Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
2,147
Sang Pemanggil
Religi

Boleh jadi kalian anggap aku hanyalah benda mati. Tak apa, asalkan aku dapat memberi manfaat bagi kalian. Sebuah manfaat hikmah dari kisahku ini bersama sang sorban.

Aku bagai anak kecil yang girang sungguh, di kala pagi menjelang subuh, tatkala jemari tangan kanan yang sudah keriput seorang bapak tua meraihku dan menggendongnya di bahu. Ini artinya aku dan sang sorban akan diajak berjalan-jalan oleh Pak Tua menuju masjid.

"Hai, assalamu'alaykum." Sang sorban menyapaku saat aku sudah berada di bahu Pak Tua. Sang sorban sudah meliputi leher Pak Tua, melindungi Pak Tua dari hawa dingin jelang subuh yang menyelusup.

"Wa'alaykumussalam," jawabku dihiasi senyum kepada sang sorban. Dalam balutan sang sorban, Pak Tua terlihat begitu qona’ah. Mengapa? Sebab sang sorban itu sudah lebih lama dariku menemani hari-hari Pak Tua. Sang sorban terlihat tetap bersih meski sudah berumur.

“Semoga salat berjama’ah subuh kali ini banyak dihadiri oleh warga sekitar masjid, ya.” Aku berkata kepada sang sorban saat Pak Tua sedang melangkahkan kakinya menuju masjid.

“Ya, semoga. Aamiin.” Sang sorban menanggapi singkat.

Sudah lebih dari sepuluh tahun Pak Tua “memanggil” warga untuk datang ke masjid setiap lima waktu dalam sehari: bermula dari tempat itu belum disebut masjid hingga tempat itu menjadi masjid megah bertingkat satu, tak jemu Pak Tua melakukannya.

Aku yang masih menggelendot di bahu Pak Tua dan sang sorban menjadi begitu sejuk saat Pak Tua mengumandangkan lafaz-lafaz panggilan. Bersama udara, lafaz-lafaz syahdu itu menghampiri dan membangunkan warga yang telinga hatinya memang terpaut dengan masjid. Satu per satu warga berdatangan masuk ke masjid saat dan setelah Pak Tua mengumandangkan lafaz-lafaz agung. Dua puluh menit kemudian, Salat Subuh pun didirikan dengan iqomah dari Pak Tua.

Alhamdulillaahshaaf bertambah satu.” Aku bergumam sesaat sebelum Pak Tua ber-takbiratul ihram. Kami semua lalu berusaha menghadirkan khusyuk hati selama salat.

***

Tapi, sudah beberapa hari ini sang sorban bersedih, ia tergantung di gantungan pakaian yang menempel di dinding. Aku juga bersedih dan hanya bisa menatapnya dari ujung tempat tidur Pak Tua biasa meletakkanku.

Kami bersedih sebab tak lagi menjadi penyaksi bagi Pak Tua. Tahukah kalian semua? Bahwa tiap-tiap satu amalan kalian selalu ada penyaksi-nya. Dan, sungguh, kami berdua rela menjadi penyaksi atas ketulusan Pak Tua selama puluhan tahun “memanggil” warga sekitar masjid dengan suaranya.

Dalam kesedihan kami, tersisip doa untuk kesembuhan Pak Tua yang kini sedang diuji dengan penyakit di masa tuanya.

“Semoga Allah rida atas engkau, yaa Pak Tua.” (©)

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Nuhun ya, @termosdingin 🙏
Bagus kak
Rekomendasi dari Religi
Rekomendasi