"Melek Dong!"
Ledek teman-temen kelasku pada anak bermata sipit itu. Tidak peduli siapa nama aslinya, mereka memanggilnya Boboho.
Guru menempatkannya duduk di sebelahku. Awalnya aku tidak mau, tapi setelah mengenalnya, dia menjadi sahabat terbaikku. Namun, mereka bilang jangan terlalu dekat dengannya, karena agamanya berbeda.
Saat SMP, Sahabatku itu mengucapkan kalimat sakral dan memeluk agama kami, tetapi bagi mereka dia tetap berbeda.
Sahabatku itu menjadi lulusan terbaik di SMA, tetapi tidak ada kantor di kota ini yang mau menerimanya kerja. Maka, dia memutuskan untuk membuka usaha.
Dengan perhitungan yang matang, usahanya pesat berkembang. Namun, mereka menuduhnya curang, menggunakan jimat dari negeri asalnya sana. Padahal dia lahir di negeri ini, di rumah sakit yang sama tempat mereka dilahirkan.
Namun ketika susah, mereka tak malu datang meminjam uang, tapi jika waktu tempo tiba, mereka berlagak lupa dan balik marah menuduhnya sebagai penjajah.
Saat keadaan politik tengah meninggi, mereka menjadikannya alasan untuk melampiaskan sifat iri. Mereka mendobrak tokonya lalu menjarah harta... dan nyawanya.
Akhirnya, Sahabatku pergi dari tempat yang menolaknya ini. Ke tempat yang menerimanya dengan pelukan hangat, tanah air tercintanya.
Namun, para pendengki itu masih saja menutup mata, dan kembali melakukan hal yang sama pada orang-orang seperti sahabatku itu. Maka, aku yang sudah muak pun menghampiri mereka dan berteriak...
"Melek Dong!"