Flash Fiction
Disukai
2
Dilihat
1,756
Microwife
Romantis

Hanya sekadar menyenandika.

Bayangkan bila pada satu masa, setelah panah-panah yang diarahkan ke langit kembali menghujam bumi dengan bermata panah me-merah—berdarah, seorang Nawang Wulan kosmopolit turun dari kendaraan mewah antigravitasi. Dia turun tidak dengan selendang, melainkan menjejakkan kaki di halaman rumah seorang lelaki lugu—kosmopolit, dalam suatu wilayah yang kosmopolitan dan mengapung.

Lelaki itu melolong-lolong. Ya, usai terlongong-longong, dia melolong. Norak sekali, bukan? Lolong dan longongnya membuktikan bahwa keluguan seorang lelaki jomlo senantiasa ada menyempil dalam segala peradaban yang fluktuatif.

Semburat wajah langit ketika masa itu sama biru dengan masa Nawang Wulan turun berselendang. Anggun melangkah perempuan cantik itu di halaman rumah yang mengapung milik si lelaki—jejaka—lugu, dan begitu pula dengan hati sang jejaka jomlo—memuai terapung-apung. Langkah Nawang makin mendekat sementara jakun sang jejaka terangkat-angkat sambil sesekali dia menekur, melirik hamparan hijau tanaman beberapa puluh meter di bawah, untuk menyembunyikan sebentuk raut jengah pada wajahnya.

Untuk memberikan gambaran apa yang sedang si lelaki lugu lakukan saat itu, mungkin kosakata ngangon masih bisa mewakili apa yang tengah dia lakukan beberapa saat sebelum kendaraan antigravitasi itu datang bertamu. Lantas, ketika perempuan anggun itu tepat sudah berada di depannya sejarak dua busur panah, sang lelaki menjentikkan jari sebanyak dua kali untuk mengubah aktivitas ngangon ke mode otomatis. Entah sejenis makhluk apa yang tengah diangonnya waktu itu.

Jentikan jemari si lelaki pada kali berikutnya sebanyak tiga kali mengubah suasana halaman berubah serasa di pantai beberapa ketika. Mereka berdua lantas begitu dimanja indra-indranya oleh suasana pantai. Kecanggihan peradaban kala itu melalui jentik jari seakan-akan untuk ukuran tukang angon adalah suatu hal yang musykil. Namun, itulah peradaban keemasan ketika itu.

Setelah mereka berdua sudah saling bersalam, jejaka itu pun menanyakan apa maksud dan tujuan sang tamu.

"Aku adalah takdirmu," rinai senyum berhamburan dari raut wajah anggun jeda sedetik setelah menjawab tanya. Tubuhnya mungil diliputi keanggunan. Gemeresik dedaun nyiur beserta ombak tak seberapa tinggi yang pecah melandai tak jauh dari tempat mereka berbincang bak menggenapi ucap perempuan mungil nan anggun.

"Ta-ta-ta, tak ..., dirku?"

Si mungil mengangguk seraya melangkah anggun mendekati lelaki lugu yang terperenyak. Lalu sepasang rekah bibirnya menyisi sebelah kanan wajah sang jejaka, "Aku dikirim oleh Sang Pemilik Universum, datang bertandang khusus untukmu ..., hanya untukmu."

Laksana magnetron, degup jantung jomlo lugu takberaturan, mengalirkan desir hangat ke seluruh permukaan tubuhnya hingga dia basah berkeringat. Antara bahagia dan was-was; takut dan harap, saling berkelindan.

Apa pasal?

Karena, mereka berdua harus menempuh perjalanan beberapa tahun cahaya untuk mengunjungi penghulu dan memaujudkan takdir itu. (©)

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@egidperdana89 : Saran diterima. 🙏👌
@Andri Iya, betul. Tapi mohon maaf sebelumnya, gak semua orang ngerti. 🙏 saran saya jika membuat sebuah karya, buatlah karya yang sekiranya kata katanya atau juga kalimat-kalimatnya dimengerti orang lain. Mohon maaf, ini hanya saran. 🙏
@egidperdana89 : O....itu, itu semua ada di KBBI.
#Adriyana menyendika, kosmopolit, longong, musykil, rinai, universum,
@egidperdana89 : Maaf, kata yang mana yang menurut kamu asing?
maaf, ada beberapa kata yang asing. 🙏
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi