Kesal! Kesal! Kesal!
Coba bayangkan! Kamu sudah bekerja keras, tapi orang lain yang dapat kredit. Mending kalau orangnya memang lebih hebat dari aku; pegang word saja nggak bisa! Sombongnya bukan main! Sok pernah umroh tapi menghina orang seenaknya.
"Kamu belum umroh? Umroh dong, masa nggak bisa nabung. Oh iya ya, kau kan masih 3b, ya. Aku sih udah 3c. Beda level."
Bah! 3c dari mana? PTK aja pasti dapat nyolong! Nggak layak!
"Sudah, sudah," suamiku tersenyum menanggapi kembang kempis hidungku yang siap mengeluarkan api.
Aku menatapnya. "Kamu tahu tadi dia bilang apa?"
Suamiku mengangkat alis, menantangku mengatakannya.
"Dia bilang, 'Belajar nyetir, dong. Nih, nyetir mah modalnya cuma berani! Kasihan suami lo! Jemput lo tiap hari. Emang dia nggak kerja apa!"
Suamiku malah tersenyum makin lebar. "Hm, bagaimana kalau aku pegangi dia, terus kamu yang pukuli dia?"
Aku menatapnya tidak percaya. Ada elemen lucu dari perkataannya, tapi amarahku menyelubungi bak kabut beracun.
"Dengar, sayang. Kamu bisa saja berdoa supaya kebinasaan menimpa dia, tapi akankah sepadan?"
Aku rasakan rahangku mengeras saat keluar desah parau, "Ya, pasti."
Mendadak ponselku berbunyi. Dari seorang teman. Aku mengangkatnya.
"Lia, kamu sudah dengar? Bu Revi meninggal! Tabrakan!"
Kurasakan dadaku hampa secepat kibasan tangan. Dunia mendadak sunyi meski aku dengar suamiku bertanya. Tanganku kebas meski suamiku menuntunku untuk melayat. Seolah melayang meski tubuhku merapat punggung suamiku saat ia memacu sepeda motor.
"Akankah sepadan?"
Memang umur ada di tangan Tuhan, tapi layakkah terucap kebinasaan seberapapun kesalnya kita?
Ambulan meraung, membawa jenazah yang tak lagi sempurna, tapi samar di cakrawala perhatianku karena yang kulihat hanya suaminya yang berurai air mata sambil merangkul dua putri kecilnya yang menjerit, "Mama! Mama!"
Akankah sepadan?
Aku rasakan pundakku dirangkul. Suamiku tersenyum sedih.
"Maafkan aku...," desahku.
"Maafkan dia juga...."