Novel
Bronze
Genre → Religi
Kelana
Mulai membaca
Beli Sekarang
Digital Rp87,000
Telah selesai
Premium
Blurb
Kelana tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa hidup adalah sebuah perjuangan melepaskan diri dari keterbelakangan. Melepaskan diri dari kebodohan. Kelana Nurfajar Nusantara. Demikian ayahnya memberi nama dengan harapan, kelak setelah dewasa dapat hidup mandiri di atas kakinya sendiri. Ibunya menggadang-gadang agar kelak setelah besar dan dewasa bisa menjadi lelaki tangguh dan menjunjung tinggi prinsip kejujuran dalam bersikap.

Hidup seorang diri, di kota metropolitan, Jakarta terasa begitu berat bagi Kelana. Apalagi ia datang dari desa. Karenanya, ia hampir selalu saja menyembunyikan identitas diri. Ia berpikir dan senantiasa bertanya meski dalam hati, apakah memang sudah seperti ini watak manusia indonesia saat ini? Tidak lagi acuh dengan kesulitan orang lain. Tidak lagi peduli dengan perasaan orang. Tidak membuat nayaman orang lain untuk sekadar bercerita atau mengungkapkan jati dirinya, perasaan dan isi hati.

Setidaknya itulah perasaan inferioritas diri yang hidup terngiang di benaknya kini. Mungkin bukan karena keangkuhan. Tapi karena iklim kompetisi yang begitu membelenggu orang kota. Hidup sudah terlalu susah. Siapa sudi memikirkan orang lain. Boleh jadi begitulah cara berfikir orang kota. Kebanyakan. Wajar jika kehidupan sudah tak lagi seramah, tampaknya. Bahkan hanya untuk sekadar berdialog pun sudah tidak sempat. Apakah ini karena masing-masing kita telah menjadi manusia super sibuk. Layaknya mesin produksi yang ditentukan oleh mekanisme waktu, bekerja dan bekerja. Merobotkan diri hingga seolah segalanya sudah dikendalaikan oleh mesin. Tinggal pencet tombol lalu bergerak dan tak berhenti, jika tidak dihentikan oleh sang majikan.

Manusia-manusia sudah semakin terkotak-kotak. Masing-masing seperti membangun dunianya sendiri-sendiri. Lalu membangun pagar dan tembok tak kasat mata agar orang lain, tidak bisa masuk dan mengganggu daerah dan ruang yang ia ciptakan untuk kelompoknya sendiri. Untuk dunia kotaknya sendiri.

Sudah sedemikian kakukah perilaku manusia di kota ini. Hingga relasi-relasi antar manusianya selalu saja dan harus selalu dihubungkan atas dasar konsep untung dan rugi.

Hidup seolah demi melayani dan memenuhi naluri kapitalistik. Atau setidaknya sesuai selera kapitalistik. Selera pasar yang harus serba untung. Hubungan kekerabatan yang juga sudah mulai luntur. Kita akan benar-benar bisa bertemu dan berbicara jika masing-masing membawa paket yang akan diniagakan. Layaknya barang komoditi. Diri kita juga harus tampil secantik mungkin. Sebab jika tidak, maka kita tidak akan bisa menarik orang lain, untuk sudi berinteraksi dengan kita.

Lalu, apakah ini juga bagian dari kepribadian kita. Manusia Indonesia? Kelana, semakin saja menerocos, berkata dan menggerutu sekenanya, tetapi hanya untuk konsumsi sendiri, hanya untuk disimpan di relung hati. Perjalanan hidupnya seolah perjalanan bagaimana mengindonesiakan diri. Berangkat dari sebuah desa yang entah, apakah ada di peta atau tidak. Ia terus berjalan menyusuri jalan setapak, kebun dan ladang, hingga keramaian terminal bagai mengurai takdir keindonesiaan dirinya yang belum tahu di mana ujungnya.
Tokoh Utama
Kelana
Sugeng
Bibi Halimah
#1
Prolog
#2
Sebuah Tanya Tentang Indonesia
#3
Di Bawah Lengkung Kubah MasjidMu
#4
Memori Subuh: Muammar ZA dan Penjual Roti Keliling
#5
Ha Anada..., Inilah Saya
#6
Bukan lagi Pesantren Tapi ...
#7
Rute-rute Kesedihan
#8
Menjadi Petani sejak Usia 11 Tahun
#9
Man Jadda Wa Jadda: Menjadi Photografer Keliling
#10
Potret Warga Pendatang - Transmigran
#11
Identitas Kultural yang Terkoyak
#12
Hari Nahas di Terminal Bayangan
#13
Mengenang Adegan Salat di Desa Kelahiran
#14
Obrolan Siang yang Tidak Tuntas
#15
Tidak Usah Jadi Pegawai Negeri
#16
Hujan Deras di Sore Hari
#17
Menapak Tilas Jejak Ritual Mandi Bersama
#18
Memori di Tanah Kelahiran
#19
Jalan Lain Menuju Roma
#20
Ada Ritual Cium Tangan di Sana
#21
Ayat-ayat Rezeki dan Joging Bareng Presiden
#22
Wasiat dan Pesan Ayah
#23
Syekh Abdul Qadir al-Jaylani
#24
Saatnya Menyongsong Takdir
#25
Membahterakan Hidup
#26
Berkumpul dengan Orang-orang Shaleh
#27
Ijtihad Pribadi
#28
Kisah Seekor Kepompong
#29
Azan Terakhir sebelum Hijrah
#30
Siap Mengurai Takdir - Menjemput Impian
#31
Perjalanan Mengindonesiakan Diri (Bagian Kedua)
#32
Pelajaran Pertama Menjadi Karyawan
#33
Gali Lubang Tutup Lubang
#34
Denyut Nadi Rakyat Kecil di Jakarta
#35
Sekali Merantau Harus Bawa Hasil, Jika Tidak. . .
#36
Membuang Ego, Mencari Teman
#37
Jangan Biarkan Orang Lain Mencuri Impianmu
#38
Idul Fitri Menjelang, Surat Pertama Datang
#39
Puasa Pertama di Jakarta
#40
Sensasi di Malam Laylatul Qadar
#41
Indonesia yang Kurasa
#42
Hari Raya Idul Fitri
#43
Reuni - Transit sebelum Kembali ke Jakarta
#44
De Javu - Perjalanan Menuju Jakarta
#45
Mantera untuk Berhasil
#46
Saatnya Mengejar Mimpi
#47
Melihat Kampus Impian
#48
Beralih ke Takdir Lain yang Lebih Baik
#49
Sisi Lain Indonesia, Gotong Royong
#50
Mengenal Dunia Mahasiswa
#51
Penataran P4, Membumikan Nilai Pancasila
#52
Debat tentang Pancasila
#53
Status Baru (Bagian Ketiga)
#54
Ribuan Kilo Jalan yang Kutempuh (Iwan Fals)
#55
Fokus pada Titik Sukses Impian Kita
#56
Alhamdulillah, Ya Allah...
#57
Kuliah Sambil Kerja, Langganan Telat
#58
Kampus Biru, Kampus Pembaharu
#59
Cinta pun Bersemi di Tubuh HMI
#60
Cerita Tentang Deswita
#61
Menjaga Harmoni di Asrama Karyawan Kosipa
#62
Sepetak Ladang Miliknya pun Terjual
#63
Protes dari Deswita
#64
Kritik untuk Almamater Kedua
#65
Menjalankan Bisnis Mudarabah
#66
Kehilangan Hak dan Kesempatan Belajar
#67
Dan Air Mata Ibu pun Jatuh
#68
Beratnya Bisnis Tempe dan Sembako
#69
Khabar dari Deswita
#70
Tangis untuk Deswita
#71
Kembali ke Kampus - Mengasah Kepekaan Rasa
#72
Politik Cinta - Aksi Putih Pemilu 1997
#73
Cinta Berlabuh di Forum Diskusi
#74
Sepucuk Surat Kembali Datang
#75
Si Boy yang Malang ...
#76
Krismon Mengimbas Usaha Kelana
#77
Teater Kolosal - Film Besar
#78
Mei Berdarah - Indonesia Warna Bara
#79
Duka Ada di Mana-mana
#80
Kembali ke Kampus
#81
Kontribusi untuk Senat Mahasiswa IAIN Jakarta
#82
Harummu Abadi di Hatiku ...
#83
Ingat pada Teguran Tuhan...
#84
Menertawakan Diri Sendiri
#85
Perempuan yang Dia Puja...
#86
Perempuan Salehah Itu ...
#87
Kucari Engkau hingga ke Ujung Sepi
Kamu harus masuk terlebih dahulu untuk mengirimkan ulasan, Masuk
Belum ada Ulasan
Disukai
31
Dibaca
13.9k
Tentang Penulis
ahmad kholil | @KholilAhmad
Banyak hal dan rencana ingin dikerjakan. Termasuk tentang apa yang ingin ditulis. Hal yang sering menyabotase rencana kita adalah karena keengganan untuk memulai. Di sini barangkali beda antara para penulis dan mereka yang ingin menjadi penulis. Jadi, sangat bijak nasihat para profesional itu, "nulislah dari hal yang terdekat dengan dirimu."
Bergabung sejak 2020-08-31
Telah diikuti oleh 16 pengguna
Sudah memublikasikan 3 karya
Menulis lebih dari 167,264 kata
Rekomendasi dari Religi
Rekomendasi