Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
2,076
Sosok Bapak
Drama

Saya enggak kenal sama yang namanya: bapak. Yang saya maksud itu bukan Bapak RT, Bapak RW, Bapak Lurah, juga Bapak Presiden, bukan, bukan itu. Kalau bapak yang itu, yaa, sebagian ada yang saya kenal karena kebetulan tetangga-an sama rumah saya. “Bapak” yang saya maksud adalah sosok dari suaminya Emak, bapak kandung saya yang ikut ‘andil’ buat saya bisa hadir di dunia ini.

Sedari kecil, saya sudah tinggal sama nenek, di desa. Nenek ‘ibunya bapak’ saya inilah yang merawat saya dari kecil, sementara si Emak harus membanting tulang mencari uang buat kebutuhan saya. Waktu saya masih SD, saya belum tahu banyak soal bapak. Setiap kali Emak saya tanya soal bapak, Emak cuma jawab pertanyaan saya dengan singkat, “Bapak itu suaminya Emak.” Terus terang, waktu itu saya belum ngerti apa maksud jawaban Emak. Yang saya tanya ‘bapak’, kok Emak malahan jawab ‘suami’. Soal ‘bapak’ saja saya belum tahu ‘itu’ apa, apalagi ‘suami’?

Untungnya, waktu itu saya bisa sedikit-banyak tahu dari cerita-cerita teman-teman SD saya soal itu ‘bapak’ dari obrolan-obrolan kami yang suka saya selipkan pertanyaan soal: bapak.

“No, Bapak itu apa sih?” tanya saya ke teman akrab saya, Paino.

“Bapak itu … yang beliin kita baju sekolah,” jawab Paino.

“Na, Bapak itu apa sih?” tanya saya (lagi) ke Rina.

“Bapak itu … yang nganterin kita ke sekolah,” jawab Rina.

Saya cuma bisa manggut-manggut (meski belum mengerti) mendengar jawaban-jawaban dari teman-teman SD saya waktu itu. Kalau begitu, Emak adalah bapak. Sebab, yang rajin nganterin saya ke sekolah: Emak; yang beliin baju sekolah, tas, sepatu, juga kebutuhan saya yang lain: Emak. Jadi … Emak adalah bapak, Bapak adalah emak. Begitulah ‘pikiran SD’ saya menyimpulkan jawaban-jawaban yang saya dapatkan soal “bapak”.

Saat saya sekolah SMP, barulah saya memahami jawaban Emak dari pertanyaan saya ‘soal bapak’. Ilmu pengetahuan saya bertambah seiring umur saya yang juga berkurang. Tapi tetap saja, jawaban Emak belum memuaskan rasa ingin tahu saya soal ‘bapak’. Ya, sewaktu saya SMP, saya mengerti, Bapak adalah suaminya Emak, karena Emak dinikahi oleh Bapak. Tapi … di mana Bapak saya? Kok nggak pernah kelihatan bersama Emak, saya, juga Nenek?

Jika saya mempertanyakan soal ‘bapak’ lagi ke Emak, Emak selalu bilang, “Sabar, Ki, nanti Emak kasih tahu.” Selalu begitu jawabannya. Jawaban Emak itu justru bikin saya sedih. Saya mengerti, orang hidup di dunia pasti bakal mati. Saya tahu itu. Tapi, apa Bapak saya sudah mati? Lagi pula saya sedikit mengerti, kalau orang menikah itu bisa saja bercerai, berpisah. Untuk yang satu ini (bercerai, berpisah), saya cuma bisa bertanya dalam hati: kenapa Bapak tidak menengok saya? Kan Bapak masih hidup, hanya berpisah sama Emak.

Hingga akhirnya, malam itu Emak masuk menghampiri saya yang sedang belajar mempelajari materi ujian untuk saya bisa lulus SMP. Emak masuk ke kamar saya, mengelus rambut Sukinem yang sudah tidur di kasur. Emak duduk di samping saya setelah selesai menutup tokonya yang menyatu dengan rumahnya nenek ‘ibunya bapak’. Saya menengok dan tersenyum sama Emak yang datang menghampiri sambil memegang dua lembar foto dan secarik amplop.

“Ini, amanat dari Bapak, Emak sampaikan ke kamu, sekarang,” Emak lalu menyodorkan selembar foto bergambar seorang lelaki sedang menggendong anak bayi dengan latar belakang teras rumah nenek ‘ibunya bapak’.

“Ini siapa, Mak?” Tangan saya menunjuk anak bayi yang berada di foto berlatar teras rumah. Teras rumah itu saya ingat, saya kenal. Tapi saya tidak kenal siapa lelaki yang berfoto menggendong anak bayi itu.

“Itu kamu,” jawab Emak, singkat.

Pikiran saya langsung bisa menerka-nerka bahwa lelaki yang berada di foto itu bersama sang bayi adalah: Bapak. Hanya saja, wajah lelaki itu kurang begitu jelas terlihat. Tiga detik kemudian, Emak menyodorkan foto seorang lelaki berperawakan gagah kepada saya. Saya cepat dapat memastikan bahwa foto lelaki gagah itu adalah: Bapak. Lekuk-lekuk wajahnya begitu mirip dengan hidung saya, mata saya, bibir saya, saat saya berkaca mematut diri. Biar begitu, saya tetap bertanya kepada Emak hanya untuk sekadar memastikannya saja.

“Ini Bapak, Mak?” Tangan saya mengelus-elus foto lelaki gagah itu dengan rasa kerinduan yang tiba-tiba saja membuncah begitu saja.

Emak menjawab pertanyaan saya barusan hanya dengan anggukan kepala. Ekspresi wajah Emak seperti bersiap untuk menanti pertanyaan saya berikutnya yang akan menepis semua rasa ingin tahu saya soal bapak.

Mata saya mulai berkaca-kaca setelah menyadari bahwa pertanyaan saya soal bapak dijawab oleh Emak hanya dengan menyodorkan dua lembar foto itu saja. Lalu … di mana Bapak? Mati? Berpisah? Akhirnya, saya menguatkan hati untuk bertanya juga soal bapak kepada Emak, dengan bertanya, “Di–di mana Bapak, Mak?” Saya menahan dari prasangka–antara mati dan berpisah–atas jawaban yang akan segera keluar dari mulut Emak.

Emak sejenak berpicing mata, menghela napas perlahan, dan menjawab, “InsyaAllah, Bapak di surga.” Wajah Emak tersenyum. Cantik sekali terlihat saat saya melihatnya. Wajah Emak terlihat lebih cantik dibanding wajah Emak ketika tersenyum di saat berbeda. Lalu Emak membuka amplop berisi secarik kertas yang alamat pengirimnya di amplop, tidak saya kenal. Saya hanya mengira-ngira, sepertinya bukan alamat di wilayah Indonesia. Kemudian, Emak sodorkan kertas berisi tulisan Bapak kepada saya. Saya pun membacanya …

Kagem istriku dan kedua anakku, Markijo dan Sukinem.

Jangan menangis … tapi tersenyumlah. Sebab, hidup di dunia tidak melulu diisi oleh air mata.

Setelah saya membaca pesan dari Bapak, segera saya memeluk Emak, tapi tidak dengan menangis, hanya mata saya sedikit berkaca-kaca. Wajah Emak yang tersenyum menuruti pesan Bapak, membuat saya ingin, dan sangat-sangat ingin menuruti pesan Bapak juga. Mata saya yang berkaca-kaca (tapi tidak menangis) mengerling kepada Sukinem, adik saya yang lebih muda usia tiga tahun dari saya. Sukinem sudah tidur malam ini. Saya pun tersenyum sementara hati saya berkata, “Nem, nanti, jelang kamu lulus SMP, kamu akan merasakan kenangan terindah akan sosok Bapak …, Bapak kita berdua, Nem.” (©)

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi