya basah kuyup, meneteskan cairan saliva. Baunya... perpaduan antara tembakau, minyak gorengan, sisa pasta gigi, dan bau jigong khas remaja puber. Bayangan kuman, bakteri, virus flu, dan sisa makanan mereka menari-nari di filter itu.
Perutku bergejolak. Tenggorokanku tercekat. Hasrat ingin terlihat keren bertarung hebat dengan refleks muntah. Aku membayangkan bibirku menyentuh benda basah bekas Eko yang ngeces dan Cecep yang ingusan.
"Huweekk..." Aku reflek menutup mulut.
"Lho? Kenapa Yo? Kok muntah?" tanya Joni.
"Egh... anu... gue... gue sakit perut. Maag gue kambuh kalau liat rokok!" alibiku secepat kilat.
"Yaudah, sini gue abisin!" samber Fajar lagi.
Aku mundur teratur. Lari ke toilet dan membasuh muka. Gagal lagi. Gagal karena jijik. Ternyata, menjadi perokok butuh ketahanan imun yang kuat terhadap air liur teman. Aku belum sampai level itu.
Sejak kejadian filter basah itu, aku menyerah. Aku memutuskan bahwa alam semesta memang tidak merestuiku.
Kadang aku berpikir, mungkin alam semesta melarangku merokok bukan karena sayang, tapi karena takut. Mungkin, hanya mungkin... kalau aku sampai berhasil merokok satu batang saja dengan sempurna, Kiamat akan terjadi hari itu juga. Langit akan runtuh, laut akan kering, dan Dajjal akan muncul sambil bawa asbak.
Jadi, demi keselamatan umat manusia, biarlah Mas-mas ini tetap menjadi perjaka paru-paru. Memegang gelas es teh manis dengan canggung di tengah kepulan asap, sambil tersenyum kecut menahan napas.