TOKO KUE PUKUL EMPAT
11. Bukit Pengilon

 

DINI, ADRIANA, AIDAN, ALDO sedang mendaki jalan menuju bukit Pengilon. Keempatnya berjalan berbanjar dengan posisi ALDO, ADRIANA, DINI, AIDAN. Sesekali ADRIANA berhenti untuk berfoto selfie dan mengajak groofie kepada DINI namun DINI selalu menolak dengan alasan capai. ALDO juga lebih sering berhenti untuk memfoto pemandangan pantai dari kejauhan dan ketinggian.

CU TO ADRIANA yang sedang berpose di salah satu spot foto yang menjorok ke pantai. ALDO dengan kamera besarnya memotret ADRIANA tanpa sepengetahuannya. DINI yang menyadarinya berkode ke AIDAN, keduanya tersenyum mengiyakan.

AIDAN dan DINI berjalan meninggalkan ADRIANA dan ALDO.

 

34. EXT. PANTAI SIUNG – BUKIT PENGILON – PAGI

CAST: DINI, ADRIANA, ALDO, AIDAN

 

AIDAN

Gue sama DINI duluan ya!

-         ADRIANA yang kaget mendengarnya menoleh ke arah jalan kemudian menyadari kalau kamera ALDO sedang tertuju ke arahnya

-         ALDO kaget karena ADRIANA tiba-tiba melihat ke arah kameranya.

-         ALDO menggeser perlahan kameranya seolah sedang mencari objek lain untuk difoto.

-         ADRIANA melirik ke ALDO

 

AIDAN

ANA tuh temen yang gimana?

-         DINI menghentikan langkahnya mendengar pertanyaan AIDAN

-         AIDAN dari belakang merangkul DINI

-         DINI melirik ke AIDAN sebentar

DINI

ANA temen yang … menyenangkan. Dia selalu menjadi dirinya sendiri dan membiarkan orang di sekitarnya juga begitu.

AIDAN

O ya?

-         DINI mengangguk

-         AIDAN ikut mengangguk

AIDAN

Maaf kalau selama ini ANA pernah mengecewakan tapi dia nggak minta maaf

-         DINI tersenyum mendengar ujar AIDAN

-         AIDAN mengusap kepala DINI

DINI

Tentang kecewa, aku yang punya hak penuh. Aku yang pada akhirnya akan menentukan aku merasa dikecewakan atau enggak. Barangkali bener kata ALDO, selama ini bisa aja ANA emang bukan seorang yang baik untuk disebut sebagai teman, tapi pada akhirnya aku yang tetap memutuskan, definisi teman seperti apa yang aku butuhkan.

AIDAN

Kalau Ibu, definisi seperti apa seorang ibu yang DINI butuhkan? Ibu DHINA?

-         DINI menghentikan langkahnya diikuti AIDAN

-         DINI Dan AIDAN menoleh saling pandang beberapa saat

-         DINI menjauhkan diri dari AIDAN membuat rangkulan AIDAN terlepas

AIDAN

Seperti yang kalian bilang kalau tujuan pendidikan adalah seluas terciptanya manusia dewasa, dan itu bukan hanya tanggung jawab sekolah, rumah adalah satu yang terpenting. So, pendidikan di rumah yang Ibu DHINA berikan ke DINI, apakah sudah berhasil mencapai kata terdidik?

DINI

Menurut Abang sendiri? (DINI terlihat tidak senang mendengar pertanyaan yang disampaikan AIDAN)

-         AIDAN mengangguk segera

-         DINI mengangkat bahu dan alis bersamaan

-         AIDAN menyalip langkah DINI, mengulurkan tangan

-         DINI menerima uluran tangan AIDAN

-         AIDAN mempercepat langkahnya, keduanya sampai di puncak bukit Pengilon lebih cepat meninggalkan ADRIANA dan ALDO jauh di belakang

-         AIDAN dan DINI menikmati pemandangan sekitar

AIDAN

Gimana?

DINI

(Menghirup udara kemudian membuangnya) Sejuk

-         AIDAN jongkok menghadap ke pantai Siung

-         DINI mengikuti jongkok di sebelah AIDAN

AIDAN

Mau denger cerita nggak?

DINI

Cerita apa?

AIDAN

Cerita seorang perempuan yang tinggal di panti?

DINI

Ceritanya seru? (mengangkat alis)

-         AIDAN mengangguk segera

 

AIDAN

Malem itu, kamu izin balik duluan karena udah jam sepuluh, saya nambah pesen kopi untuk menghilangkan kantuk karena harus pulang bawa motor.

 

FLASHBACK TO

35. EXT. TAMAN – TOKO KUE PUKUL EMPAT – MALAM

CAST: DHINA, AIDAN, PELAYAN 1

 

- AIDAN melihat sekitar. PENGUNJUNG lain bubar meninggalkan taman. PENGUNJUNG di ruangan dalam masih lumayan ramai.

- AIDAN melirik jam di ponselnya, menunjukkan pukul sebelas.

- AIDAN melihat ke arah ruang kaca, di meja kasir. DHINA tidak ada lagi di sana.

- AIDAN menyeruput kopinya yang sudah dingin.

- AIDAN menutup laptopnya.

- DHINA muncul dengan membawa botol minum.

- AIDAN berdiri melihat DHINA yang berjalan ke arahnya

- Langkah DHINA semakin mendekat, AIDAN menarik kursi, kemudian menyilakan sesampainya DHINA

- AIDAN mengumbar senyum sejak awal



DHINA

Terima kasih

AIDAN

Sama-sama

DHINA

Tadi siapa namanya? AIDAN ya?

AIDAN

Iya Tan, AIDAN EL YAHYA

DHINA

Kalau saya nggak salah, kamu sering dateng ke sini ya?

- AIDAN tersenyum mendengar pertanyaan DHINA

AIDAN

Iya Tan, biasanya saya dateng rame-rame sama temen-temen buat ngerjain tugas. Kebetulan di sini tempatnya nyaman.

DHINA

Oh gitu, yaa baguslah kalau nyaman.

- DHINA meneguk minum di botolnya.

AIDAN

Iya, Tan

DHINA

Dan hari ini dateng sendiri?

AIDAN

Iya, Kebetulan sekarang tugasnya mandiri, jadi saya ke sini sendiri (sambil mengangguk tersenyum)

DHINA

Ohh.... bukan karena mau ketemu DINI? (DHINA minum lagi)

AIDAN

Ohh... nggak Tan, kebetulan. Tadi saya kira juga DINI udah tidur

DHINA

Oke... (DHINA bergidik kedinginan)

AIDAN

Mau di dalem aja Tan? Di sini sepertinya mulai dingin anginnya

- DHINA menggeleng.

DHINA

Kenal DINI dari mana?

AIDAN

Saya kakaknya ANA temannya DINI.

DHINA

Ooohhh....

- AIDAN mengangguk

DHINA

Saya tahu DINI malu punya ibu saya. Dia merahasiakan identitasnya dari temen-temennya di sekolah. Kamu bisa ke sini dan tahu saya ibunya DINI? (Minum lagi, kali ini lebih banyak).

AIDAN

Pertama ya, saya tahu DINI merahasiakan tentang TANTE di sekolah. Cuma adik saya ANA yang tahu hubungan DINI sama TANTE. Di sekolah DINI, kebetulan Toko tante sangat terkenal, mungkin itu alasan DINI menutupi ini. Dan saya tahu TANTE Ibunya DINI karena saya pernah lihat DINI keluar dari ruangan TANTE. Terus saya nanya ke pelayan katanya DINI anak TANTE.

- DHINA mengangguk, kemudian minum lagi.

- Kepala DHINA jatuh tertunduk ke meja.

- AIDAN kaget melihat DHINA.

- AIDAN melihat isi botol minum DHINA.

- AIDAN mengocok botol itu berulang kali, mengarahkan isi botol ke lampu, melihat jelas isi di dalamnya.

- AIDAN mencium botol tersebut kebingungan karena tidak bisa menduga isinya.

- AIDAN tambah kebingungan melihat kondisi DHINA.

- AIDAN memperhatikan wajah DHINA yang sedang tidak sadar.


