Disukai
3
Dilihat
1437
Mantan Dua Langkah
Romantis

Juwita selalu sesumbar mengatakan kalau dirinya sudah move on dari Alan. Tidak ada lagi nama sang mantan pacar di hati perempuan itu. Namun, faktanya hampir setiap malam dia menghabiskan beberapa lembar tisu untuk meratapi kegagalan cinta yang kandas di tengah jalan. 

Hampir lima tahun pasca putus, Juwita dan Alan tidak pernah bertemu atau berkomunikasi satu kali pun. Dia memblokir nomor dan semua akun media sosial sang mantan yang tiba-tiba memutuskan dirinya tanpa alasan. Meskipun demikian, ternyata kenangan tentang Alan masih menjadi bagian penting dalam hati Juwita. 

"Begitu sulit lupakan Alan, padahal dia enggak baik." Juwita menyenandungkan sebuah penggalan lagu yang sedang tenar di berbagai media sosial dengan mengubah liriknya. 

Minggu pagi adalah waktu paling sempurna bagi Juwita untuk mengakrabkan diri dengan kasur dan bantal tanpa harus diburu-buru pekerjaan. Kuota internet tidak terbatas dan baterai ponsel yang penuh menjadi pelengkap me time bagi Juwita. 

Perempuan yang tahun ini genap berusia seperempat abad itu tengah menggulir layar ponsel untuk mencari hiburan di dunia maya. Menikmati gosip-gosip selebriti di sosial media atau sekadar membaca komentar lucu para warga internet menjadi opsi healing murah meriah tanpa harus keluar rumah. 

Suara ketukan pada pintu menarik atensi Juwita. Perempuan itu berdesah kecil karena kegiatan asyiknya terganggu. Dia lantas beranjak dari posisi merebahnya dan bergegas membuka pintu kontrakan yang dihuni. 

"Mpok Leha, ada apa?" tanya Juwita pada pemilik kontrakan yang berdiri di depan pintu dengan dandanan cetar membahana. 

Juwita sempat salah fokus melihat tiga kalung berbeda motif dan ukuran yang melilit leher perempuan di hadapannya. Ditambah lagi gelang-gelang bergemerincing pada pergelangan tangan kanan dan kiri. Perempuan itu seperti toko emas berjalan. 

"Juwi, hari ini mau pergi kagak?" Leha, pemilik kontrakan balik bertanya dengan suara lantang, bukan marah, tetapi tabiatnya memang seperti itu. 

"Enggak, Mpok. Mager." Juwita lebih senang menikmati hari libur dengan kasur daripada harus menyapa orang-orang di luar rumah. 

"Kalau gitu, Mpok titip kunci, ya. Mpok ada undangan nikahan anaknya Pak RW. Orang yang ngontrak di sebelah katanya mau datang hari ini, tapi enggak tau jam berapa. Takutnya Mpok nanti masih antre rendang di kondangan." Leha mengulurkan sebuah kunci dengan tempelan kertas bertuliskan angka tujuh. 

Juwita menerima uluran kunci tersebut. "Oh, ada yang mau isi di sebelah?"

Kontrakan yang terletak di gang Soka Makmur itu memiliki 21 pintu kamar. Terdiri dari tiga barisan dengan masing-masing tujuh pintu pada tiap deret. Ada pintu gerbang yang akan dikunci tepat pukul sepuluh malam dan baru dibuka sebelum tukang nasi uduk berkeliling. 

Juwita berada di kamar kontrakan nomor enam. Sudah hampir satu tahun pintu di sebelah kanan dan kirinya selalu tertutup rapat karena tidak ada yang menyewa. 

"Iye. Lu jadi enggak sepi banget. Ganteng juga yang sewa. Kali aja jodoh sama lu." Logat khas Leha membuat Juwita tersenyum tipis. 

Juwita tidak ingin terburu-buru mengenai jodoh. Bukannya tidak laku, perempuan itu hanya mengantisipasi luka akibat patah hati. Dia ingin bertemu dengan pemuda serius yang menjadikannya sebagai tujuan terakhir, tidak hanya sekadar persinggahan semata lalu ditinggal pergi begitu saja ketika sudah bosan. 

"Oke. Mpok nanti bilang ke orangnya buat ambil di sini, ya. Ketok-ketok aja, aku ada di dalam, kok." Juwita tidak ingin mengobrol terlalu lama. 

Selain karena Leha harus segera berangkat kondangan, Juwita juga ingin buru-buru melanjutkan kegiatannya menyelami dunia maya sambil rebahan. 

"Makasih, Juwi. Entar Mpok bawain soto atau empal gentong kalau masih ada, ye." Leha lantas berbalik dan meninggalkan teras kontrakan itu setelah Juwita mengangkat jempol kanannya sebagai tanda persetujuan. 

Juwita lekas menutup pintu bernomor enam dan membanting diri di kasur busa seraya menghela panjang. Surga dunia bagi perempuan itu adalah bisa berleha-leha tanpa gangguan dari siapa pun di hari libur. 

Sekali-sekali tawa Juwita mengemuka setiap membaca komentar lawak para warga internet. Pada unggahan berikutnya, dia bisa merasa terenyuh melihat potret menyentuh hati, misal saja orang-orang yang kurang beruntung dalam kehidupan. 

"Masalahku enggak ada apa-apanya dibandingkan derita orang lain. Bisa-bisanya aku ngeluh cuma karena hal sepele." Juwita merutuk diri. 

