Disukai
3
Dilihat
1399
Manusia-Manusia Ruwet
Komedi

Baru saja aku membatin akan ada makhluk pengganggu yang merusak ketenteraman acara memasak uwi pagi ini. Ternyata, oh, ternyata. Memang sebaiknya kita sebagai manusia berkata yang baik-baik saja meskipun di dalam batin.

Ketika uwi dibelah untuk mempermudah pemotongan, tiba-tiba Mbak Gi datang lalu duduk di dekat kami.

“Mau masak uwi, ya. Haduh, semalam mau ke sini di rumah lagi banyak orang jenguk suamiku. Padahal badanku sudah capek banget,” katanya.

Ya ampun. Apa orang ini pura-pura buta? Sudah jelas kami sedang sibuk, bisa-bisanya dia memberi kode ingin segera dipijit. Padahal kemarin sore Ibu sudah mengerokinya. Apa masih kurang?

Mbak Gi kemarin sore datang pukul lima lebih. Hanya hitungan menit sudah masuk waktu Maghrib. Acara kerok mengerok pun tidak dihentikan. Aku paling geregetan jika ada orang yang bertamu tidak tahu waktu. Masa iya tidak tahu? Kurasa memang orang itu hanya minta enaknya saja. Tanpa peduli waktu dan kesibukan tetangga.

Lalu pagi ini minta dipijit? Dikira tangan ibuku tangan gurita? Tak mengerti lagi dengan manusia model-model yang begini ini. Sungguh limited edition. Membuatku sabar dari zaman dahulu kala.

Eits, tapi kenapa aku harus heran? Bukankah Mbokde We—ibunya, juga sama-sama menyebalkan? Mungkin saja kepiawaian Mbak Gi adalah bakat turun temurun dari ibunya. Atau mungkin mereka menganut sekte yang sama yaitu membuat kesal orang lain dan tidak merasa perbuatannya keliru.

***

Sebagaimana tak ada gading yang tak retak, hidup bertetangga juga tidak selamanya bahagia, mulus dan lancar seperti Tol Cipularang. Ketika isi TV masih dihuni Dragon Ball beserta jajarannya, sampai Rehan begitu syulit dilupakan, hingga aku hafal nama-nama ajudan yang terseret kasus pembunuhan  di bawah skenario sang majikan dan keluarga Prik selalu dapat panggilan, tetanggaku satu itu masih juga berbakat julid dan nyinyir.

Mbokde We tinggalnya selisih dua atap dari rumahku. Bakat nyinyir itu kusadari ketika setiap kali Mbokde We sering mengatakan tentang adikku. Adikmu itu dulu pas bayi habis dilahirin yang merawat aku lho. Begitu selalu, sampai kuping ini bosan.

Jika di jalan bertemu, baru terlihat dari jauh saja, perasaanku sudah tidak enak. Pasti ada saja yang siap dikomentarinya. Aku jadi malas keluar rumah, takut bertemu dengannya. Padahal waktu itu Ibu pernah membantu Mbak Gi saat melahirkan juga.

Sore itu Ibu pulang dari kondangan. Di daerahku, dulu kondangan boleh menggunakan sembako seperti beras, gula, teh dan makanan lainnya. Ibu berangkat membawa beras, timbal baliknya ada roti bolu gepeng yang bentuknya seperti roda. Ibu menyuapkan roti itu, sesaat bayi Mbak Gi lahir setelah perutnya mulas karena buang air besar.

Kukira Mbokde We akan berhenti nyinyir setelah Ibu menolong Mbak Gi walau hanya dengan menyuapkan roti. Namun, ternyata bakatnya bertambah mahir hingga Tasya libur telah tiba mau punya anak kedua.

Masih kuingat perkataan Mbokde We yang dikatakannya sepanjang tahun 2018.

Berawal dari bulan April. Sore itu saat hendak pergi bersama temanku menemui pemilik konveksi, Mbokde We duduk di emperan rumah Nenek. Dia mampir setelah menyalakan lampu rumah saudaranya.

“Mukamu rusak, ya,” kata Mbokde We tiba-tiba dengan santuy seolah sedang menyeruput air kelapa di tepi pantai.

“Saya juga nggak gonta-ganti bedak, kok, Mbokde,” kataku.

Mencebikkan bibir. “Percaya. Kamu kan memang nggak pernah dandan.”

Ya ampun ini orang maunya apa, ya. Dia bilang mukaku rusak? Lah, apa mulutnya itu tidak lebih rusak? Dia juga punya cucu perempuan, lho. Apa tidak takut jika suatu saat cucunya mendapat perlakuan sama seperti yang dilakukannya padaku?

Berlanjut pada bulan berikutnya. Ibuku sakit lambung dan dirawat inap. Selanjutnya Nenek dan Ayahku dirawat inap bergantian. Lalu pada bulan Oktober, adikku yang ketiga dirawat inap setelah adikku bungsu pulang dari rawat inap.

Para tetangga berkunjung ke rumah untuk menjenguk sambil memberikan uang iuran besuk. Mbokde We pulang paling akhir, meninggalkan perkataan yang membuat emosi tingkat Provinsi.

“Siapa juga yang mau disuruh sakit? Dibayar juga nggak mau. Pilihnya sehat. Kalau disuruh milih, aku juga nggak mau keluargaku sakit,” ucap Ibu dengan sedih.

“Siapa yang ngomong begitu, Bu?” tanyaku.

“Itu Mbokde We. Kalau ngomong suka seenaknya. Katanya, ‘Sakit kok kayak panen, udah ya cepat sembuh. Jangan merepotkan lagi, kasihan para tetangga’.”

Andai dia bukan manusia, sudah kubelikan rem cakram biar tidak kebablasan lagi bicaranya. Bagaimana bisa dia menyamakan orang sakit dengan orang panen. Terkadang aku berpikir. Sebenarnya makanan apa yang dikonsumsi Mbokde We sampai-sampai menghasilkan output pedas seperti itu. Namun, aku yakin jelas bukan salah makanannya. Memang manusia satu itu saja yang suka sekali cari masalah.

Bahkan urusan mandiku pun diurus olehnya. Pada suatu sore Mbokde We hendak menyalakan lampu rumah saudaranya. Ketika berangkat dia sudah melirikku dengan gayanya yang khas yaitu tatapan sinis dan bibir mencebik.

“Istirahat! Jahmit terus,” katanya dari jalan.

Aku hanya menjawab sekenanya. Ketika Mbokde We selesai menyalakan lampu lalu hendak pulang, dia kembali berhenti.

“Mandi ... mandi ... dandan ... jalan-jalan ... anak muda kok nggak pernah keluar rumah buat main, njahit terus,” katanya.

“Nanti juga mandi. Ya namanya penjahit ya njahit, masa nyangkul,” jawabku setengah emosi.

Entah Mbokde We mendengar atau tidak, aku tak peduli. Biar saja dia mau berkata apa. Semakin ke sini dia semakin menyebalkan. Memangnya mau mandi jam berapa, apa urusannya dengan dia? Kalau dandan pun aku tak harus laporan padanya kan? Apa mulutnya itu gatal kalau tidak mengomentari? Atau jangan-jangan jidatnya panas mengepul jika libur julid.

Lebih menghadehkan lagi saat bulan puasa. Malam itu aku pulang dari taddarus pukul 21.00 WIB. Pintu rumah masih terbuka. Tampak Nenek bercengkerama dengan seseorang. Aku sangat hafal dengan perawakan itu. Perasaanku menduga dia sedang dalam mode kalem, alias sedang ada maunya.

Setelah kuucapkan salam, Nenek dan Mbokde We menjawab lalu tersenyum. Kuletakkan peralatan salat di kamar.

“Mbokde mau njahitin celananya yang robek, Nduk,” kata Nenek.

“Iya, Nduk. Celana sudah lama, tapi masih bagus. Sayang kalau nggak dipakai. Makanya saya bawa ke sini,” kata Mbokde We halus sekali seperti aspal hitam yang baru jadi.

Kalau ada maunya, pasti bersikap manis. Kemarin yang mengatakan keluargaku panen siapa? Apa dia mendadak amnesia? Sungguh tidak tahu malu. Mengapa bisa meminta tolong kepadaku yang pernah dicacinya bermuka rusak? Andaikan tetanggaku itu tahu atau tempe, mungkin sudah kuremas-remas, kugoreng lalu kuberikan pada ayam.

***

Tahun 2019 ...

Keluargaku sudah pindah ke pekarangan rumah sendiri yang berada di bagian timur desa. Lebih dekat dengan rumah Mbokde We, hanya berjarak dua atap. Namun, Ibu masih ikut membantu jika warga bagian barat ada acara. Pada suatu malam, adikku bungsu ikut Ibu arisan, tetapi mengantuk saat acara belum selesai. Mbokde We dengan segudang keahlian nyinyir-nya langsung berkomentar.

Mencebikkan bibir. “Makanya kalau siang tidur, nggak usah main. Ibunya belum selesai bantu-bantu kok diajak pulang.”

Adikku bungsu kesal jika teringat peristiwa itu. Dia sampai tidak bersemangat jika dalam suatu acara bertemu dengan Mbokde We.

Pernah ketika suatu malam aku ikut menata mangkok untuk tempat bakso saat acara 1000 hari di rumah tetangga sebelah, Mbokde We seperti ingin menunjukkan keaktifannya dalam dunia rewang.

“Eh, ikut rewang, ya! Syukurlah ... Iya, ya, Nduk! Biar ikut kumpul sama tetangga bareng-bareng kayak gini,” katanya setengah sambil membungkuk tepat di hadapanku, seakan aku orang budek yang perlu diteriaki jika diajak bicara.

Lalu kenapa kalau aku ikut rewang? Seperti baru sekali saja melihatku  rewang. Toh, selama ini aku juga tidak pernah absen dari kegiatan karang taruna, kecuali saat sakit. Perkataan Mbokde We itu membuatku seolah-olah manusia yang tidak kenal sama sekali dengan rewang. Entah matanya yang bermasalah atau memang dia sumber dari segala sumber permasalahan dunia. Rasanya Bumi tidak akan aman jika makhluk sepertinya masih saja berkeliaran.

***

Tahun 2020 ...

Pada bulan Oktober, keluargaku mendapat bantuan bedah rumah. Ibu memutuskan meminta sokongan. Sokongan adalah bantuan berupa uang yang ditabung warga untuk Ibu dan uang tabungan Ibu untuk warga selama ini. Rumah yang sudah dibongkar tak bisa digunakan untuk menampung warga. Sokongan pun dilaksanakan di rumah Lik Imin—adik Ibu.

Makanan yang hendak diberikan pada warga adalah mi ayam Lik Imin. Gerobak jualannya ada di perempatan dekat pos ronda. Aku dan adikku yang pertama membawa sawi dan mi ke sana.

Tak pernah kusangka. Saat keluargaku dalam keadaan sedang ada acara pun, Mbak Gi masih sempat menggunjing Ibu di depan mata dan telingaku sendiri.

“Mak Ti, nggak disuruh bantuin, ya? Ini menunya apa? Mi ayam aja? Kalau habis makan boleh bungkus bawa pulang semangkok lagi nggak? Nanti kuahnya dingin, dong, kalau bawa dari sini jalan ke sana. Pasti nggak enak. Nanti aku di sini aja lah, ya. Biar anget kuahnya. Nanti tehnya dikirim ke sini, kan. Eh, itu orangnya jalan ke warung. Pasti mau cari receh buat kembalian,” kata Mbak Gi bisik-bisik pada ibu-ibu yang masih menunggu warga lain di pos ronda.

Padahal aku berada di hadapannya. Bisa-bisanya dia bicara seperti itu. Dasar keluarga pemangsa  makanan tetangga. Di mana saja urusan nomor satunya hanya makan.

Jadi ingat anaknya Mbak Gi yang ketiga. Waktu itu anaknya pernah datang ke rumah lalu bertanya makanan apa yang ada di dalam stoples. Itu adalah cengkaruk (nasi yang dijemur  sampai kering lalu digoreng). Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkannya. Anehnya aku menurut saja untuk menjawab. Kemudian dia berpamitan. Meninggalkan stoples yang isinya sudah tak seberapa.

Keterampilannya sungguh luar biasa. Benar-benar keluarga pemangsa makanan tetangga. Dari kejadian itu dapat kuambil hikmah bahwa sebaiknya harus memikirkan letak geografis yang tepat bila hendak menempatkan makanan. Demi mengantisipasi adanya guncangan kerusuhan tetangga yang datangnya tak terduga-duga.

***

Tahun 2021 ...

Urusan makanan, memang keluarga Mbokde We juaranya. Suatu sore dia datang ke rumah. Sesaat kemudian, pakdeku tiba. Sepertinya Ibu terlihat bingung mau menyajikan apa, mengingat Pakde lebih menyukai minum kopi hitam. Namun, bagaimana dengan Mbokde We? Akhirnya kulihat dua kopi hitam tersaji. Wajah perempuan tua itu tampak semringah karena disuguhi kopi. Tidak ingat saat dulu menyebut keluargaku sakit merepotkan tetangga dan mengatai wajahku rusak. Kurasa dia amnesia parah. Perlu dibenturkan ke Tembok Raksasa China.

Ibu ke dapur lalu kembali sambil membawa tahu. Hujan perlahan turun. Rasanya ingin mengusir Mbokde We agar cepat pulang. Enak saja dia makan tanpa tahu malu.

“Nggak punya makanan apa-apa, De. Cuma kolak,” kata Ibu yang muncul membawa makanan lagi.

Ibu meletakkan semangkok kolak di hadapan Pakde. Mbokde We tampak tersenyum ketika Ibu mendekat memberinya semangkok kolak. Aku yakin, Ibu terpaksa memberinya karena tidak enak jika Pakde diberi kolak, sementara Mbokde tidak. Lagi pula kuperhatikan sejak tadi dia tidak punya urusan apa pun yang ingin disampaikan pada Ibu. Kenapa tidak kunjung pulang?

Menurut pengamatanku, selain dia menganut sekte membuat kesal orang lain dan tidak merasa perbuatannya keliru, Mbokde We juga termasuk makhluk berbahaya yang harus dijauhkan dari jangkauan anak-anak serta tetangga dekat.

Bukan sekali dua kali keluarga Mbokde We berulah. Menurun dari kepiawaian ibunya, Mbak Gi pernah mengomentari sepeda yang kupakai.

“Mulangin jahitan, ya. Pakai motor gitu, lho. Capek tau kalau pakai sepeda,” katanya.

“Nggak bisa pakai motor dan nggak capek, Mbak,” kataku.

“Ya belajar dong.”

Memangnya kenapa kalau aku pakai sepeda? Toh yang mengayuh kakiku. Dia dirugikan sebelah mana kalau aku memakai sepeda? Memangnya belajar motor cukup semenit dua menit? Mau pakai apa pun ya suka-suka kakiku, bukan? Ruwet sekali dia. Orang tidak bisa naik motor disuruh naik motor.

Sama halnya dengan urusan pasangan hidup. Itu juga urusanku. Namun, bukan Ibu Mbak Gi namanya jika tidak ikut campur mengomentari. Sif—sepupuku, yang memberitahu. Ketika itu Mak Ti sedang menggelar hajat. Sif rewang di hari pertama saat proses goreng-goreng. Aku ikut membantu hanya di hari kedua saat pemotongan kambing.

“Kemarin Mbokde We itu masa bilang begini. Si Put kalau dulu mau sama Te pasti sekarang sudah di Flores. Meskipun pemabuk, ya, nggak apa-apa, tapi kan pintar cari duit. Nanti juga berhenti mabuknya. Orang kok sukanya milih-milih. Dipilih orang kaya nggak mau. Aku bilang gini, nanti juga ketemu jodohnya, De,” kata Sifa.

“Lha, kan Te sudah nikah. Kenapa juga dia masih bahas?” heranku.

Kurasa hidup Mbokde We kelewat longgar sampai masih sempat mengurusi urusanku mau memilih pasangan hidup yang mana. Pemabuk tidak apa-apa dia bilang? Jika mau kenapa tidak dia saja sana yang menawarkan diri jadi pendampingnya Te. Siapa yang menjamin bahwa Te akan berhenti mabuk?

Lihat saja nanti. Akan kujadikan mulutnya yang astaghfirulloh itu menjadi sebuah tulisan lalu kujual, dengan begitu keuntungan kan kudapat. Jika terjual, lumayan. Dia yang lelah bicara, aku berkarya gembira ria.

***

Tahun 2022 ...

Akhir bulan Januari, aku mengirim cerpen untuk diseleksi dalam event hari jadi JWS Publishing yang ke-4. Kuselipkan perkataan Mbokde We yang tak bisa kulupakan itu. Bukan karena pendendam. Namun, sayang saja jika aku hanya berlarut dalam perkataan negatifnya. Lebih baik kuubah mulut tetangga menjadi karya.

Tak kusangka cerpen dari mulut Mbokde We lolos seleksi bersama 12 peserta lainnya. Walau buku yang kujual baru laku sedikit, tetapi aku senang. Setidaknya aku tidak melulu terbelenggu oleh perkataan buruknya. Daripada hanya kesal teringat perilakunya, biar kuabadikan saja mulutnya lewat tulisan. Hitung-hitung dapat untung.

Bulan Juli. Ada pengumuman kuis dari JWS Publishing. Kuis promo buku antologi seleksi kemarin. Dalam tulisan promo itu, kuselipkan bagaimana cara menghadapi tetangga yang bentukannya seperti Mbokde We. Namaku ikut keluar sebagai pemenang dan dapat hadiah E-wallet. Hadiah itu kutitipkan pada Mbak Ajeng selaku pemilik penerbitan, nantinya akan kubelikan buku agar awet. Senang rasanya, Mbokde We yang cewewet kalau kata Rara, bisa membuatku dapat duit buat tambah-tambah beli buku.

Rupanya Mbokde We belum berubah juga, saudara-saudara. Adikku yang dulu masih digendong, sampai sekarang sudah gendong anak, tetap jadi bahan komentarnya. Aku curiga. Jangan-jangan Mbokde We punya cita-cita menjadi juri tetapi tidak kesampaian. Malang sekali nasibnya jika kecurigaanku benar terbukti.

Pagi itu aku sedang menemani Adik di ruang tamu. Kami fokus bercanda pada anaknya. Tiba-tiba Mbokde We datang dan hanya berdiri di luar lengkap dengan bibir mencebiknya.

“De,” sapaku sambil mengangguk.

Mbokde We diam tak berekspresi. Aku kembali bercanda dengan keponakanku. Mbokde We lenyap dari pandangan.

Tak disangka, peristiwa pagi itu membuat heboh seantero desa. Sepulang dari kenduri ibu-ibu, Ibu mendekatiku.

“Tadi kata Mbokde We, ‘anakmu bagus banget, ya, lihat orang yang lebih tua nggak mau tegur sapa’. Apa itu benar? Tadi ngomong begitu pas banyak orang kenduri,” tanya Ibu.

“Gimana-gimana? Nggak mau tegur sapa? Aku nyapa, Bu. Kalau dia nggak dengar, ya, itu urusannya sama kupingnya sendiri. Segala dibahas di tempat kenduri, biar terkesan aku sama Adik nggak tau sopan santun, gitu? Benar-benar itu orang. Maunya apa? Mau bilang kalau adikku nggak tau balas budi karena dirawat pas habis lahir? Bu, memangnya berapa lama dia ikut merawat?” Aku hilang kendali teriak-teriak sambil menggebrak meja jahit.

“Cuma sehari.”

Hanya sehari saja dibahasnya sampai puluhan tahun? Sungguh membagongkan. Ibu yang melahirkan tidak pernah sampai sebegitunya. Lama-lama ingin kuberi piagam penghargaan atas kejuaraannya membuat kesal tetangga.

Belum selesai aku emosi, beberapa hari berikutnya Ibu dibisiki oleh Mbah Kiyem. Lagi-lagi soal tetua keluarga pemangsa makanan tetangga itu. Mbokde We mengatakan pada Mbah Kiyem bahwa aku dan adikku sekarang sombong.

“Sombong gimana maksudnya? Ini pasti gara-gara dia mengira aku nggak nyapa pagi itu,” kataku merespons cerita yang disampaikan Ibu.

Orang itu ada masalah apa, ya, di hidupnya? Hanya gara-gara menyangka aku tidak tegur sapa, sampai mengatakan orang sombong segala. Oke, baik. Bicara saja terus. Nanti misalkan mulutnya pegal-pegal, dia sendiri yang akan pusing cari tukang pijit.

Buntut telinganya yang tidak mendengar tapi malah menyalahkan aku tidak menegur sapa itu, Mbokde We senewen saat Ibu meminta tolong cucunya untuk diantar menjenguk saudara yang sakit.

“Kenapa nggak nyuruh anak-anakmu yang bagus akhlaknya itu? Begitu tadi kata Mbokde We, Put. Padahal kalau minta tolong cucunya, Ibu selalu kasih upah,” kata Ibu.

“Ibu, ini yang terakhir, ya. Jangan ada lagi urusan sama keluarga mereka.”

Ternyata bukan hanya aku yang dianggap tidak mau tegur sapa. Kata Ibu, Mbak Sar juga pernah mengalaminya. Ibu Mbak Sar bercerita pada Ibu bahwa anaknya disangka Mbokde We tidak punya tata krama karena tidak mau menyapa tetangga. Ketika Mbak Sar mengatakan dia sering menyapa, tetapi perempuan tua itu yang tidak mendengar, Ibu Mbak Sar heran. Saat Ibu Mbak Sar memberitahu apa yang terjadi sebenarnya, Mbokde We berkilah kupingnya masih oke, tidak mungkin tidak mendengar jika disapa.

Jadi ingat Na—tetanggaku depan rumah. Dia juga pernah mengeluhkan soal mulut Mbokde We yang ruwetnya sepanjang gerbong kereta. Na pernah dikatai kurang makan sehingga tubuh anaknya kecil. Anaknya juga dinilai kurang minum ASI lantaran buah dadanya dihujat kecil tak berisi.

“Lha, dia pikir anakmu bisa sampai segede ini yang nyusuin, siapa? Ada-ada aja itu orang. Ya iya ngatain orang lain kurang makan, lha dia kan banyak kalau makan. Makan makanan punya tetangga maksudnya,” kataku waktu itu.

Tak habis pikir lagi. Bahkan ukuran badan dan ASI pun dikomentarinya. Terkadang melintas di pikiranku, membayangkan bagaimana jika suatu hari Mbokde We mendapat balasan karena perbuatannya selama ini. Teringat peribahasa yang berbunyi, satu orang makan nangka, semua kena getahnya. Aku khawatir jika anak dan cucu-cucunya yang akan ikut terkena imbas atas perilakunya.

Akhir September, tersiar kabar Mbak Gi sakit dan di rawat inap. Dokter mengatakan penyakitnya sudah fatal. Bakteri dalam tubuhnya telah menyebar ke seluruh tubuh karena menumpuk bertahun-tahun. Tidak ada penanganan lain selain dirawat intensif. Mak Ti yang mendampingi perawatannya menyimpulkan barangkali bakteri itu bersumber dari kuku jempol kaki Mbak Gi yang berlubang. Pasalnya lubang itu membaik setelah tubuhnya dialiri cairan infus. Orang-orang berdatangan menjenguknya.

Lalu pada tanggal 20 bulan Oktober, suami Mbak Gi dilarikan ke rumah sakit malam-malam. Setelah saling berkabar pada Mak Ti, ternyata jantung Mas Siswo mengalami penyumbatan. Entah ini balasan atau apa. Jika tangan Tuhan sudah bekerja, tidak ada yang bisa menolak. Hanya selisih dua puluh hari setelah Mbak Gi dirawat, kini suaminya yang sakit parah.

“Iya, ya. Kalau lagi ada cobaan, ya, ada aja,” kata Ibu.

“Waktu itu Mbak Gi, sekarang Mas Siswo. Kira-kira Mbokde We ingat pas dulu ngatain keluarga kita nggak, ya, Bu? Makanya jadi orang jangan ngomong seenaknya ke orang sakit. Jadi anak sama menantunya yang kena imbas,” kataku.

Semoga saja kejadian ini bisa membuat Mbokde We segera sadar. Namun, kenapa tidak perempuan tua itu saja yang sakit? Bukankah dia yang mencaci keluargaku panen karena sakit berurutan? Ya Allah, ampunilah mulutku ini. Hamba khilaf.

Perkataan Mbokde pada tahun 2018 kembali terbayang di benakku. Ternyata selain baju yang butuh dicuci, badan butuh mandi, lisan juga harus dijaga kebersihannya.

***

Ada suka dukanya bertetangga dengan manusia-manusia ruwet. Bisa dijadikan cerpen dan menambah luas  kesabaran, itu sukanya. Dukanya, harus harap maklum jika dia sedang cari masalah. Apalagi anak dan cucunya mewarisi ilmunya itu. Seperti saat Mbak Gi tiba-tiba datang meminta pijit di pagi hari ini.

Tidak ingatkah dia saat dulu mengomentari Ibu tepat di hadapanku? Berani-beraninya sekarang minta tolong ke sini. Aku dan Ibu masih sibuk memotong uwi. Lalu aku bangkit menuju kamar mandi untuk membilas baju yang kucuci kemarin.

“Uwinya direndam dulu aja, Yu,” kata Mbak Gi.

Ibu mencuci uwi berkali-kali hingga bersih. Kemudian pura-pura menyibukkan diri. Mbak Gi pindah duduk di emperan, memandangiku menggotong ember. Aku masuk ke rumah mencari gantungan baju.

“Anakku tadi minta jamu, tapi jahenya di kebun baru tumbuh, pakai serai aja kali ya,” ujar Ibu lalu keluar mencari serai.

Tak lama aku kembali ke dalam rumah, Ibu juga. Kami membahas apa saja yang tidak penting-penting. Ibu mengintip keluar. Mbak Gi sudah tidak ada. Hiburan gratis. Wkwkwk.

Meminta tolong pada tetangga boleh-boleh saja, tapi jangan sampai tidak tahu malu juga. Jadi tetangga boleh, ruwet jangan. Jika kalian ditakdirkan bertetangga dengan manusia model-model seperti Mbokde We beserta anak cucunya, berhati-hatilah. Siapkan sarapan yang sehat setiap hari agar kuat menghadapinya. Tulis biar perkataan negatifnya tidak menumpuk jadi racun.

Surakarta, 17 November 2022

--Cerita ini diambil dari kisah nyata penulis yang bertetangga dengan keluarga pemangsa makanan tetangga dan mulut nyinyir yang selebar lapangan bola. Nama tokoh disamarkan demi kesejahteraan bersama dan takut si tetangga minta jatah kalau penulis menang.:)--

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi