Disukai
2
Dilihat
1275
My Precious Boss
Slice of Life

"Rin." Pak Reiga menumpu kedua tangan di meja dan memajukan badan.

Aku yang semula duduk bersandar, ikut mencondongkan badan ke depan karena sepertinya pembahasan Pak Reiga bukan hal sepele. Tujuanku menemui Pak Reiga di ruangannya memang untuk berbincang serius, tetapi obrolan kami malah melantur ke mana-mana. 

"Kalau ada cowok sok ganteng, kamu harus lari yang jauh. Jangan gampang luluh." Pak Reiga berujar dengan raut wajah serius. 

Aku tercengang. Entah apa saja yang ada dalam pikiran Pak Reiga. Dia tidak pernah kehabisan topik pembicaraan. Apalagi kalau bertemu lawan mengobrol yang sepadan. Namun, peralihan pembahasan dari motif dan warna marmer yang cocok untuk perumahan bergaya minimalis, lalu tiba-tiba membahas cowok sok ganteng, terlalu mengejutkan. 

"Ingat kata-kata saya, ya, Rin. Cowok sok ganteng itu kebanyakan buaya. Janji doang manis, tapi enggak bisa dipercaya." Pak Reiga mengakhiri ucapannya dengan mengisap pod rokok elektrik. 

Berarti saya harus lari menjauh dari Bapak juga dong, debatku dalam hati karena beberapa janji yang pernah diucapkan Pak Reiga belum terlihat hilalnya kapan akan terwujud. 

Laki-laki bernama Reiga Pratama yang saat ini duduk di kursi seberang adalah atasanku. Di usianya yang tidak lagi muda, dia masih terlihat menarik dipandang mata. Visual memang relatif, tergantung dari selera orang yang melihat. Namun, aku tidak jarang mendapati beberapa klien perempuan memandangi Pak Reiga dengan cara berbeda saat sedang berbincang. 

Meskipun aku tuna asmara sejak masa SMA, bukan berarti tidak bisa membedakan mana pandangan biasa dan mana yang memang dibumbui rasa. Ditambah lagi, gestur-gestur mereka jelas menunjukkan ketertarikan. 

Pak Reiga memiliki wajah oriental dan kulit putih bersih. Aku saja sering kali minder setiap harus berdampingan dengannya karena kulitku lebih gelap. Kami terlihat seperti awan cerah dan langit gulita saat bersama. Atau serupa cairan vanila dan ampas kopi di dasar gelas. 

"Pokoknya kalau ada cowok naksir kamu, kenalin ke saya dulu. Biar saya yang seleksi." Pak Reiga kembali berucap meskipun aku tidak menanggapi kalimat sebelumnya sama sekali. 

Aku menghela napas jenuh, lalu kembali menarik diri dan menyandarkan punggung. Ingin protes bahwa Pak Reiga tidak memiliki hak apa-apa atas hidup pribadiku, tetapi aku malas. 

Meja kayu besar dengan beberapa tumpuk berkas menghalangi jarak kami. Layar komputer di meja kecil sebelah kiri Pak Reiga memantulkan cahaya yang sedikit menerangi ruangan. Mataku menatap area T pada wajah laki-laki itu. 

"Jangan sembarangan cari suami. Nikah itu seumur hidup cukup satu kali," imbuh Pak Reiga, keseriusan masih terpancar pada tatapan lembutnya. 

Andai saja ini cerita fiksi bergenre romansa, para pembaca pasti mengharapkan akhir yang indah di mana aku dan Pak Reiga bisa menjadi pasangan ideal penuh cinta. Sayangnya, kisah ini nyata dan genre yang kami lakoni adalah drama dengan secuil bumbu komedi yang hanya bisa ditertawakan olehku sendiri. Mustahil ada asmara di antara kami berdua. 

Tujuh tahun yang lalu aku pertama kali bertemu Pak Reiga dan menjalani sesi wawancara. Dia langsung memintaku bekerja pada hari berikutnya, padahal waktu itu hanya mengantongi ijazah SMA. Aku masih berstatus mahasiswi semester enam yang keluar dari kantor lama dengan dalih fokus menyelesaikan skripsi. Tentu saja itu kamuflase karena aku tidak sanggup berkata jujur perihal gaji yang sangat jauh dari kata cukup untuk menyambung hidup. Boro-boro menabung, gajiku lebih sering tersisa sebagai saldo endapan yang tidak bisa ditarik. 

Banyak alasan yang membuatku berani menjamin tidak akan ada hubungan romansa di antara kami berdua. Usiaku dan Pak Reiga terpaut jarak sembilan tahun. Bukan masalah besar sebenarnya karena tidak ada aturan yang membatasi selisih umur dua insan untuk menjalin asmara. 

Akan tetapi, hubungan kami murni sebatas bos dan karyawan dengan asas kekeluargaan. Lagi pula, Pak Reiga sudah mempunyai seorang istri cantik dan putri menggemaskan berusia 12 tahun. Menurutku, kalau istrinya lahir di Korea pasti bisa debut menjadi salah satu anggota grup idola dan menempati posisi sebagai visual. Rugi besar kalau Pak Reiga sampai berpaling dari sang istri. 

Meskipun nama belakangnya Pratama, Pak Reiga bukan anak pertama. Dia bungsu dari dua bersaudara. Berbanding terbalik denganku yang merupakan sulung dari seorang adik perempuan. Fakta itu yang mungkin membuat aku dan Pak Reiga menjadi lebih akrab. 

Hubungan kami tidak seperti bos dan karyawan pada umumnya, melainkan sepasang adik kakak. Kadang kompak, kadang saling menjebak. Si bungsu yang ingin memiliki adik, sedangkan aku mendambakan seorang kakak. 

"Sebenarnya lebih enak enggak nikah, sih, Rin. Kamu bebas mau ke mana aja. Mau liburan ke sana-sini, enggak perlu izin dari suami. Mau haluin anggota boyband yang kamu suka itu, enggak bakal dimarahin. Teman-teman saya juga ada yang memilih enggak nikah sampai sekarang." Pak Reiga bersandar nyaman sambil memainkan pod di tangan. 

Aku masih membungkam bibir rapat-rapat. Bukan tidak tertarik dengan pembahasan tentang pernikahan, hanya enggan membicarakannya pada Pak Reiga. Sebagai perempuan yang usianya sudah cukup matang, aku ingin menikah. Apalagi melihat banyak teman seusiaku yang sekarang memiliki anak-anak lucu. Namun, rasa malas untuk mengenali dan beradaptasi dengan orang baru masih membuatku enggan membuka diri. 

"Rin. Ada yang mau kamu sampaikan ke saya?" Pak Reiga menelisik tatapanku.

Entah karena kami sudah terlalu lama bersama, entah memang Pak Reiga ada bakat cenayang. Dia seakan bisa membaca pikiranku. Kadang hanya dengan saling menatap saja, Pak Reiga mengerti maksud yang ingin kukatakan.

"Bapak enggak pulang? Ini udah mau Magrib, lho." Aku melirik langit gelap yang terlihat dari jendela di belakang Pak Reiga. "Anak-anak juga kayaknya udah pengin pulang, tapi enggak enak kalau duluan."

Yang kumaksud anak-anak adalah karyawan lain. Selain aku, ada tiga orang yang bekerja di kantor ini. Chandra dan Daus sudah berkeluarga meskipun usia mereka satu tahun lebih muda dariku, lalu Elok baru lulus kuliah. Secara usia maupun lamanya bekerja, aku dituakan oleh ketiga orang itu. Apalagi Pak Reiga menunjukku sebagai orang yang paling dipercaya. 

"Ya ampun! Keasyikan ngobrol jadi lupa waktu. Kok udah gelap, ya?" Pak Reiga mengemas pod dan mematikan layar komputernya.

Kalau sudah asyik mengobrol, Pak Reiga memang sering lupa waktu dan aku tidak enak hati menginterupsi meskipun tahu jam kerja sudah berakhir sejak 30 menit yang lalu. Aku yakin karyawan lain sudah risau ingin pulang sejak tadi, tetapi tidak ada yang berani mengetuk pintu untuk berpamitan lebih dulu. 

Ruangan Pak Reiga tampak gelap karena lampunya tidak dinyalakan. Dinding ruangan yang berada di lantai dua itu terbuat dari kaca tebal, sehingga cahaya matahari cukup menerangi pada siang hari. 

"Ayo pulang, Rin. Jangan lupa Senin kamu temani saya meeting di Kemang. Kita berangkat jam sembilan aja dari kantor, ya." Pak Reiga mengingatkan jadwal kami pekan depan. 

"Baik, Pak," jawabku singkat.

Aku sering kali diminta menemani Pak Reiga untuk menemui kolega. Pak Reiga terlalu baik hati dan sulit bernegosiasi menyangkut biaya, sedangkan wajah ketusku membuat klien menjadi sungkan untuk menawar harga.

Istri Pak Reiga bahkan pernah mengatakan kalau suaminya itu membutuhkan sosok judes sepertiku. Dia tidak masalah kami sering pergi bersama, selagi penghasilan selamat dari penawaran klien. Lagi pula, aku tidak ada niat dan bakat untuk menjadi perempuan penggoda yang merusak rumah tangga orang lain. 

"Sampai jumpa besok, Rin." Pak Reiga mendahuluiku membuka pintu dan keluar dari ruangannya. 

Kantor milik Pak Reiga berada di ruko berlantai dua. Lantai bawah untuk menerima tamu dan dapur pada bagian belakang, sedangkan lantai atas untuk karyawan bekerja, juga satu ruangan tertutup yang ditempati Pak Reiga. 

Tidak ada kubikel yang memisahkan tempat kerja para karyawan seperti di kantor-kantor pada umumnya. Dua meja karyawan ditempatkan di bagian kanan ruangan, dua lainnya pada bagian kiri. Jadi, masing-masing di antara kami berpasangan saling membelakangi. Pada bagian tengah ruangan, dibiarkan kosong sebagai akses Pak Reiga saat akan ke kamar mandi. 

Aku yang berjalan tepat di belakang Pak Reiga bisa melihat kelegaan pada raut wajah ketiga rekanku yang duduk di kursi masing-masing. Mereka pasti sudah jenuh dan ingin pulang ke rumah, lalu melepas penat bersama keluarga. 

Berbeda denganku yang tinggal sendirian sebagai perantau di rumah kontrakan tiga petak. Tidak ada yang menunggu kepulanganku, jadi aku bebas mau pulang jam berapa saja. 

"Lho, kalian belum pulang? Ayo pulang. Enggak usah terlalu rajin lembur. Nanti cepet kaya. Kasihan saya, enggak ada yang kerja di sini lagi." Pak Reiga berusaha melucu, lalu tertawa sendiri. 

Aku menghela lirih mendengar lawakan Pak Reiga. Sementara itu, ketiga rekanku menanggapi candaan bos kami dengan memaksakan tawa. Kasihan sekali mereka. 

"Saya pulang duluan, ya. Sampai jumpa besok. Terima kasih semuanya." Itu adalah kalimat pamungkas yang selalu Pak Reiga ucapkan saat akan meninggalkan kantor. 

***

Aku mencermati deretan angka pada lembar invois yang baru saja Elok berikan. Tugasnya memang membuat daftar tagihan dan segala hal berkaitan dengan angka, serta pembayaran, tetapi semua berkas harus melalui pemeriksaanku lebih dulu sebelum diserahkan kepada klien ataupun Pak Reiga. 

"Kamu yakin jumlahnya segini?" tanyaku pada Elok tanpa menoleh ke arahnya. 

"I–iya, Kak," jawab Elok dengan suara lirih dan gugup. 

Aku mengalihkan tatapan tepat pada mata bulat gadis itu. "Yakin? Enggak salah hitung?"

Elok meneguk ludah hanya karena ditatap olehku, seolah-olah aku adalah singa kelaparan yang akan menerkam dan melumat habis dagingnya. 

"Sa–ya hitung lagi, Kak." Elok buru-buru merebut kertas invois dari tanganku dan kembali ke mejanya. 

Hitungan Elok sudah kuperiksa dan tidak ada yang keliru. Aku hanya memancing rasa percaya dirinya karena gadis itu sering kali meragukan kemampuan sendiri. Mudah dibuat goyah. 

Getar ponsel di meja mengalihkan perhatianku dari Elok. Nama Pak Reiga muncul pada layar muka sebagai pemanggil. 

"Halo, Pak." Aku menyapa setelah menggeser ikon gagang telepon berwarna hijau. 

"Selamat pagi, Rin. Hari ini kalau saya enggak ke kantor, boleh?" Terdengar suara Pak Reiga menimpali. 

Pak Reiga selalu seperti itu. Apa pun alasannya. Entah sakit, entah ada urusan keluarga. Dia pasti menghubungiku kalau tidak bisa datang ke kantor. Bukan untuk memberi kabar, melainkan meminta izin, padahal Pak Reiga tidak perlu melakukannya. Kadang aku jadi merasa memiliki kuasa atas kantor tersebut. 

"Enggak boleh. Hari ini Bapak harus datang ke kantor," timpalku tegas. 

Biasanya aku masa bodoh Pak Reiga mau datang ke kantor atau tidak. Lagi pula, bukan aku yang menggajinya. Pak Reiga yang memberi gaji padaku dan karyawan lain. Namun, hari ini bosku berulang tahun dan aku sudah merencanakan sebuah kejutan. 

Sejujurnya aku bukan tipikal orang yang suka merayakan hari kelahiran. Bahkan aku tidak pernah menerima ucapan 'selamat ulang tahun' pada peringatan hari lahirku sendiri. Namun, sebagai rasa syukur atas kebaikan Pak Reiga selama ini, aku menginisiasi karyawan lain untuk memberi kejutan padanya. 

Kami sepakat membeli kue ulang tahun berukuran 20 kali 20 sentimeter. Aku tidak mau menjadi pahlawan dengan membayar kue itu sendirian. Kami berempat membagi rata harganya. Karyawan Pak Reiga bukan hanya aku. Apalagi dua tahun kemarin tidak ada perayaan apa pun. 

Kemarin sore aku memesan kue ulang tahun untuk dibuatkan hari ini. Chandra dan Daus sedang mengambilnya setelah aku mendapat pesan konfirmasi pengambilan beberapa saat lalu. 

"Baik, Rin. Saya otewe sekarang." Pak Reiga langsung menyetujui ucapanku tanpa menanyakan alasannya. 

"Nanti aja, Pak. Jam 12 sampai kantor. Jangan sekarang." Aku perlu menentukan jadwal kedatangan  Pak Reiga supaya rencana kami berjalan lancar. 

"Memang kenapa kalau sekarang, Rin?"

"Ya, udah. Terserah Bapak aja. Maaf, Pak, saya masih banyak kerjaan. Nanti ngobrolnya di kantor aja, ya, Pak," pamitku mengakhiri percakapan kami.

"Oke. Oke, Rin. Jam 12 nanti saya sampai kantor." Pak Reiga mengalah. 

Setelah panggilan itu terputus, aku kembali meletakkan ponsel di meja. Belum juga sempat membuka folder di komputer, ponselku bergetar lagi. Kali ini lebih pendek karena bukan panggilan yang masuk, melainkan pesan singkat dari Juwita. 

Tadi malam aku menghubungi temanku itu setelah hampir tiga bulan tidak saling berkomunikasi. Juwita bercerita tentang mantan pacar yang sekarang bertetangga dengannya. 

Baru tadi malam Juwita mengaku sudah move on, tetapi sekarang dia malah mengirimkan foto teranyar bersama sangat mantan. Aku memang meragukan pengakuannya semalam karena berbanding terbalik dengan apa yang ditunjukkan selama ini. Dia sering mengunggah status galau. 

Dari : Juju Bestie

Aku sama Alan setuju mau coba mulai lagi dari awal. 

Pesan itu Juwita sertakan pada foto yang dikirimkan. Aku bingung harus membalas seperti apa. Sejujurnya aku tidak mampu menuliskan kata-kata indah untuk menyemangati orang lain.

Sebut saja aku manusia paling egois di semesta. Aku hanya menunggu Juwita datang kepadaku untuk bercerita. Kalau dia lebih nyaman membagi apa yang sedang dirasakan melalui media sosial, aku tidak punya hak untuk merecoki urusan pribadinya meskipun kami berteman. Aku pikir semua orang membutuhkan ruang untuk dirinya sendiri.

Pak Reiga pernah mengatakan bahwa semakin dewasa, ruang lingkup pertemanan kita lebih kecil. Kuantitas bukan lagi menjadi kebanggaan, tetapi kualitas yang paling penting. 

"Kamu cukup punya satu teman, yang percaya sama kamu dan bisa dipercaya." Begitu kata Pak Reiga waktu itu. 

Aku hanya memiliki Juwita sebagai teman dekat. Entah dia menganggapku sama atau sebaliknya karena kami sangat jarang bertukar kabar. Aku tidak bisa memaksa seseorang untuk tetap tinggal di sisiku.

Kepada : Juju Bestie

Selamat, Juju. Aku doain semoga kalian segera nikah. Aku mau kondangan. 

Hanya kalimat itu yang terlintas di otak dan kukirimkan sebagai balasan setelah membaca ulang beberapa kali. 

Aku pernah melakukan kekeliruan ketika mengirimkan email kepada klien dan berujung salah informasi. Pak Reiga tidak memarahiku, tetapi aku merasa sangat bersalah. 

Selama tujuh tahun bekerja dengan Pak Reiga, aku tidak pernah melihatnya marah-marah terhadap karyawan. Namun, ketika berbuat salah, tetapi tidak dimarahi justru membuatku sangat menyesal dan sungkan. Jadi, sejak saat itu aku selalu membaca berulang-ulang kali sebelum mengirimkan sesuatu meskipun hanya sebuah pesan singkat. 

Pak Reiga memang bukan bos biasa. Bosku yang dulu tidak pernah ragu untuk memarahi karyawan. Entah di depan yang lain, entah ketika sendirian. Aku setuju karyawan yang melakukan kesalahan memang patut ditegur, tetapi seharusnya tidak dilakukan di depan umum. Cukup antara bos dan karyawan yang bersangkutan. Itu lebih manusiawi.

"Kak Sherin, kuenya udah ada di kulkas," ujar Daus mengagetkanku. 

Chandra mengibaskan tangan kanan di depan wajah. Napasnya terengah-engah. 

"Kuenya segede apa, sih, sampai ngos-ngosan gitu?" Aku menggeleng melihat tingkah Chandra yang memang suka mendramatisasi keadaan. 

"Enggak gede, sih, tapi di luar lagi panas banget," timpal Chandra sambil menyeka keringat di kening. 

Daus mengangkat kedua bahu dan menjatuhkannya dalam hitungan detik. Kami semua memaklumi tingkah laku Chandra yang seperti itu. Dia tidak manja, justru pekerja keras. Dia memang suka menghidupkan suasana kantor dengan drama. Bahkan ketika mengeluhkan tentang pekerjaan pun, seringnya Chandra hanya pura-pura. 

Aku mengirimkan pesan teks kepada Pak Reiga untuk menanyakan keberadaannya. 

Kepada: Precious Boss

Bapak jadi ke kantor kan? 

Tidak perlu menunggu lama, Pak Reiga selalu membalas pesan dariku dalam hitungan detik. 

Dari: Precious Boss

Jadi. Nanti saya ke kantor. 

Aku melirik penunjuk waktu pada sudut kanan layar monitor.

Kepada: Precious Boss

Berangkat sekarang aja, Pak. 

Jarak tempuh dari rumah Pak Reiga ke kantor membutuhkan kurang lebih sekitar 30 menit dengan mengendarai mobil. Jadi, Pak Reiga bisa sampai saat makan siang. Waktu yang tepat untuk memotong kue dan menikmatinya bersama. 

Dari: Precious Boss

Oke. Saya otw sekarang. 

"Us, lilinnya dapat juga, 'kan?" Aku menoleh pada Daus yang sedang membuat catatan daftar marmer. 

"Aman!" Daus menimpali sambil mengangkat jempol kanan. 

Masih ada waktu sekitar 30 menit sambil menunggu kedatangan Pak Reiga. Aku bisa memeriksa beberapa berkas perjanjian kerja sama. 

"Kak, ini udah bener." Elok mendekatiku dan menyerahkan kembali lembar invois yang tadi diteliti ulang. 

"Yakin?" Aku menaikkan alis kiri.

Elok mengangguk tanpa ragu. "Iya, yakin. Tadi udah aku hitung ulang pakai kalkulator sama HP. Excel juga."

"Oke. Kamu scan terus kirim email aja ke PT-nya." 

"Kak Sherin enggak cek dulu? Kalau ada yang salah, gimana?"

Aku menghela napas, lalu sengaja membuangnya keras-keras. Mataku melotot galak. Bukan bermaksud menakuti, itu reaksi alami. 

"Elok, kamu udah yakin sama hitungannya, 'kan?" Pertanyaanku dijawab anggukan oleh Elok. "Ya, udah. Aku percaya sama kamu."

Kalau aku memeriksa lagi, sama saja aku tidak memercayai kinerja Elok. Pak Reiga sering kali mengajariku untuk percaya pada kemampuan diri sendiri. Aku ingin Elok juga seperti itu. Apalagi dia sudah menghitung tiga kali menggunakan perangkat berbeda. 

"Oke, Kak. Aku kirim."

Menit berlalu membersamai aktivitas kami yang menyelesaikan tugas masing-masing. Aku melirik jam digital pada layar muka ponsel. Sebentar lagi Pak Reiga sampai di kantor. 

"Gaes, kita siap-siap, yuk!" ajakku untuk menyambut kedatangan Pak Reiga. 

Kami berempat bergegas turun. Daus mengeluarkan kue dari kulkas. Dua buah lilin dengan bentuk angka tiga dan tujuh ditancapkan di atas kue. 

"Koreknya mana?" tanyaku sambil menatap Daus dan Chandra bergantian. 

"Sebentar." Chandra meraba saku celana sendiri, lalu menemukan apa yang dicari. 

"Entar nyalainnya, kalau Pak Bos udah masuk," tegur Daus.

Chandra menurut. Namun, bertepatan dengan itu terdengar suara pintu dibuka, lalu disusul derap langkah menuju dapur. Kami bertiga serempak mengangguk dan Chandra sontak memantik korek gas.

Aku berdiri memegang kue dengan lilin yang menyala. Elok di sebelah kiri, Chandra dan Daus di samping kananku. 

"Selamat ulang tahun! Selamat ulang tahun!" Koor paduan suara dari kami berempat membuat Pak Reiga tersentak. 

"Wah! Saya kaget," ucapnya sambil mengelus dada. 

Nyanyian kami terhenti. Aku dan ketiga orang di sebelahku sama-sama diam. Pak Reiga masih tersenyum lebar, raut wajahnya menyiratkan kebahagiaan. 

"Aduh. Terima kasih banyak, lho." Sepasang mata Pak Reiga tampak berkaca-kaca. 

"Tiup lilinnya, Pak," ujarku. 

Pak Reiga mengangguk. "Semoga kantor kita semakin diberi keberkahan dan rezeki melimpah. Semoga kalian sehat terus dan bahagia selalu."

Kami kompak mengamini setiap kalimat yang Pak Reiga ucapkan. 

"Semoga Daus anaknya lahir dengan selamat. Semoga Chandra juga segera nyusul dapat momongan. Semoga Elok dinikahin pacarnya tahun ini," imbuh Pak Reiga. 

Aku menunggu harapan apa yang akan Pak Reiga panjatkan tentangku.

"Semoga Sherin bisa nonton konser Oppa tahun depan." Pak Reiga lantas meniup lilin di atas kue. 

Kenapa doa buatku beda banget, sih? Aku menyimpan gerutuan dalam hati. 

"Ayo kita makan kuenya," ajak Pak Reiga. 

Aku bersama Daus dan Chandra mengikuti Pak Reiga menuju ruang rapat, sedangkan Daus mengambil piring untuk makan. 

Pak Reiga duduk di kursi tengah. Aku di sebelah kanannya, berseberangan dengan Chandra. Elok duduk di sebelahku. Daus menyusul duduk berhadapan dengan Elok. 

"Kalian seharusnya enggak perlu repot-repot, lho."

"Enggak ada yang repot, Pak. Kami senang bisa merayakan ulang tahun Bapak lagi. Dua tahun kemarin kan enggak bisa kayak gini," timpalku. 

"Bener banget. Gara-gara si Coro, jadi susah mau ngapa-ngapain," timbrung Chandra. 

"Pokoknya terima kasih banyak kalian sudah perhatian sama saya." Pak Reiga berujar tulus, lalu menatapku. "Rin, nanti uang buat beli kuenya masukin ke rembes aja, ya."

Kami berempat sontak melongo mendengar kalimat Pak Reiga. 

***

Debas lirih terembus begitu saja dari hidungku yang tidak mancung. Pak Reiga tersenyum ramah menyapa para karyawan seperti yang biasa dilakukan olehnya. Aku melipat bibir ke dalam, sedikit kesal karena kemeja yang dikenakan Pak Reiga berwarna dusty pink. Sama persis dengan warna blus yang kupakai. Bahkan celana bahan kami juga sama-sama hitam meskipun modelnya berbeda. 

Ini bukan kali pertama aku dan Pak Reiga berpenampilan nyaris serupa. Mungkin ikatan batin di antara kami berdua memang sedahsyat itu, sehingga urusan selera pun menjadi sama. Bedanya, barang-barang Pak Reiga bermerek, sedangkan milikku tidak. Aku sudah cukup nyaman mengenakan pakaian dengan harga seratus ribu dapat dua atau tiga potong.

Kalau kembaran begini, nanti dikira orang partai mau kampanye, dong. Aku mengeluh dalam hati, tetapi tidak bisa melakukan apa pun. 

Rumahku lumayan jauh dari kantor. Tidak ada waktu untuk berganti pakaian. Mustahil juga kalau aku menggerutu pada Pak Reiga dan memintanya mengganti kemeja hanya karena kami terlihat seperti bocah kembar. 

"Kita berangkat sekarang, Rin?" Pak Reiga sengaja ke atas hanya untuk memanggilku. 

Aku mengangguk dan menenteng tas hijau tua berisi perjanjian kerja sama yang akan disepakati hari ini. Aku berjalan di belakang Pak Reiga menuruni anak tangga. Tiba-tiba Pak Reiga berhenti setelah kami berada di lantai satu dan membuatku terkejut. Untung saja aku refleks menghentikan langkah, jadi tidak sampai menabraknya. 

Sekali lagi, ini bukan kisah romansa. Tidak akan ada adegan romantis di antara kami berdua. 

Pak Reiga berbalik. "Sini, saya aja yang bawa tasnya," pintanya seraya merebut tas dari genggamanku. 

"Enggak perlu, Pak. Saya aja." Aku menolak dan mempertahankan tas itu agar tidak berpindah ke tangan Pak Reiga. 

"Udah, jangan ngeyel. Kamu harus banyak makan es krim dulu, biar badannya berisi. Baru boleh bawa-bawa yang berat kayak gini." Pak Reiga bersikeras mengambil alih tas itu. 

Aku hanya bisa pasrah dan membiarkan Pak Reiga membawa tas itu. Dia kembali berjalan mendahului dan membukakan pintu ruko. Aku sempat bergeming, tetapi Pak Reiga memberi issyarat padaku untuk segera keluar. 

Bos mana yang mau bersikap sebaik itu pada karyawannya? 

Membawakan tas dan menahan pintu biasanya dilakukan oleh karyawan terhadap bos. Namun, Pak Reiga membalik keadaan.

"Bapak nyetir sendiri?" tanyaku karena tidak melihat keberadaan sopir yang biasa mengantar kami. 

"Iya, Rin. Pak Akbar lagi cuti. Hari ini anaknya ulang tahun," balas Pak Reiga sambil membuka pintu mobil pada bagian pengemudi. 

Aku bergegas memasuki mobil dan duduk pada kursi penumpang di sebelah kiri Pak Reiga. Biasanya aku duduk di belakang saat diantar sopir. Namun, kalau melakukan itu sekarang, aku merasa kurang sopan. 

Denting notifikasi pesan masuk di ponsel merebut atensiku. Aku membuka aplikasi obrolan daring dan seketika kedua mata membelalak lebar. Pesan teks itu disertai lampiran bukti transfer sejumlah uang ke rekeningku. 

"Saya kirim uang ke kamu, Rin. Buat bonus sekaligus gantikan beli kue kemarin. Udah masuk belum chat saya?" Pak Reiga memang suka memberi bonus kepada karyawan meskipun tidak ada hari spesial atau pencapaian tertentu. 

"Udah, Pak. Terima kasih, tapi harusnya enggak perlu diganti. Itu kan kejutan dari kami buat Bapak."

"Enggak apa-apa, buat jajan kalian aja uangnya."

Aku tidak menanggapi Pak Reiga. Kalau tahu uangnya akan diganti, kemarin aku membeli kue yang paling mahal saja sekalian. 

"Sabuknya, Rin." Pak Reiga mengingatkanku. 

Terbiasa duduk di belakang membuatku lupa akan eksistensi sabuk pengaman. Aku menuruti perintah Pak Reiga, sedangkan laki-laki itu mengutak-atik ponselnya sambil menggumamkan sebuah alamat. 

"Bener di sini, ya, Rin?" tanya Pak Reiga memastikan. 

Aku melirik layar ponsel yang disodorkan oleh Pak Reiga, lalu mengangguk tanpa suara. Alamatnya sudah sesuai dengan informasi dari pihak klien. Namun, kami baru pertama kali akan ke sana. Baik aku maupun Pak Reiga sama-sama payah dalam membaca rute perjalanan. Aku lebih suka membaca buku tabungan, daripada peta petunjuk jalan seperti ini. 

Bakal nyasar, deh, tebakku dalam hati. 

Senyum tipis terbit pada sudut bibir Pak Reiga. Dia meletakkan ponsel di pangkuan dan membiarkan aplikasi peta digital tetap menyala sebagai penunjuk jalan. 

Telunjuk kiri Pak Reiga menekan tombol on pada pemutar audio. Intro musik K-POP langsung menyapa indra pendengaran. Pak Reiga benar-benar tahu bagaimana menyenangkan karyawan. 

Aku bersandar dengan nyaman sambil memandangi deretan pertokoan yang kami lalui. Dilihat dari peta digital, waktu tempuh kami seharusnya tidak lebih dari satu jam, sudah termasuk perkiraan kemacetan. Asalkan tidak salah jalan, kami bisa sampai di tujuan tepat waktu.

"Rin, kamu nonton berita yang lagi ramai di tivi?" Pak Reiga membuka suara. 

Kalimat pertanyaan dari Pak Reiga sering kali menjadi awal perbincangan seru yang tidak akan habis sampai kami tiba di tujuan. Sudah lebih dari satu tahun aku berhenti menonton televisi. Selain karena acaranya yang kurang menarik, televisi milikku rusak. Jadi, aku menjualnya pada tukang rongsokan dengan harga seratus ribu dan tidak membeli lagi. 

Tanpa televisi pun aku masih bisa mengetahui berita terkini dari media sosial. Lagi pula, Pak Reiga lebih up to date. Bahkan ketika orang-orang masih meremehkan keberadaan virus Corona pada awal tahun 2020, Pak Reiga sudah mewanti-wanti untuk siaga dan meyakini serangan itu akan segera tiba. 

Hanya berselang tiga minggu dari Pak Reiga memberi peringatan padaku, pemerintah mengumumkan kasus Corona pertama di Indonesia. Salah satu alasanku membenci virus itu adalah karena aku tidak jadi naik gaji, padahal pak Reiga sudah menyetujui. Alih-alih naik, aku dan semua karyawan hanya mendapat 75 persen gaji selama setengah tahun setelah diberlakukan kebijakan untuk bekerja dari rumah. 

Aku tidak bisa menyalahkan Pak Reiga karena pada saat itu semua aspek mengalami dampak. Kebijakan pemerintah bertujuan baik untuk mencegah penyebaran virus, tetapi perekonomian menjadi sulit. Namun, Pak Reiga selalu memastikan pangan kami tercukupi dan lengkap dengan berbagai suplemen untuk memperkuat imun tubuh. 

"Kamu hati-hati kalau pilih teman, ya. Orang sekarang pada kejam. Setan aja sungkem kali sama penjahat jaman sekarang." Ucapan Pak Reiga menarik anganku dari lamunan tentang Corona. 

Aku menoleh dan menatap Pak Reiga yang masih fokus pada kemudi. Entah kasus mana yang dimaksud olehnya. 

"Sekarang pada gampang banget menghilangkan nyawa orang lain kalau ada masalah, padahal kan bisa diomongin baik-baik," imbuh Pak Reiga lagi. 

Permasalahan kriminal dan pemerintahan selalu menarik minat Pak Reiga. Hampir semua pemberitaan diikuti meskipun usaha yang kami jalani bergerak di bidang perdagangan marmer. 

"Enggak semua argumen bisa diterima dengan baik meskipun penyampaiannya udah baik, Pak. Makanya saya lebih suka ngobrol sama tembok, jadi enggak berpotensi bikin sakit hati," timpalku. 

Tawa Pak Reiga mengudara diiringi nyanyian dari boyband kegemaranku. Entah apa yang lucu dari ucapanku tadi sampai membuat Pak Reiga tergelak seperti itu. 

"Kalau ngobrolnya sama tembok terus, gimana kamu mau ketemu jodoh, Rin?"

Pertanyaan Pak Reiga membuatku tertohok. Betul juga, entah bagaimana Tuhan akan membuatku bertemu jodoh kalau aku lebih suka menikmati hari libur dengan berdiam diri di kasur. Namun, faktanya memang aku tidak begitu suka berinteraksi dengan orang baru. Sendiri membuatku nyaman tanpa perlu khawatir akan menyinggung siapa pun. 

"Kalau saya ketemu jodoh terus diminta resign, Bapak siap saya tinggalin?" Aku tidak bermaksud mengancam, tetapi itu bisa saja terjadi. 

Pak Reiga menatapku sekilas dengan kerjap bimbang. Dia lalu kembali mengalihkan atensi pada jalanan di depan. Tujuh tahun bersama membuat ikatan tidak kasatmata menjerat kami. Bukan menyoal asmara, melainkan ketergantungan satu sama lain sebagai keluarga, seperti yang selalu Pak Reiga gaungkan dengan bangga. 

"Sherin ini bukan cuma pegawai saya. Sherin sudah saya anggap adik sendiri." Pak Reiga sering mengatakan itu kepada para kolega. 

Kami berdua memiliki kesamaan. Aku dan Pak Reiga selama ini menjalani sesuatu yang tidak kami inginkan. Pak Reiga terpaksa meneruskan bisnis orang tua dan mengabaikan cita-citanya menjadi seorang antariksawan. Aku bermimpi menjadi seorang penulis besar dengan karya-karya yang disukai banyak pembaca dan divisualisasikan dalam layar lebar. Namun, kenyataan bahwa untuk mewujudkan impian itu tidak mudah dan aku harus tetap hidup, membuatku melakukan pekerjaan apa saja yang menghasilkan uang. 

Dua orang yang sudah menyerah atas cita-cita dan pasrah menjalani hidup apa adanya. Kami saling menguatkan meskipun pasang surut menjadi warna dalam usaha yang dilakoni. Jual beli marmer tidak selalu ramai pembeli, apalagi banyak pesaing usaha di sana sini. 

"Memangnya kamu enggak pengin pegang uang sendiri, Rin? Kamu mau bergantung sama suami? Kalau ada apa-apa sama suami kamu, gimana?" Pak Reiga terdengar mengkhawatirkan masa depanku. 

"Ya, kalau suami saya kaya raya, ngapain capek-capek kerja, Pak? Tinggal diatur aja uangnya, biar kalau ada apa-apa, enggak pusing." Aku hanya berpikir realistis. 

Pak Reiga tidak menanggapi ucapanku. Sepertinya dia belum rela kalau aku mengundurkan diri. Bisa jadi jodohku yang belum kunjung menampakkan batang hidung hingga detik ini adalah ulah Pak Reiga. Dia diam-diam mendoakanku terus melajang supaya aku tetap bekerja padanya. 

"Kecuali Bapak sanggup gaji saya lebih tinggi dari uang bulanan yang dikasih suami, saya enggak akan resign." Ekor mataku melirik Pak Reiga yang menyematkan senyuman sambil menggeleng-geleng. 

"Kamu itu Rin, kayaknya bucin banget sama duit," seloroh Pak Reiga. 

"Kalau beli album Oppa enggak perlu duit, saya juga enggak akan bucin duit, Pak," kilahku membela diri, padahal bukan itu saja alasanku mengumpulkan uang. 

Tanggung jawabku bukan hanya tentang kesenangan diri sendiri. Ada keluarga yang harus aku pikirkan meskipun mereka tidak meminta. 

Aku lantas mengedarkan pandangan ke luar jendela. Keningku sontak berkerut saat melihat ikon Ancol dari kejauhan. 

"Pak, ini kita mau ke Kemang bukan? Kenapa sampai di Ancol, ya, Pak?" tanyaku sambil menoleh pada bosku.

Pak Reiga melirik ponsel di pangkuan dan langsung gelagapan. Aku yakin ada yang tidak beres. 

"Ya ampun, Rin! Kita kejauhan. Kita bisa telat, deh." Pak Reiga panik bukan main. 

Tebakanku benar. Setiap kali menuju tempat baru tanpa sopir, selalu saja ada kendala. 

"Ini kenapa enggak ada suara GPS-nya, sih?" Kalau sudah terserang panik, Pak Reiga biasanya kesulitan mengendalikan diri. 

Aku melirik layar ponsel di pangkuan Pak Reiga, lalu menghela pasrah. Tentu saja tidak ada suara karena ikon speaker-nya dimatikan. Kami hanya bisa terus melaju sampai pintu keluar tol berikutnya. Tidak mungkin berputar balik dan melawan arus di jalan bebas hambatan. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Waah ini ada kelanjutannya kah?
Rekomendasi