Disukai
6
Dilihat
3,111
History of A City
Religi

Aku rasa tidak semua orang bisa belajar tentang arti hidup. Aku cukup heran juga. Bagaimana mungkin orang bisa sulit untuk memaknai hidup padahal mereka hidup! Kita hidup, ya, kan? Jika bisa, akankah ingat kapan persisnya ketika hidup terasa benar-benar bermakna? Aku sendiri mengingatnya—sangat mengingatnya. Persis setelah aku melarikan diri dari kejaran Manaf Si Tukang Roti ketika masih berusia aku sepuluh tahun.

“Tikus keparat! Jangan lari!” begitu teriak Manaf sambil menyeret badan gemuknya seraya melambai-lambaikan pengocok adonan. Aku sempat berhenti berlari sekedar menggoda sekaligus menantangnya, dan aku yakin dia tidak melihat senyum nakalku di balik kain rombeng yang menutupi setengah wajahku.

Memang aku masih bocah, tapi aku cukup tangkas dan cekatan. Dalam waktu singkat aku bisa meloloskan diri bersama sekotak besar kue panggang berhiaskan gula-gula warna-warni yang konon pesanan Pak Gubernur. Aku berlari memasuki bagian kumuh kota, menelusuri gang-gang sempit nan lembab bak labirin yang terbentuk oleh bangunan-bangunan tak teratur yang kian bertumpuk dan berdesak-desakan. Hasil dari apa yang mereka bilang peradaban….

 Aku tahu kemana tujuanku. Labirin itu sudah menjadi lapangan bermainku! Aku tuju gudang tua di dekat pelabuhan yang sudah aku jadikan markas bersama teman-temanku. 

Tapi tentu saja, di kota ini banyak hal yang tidak diduga. Ketika aku mendekati markas kami, sudah terbayang kami akan berpesta kue manis persembahan Pak Gubernur, tapi aku berhenti mendekat ketika aku dengar keributan; suara peluit dan teriakan yang silih berganti dan tumpang tindih. Dengan menyelinap naik ke atap sebuah gudang pelabuhan, aku melihat markas kami tengah dikunjungi berpuluh-puluh penjaga pelabuhan bersenjatakan pentungan dan peluit. Mereka datang bukan karena kue Gubernur yang aku curi, aku bisa yakinkan kamu soal itu, karena beberapa hari kemudian gudang ...

Baca cerita ini lebih lanjut?
Rp1.000
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@nimasrassa
Bener, Teh. Kalo Ratatouille mah jatohnya menggemaskan dan menggiurkan 😄🤭
@foggy81 nah iya. Dari tadi teteh juga mau ngomong itu, jadi inget Ratatoullie, tapi ini versi politiknya 🤭😂
@foggy81 : Karena tikus lapar. 🤭😂
Baru baca! Ini cerita relate sekali dengan kondisi sebuah agresi apartheid.
Seperti biasa, deskripsimu selalu rapi dan seru, brader. Simbolisasinya juga cerdas, tapi membumi dan nggak menggurui.
Classy, khas dirimu.
(Tapi kenapa tadi ujug-ujug inget sama Ratatouille, ya? 🤭)
@nimasrassa : Hehhe, tenkyu, teh. 😄
Seperti biasa butuh konsentrasi yang kuat tiap kali membaca tulisan Kang Donny. Apik dan penuh simbolisasi.
@semangat123 : Tenkyu 😄
Wah, cerpennya menarik. 👍💞
@nadyawijanarko : Masih mentah. Belum baca lagi. Ternyata banyak off. 😅
Rekomendasi dari Religi
Rekomendasi