Tentang patah hati tentu saja hampir semua orang mengalami, bukan Juwita seorang yang merasakannya. Namun, perihal kesulitan ekonomi hingga harus menahan lapar berhari-hari ataupun penyakit yang belum kunjung dapat diobati, dia patut bersyukur karena terhindar dari itu semua. Juwita memiliki pekerjaan dengan gaji terbilang cukup dan kesehatannya tidak pernah bermasalah. 

"Kebanyakan ngeluh, jadi lupa bersyukur. Dasar aku!" Juwita kembali menyadarkan diri bahwa masih banyak hal baik dalam hidupnya yang layak disyukuri. 

Perempuan itu terperanjat ketika pintu kontrakannya kembali diketuk. Dia memaksakan diri bangkit dan meregangkan kedua tangan sebelum membuka pintu, tidak lupa membawa serta kunci yang dititipkan oleh Leha. Juwita yakin yang mengetuk pintu adalah tetangga barunya.

"Halo!" sapa sosok pemuda dengan potongan rambut two block berwarna kemerah-merahan ketika pintunya terbuka. 

Kedua mata Juwita melotot lebar. Pemuda di hadapannya pun melakukan hal serupa. Mereka terkejut melihat keberadaan satu sama lain setelah lama sekali tidak berjumpa. 

"Kamu ngapain ke sini? Tau dari mana aku tinggal di sini?" Juwita memasang wajah jutek yang sudah lama dia sembunyikan dari orang lain. 

"Aku—"

"Kamu pikir keren gitu setelah mutusin aku tanpa sebab, terus tiba-tiba nongol kayak gini? Sorry banget, ya, aku udah move on dari kamu." Juwita menyela ucapan pemuda itu dengan kalimat panjang yang diucap dalam satu kali tarikan napas. 

Alan, pemuda yang kini berdiri tepat di hadapan Juwita kesulitan mencari celah untuk menjelaskan alasan keberadaannya di sana. 

Kalau boleh jujur, Juwita rindu pada Alan yang selalu dia tangisi setiap malam. Namun, ego perempuan itu lebih tinggi dari Monas. Jadi, dia tidak mau menunjukkan rasa rindu dan kepedulian pada sang mantan. 

"Lebih baik kamu pergi sekarang juga, sebelum aku teriak ke tetangga dan bilang kalau kamu penguntit." Juwita melipat kedua tangan di depan dada. 

Alan menghela napas, lalu menatap Juwita dengan lembut dan berkata, "Mpok Leha bilang kunci kontrakanku dititipin ke Mbak Cantik di nomor enam. Ketok aja pintunya, orangnya baik banget kok. Gitu."

Juwita berdeham. Canggung serta merta membuatnya mati kutu. Dia ternyata terlalu percaya diri dan mengira kedatangan Alan adalah untuk bertemu dengannya. 

"Aku boleh minta kuncinya?" Alan menengadahkan tangan kanan ke hadapan Juwita. 

Perempuan itu masih menjunjung tinggi gengsi dalam diri. Dia menggenggam erat-erat kunci di tangan kanan, enggan memberikannya pada Alan. 

"Kamu cari aja kontrakan lain. Jangan di sini." Juwita menolak tinggal dekat dengan mantan pacarnya. 

Bisa-bisa jerih payah Juwita dalam melupakan Alan akan berujung sia-sia. Tanpa interaksi dengan pemuda itu saja dia sudah goyah, apalagi kalau tinggal berdampingan setiap hari meskipun ada dinding pemisah. 

Alan menarik kembali tangannya yang sengaja diabaikan oleh Juwita. "Enggak bisa, Ta. Besok aku masuk kerja pagi. Enggak ada waktu buat cari kontrakan baru yang dekat sini. Lagian aku udah bayar tiga bulan penuh. Kamu mau balikin  duitku?"

Juwita menggigit bibir. Cara Alan berbicara padanya masih sama seperti dulu. Bahkan hanya pemuda itu yang memanggilnya dengan sebutan 'Ta' bukan 'Juwi'. 

"Aku udah nyari-nyari kontrakan di sekitar sini, enggak ada yang kosong, Ta. Beneran, deh. Aku juga enggak tau kalau kamu tinggal di sini. Jodoh kali, ya?" Alan sengaja sekali menggoda Juwita. 

Perempuan itu mencebik, sepasang mata minimalisnya menatap Alan dengan sinis. Juwita berusaha mempertahankan diri sekuat mungkin agar tidak terbawa perasaan. Dia tidak mau hatinya dipatahkan lagi oleh orang yang sama. 

Alan kembali menghela napas. Dia masih ingat bagaimana keras kepalanya sang mantan kekasih. Juwita memang sulit sekali dibujuk ketika merajuk. 

"Tiga bulan aja. Aku janji enggak akan ganggu kamu. Setelah sewa di sini habis aku pindah, deh." Alan terpaksa mengalah, daripada terjadi perang Dunia ketiga dan dia tetap kalah. 

Juwita berdengkus. Dia kemudian mengulurkan kunci yang semula digenggam erat dan Alan menerimanya. 

"Ingat, cuma tiga bulan. Janji, kamu harus pindah dari sini," ucap Juwita menuntut. 

Alan mengangguk. "Iya, janji."

"Satu lagi. Kita enggak saling kenal, jadi jangan sok akrab." Juwita memberikan ultimatum seolah menegaskan batasan hubungan mereka. 

Alan lagi-lagi hanya mengangguk setuju. Juwita kemudian buru-buru berbalik dan menutup pintu dengan kasar, membuat Alan berjengit kaget. 

"Galaknya enggak luntur dari dulu." Alan menggeleng maklum, lalu memasuki pintu kontrakan bernomor tujuh yang bersebelahan dengan Juwita.

***

Juwita menyisir rambut hitam sebahunya, lalu mengenakan bando plastik tanpa motif berwarna merah muda. Setelah merasa rambutnya rapi, perempuan itu menyemprotkan minyak wangi pada area leher kanan dan kiri, serta kedua pergelangan tangan. Sekali lagi dia mematut bayangan diri dalam cermin untuk memastikan penampilannya sudah sempurna. 

"Cantik, mirip Dian Sastro." Juwita memang hobi memuji diri. 

Apresiasi tidak harus selalu didapatkan dari orang lain. Diri sendiri pun perlu memberikan pujian sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah Tuhan. Begitu yang Juwita yakini. 

Juwita menyelipkan rambut ke balik telinga kiri. Dia lantas mencangklong tas selempang dan membuka pintu kontrakan untuk berangkat bekerja. Sayangnya, wajah semringah Juwita terpaksa harus menekuk saat sosok tetangga baru berada di teras sedang menyalakan mesin motornya. 

Masih awet aja itu motor. Kenapa enggak diloakin aja, sih? Juwita menggerutu dalam hati karena kenangan manis saat berboncengan dengan Alan tiba-tiba terlintas tanpa permisi. 

"Pagi, Ta." Alan menyapa diakhiri senyuman lebar. 

Alih-alih menanggapi sapaan pemuda itu, Juwita justru melengos dan lekas menutup pintu kemudian menguncinya. Dia berlalu begitu saja tanpa peduli pada eksistensi sang mantan pacar. 

Juwita perlu berjalan kaki kurang lebih 20 meter untuk sampai di jalan raya dan menunggu angkutan umum yang akan membawanya menuju kantor. Dia bisa saja menggunakan layanan transportasi online, tetapi ongkosnya lebih mahal. Jadi, Juwita harus rela berdiri di tepian jalan demi menghemat pengeluaran. 

Hampir lima menit Juwita menunggu, belum ada satu pun angkutan umum yang lewat. Menjamurnya layanan transportasi online memang nyaris menggerus keberadaan angkutan umum. 

"Ta." Alan menghentikan motornya di dekat Juwita berdiri. "Kamu kerja di mana? Kalau searah sama aku, bareng aja, yuk."

Juwita tetap mempertahankan gengsi. Dia enggan menerima penawaran Alan. Rasa kecewa masih bercokol dalam hati perempuan itu karena pernah dicampakkan saat sedang sayang-sayangnya. 

"Aku kerja di belakang ETC. Ngelewatin tempat kamu kerja, enggak?" Alan kembali bersuara. 

Juwita sempat melirik pemuda yang tampak lebih gagah dengan jaket kulitnya itu. Meskipun wajah Alan tertutup helm full face, dia masih terlihat berkharisma dari perawakannya. 

"Enggak usah," tolak Juwita ketus, padahal tujuan Alan melewati tempat kerjanya. 

"Ya, udah." Alan menutup kembali kaca helm, lantas menarik gas dan pergi dari sana. 

Juwita berdecak kesal. "Kelihatan banget kan cuma basa-basi. Kalau emang niat ngajak barengan mah maksa dikit, kek."

Sepasang kaki Juwita yang tidak jenjang itu mengentak berulang kali.  Dia baru berhenti menggerutu ketika sebuah angkutan mendekat dari kejauhan. Perempuan itu segera melambaikan tangan untuk menghentikannya. Dia kemudian memasuki angkutan yang masih kosong tanpa penumpang. 

Sepanjang perjalanan Juwita terus menerus menggerutu dalam hati. Paginya terasa menyebalkan karena mengingat bagaimana kelakuan Alan tadi. Dia menganggap tindakan sang mantan hanya ingin meledaknya, tidak sepenuh hati memberi tumpangan. 

Dasar cowok nyebelin. Sok keren. Entah sudah berapa banyak gerutuan yang tercetus dari Juwita. 

Sejujurnya Juwita masih membutuhkan penjelasan tentang hubungan mereka yang diakhiri sepihak oleh Alan. Namun, begitu bertatapan secara langsung, dia malah malas berbicara dengan sang mantan. 

"Kiri, Bang!" seru Juwita menginstruksi sopir untuk berhenti di area ruko tujuan. 

Setelah turun, dia mengulurkan selembar uang lima ribuan dan menunggu kembalian. Sopir itu bergeming menatap Juwita. Beberapa saat lamanya mereka hanya terdiam saling bertatapan. 

"Kembalinya mana, Bang?" Juwita akhirnya bersuara lebih dulu memecah kecanggungan. 

"Kurang seribu, Neng," balas sopir itu. 

"Iya. Kembalinya seribu." Tangan kanan Juwita masih terulur menunggu. 

"Neng yang kurang seribu ke saya."

"Kok gitu? Kan tarifnya 4.000. Abang yang kembaliin seribu ke saya, dong." Juwita mendebat sopir angkutan umum tersebut karena biasanya dia hanya membayar sebesar yang disebutkan. 

"BBM udah naik, Neng. Ongkos juga naik."

Juwita mengernyitkan kening hingga kedua alisnya nyaris menyatu. Jarak tempuh dari kontrakan ke tempat kerja sebenarnya tidak begitu jauh. Bahkan saat pulang, perempuan itu sesekali berjalan kaki kalau terlalu lama menunggu angkutan. 

"Ya, udah. Pas aja, deh. Enggak usah kembali. Deket ini, kok. Masa 6.000," protes Juwita keberatan memberikan ongkos tambahan. 

Sopir angkutan tersebut mencibir, "Lain kali jalan kaki aja, Neng. Enggak usah naik angkot."

Juwita menekan kesabaran untuk menghindari adu argumen dengan sopir itu. Pagi ini sudah cukup kacau oleh Alan, dia tidak ingin menambah buruk suasana hati. 

Tanpa menanggapi cibiran sopir tersebut, Juwita langsung berbalik menuju bangunan ruko. Angkutan itu pun segera melaju untuk mencari penumpang lain. 

Tidak ada hal seru di kantor Juwita. Kegiatannya terbilang monoton dari hari ke hari. Masuk kerja pukul delapan pagi, istirahat tepat pukul 12 siang, lalu pulang pukul lima sore. Begitu terus seperti memutar ulang kaset usang. Alur hidupnya terasa membosankan. 

Hari paling luar biasa bagi Juwita hanya terjadi di tanggal 28 setiap bulan. Dia selalu senang ketika memeriksa rekening dan mendapati penambahan angka pada saldo tabungannya. 

Sembilan jam berlalu tanpa hal menarik untuk diceritakan. Juwita pulang dengan berjalan kaki. Dia lebih memilih uang 6.000-nya digunakan untuk membeli batagor atau gorengan depan gang. Lumayan, bisa membuat perut kenyang setelah lelah menempuh perjalanan sekitar 15 menit. 

"Beli makan sekalian, deh. Biar nanti malem enggak usah keluar." Gagasan itu terbit ketika Juwita melihat gerobak penjual nasi goreng. 

Akibat terlalu malas keluar kontrakan pada malam hari, Juwita tidak jarang mengabaikan perutnya yang keroncongan. Meskipun ada aplikasi layanan pemesanan makanan secara online, dia lebih memilih tidur dalam keadaan menahan lapar. 

"Bang, nasgornya satu dibungkus, ya. Jangan pedes." Juwita memesan, lalu duduk pada kursi plastik yang disediakan. 

Perempuan itu mengeluarkan ponsel dan mulai berselancar di dunia maya seperti biasa. Mengintip akun gosip dan membaca komentar para warga internet adalah cara Juwita menghibur diri. Dia sebenarnya tidak peduli dengan drama para tokoh publik itu, tetapi kalau tertinggal satu berita saja, seperti ada yang kurang dalam hidupnya. 

"Hai, Ta."

Juwita terkesiap. Dia terlalu fokus menyelami dunia maya sampai tidak menyadari kehadiran Alan yang duduk di sebelahnya. 

"Kamu ngapain di sini?" Nada ketus Juwita kembali terdengar. 

"Ngikutin kamu."

Juwita spontan melotot, bibirnya yang berpulas lipstik merah itu ikut melongo.

"Canda, Ta. Aku beli kwetiau. Ya, kan, Bang?" Alan meminta validasi dari tukang nasi goreng. 

Yang ditanya hanya menoleh sekilas dan tersenyum santun, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Juwita berniat bangkit dari duduknya, tetapi Alan lebih dulu menahan pergelangan tangan perempuan itu. 

"Mau ke mana, Ta? Itu nasi goreng kamu lagi dibuatin." Alan menarik Juwita perlahan-lahan hingga dia duduk lagi. "Kenapa, sih? Aku kayak demit di mata kamu? Dijauhin mulu, padahal dulu juga nempel terus tiap pulang sekolah."

Juwita berdecak mendengar kalimat terakhir Alan. Dia ingin sekali melontarkan banyak hal yang telah dipendam sekian lama, tetapi saat ini tidak hanya mereka berdua yang ada di sana. Jadi, Juwita harus menahan emosinya. 

Alan tidak lagi bersuara. Dia hanya memandangi wajah Juwita yang masih terlihat sama seperti terakhir kali mereka bertemu, hampir lima tahun lalu. Pipi Juwita tetap mulus terawat, bulu matanya masih lentik, alis perempuan itu juga tebal dan rapi tanpa sulaman. Nyaris tidak ada perubahan apa-apa pada diri sang mantan, kecuali umurnya yang bertambah setiap tahun.

Juwita yang tahu sedang dipandangi oleh Alan, jadi salah tingkah. Dia melarikan pandangan ke segala arah demi menghindari bertatapan langsung dengan sang mantan. Juwita tidak ingin ketahuan masih menyimpan sedikit perasaan. 

"Neng, nasgornya udah jadi." Kalimat itu menjadi penyelamat bagi Juwita untuk lekas menjauh dari Alan. 

"Ta, enggak mau pulang bareng?"

Kali ini sang mantan tidak bisa mencegah Juwita. Perempuan itu buru-buru membayar dan pergi tanpa mengatakan apa pun. 

***

Satu pekan berlalu. Juwita belum bertemu lagi dengan Alan setelah pertemuan mereka di tukang nasi goreng. Bahkan tidak terdengar tanda-tanda kehidupan di kontrakan sebelah.  

Setiap Juwita berangkat dan pulang kerja, pintu nomor tujuh itu selalu tertutup rapat. Bahkan tadi saat Juwita keluar untuk membuang sampah, lampu kontrakan Alan belum menyala, padahal sudah hampir jam sembilan malam. 

"Apa dia udah pindah, ya?" Juwita mulai menerka-nerka.

Mungkin saja Alan merasa risi karena terus menerus diabaikan oleh Juwita hingga memilih pindah dari sana. "Tapi, belum tiga bulan. Janjinya kan pergi kalau udah tiga bulan. Masa pergi enggak bilang-bilang? Dasar cowok tukang kabur." Juwita merutuk Alan yang lagi-lagi pergi tanpa mengatakan apa pun. 

Pemuda itu berutang banyak penjelasan pada Juwita. Tentang hubungan asmara mereka yang kandas di masa lalu, juga alasannya tidak pernah mencari keberadaan Juwita selama ini. 

"Kalau dia jatuh di kamar mandi terus mati, gimana?" Skenario buruk mendadak terlintas dalam benak Juwita. 

Perempuan itu lantas mengenakan jaket dan bergegas keluar. Dia harus memeriksa kondisi Alan. Kalaupun sang mantan sudah tidak ada di sebelah, Juwita perlu mendapatkan kepastian agar berhenti penasaran. 

Juwita sudah berdiri di depan pintu bernomor tujuh. Namun, dia ragu untuk mengetuk. Ego membuatnya masih enggan berdamai dengan keadaan. 

"Ketuk enggak, ya?" Juwita ragu-ragu membuat pertimbangan. "Kalau dia ada di dalam, terus keluar ternyata enggak kenapa-kenapa, aku harus bilang apa?"

Juwita membutuhkan alasan yang masuk akal tentang keberadaannya di sana. Kalau Alan tahu dirinya masih peduli, hilang sudah harga diri Juwita yang selama ini dijunjung tinggi. 

"Tapi, kalau emang ada apa-apa sama dia, gimana?" Bayangan tentang Alan yang terbujur kaku di kamar mandi tanpa nyawa membuat Juwita bergidik ngeri. 

Kalau itu benar terjadi dan dilaporkan polisi, Juwita bisa saja dijadikan tersangka. Berita-berita di media masa akan menulis namanya sebagai perempuan sadis yang menghabisi nyawa mantan pacar dengan skema pembunuhan di ruang tertutup. 

Juwita sontak menggeleng keras untuk menepis skenario mengerikan itu dari kepalanya. Yang perlu dia lakukan saat ini hanya memastikan bagaimana kondisi Alan. Entah hidup, entah sudah tidak bernyawa lagi. 

Debas terembus dari hidung Juwita. Debar jantungnya berpacu di luar tempo normal. Dia kemudian mengulurkan tangan kanan untuk mengetuk pintu dengan gemetaran. 

Deru mesin motor yang memasuki halaman kontrakan dan berhenti tidak jauh dari keberadaan Juwita, membuat tangannya menggantung di udara dan urung mengetuk. Dia menoleh, lalu raut cemas di wajahnya berganti kesal karena melihat sosok perempuan turun dari boncengan Alan. 

Juwita buru-buru menurunkan tangannya dan menggerutu lirih, "Percuma banget aku khawatir. Orangnya aja habis pacaran."

Niat hati Juwita ingin segera pergi dari sana, tetapi kedua kakinya berkhianat dan tetap bergeming di tempat.

"Terima kasih buat tumpangannya, ya, Mas."

Juwita tidak sengaja mendengar ucapan perempuan yang baru saja turun dari boncengan motor mantan pacarnya. Alan menimpali kalimat tersebut dengan senyuman manis yang begitu kentara karena helmnya sudah dilepas. 

Perempuan yang sempat dicurigai sebagai pacar Alan, menyapa Juwita dengan anggukan kecil. Dia kemudian berjalan ke arah belakang, di deretan kedua dan tiga kontrakan yang saling berhadap-hadapan. Juwita sepertinya lagi-lagi salah menduga. 

"Kamu ngapain di sini, Ta? Nungguin aku pulang, ya? Manis banget, sih, kayak istri nunggu suaminya pulang." Senyum lebar terbit pada bibir tipas Alan, membuat sepasang matanya menyipit serupa bulan sabit. 

"Suaminya malah pulang sama pelakor." Juwita refleks menimpali dengan gerutuan setengah berbisik. 

"Cie cemburu, ya?" Alan semakin gencar meledek setelah mendengar ujaran Juwita barusan. 

Dengkus kasar terembus dari Juwita. Alan dan tingkah yang menyebalkan seperti itu acap kali membuatnya kehabisan kata untuk menanggapi. 

"Dih, kepedean," sanggah Juwita mengelak. 

Juwita beruntung karena cahaya di teras kontrakan itu temaram, jadi Alan tidak bisa menangkap dengan jelas semburat merah jambu yang menghias kedua pipinya. Sang mantan bisa semakin besar kepala kalau tuduhan kecemburuan itu tervalidasi dengan reaksi alami pada tubuhnya. 

"Namanya Elok, penghuni kontrakan nomor 12. Tadi kebetulan ketemu di jalan pas dia lagi nunggu angkot buat pulang, jadi sekalian aja aku ajak bareng." Alan menjelaskan alasan kebersamaannya dengan perempuan tadi. 

Juwita bersikap masa bodoh, seolah tidak peduli sedikit pun terhadap segala hal yang Alan lakukan. Bukan urusannya juga kalau sang mantan mau mendekati perempuan mana saja. Hubungan mereka berdua saat ini hanya sebatas tetangga kontrakan. Tidak lebih. 

"Jadi, kenapa kamu berdiri di sini? Beneran nunggu aku? Ada yang mau kamu omongin? Atau kangen sama aku?" Kali ini tidak ada raut meledek pada wajah Alan, dia benar-benar bertanya untuk mengetahui jawaban Juwita. 

"Enggak ada. Aku habis buang sampah, kok. Enggak usah kegeeran," timpal Juwita berdusta, lalu bergegas memasuki kontrakan sendiri. 

Sejujurnya, Juwita sedikit penasaran tentang alasan pemuda itu seperti hilang ditelan bumi selama satu minggu terakhir. Namun, dia menyimpan rasa penasarannya sendirian. Juwita enggan membuat Alan meyakini kalau dirinya belum berhasil move on. 

Esok paginya, Juwita berdandan rapi seperti biasa. Kali ini dia menyemprotkan pewangi lebih banyak. Dia kemudian keluar dari kontrakan dan mendapati motor milik Alan berada di teras, tetapi pemiliknya tidak terlihat. 

Juwita menggigit bibir. Dia mendengkus kesal karena tiba-tiba merindukan sapaan pemuda berambut two block itu. Sayangnya, setelah hampir dua menit Juwita berdiam di depan pintu kontrakan sendiri, Alan tetap saja tidak menampakan batang hidungnya. Jadi, perempuan itu bergegas pergi, daripada telat sampai ke tempat kerja.

Menunggu angkutan umum di tepian jalan menjadi rutinitas Juwita. Kalau sedang tidak malas bangun lebih pagi, dia akan berjalan kaki menuju kantor. Juwita bukan bermaksud pelit karena tidak mau membayar ongkos angkutan umum, dia hanya menerapkan prinsip hidup hemat. Lagi pula, berjalan kaki juga membuatnya lebih sehat. 

"Kalau Alan nawarin tumpangan, aku terima aja, deh. Kasihan juga niat baiknya aku cuekin terus." Juwita bertekad memberi kesempatan pada Alan untuk memboncengkannya lagi setelah sekian lama. 

Akan tetapi, tekad itu pupus seketika karena sudah ada Elok yang duduk manis di boncengan motor Alan. Sang mantan hanya membunyikan klakson sekali dan melewatinya tanpa penawaran basa-basi seperti beberapa waktu yang lalu. 

Juwita sontak mengentakkan kaki sambil mengibas-ngibaskan tangan kanan di depan wajah. Kedua pipinya mendadak terasa panas, padahal cuaca pagi ini lumayan mendung. 

"Bisa-bisanya dia boncengin perempuan lain di depanku. Sengaja banget, sih, bikin aku cemburu. Dasar enggak punya hati. Untung aja aku udah move on." Hati dan pikiran Juwita menjadi berantakan kalau sudah menyangkut Alan. 

Mengaku move on, tetapi cemburunya membabi buta tidak habis-habis. Entah sampai kapan Juwita akan terus menyangkal perasaannya sendiri. 

***

Sepanjang hari ini suasana hati Juwita berantakan. Dia bahkan tidak berminat sama sekali untuk membuka akun media sosial dan mengikuti gosip selebriti seperti biasa. Dongkol yang menguasai hati membuatnya ingin meluapkan emosi, tetapi Juwita hanya seorang diri.

Jam digital pada layar ponsel menunjukkan angka 7.58, masih terlalu sore untuk melarikan diri ke alam mimpi. Juwita bingung harus melakukan apa lagi supaya bisa menguraikan benang kusut dalam kepalanya. Dia merebahkan diri di kasur, lalu berguling ke kanan dan kiri mencari posisi ternyaman untuk mencerna keadaan. 

"Jauh bikin kangen, deket malah bad mood." Juwita masih menggerutu tentang eksistensi Alan. 

Sisa rasa yang terendap di hati nyatanya membuat kehadiran Alan tidak bisa diabaikan begitu saja. Move on hanya sebatas wacana yang sulit sekali diwujudkan meskipun sudah berusaha selama beberapa tahun. Alan menjadi cinta dan luka pertama di hati Juwita yang susah dihilangkan melebihi noda membandel pada baju. 

Panggilan masuk dari Sherin menarik atensi Juwita. Kerutan sontak menghias kening perempuan itu karena Sherin tidak pernah menghubunginya sejak tiga bulan yang lalu. 

"Halo!" sapa Juwita setelah menerima panggilan masuk tersebut. "Tumben kamu telepon. Jangan bilang mau nawarin MLM atau investasi bodong," tukasnya. 

Sherin terkekeh renyah. Juwita dan prasangka buruknya adalah dua hal yang tidak mudah untuk dipisahkan. Sudah satu paket. 

"Enggak lah. Curigaan aja," elak Sherin di sela-sela tawanya. 

"Terus? Mau pinjem duit? Enggak ada, Rin. Aku lagi nabung buat hura-hura tahun depan," timpal Juwita.

Sherin merupakan teman sebangku Juwita saat kelas dua dan tiga SMA dulu. Mereka sudah biasa blak-blakan tanpa perlu merasa tersinggung oleh satu sama lain. 

"Duitku lebih banyak dari kamu, Juju." Sherin si pongah tidak membutuhkan uang, gajinya saja menumpuk di rekening. 

Selain Alan yang memiliki panggilan khusus untuk Juwita, Sherin pun punya. Juwita tidak masalah sama sekali mereka mau memanggil apa. Selagi bukan nama binatang dan maknanya baik, dia akan menerima. 

"Aku tiba-tiba aja kepikiran kamu. Lagi ada masalah, ya? Mau cerita?" sambung Sherin. 

Juwita takjub. Pasalnya, dia mengenal Sherin sebagai sosok paling tidak peka sejagat raya dan masa bodoh dengan urusan orang lain. Dunia Sherin hanya dipenuhi dengan kerja dan menimbun harta. 

"Alan muncul lagi." Juwita tidak ragu mengungkapkan isi hati pada Sherin, daripada pikirannya meledak karena terlalu penuh. 

"Katanya kamu udah move on dari sialan itu," timpal Sherin. 

Meskipun jarang sekali menghubungi Juwita, Sherin selalu memantaunya dari status-status yang dia tulis di akun media sosial. Sherin hanya tidak mau membuat Juwita merasa risi karena terlalu ikut campur masalah pribadi. 

"Si Alan, Rin. Pakai jeda. Bukan sialan." Juwita mengoreksi cara Sherin menyebut nama sang mantan. 

"Enggak penting lah. Yang penting hati kamu. Kalau kamu masih suka, enggak perlu sok-sokan udah move on, Juju."

Juwita terdiam. Dia memang merasa ada yang belum selesai antara dirinya dengan Alan. Terutama tentang alasan dia ditinggalkan. Juwita semakin kesulitan karena  Alan justru tampak biasa-biasa saja, seolah tidak pernah ada yang terjadi pada mereka di masa lalu. 

"Move on itu enggak harus dipaksakan, kok. Lagian, kalau ternyata kalian jodoh, mau mati-matian move on juga ujung-ujungnya ketemu di depan penghulu. Capek doang. Just go with the flow, Juju." Sherin paling jago memberi petuah perihal cinta, padahal dia sendiri tuna asmara. 

Juwita urung menimpali karena mendengar suara ketukan. Dia bangkit dari posisinya dengan malas-malasan dan beranjak membuka pintu. Perempuan itu membisu, tangan kirinya masih menempelkan telepon genggam pada telinga. 

"Hai, Ta." Alan mengangkat tangan kanan sambil tersenyum lebar. 

"Sayang, udah dulu, ya. Ada yang perlu aku beresin sebentar. Nanti aku telepon kamu lagi," ucap Juwita dengan nada manja, seolah tengah berbicara pada orang spesial. 

Sambungan telepon itu diputus sepihak oleh Juwita sambil memamerkan senyuman pongah. Dia menyelipkan rambut ke balik telinga kiri, lalu melipat kedua tangan di depan dada. 

"Ada perlu apa?" tanya Juwita pada Alan. 

"Martabak keju kesukaan kamu." Alan mengangkat kantong plastik yang sejak tadi ditenteng.

Juwita sontak meneguk ludah. Aroma keju yang menguar dari kantong plastik putih itu membuat seleranya tergugah. Martabak memang mampu menjadikannya lemah. 

"Boleh masuk? Ada yang mau aku obrolin." Alan rupanya menjadikan martabak sebagai gratifikasi agar keberadaannya diterima oleh Juwita. 

Demi sekantong martabak hangat dengan lelehan keju, Juwita terpaksa mempersilakan Alan masuk. Pintu kontrakan sengaja dibiarkan terbuka supaya tidak menimbulkan kecurigaan tetangga sekitar terhadap aktivitas mereka berdua.

Pasangan mantan kekasih itu kemudian duduk di lantai saling berhadapan dengan menjaga jarak. Alan mengulurkan kantong plastik dan membiarkan Juwita membukanya. Namun, perempuan itu hanya menatap potongan-potongan martabak keju yang masih mengepulkan asap. Lagi-lagi, gengsi menguasai Juwita. 

"Kenapa enggak dimakan? Kamu masih suka martabak, 'kan?" Alan menaikkan kedua alisnya. 

Juwita menggeleng, berusaha sekuat hati menahan agar liurnya tidak menetes. "Nanti aja. Katanya ada yang mau kamu omongin? Buruan. Aku enggak bisa lama-lama deketan sama kamu."

Seringai jahil terbit pada bibir Alan. "Kenapa? Takut baper lagi, ya? Enggak apa-apa kok kalau mau balikan."

Juwita melotot, bibirnya berkedut menahan geram. Dia kesal setiap kali Alan berhasil membuatnya tidak berkutik. 

"Baper?" Juwita berdecak remeh. "Enggak mungkin lah. Aku udah punya pacar."

Alan menghela lirih dibarengi kedua bahunya yang turun. Posisi duduknya tidak lagi tegap seperti tadi. Juwita langsung merasa jemawa melihat reaksi pemuda itu. 

"Kata Sherin kamu masih single. Dia bukannya temen deket kamu, ya?" 

Juwita tertawa canggung. "Sherin sok tau. Dia aja enggak pernah kontak aku selama tiga bulan, baru teleponan juga tadi."

"Oh, jadi tadi yang telepon kamu Sherin? Kirain sayangnya siapa. Aku udah mau cemburu loh." Alan kembali menatap Juwita penuh harap. 

Juwita mendesis kecil. Dia keceplosan dan sekarang kebingungan mencari cara untuk berkelit. Juwita gagal keren di hadapan sang mantan. 

Alan menahan senyuman melihat gelagat Juwita yang salah tingkah. Dia mencomot sepotong martabak dan menyodorkannya pada sang mantan. 

"Kalau dingin jadinya kurang enak, kayak hubungan kita. Nih, dimakan dulu," ucap Alan dengan tangan kanan terulur bersiap menyuapi Juwita.

Perempuan itu melirik martabak yang diulurkan Alan. Wangi kejunya benar-benar menggoda. Namun, Juwita terlalu malu untuk menerima perlakuan manis Alan. Dia menepis tangan si pemuda dan melengoskan wajah. 

Alan meletakkan kembali potongan martabak itu dalam kotak karton, lalu mengusap-usap kedua tangan. Pandangannya menyapu ruangan kecil yang tidak banyak barang, hanya ada beberapa pasang sepatu tersusun dalam rak plastik di pojokan. Senyum tipis terbit lagi pada sudut bibir Alan saat melihat sepatu warna cokelat muda yang tampak familier. 

"Maafin aku dulu tiba-tiba mutusin kamu." Alan memusatkan atensinya pada Juwita. 

Perempuan itu tercekat. Tiba-tiba jantungnya berdegup lebih cepat. Dia sangat ingin tahu tentang alasan Alan, tetapi lidahnya mendadak tidak mampu berucap. 

"Dulu aku minder banget sama kamu. Kamu kuliah, aku enggak. Nyari kerjaan juga enggak dapet mulu. Aku nganggur hampir setahun, buat makan aja sampai harus utang sama temen," ungkap Alan. 

Bibir Juwita semakin terkatup rapat. Dia sama sekali tidak mengetahui tentang hal tersebut. Alan memang beberapa kali sempat bercerita mengenai upayanya mencari kerja, tetapi tidak sekali pun pemuda itu mengeluh. Juwita pikir Alan baik-baik saja. 

Hening sempat menguasai atmosfer. Juwita dan Alan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga terdengar suara cecak yang diam-diam merayap di dinding. 

"Kenapa kamu enggak jujur aja sama aku? Kamu pikir aku matre? Enggak mau nemenin kamu kesusahan?" Juwita iba mendengar pengakuan Alan, tetapi kesal juga. 

"Aku tau kamu enggak gitu, Ta. Aku menyesal udah mutusin kamu tanpa alasan. Pas aku mau jelasin, kamu udah keburu merantau dan nomorku telanjur diblokir." Alan tidak berbohong. 

Dehaman canggung Juwita menimpali kejujuran Alan. Di samping untuk mengais rezeki, salah satu alasan perempuan itu merantau adalah supaya bisa cepat move on meskipun sama sekali tidak berhasil. 

Mereka kembali bungkam. Juwita kehabisan kosakata untuk menanggapi ucapan Alan. Dia sedikit menyesal karena memblokir akses sang mantan untuk menghubunginya tanpa pernah sedikit pun mencoba memberi peluang. 

"Apa aku masih punya kesempatan, Ta?" Tatapan Alan pada Juwita masih lembut seperti dulu. 

"Kesempatan apa?" Debar jantung Juwita menyebabkan napasnya menjadi pendek-pendek. 

"Balikan sama kamu."

"Aku udah punya pacar." Juwita melanjutkan bualannya, sudah telanjur, malu kalau tidak diteruskan. 

"Pacar kamu enggak marah kalau tau barang dari aku masih dipakai?" Alan menunjuk sepatu cokelat di rak. 

Juwita mengikuti arah telunjuk Alan, lalu kembali menatap sang mantan dan mengerjap cepat. Otaknya sedang buntu untuk mengarang alasan yang masuk akal. Salah satu sepatu pada rak itu memang hadiah spesial dari Alan di tahun terakhir mereka berpacaran. Ukuran kaki Juwita tetap sama, jadi sekali-sekali dia masih memakainya. 

"Tapi, kalau cuma pacar masih bisa ditikung, sih." Alan menaikturunkan kedua alisnya. "Aku udah enggak minder lagi kalau harus bersaing sama cowok lain." 

Bibir Juwita mengerucut. Hatinya cenat-cenut. Ada harapan yang kembali membersit, tetapi nyali perempuan itu terlampau ciut.

"Ta, tau enggak kenapa kita ketemu lagi dalam keadaan masih sama-sama sendiri?" Alan tahu Juwita hanya membual tentang pacar baru. 

Gugup mendera Juwita. Mengelak tentang statusnya pun percuma saja. Dia hanya pandai menggerutu, sedangkan untuk berakting sangat payah. 

"Bisa jadi karena takdir kita memang bersama. Kamu buat aku, aku buat kamu. Semesta aja mau kasih kesempatan kedua, masa kamu enggak?"

Sudut bibir kanan Juwita terangkat dibarengi alis kiri yang meninggi. Dia menstimulasi otak bahwa apa yang Alan katakan hanya bualan, tetapi hatinya berbunga-bunga. 

Juwita masih diam, mencerna setiap kata yang terlontar dari bibir Alan. Tatapannya beradu pandang dengan pemuda itu, berusaha menyelami keseriusan di sana. Dia mempertimbangkan kelayakan Alan untuk mendapat kesempatan kedua. 

Alan senantiasa menunggu Juwita memberikan tanggapan. Dia enggan membuat sang mantan merasa terpaksa, tetapi juga tidak mau kehilangan kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka yang sempat terjeda di tengah jalan. 

"Tiga bulan," celetuk Alan memecah keheningan. 

Juwita mengerjap tidak mengerti dengan dua kata tersebut. 

"Tolong kasih aku kesempatan selama tiga bulan buat nunjukin keseriusanku. Kalau dalam waktu itu kamu tetap enggak yakin, aku janji akan pergi dari hidup kamu selamanya." Alan melanjutkan gagasannya. 

Kecewa yang disimpan oleh Juwita nyatanya kalah besar dari sisa rasa dalam hati. Meskipun bertahun-tahun memendam dongkol karena ditinggal pergi, dia tidak menampik kenangan indah yang sulit dilupakan terus menerus membayangi. Gengsi perempuan itu mulai surut dan tatapannya berangsur lembut. 

"Kamu mau kasih aku kesempatan lagi? Atau sekalian nikah aja biar ngontraknya barengan? Jadi, lebih hemat biaya sewa." Alan melebarkan cengiran. 

Juwita berdecak, tetapi dia akhirnya setuju memulai kisah baru bersama sosok dari masa lalu. Martabak keju yang tidak hangat lagi menjadi saksi bisu atas kesepakatan di antara pasangan tetangga itu. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@aishasyarifa27 : Terima kasih banyak, Kak :)
Bagus ceritanya
Rekomendasi