Disukai
2
Dilihat
1,497
The Universe Next Door
Misteri

"Breaking news ... para korban penculikan 'taksi hantu' di kawasan sekitar bandara selama lima tahun terakhir ini akhirnya telah ditemukan dalam keadaan telah meninggal dunia di dalam kamar-kamar lantai 13, yang adalah lantai paling atas, dari sebuah bangunan rumah susun tua, yang tiba-tiba muncul dalam semalam di atas sebuah tanah kosong bekas kuburan di daerah pinggiran ibu kota."

Suara seorang pembawa acara berita di salah satu stasiun televisi swasta mengiringi pagiku yang kelabu di bawah kepungan armada pasukan Dewa hujan yang menyerbu seluruh kota megapolitan ini dari semalam.

"Dar!"

Gemuruh petir yang menyambar-nyambar dalam guyuran hujan menciptakan sebuah soundtrack yang menegangkan sekaligus mencekam di hari Minggu yang kehilangan warna merahnya ini.

Aku sedang meracik semug kopi tubruk favoritku saat wanita berpakaian formal itu sedang membacakan breaking news pagi ini.

Breaking news yang membuatku dan seluruh kota, mungkin seluruh negeri, atau bahkan seluru alam semesta tersadar dari imajinasi kami masing-masing dan berkumpul untuk melihat sebuah realitas yang sebenarnya, yang selalu kami acuhkan selama ini.

Aku duduk di atas sebuah sofa tua yang menghadap langsung ke arah kotak ajaib yang bisa bersinar dan bersuara itu, yang seakan mempunyai kehidupannya sendiri di dalamnya, mungkin memang seperti itulah kenyataannya, kehidupan yang kita jalani selama ini di dalam sebuah dunia yang kita ketahui dan sadari ini mungkin hanyalah sebuah kotak kecil dengan layar kaca yang bisa bersinar dan bersuara bagi orang lain di luar sana.

Sebuah kehidupan yang dibatasi dan dipisahkan oleh sebuah layar kaca cembung dari kehidupan yang lainnya.

Aku menyesap cairan hitam itu sebanyak tiga kali, ditambah dua lagi setelahnya, lalu meletakkan mug polos itu di atas sebuah meja kaca di hadapanku.

Aku akhirnya mengambil sebuah pisang goreng yang tersedia di atas sebuah piring keramik disebelahnya setelah sempat berpikir, mungkin, seseorang pemilik wajah tampan dari pantulan gelap semug kopi tubruk panas itu sebenarnya bukan diriku, melainkan versi diriku yang lain dari balik pekatnya kegelapan yang menyelimuti kopi tubruk itu.

Setelah memikirkan kembali teori yang sangat halu dan absurd yang tidak mungkin terjadi itu, akhirnya aku mulai melumat pisang malang itu dalam mulut berbau busukku dan menelannya dalam terowongan kegelapan menuju samudera asam yang mematikan di bawah sana.

"Aaarrgh!!!"

"Ah ... kebiasaan. Bersendawa sembarangan."

"Untung tidak ada orang."

"Brut."

"Oh, sial. Kenapa aku punya kebiasaan yang jorok sekali."

Setelah menerima serangan balasan dari gabungan lima teguk kopi tubruk dan sebuah pisang goreng yang masih hangat, yang mendobrak-dobrak perutku dari kedalaman lautan asam, aku akhirnya terknock-down kedalam toilet yang bau.

"Aaahh ... leganya ...."

Aku kembali masuk ke dalam ring, menantang para sarapan pagiku yang menolak untuk direlokasi ke dalam perutku.

Dalam rematch kali ini, aku berhasil mengalahkan mereka semua dalam satu ronde yang mudah dan cepat tanpa tersentuh sedikitpun.

"Aaarrgh!!!"

"Akhirnya selesai juga."

"And the winner is ... Arthur 'The Clown' Junior!"

Dan si badut pemenangnya, dengan pukulan K.O di akhir laga.

Pertandingan yang seru di hari Minggu yang kelabu.

Dan sekarang, seluruh stasiun televisi berhasil kembali dikudeta oleh pasukan militer dari dunia lain.

Breaking news kembali hadir dengan lanjutan berita mengenai rusun misterius di pinggiran kota yang kumuh.

Kali ini mereka mengabarkan bahwa "istana hantu" itu kembali menghilang bersama para korban dan semua anggota kepolisian yang sedang melakukan olah TKP di tempat kejadian.

"Hmm ... sungguh hari Minggu yang absurd."

"Cklek."

Aku membuka pintu depanku yang berwarna abu-abu dan menatap guyuran hujan yang berada di hadapanku dengan perasaan yang agak menyesakkan.

"Haaa ... kapan hujan ini akan berhenti?"

"Tidak akan," sahut seorang perempuan cantik di samping apartemenku, tetanggaku.

"Hujan ini tidak akan berhenti, percayalah," sambungnya.

"Benarkah?" tanyaku pura-pura lugu.

"Ya."

"Kau mau mampir? Pasti membosankan terjebak dalam badai ini seorang diri. Benar kan?" tanyanya menggoda.

"Ya, kau benar. Sangat-sangat membosankan," jawabku mulai memanas.

"Masuklah, aku punya sesuatu yang lezat di dalam."

"Baik."

Bagai terhipnotis, aku seperti sebuah logam yang tertarik oleh sebuah magnet raksasa kedalam pelukannya yang hangat.

"Cklek."

"Anggap saja rumah sendiri," ucap perempuan cantik itu.

"Tentu," jawabku mengikutinya menuju dapur.

"Namamu, Adrian, bukan?"

"Ya. Kau ...."

Perempuan itu menghentikan langkahnya dan berbalik menghadapku yang sedikit lebih tinggi darinya.

"Joanna."

"Joanna. Nama yang cantik," pujiku.

"Terimakasih."

Dia melanjutkan kembali langkahnya yang sempat terhenti menuju dapur.

"Kau juga, tampan," katanya tanpa menoleh kepadaku yang mengikutinya dari belakang.

"Ha ... benarkah? Aku pikir biasa saja."

Perempuan cantik itu kembali berhenti dan menatapku, kini semakin berbahaya.

Wajahnya yang sempurna itu semakin mendekatiku yang hanya bisa terdiam seperti sebuah patung.

Aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat menyentuh bibirku dengan lembut.

"Tidak perlu dipikirkan, cukup dirasakan saja," ucapnya begitu dekat.

"Kau tau? Perasaan jauh lebih jujur daripada logika."

"Ya, mungkin. Terkadang aku juga berpikir seperti itu," jawabku dengan jantung yang akan meledak.

Dia mundur satu langkah, tersenyum dengan sebuah senyuman yang sulit untuk dijelaskan, dan berkata, "sudah kubilang, tidak usah dipikirkan. Pikiran itu merepotkan, lepaskan saja semuanya. Biarkan semua mengalir seperti aliran darah yang mengalir dengan bebas dalam tubuhmu ini."

Tangan hangatnya membelai dengan sangat lembut pada kulitku yang dingin.

"Tapi sepertinya, aliran darahku tidak mengalir sebebas itu. Bahkan terkadang mereka seperti membeku di dalam sana," kataku menatap mata indahnya itu.

Dia kembali tersenyum kepadaku, sekarang entah mengapa rasanya sedikit ... menakutkan. Jantungku terasa berhenti berdetak. Tetapi, rasanya justru sangat ... tenang.

"Kau harus rileks, Adrian. Ada sesuatu dalam dirimu yang ... terperangkap. Lepaskan itu dan semuanya akan baik-baik saja."

"Benarkah? Apa?"

"Entahlah. Hanya kau yang mengetahuinya, bukan?"

"Oh, ya. Ngomong-ngomong, aku tadi menawarkan sesuatu yang lezat kepadamu, bukan?" tanyanya bergegas menuju dapur terbuka itu.

"Ya," ucapku yang masih terpaku.

"Kau belum sarapan kan?" tanyanya, kini sudah berada di dapur itu.

"Ya," jawabku, otakku terasa membeku.

"Bagus kalau begitu. Aku akan membuatkanmu ...."

Sekarang, waktu tiba-tiba terasa berhenti berputar.

"Hai! Halo, Adrian! Kau mendengarku?"

"Ah ... ya ... ya ... aku mendengarmu," ucapku terbata-bata.

"Apa?"

"Apa?"

"Hmm ... kau tidak mendengar sama sekali," ucapnya kesal.

"Benarkah? Maaf."

"Kau bilang apa tadi?" tanyaku seperti orang linglung.

"Hmm ... kau mau ... atau ...?"

"Maaf, apa? Bicaralah yang keras, aku tidak bisa mendengarmu."

"Aku bilang! Kau mau ... atau ...?"

"Apa!? Aku tidak bisa mendengarmu ...."

"Oh, tidak. Tempat apa ini?"

Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja aku sudah berpindah tempat ke sebuah ruangan yang dipenuhi dengan mayat-mayat manusia yang berbau busuk.

"Ini adalah rumah susun misterius yang tadi kau lihat di televisi," ucap Joanna di belakangku.

"Apa kau melihatnya? Pemuda putus asa itu?"

Tiba-tiba saja ada seorang pemuda seumuranku sedang berteriak-teriak seperti orang gila di tengah-tengah kerumunan mayat disekitarnya.

Beberapa saat kemudian, pemuda itu berlari dengan sangat kencang keluar ruangan dan melompat dengan sukarela kedalam kematian.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Joanna.

"Dia benar-benar idiot," jawabku tidak habis pikir dengan kelakuan pemuda sakit jiwa itu.

"Apa menurutmu itu nyata? Semua yang kau lihat dan saksikan ini? Apakah semua itu nyata?"

"Tidak."

Aku berbalik menatap wajah cantik itu.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa tiba-tiba kita berada disini?"

Dia tersenyum penuh makna kepadaku yang bingung.

"Bagaimana semua ini berawal?" tanyanya penuh tanda tanya.

"Apa maksudmu?"

"Apa hal pertama yang kau ingat hari ini?"

"Aku ... aku menyalakan televisi tuaku lalu membuat sarapan pagiku, semug kopi tubruk dan sepiring pisang goreng, piring keramik. Kemudian aku menyantapnya sambil menonton berita itu, di tv, rumah susun ini."

"Kau bilang tadi kau belum sarapan," ingat Joanna.

"Maaf, aku berbohong ... hehe."

"Bohong? Untuk apa?"

"Agar aku bisa bersama denganmu, hehe."

"Setelah itu, apa yang terjadi selanjutnya?"

"Aku pergi ke depan karena bosan, membuka pintu abu-abuku, menatap hujan menyebalkan itu dan ... bertemu denganmu."

"Lalu, apa kau akhirnya bisa bersama denganku?"

"Ya, tentu. Kita disini sekarang, di dalam rusun angker dalam berita."

"Apa kau sudah merencanakan semuanya?

"Tentu saja tidak. Apa maksudmu? Semua terjadi begitu saja."

"Jadi, maksudmu semua ini hanya kebetulan?"

"Ya, tentu. Apalagi?"

"Hmm ... menarik."

Aku hanya bisa membalasnya dengan sebuah tanda tanya.

"Apa kau ... mengenalku sebelumnya? Atau melihatku di suatu tempat? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

"Kau gila? Kita baru saja bertemu beberapa menit yang lalu. Tentu saja aku tidak mengenalmu. Aku bahkan tidak tau siapa namamu sebelumnya. Justru kau yang sudah mengetahui namaku terlebih dahulu. Sebenarnya siapa dirimu?"

Entah mengapa aku tiba-tiba saja mulai terpancing dengan semua pertanyaan aneh yang dicecarkannya padaku.

"Apa kau yakin tidak pernah melihat mata cokelat ini?"

Mata itu, sepasang mata cokelat itu, mereka tiba-tiba berputar dengan sangat cepat hingga aku merasa tersedot kedalamnya.

"Apa itu tadi?" tanyaku kebingungan.

"Kebenaran," jawab Joanna.

"Apa menurutmu semua ini nyata? Semua kebohongan ini? Semuanya hanyalah ...."

Pandanganku tiba-tiba memburam, semua jadi tidak jelas, bahkan wajah cantik itu, sekarang, dia hanya terlihat seperti sesosok monster dalam pandanganku yang buram ini.

Dia terus meneriakiku, melontarkan kata-kata yang tidak bisa kudengar dengan jelas, dengan wajah yang semakin menakutkan itu, wajahnya semakin rusak, darah semakin mengucur dengan deras dari dalamnya, dan dia semakin mendekatiku, selangkah demi selangkah, menuntunku ke tepian jurang gelap tak berdasar di belakangku, yang seakan berusaha menghasutku agar aku mau menyelam kedalamnya dengan sukarela.

Perempuan itu, tetanggaku yang cantik, Joanna, yang kini berubah menjadi monster mengerikan, semakin dekat dan dekat kepadaku yang ketakutan.

Langit masih belum berhenti dari kesedihannya.

Tangisannya masih membasahi tubuhku yang kelabu. Dan gumpalan tanah yang kuinjak mulai bergetar, terguncang, seperti seorang bocah yang duduk meringkuk disudut ruangan itu, dalam gelap dan pengapnya kamar kecil itu.

Aku melihat semuanya, semua mimpi buruk itu dengan sangat jelas dalam pantulan diriku pada sepasang mata cokelat yang berputar menjadi hitam itu.

Apa ini? Mimpi buruk? Kalau benar begitu, tolong bangunkan diriku dari pertunjukan horor ini ....

"Hei, Robo. Kau baik-baik saja?"

Robo? Siapa Robo? Tubuh siapa ini?

"Hei, kau mendengarku ... bodoh?" tanya gadis itu tersenyum dengan dingin kepadaku.

"Siapa kau?"

"Aku ...."

Lagi dan lagi, semuanya berubah menjadi hitam, gelap, lalu aku terlemparkan di tempat asing lagi, dalam tubuh orang asing yang sama sekali tidak kukenal.

"Hahahahahaha! Dasar anak tidak berguna! Kau pikir aku menyayangimu? Sampah," ucap iblis merah bertanduk itu kepadaku yang terbelenggu dalam lingkaran pentagram berapi disekelilingku ini.

"Siapa ... kau?"

"Aku ...."

"Apa-apaan ini ...."

Aku mulai kesal dengan semua ilusi ini, dan sekarang pandanganku dipecah menjadi dua sisi yang serupa tapi tak sama.

Di satu sisi aku melihat sekelompok pemuda berpenampilan aneh, seorang pemuda yang berdiri di atas sebuah awan pasir, seorang pemuda setengah robot, seorang pemuda dengan kulit seputih salju yang baru saja melakukan surfing menggunakan sebuah papan selancar es batu di atas gelombang es yang beku, dan seorang pemuda berambut putih yang berdiri di atas sebuah mayat manusia. Mereka terlihat sedang bersiap menghadapi seorang atau sesosok monster mengerikan dengan puluhan, ratusan atau bahkan ribuan kelelawar yang mengitarinya di sebuah kota yang sudah hancur luluh lantak, seakan sebuah bencana hebat baru saja menerjang kota itu.

Di sisi lain aku melihat keempat pemuda yang serupa ditambah seorang pemuda lainnya yang memakai sebuah jubah hitam polos sedang berdiri di atas sebuah gedung pencakar langit sedang mengawasi kerumunan lautan manusia di bawah mereka yang terlihat sedang terfokus mengamati sebuah "Breaking News" di sebuah monitor raksasa yang terpasang dengan sempurna pada sebuah gedung pencakar langit di seberang mereka berlima.

"Itu semua adalah imajinasimu."

Terdengar sebuah suara yang tidak asing di telingaku, suaraku.

Aku berbalik melihat seorang pemuda pemilik suara itu.

Sekarang, aku melihat diriku sendiri sedang fokus memainkan smartphonenya sambil rebahan di atas sebuah kasur dengan santainya.

"Kau?" ucapku ragu.

"Apa?" tanyanya acuh tak acuh.

"Siapa kau? Dan dimana aku?" tanyaku kemudian mengamati sekelilingku yang kini berubah lagi menjadi sebuah medan perang yang sangat kacau dan bising.

"Jangan tanyakan pertanyaan yang sudah kau ketahui jawabannya. Kau tau kita tidak suka berbasa-basi."

"Dan hentikan imajinasi bodohmu itu, kau merusak alurnya."

Kini dia, atau diriku, terlihat sedikit kesal, menaruh Smartphonenya di atas kasur berseprai logo dan tulisan Manchester united itu, dan menatapku seakan ingin membunuhku.

"Alur? Alur apa?" tanyaku bingung.

"Kenapa kau berada disini, bodoh?"

"Seharusnya sekarang kau sedang bersenang-senang dengannya di apartemen itu, di bawah guyuran hujan yang dingin dan memabukkan itu."

"Apa maksudmu? Apa kau gila?"

"Haaa ... ya, aku memang gila. Berbicara dengan diriku sendiri dalam kamarku yang sepi."

"Aku memang gila," pungkasnya tersenyum dengan senyum yang menakutkan, atau dalam hal ini benar-benar menjijikan, bahkan untuk diriku sendiri.

"Hentikan itu, tolong," pintaku tulus.

"Apa?"

"Haa ... ekspresimu itu, bodoh," ucapku kesal.

"Ah, baiklah."

"Kau masih melakukannya."

"Apa?"

"Sudahlah," ucapku kesal.

"Alur apa?" tanyaku sekali lagi.

"The Universe Next Door."

"Apa itu?"

"Judulnya. Judul dari kisah kalian berdua, mungkin kita bertiga atau kita semua."

"Judul? Aku sama sekali tidak mengerti. Dan juga, judul macam apa itu? 'The Universe Next Door'. Apa-apaan itu? Memangnya ada alam semesta lain di ruangan sebelah?" ucapku sinis.

"Oh, sial," ucapku menyadari sesuatu kemudian.

"Ya."

"Kau memang tidak nyata. Kau hanyak refleksi diriku dalam dunia yang kuciptakan sendiri dalam pikiranku yang kacau ini."

"Kehidupanmu hanyalah sebuah cerita omong kosong yang kuketik dengan penuh kebencian pada benda kecil ini," ucapnya menunjukan smartphonenya dan coretan imajinasinya yang buruk kepadaku, produknya yang gagal.

"Setidaknya seperti itu rencananya sebelum kau mulai ikut mengambil alih dan merusak segalanya."

"Sekarang aku juga terjebak dalam pikiranku sendiri. Aku jadi tidak yakin apa aku ini sebenarnya nyata, The Original, atau hanya sebuah produk yang gagal sepertimu."

"Mungkin kita sekarang masih berada dalam otak kita yang rusak," pungkasnya.

"Kau tau? Aku sama sekali tidak paham dengan semua yang kau katakan," ucapku jujur.

"Haaa ... baiklah, ayo ikut aku," ajaknya menuju antah-berantah.

"Tempat apa ini? Dimana kita sekarang?" tanyaku saat kami tiba-tiba berteleportasi ke dalam sebuah tenda berwarna merah.

"Masih terjebak dalam mimpi buruk yang kita lukis sendiri dalam pikiran kita yang rusak."

"The Greatest Circus of All Time."

"Apa?"

"Apa kita seorang pelukis abstrak?" tanyaku agak bingung melihat pertunjukan sirkus di hadapanku ini.

"Ya," jawabnya singkat.

"Kenapa para penonton mengerumuni makhluk itu seperti ingin memasaknya bersama-sama? Lalu, kenapa ada naga pasir di tempat ini?"

"Karena pertunjukan sebenarnya baru saja akan dimulai."

"Ibu! Lihat! Kakak itu kembar!"

Tiba-tiba saja seorang anak kecil berteriak dan menunjuk-nunjuk ke arah kami dengan wajah imutnya.

"Hai," sapaku pada anak kecil yang lucu itu.

"Halo," balasnya melambaikan tangan mungilnya kepadaku.

"Kau lihat, pertunjukannya sudah dimulai."

"Roaaarrr!!!"

"Aaahhh!!!"

Dan semua orang mulai terbantai satu persatu.

"Aaarrgh!"

"Tidak, jangan, kumohon ...."

"Crot!"

"Lari!"

"Selamatkan diri kalian!"

"Sirkus ini terkutuk! Mereka semua benar-benar sudah gila!"

"Lari!"

"Oi, oi, oi ... apa ini yang kau maksud 'dimulai'?"

"Ya, menarik bukan. Kau tidak akan bisa melakukannya dalam kenyataan yang sebenarnya."

Aku menoleh kepada wajahnya yang tiba-tiba berubah menjadi sangat beringas dan menakutkan itu dan berkata, "apa kau gila?"

"Kita semua gila."

Bersamaan dengan jawaban gila yang kudengar itu sekeliling kami berubah menjadi hitam.

"Apa lagi sekarang?"

"Sudahlah, hentikan. Aku sudah lelah dengan semua omong kosong ini," ucapku memelas.

"Apa maksudmu? Bukankah semua baru saja dimulai?"

"Aku tidak melakukan apapun. Kau yang mengambil semua kendali sekarang. Selamat tinggal."

"Apa? Tunggu! Kemana kau? Jangan tinggalkan aku sendiri di kegelapan ini."

"Kau tidak akan pernah sendirian. Kami semua selalu bersamamu selama ini. Disini, di dalam dirimu yang sebenarnya."

"Apa maksudmu?"

Lagi, ternyata itu semua hanya mimpi.

Aku masih berada di tempat yang sama selama ini.

Di dalam kamar kecil dan pengap dengan kasur berseprai logo dan tulisan Manchester united ini.

Di atas warna merah si setan merah, aku kembali menangis dalam sepi.

Hening, sunyi dan hampa, itulah yang sebenarnya terjadi.

Diluar, langit masih konsisten dengan tangisannya. Mengurung diriku yang biru dalam dinginnya udara yang membekukan dada.

Aku terus berlari dalam sebuah labirin tak kasat mata. Berharap dan terus mencari sebuah jawaban.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Meskipun hanya mimpi, tapi tetap ngeriiiiii😰😰😰
Rekomendasi dari Misteri
Rekomendasi