Tok... tok... tok... (Bunyi dari Ponsel DHINA)


- DHINA bangun terkaget mendengarnya

- Tangan kananya refleks mengambil Ponselnya

- Matanya melihat AIDAN kaget


DHINA

Oh iya, saya lagi bicara sama kamu. Hehee maaf yaa, saya suka tiba-tiba ketiduran. (Tangan kiri DHINA meraih botolnya, dan meminumnya sedikit)

- DHINA mengecek ponselnya

DHINA

Kenapa bangun nak? (DHINA berbicara sambil menatap layar ponselnya)

- Sambil tertawa DHINA menunjukkan ponselnya ke AIDAN

DHINA

Lihat deh! DINI tuh selalu kebangun jam segini. Ke dapur, ngambil minum. Ngetok kamar saya, manggil, tapi nggak pernah berani masuk. Tapi terus balik lagi ke kamar. Saya aneh kenapa dia nggak berani masuk kamar saya

- AIDAN kaget melihat ponsel DHINA

- DHINA mengklik-klik layar ponselnya ke layar kamar DINI

DHINA

Dia tuh nggak langsung tidur, mapan tidurnya lagi jam dua. Kadang main laptop, nonton, makan bikin mie instan. Hahaaa ada-ada aja emang.

- AIDAN tertegun tidak percaya menyaksikan DHINA yang menenggak botol minumnya lagi.

DHINA

Dia benci ke saya karena saya nggak pernah cerita tentang DHANI, Ayahnya.
Pertanyaan saya... (Dengan mata yang semakin susah terbuka, DHINA mencoba meraih botolnya lagi, namun AIDAN sengaja menyenggolnya membuat botolnya jatuh dan isinya tumpah ke rumput hijau)
Haishh.... kenapa dia tumpah? (DHINA tidak sadarkan diri lagi)

- AIDAN mengambil botol dan membuang yang tersisa, menyimpannya lagi di meja

- AIDAN mengambil benda kecil (BIJI LOTUS BIRU) yang keluar bersama air dari botol DHINA

DHINA

Pertanyaan saya, apa yang harus saya ceritakan ke DINI tentang Ayahnya? Kalau dengan keadaan saya sekarang aja DINI malu?

- AIDAN terkaget menyaksikan DHINA yang berbicara dengan mata terpejam

- AIDAN memandangi wajah DHINA

- AIDAN membenarkan rambut yang menutupi wajah DHINA

- DHINA terbangun karenanya.

- DHINA menegakkan kepalanya kemudian menggeleng, menunduk, tak karuan, khas orang mabuk


DHINA

DHANI meninggal karena kecanduan poppy. DHANI kecanduan poppy karena stress dan depresi, DHANI kacau. DHANI kacau karena dibenci Bapaknya, diusir bapaknya dari rumah. DHANI diusir karena maksa menikah sama saya. Padahal sebelumnya DHANI anak kesayangan bapaknya, karena DHANI perenang di keluarganya.
Yahhhh, dunia emang begini, jahat. Makannya saya bilang ke DINI buat terus renang. Barangkali kalau suatu hari nanti dia punya medali emas kejuaraan renang, Tuhan yang bakal mempertemukan dia sama kakeknya. (Jelas DHINA panjang dengan mata merem melek)


- AIDAN semakin tercengang dengan penjelasan DHINA


DHINA

Tapi DINI nggak pernah ngerti, malah minta berhenti kelas renang, nggak peduli sama keluarga Ayahnya. Padahal saya janji sama DHANI bakal mempertemukan DINI sama keluarganya, terutama sama bapaknya, DINI si atlet renang. Hahahaa.... (DHINA meraih botolnya, mencoba meminum)
Hissshh habiss yaah abiss... Hahahaa habis semuaa... (DHINA tertawa kepada AIDAN).

DHINA

Kamu... Iya kamu! Liat itu!
Itu bunga Lily. Satu-satunya di taman ini. Di dunia ini, saya merasa kayak si Lily itu, sendiri. DHANI nggak ada, DHANI udah pergi. Keluarga panti juga udah ga ada, habis disapu tsunami. Saya sendiriaaaaaann..... Hahahaa... (DHINA menjatuhkan kepalanya lagi)

- AIDAN makin iba wajahnya melihat DHINA

AIDAN

Tante masih punya DINI, tante nggak sendiri. DINI sayang banget sama Tante.

DHINA

Saya itu aibnya DINI. Kamu tahu apa yang DINI minta ke Tuhan? Dia minta dilahirkan kembali dengan ibu yang lain. Dia nggak butuh saya. Dia nggak mau saya.

AIDAN

Kalau tante, butuh DINI?

DHINA

Saya menyayangi DINI sepenuh hati. Saya marah ke Tuhan, kenapa DINI dulu harus lahir? Dunia ini terlalu jahat buat dia. DINI terlalu polos dan baik untuk dunia yang penuh drama ini.

AIDAN

DINI pernah cerita ke saya, satu-satunya keinginannya di hidup ini adalah melihat tante bahagia.

DHINA

Hahaaa... keinginannya terlalu sulit. Bahagia saya adalah kalau bisa ketemu lagi sama DHANI. Tapi kayaknya saya akan lama ketemu DHANI karena saya harus mempertemukan dulu DINI sama keluarga DHANI, itu janji saya ke DHANI. Tapi DINI nggak mau. DINI nggak membantu saya menuju bahagia saya.

AIDAN

Kenapa harus OM DHANI? Tante bisa bahagia hidup sama DINI

DHINA

DINI nggak bahagia hidup sama saya. Saya nggak mau membuat ketidakbahagiaan di hidupnya. Itu alasan saya lebih menyibukkan diri di toko. Saya tahu DINI benci melihat saya, ibu yang dihujat di media sosial. Bahan gibah ibu-ibu komplek di tukang sayur.

AIDAN

Jadi apa keinginan tante sekarang?

DHINA

Hahahaa.... sudah lama sekali saya nggak mendengar pertanyaan itu. Kamu adalah orang kedua yang bertanya itu ke saya.

AIDAN

Oh ya? Orang pertama?

DHINA

Ya... yaa.... ya... hidup yang jahat tidak pernah peduli apa yang saya mau. Orang pertama yang nanya itu ke saya adalah DHANI. Haaaa..... Maas Dhanii.... (teriak)
Kamu jahat Maaasss (teriak)
Katamu ayo buat dunia yang nyaman bersama. Tapi kamu pergi... apa salahku maasss..... (teriak)

AIDAN

Apa jawaban tante waktu dulu ditanya om DHANI?

DHINA

Sayaa.... saya mau nyaman. Saya bilang dunia ini tempat yang nggak nyaman. Saya cuma ingin menyudahi ketidaknyamanan ini. Kalau pun tempat lain setelah dunia ini juga ternyata sama tidak nyaman, setidaknya saya sudah berusaha untuk mengakhiri ketidaknyamanan yang ini.

DHINA (O.S.)

Saya anak tertua di panti, sejak kecil saya nggak boleh diadopsi, pihak panti menjadikan saya pengait donatur, kalau ada yang mau ke saya, saya dipaksa untuk minta banyak hal, setelah waktunya saya dibawa, pihak panti selalu maksa saya untuk menolak, padahal saya sangat mau keluar dari panti. Begitu terus dan terus, sampai saya tujuh belas tahun, saya dipekerjakan di bar, siangnya saya jualan bunga di jalan. Siang itu di bawah lampu merah, satu rumpun bunga Lili yang mempertemukan saya sama DHANI, si pecinta bunga.
Siang lainnya kami bertemu lagi, DHANI beli bunga saya lagi, waktu itu bunga mawar yang tersisa. DHANI bilang, kalau kita ketemu lagi ketiga kalinya, dan saya jual bunga lain selain Lili dan Mawar, DHANI mau kami berteman. Kami bertemu ketiga kalinya, bukan di lampu merah dan transaksi bunga. DHANI yang saat itu delapan belas tahun membebaskan saya dari transaksi pihak panti dengan om-om di bar malam itu.
Setelah menikah beberapa hari DHANI cerita kalau seharian itu DHANI mengikuti saya, dia melihat saya berjualan bunga lagi, tapi mawar. Itulah alasan dia nggak beli, bukan bunga yang beda.
Sejak malam itu, DHANI menyelamatkan saya. Dia mengasingkan saya dari lingkungan panti. Dia memberi saya tempat tinggal, sepetak ruangan milik kakaknya dulu, kak Ella.
Setelah malam itu, DHANI bertanya keinginan saya, yang ternyata sama dengannya. Sebuah rasa nyaman. Rumahnya juga tidak nyaman kala itu. Selalu memaksa begini dan begitu. Hari itu DHANI mengajak keluar dari rumah yang tidak nyaman dan membuat rumah nyaman versi kami. Saya menyetujuinya.
DHANI yang berjanji menikahi saya setelah dia memberikan medali emas kejuaraan renang tingkat nasional itu fokus di sekolah atletnya. Dua tahun saya menunggu janji itu sampai akhirnya DHANI datang lagi menyapa saya dan menepati janjinya.
Tapi memanglah, orang tua mana yang membiarkan anak lelaki kebanggaannya menikah dengan seorang perempuan tidak jelas tanpa nama, tanpa keluarga, tanpa pendidikan. Seorang perempuan yang ditemui di tempat tidak baik.

- DHINA menjatuhkan kepalanya lagi. Tangannya menyilang mendekap bahunya.

- AIDAN melepas jaketnya dan memasangkannya ke punggung DHINA

AIDAN (V.O.)

Tapi sebenarnya seorang perempuan yang ditemui di tempat tidak baik itu, adalah perempuan baik, dia malaikat yang tersesat, malaikat yang menjadi lemah karena ada yang telah memotong sayapnya.

- AIDAN membenarkan rambut DHINA lagi.

- AIDAN menatap DHINA dalam.

- AIDAN melirik jam di tangannya, terlihat angka 01.30

Tok... tok... tok... (Bunyi Ponsel DHINA)

Ponsel DHINA menyala

DHINA (O.S.)

Pasti keluar dari kamar, ke dapur lagi ngisi botolnya, mampir ke depan pintu kamar saya, nggak ngetok, nggak manggil, ngelus pintunya aja. Jalan ke ruang tamu, ngeliat akuarium, ngasih makan ikannya. Terus nyuruh ikannya ngeliat ke kaca yang dia pasang di samping akuarium. Dia nggak akan pergi sebelum ikannya ngadep ke kaca. Dan setelah si ikan liat kaca, dia dadah-dadah ke ikannya.

- AIDAN menyaksikan layar ponsel yang otomatis menyala setelah terdengar notifikasi. DINI melakukan semua yang diucapkan DHINA

- AIDAN menggeleng melihat DHINA.

- AIDAN mengembalikan ponselnya ke samping DHINA dan berdiri membawa botol DHINA

- Tangan DHINA meraih tangan AIDAN

- AIDAN tersenyum melihatnya

AIDAN

Saya isiin dulu botolnya.

- DHINA melepas tangan AIDAN

- AIDAN menghampiri pelayan yang duduk di meja kasir

PELAYAN 1

Maaf Mas, tadi ibu pesen biarin ibu sama Mas. Kami nggak berani, ibu emang sesekali begini, dan biasanya bangun sendiri sekitar jam dua.

AIDAN

Oh iya saya paham. Boleh saya minta isikan air mineral? (Sambil menyodorkan botol)

PELAYAN 1

Oh iya, tunggu Mas

- PELAYAN 1 memberikan botol ke AIDAN

PELAYAN 1

Sekali lagi kami mohon maaf ya Mas. Biasanya ibu mengajak salah satu dari kami buat dengerin ibu.

AIDAN

Oh iya saya paham. Kebetulan saya kenal tante DHINA. Tapi maaf kalau boleh saya tahu, seberapa sering ya tante DHINA begini?

PELAYAN 1

Dua minggu sekali, kadang seminggu sekali. Atau kalau habis berantem sama kak DINI.

AIDAN

Hooo begitu, oke makasih (AIDAN mengangguk berulang)

PELAYAN 1

Tapi sebenernya ibu orang baik sekali mas. Ibu begitu karena lagi stress aja.

Langkah AIDAN tertahan.

AIDAN

Oh iya-iya saya paham.

- AIDAN mengangguk berulang. Tatapnya menelisik

AIDAN

DINI nggak tahu ibunya begini?

PELAYAN 1

(Menggeleng) Ibu menghargai kak DINI lebih dari menghargai dirinya sendiri.

- Wajah AIDAN masih menelisik.

PELAYAN 1 (O.S.)

Setiap jam dua malam ibu selalu pulang. Dalam keadaan sadar, setengah sadar, atau sama sekali nggak sadar. Saya selalu menemani ibu. Dan ruangan pertama yang selalu dituju ibu adalah kamar kak DINI, ibu selalu mencium kening kak DINI, membenarkan selimutnya. Baru ibu ke kamar, bukan istirahat, tapi memperhatikan kak DINI tidur dari layar besar di kamarnya, sambil menulis notes from poppy. Ada CCTV tersembunyi yang dipasang ibu di kamar kak DINI, tapi kak DINI sama sekali nggak tahu. Sesekali ibu ke kamar kak DINI untuk membenarkan selimut lagi.
Ibu nggak pernah sampai jam empat di toko. Ibu selalu pulang ke rumah untuk memperhatikan kak DINI.
Ibu baru tidur jam lima, waktu kak DINI bangun. Jam tujuhnya ibu sudah harus menyiapkan sarapan kak DINI. Kadang kalau ibu bangun kesiangan, ibu Cuma nyiapin kue dari toko.

- AIDAN mengangguk melihat jam di tangan 01.45

- AIDAN berpamit ke PELAYAN 1

- AIDAN kembali ke meja. Menyimpan botol di samping DHINA

- DHINA yang mendengar suara botol langsung bangun dan meraih botolnya kemudian meneguk airnya banyak sekali

- DHINA menjatuhkan kepalanya lagi

- AIDAN tersenyum melihat DHINA

- AIDAN mengambil pulpen di jaket yang disampirkan di punggung DHINA

- AIDAN mengambil kertas di tasnya kemudian menulis sesuatu di kertas itu


FLASHBACK SELESAI ...


CUT TO:

- ADRIANA dan ALDO sampai di puncak bukit.

- ADRIANA menghampiri AIDAN dan DINI, merangkul dari belakang, membuat rangkulan AIDAN ke DINI terlepas

ADRIANA

Ciee ... pemandangannya bagusan yang di depan atau yang di samping, BANG?!

- DINI yang sedang menangis, mengusap air mata, dan berdehem memastikan suaranya aman.

- ADRIANA menoleh ke DINI

- AIDAN melihat ADRIANA yang menyadari sisa tangisan DINI

- ADRIANA menoleh ke AIDAN bertanya dengan menaikkan alis dan mengernyitkan jidat

- AIDAN mengangkat bahu menggeleng

- ADRIANA memeluk DINI

- AIDAN menepuk DINI kemudian berdiri dan meninggalkan ADRIANA dan DINI

- DINI yang menyadari kepergian AIDAN menoleh ke belakang

DINI

BANG, Makasih ya udah jujur!

AIDAN

No need, nothing's gonna change kok.

- DINI mengangguk berulang kemudian balas merangkul ADRIANA lebih erat

ADRIANA

Aku juga janji ga bakal berubah, DIN. Kita bakal tetep kayak gini ya. Kita bakal baik-baik aja kalau kita tetep bareng-bareng gini.

(ADRIANA mengatakan itu karena salah paham dengan penyebab DINI menangis. ADRIANA menyangka kalau AIDAN memberitahu perihal sakitnya ke DINI.)

- ADRIANA melepas pelukan kemudian menunjukkan kelingkingnya. DINI tersenyum meengaitkan kelingkingnya.

DINI

Forever? (Menunjukkan jari jempol dan telunjuk tangan kirinya untuk membentuk sebagian simbol infinity)

ADRIANA

On and on (Mengikuti yang DINI lakukan)

Di saksikan matahari yang segera meninggi, DINI dan ADRIANA menyilang tangannya terikat dalam simbol janji dan infinity.

Tidak jauh dari ADRIANA dan DINI ada gubuk peristirahatan. ALDO yang sedang minum melirik ke AIDAN yang mapan duduk di sampingnya. AIDAN menyaksikan punggung ADRIANA dan DINI sambil sesekali tersenyum. ALDO sempat memerhatikan AIDAN sebelum kemudian ikut membuang pandangan ke punggung ADRIANA dan DINI.

ALDO

Gue nggak tahu sih kejujuran apa yang Lo bilang sampe DINI nangis. Tapi Lo inget kan kalau Gue mau make sure DINI selalu aman.

- AIDAN melirik sebentar ke ALDO yang masih menatap ke depan

AIDAN

Lo kenapa? Jealous? (Minum air di botolnya, membuka sebungkus snack wafer dan menawarkannya ke ALDO yang masih melihat ke DINI dan ADRIANA)

- ALDO mengambil sepotong wafer

AIDAN

Menurut Gue, Lo tuh nggak bisa bersikap bias gini, Lo tuh jatuhnya jahat karena bikin mereka saling cie-ciein. Kemarin sore Lo berdua sama DINI, tadi di jalan Lo diem-diem moto ANA, terus Lo santai aja pas Gue sama DINI tinggal, seolah Lo emang maunya gitu.

- ALDO menoleh ke AIDAN melihat dalam ke matanya. AIDAN yang menyadarinya balas melihat ALDO.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar