Disukai
1
Dilihat
877
Tipuan Fatamorgana
Drama

Pernah berpikir untuk melihat replika dirimu sendiri? Aku melihatnya sekarang. Dia berdiri tepat di depanku.

Tubuhnya hanya setinggi 100 meter. Trelingat sangat kurus di mataku. Rambutnya ikal dan matanya coklat keemasan. Sama seperti milikku.

Dia menatapku dengan serius dan bertanya padaku dengan mata berbinar-binar.

“Kamu suka Harry Potter?”

Aku tersadar atas pertanyaannya. Ternyata dia manatap kaos bertuliskan Harry Potter yang kupakai.

Aku mengangguk padanya tanpa memberikan sepatah kata pun. Dia tersenyum dan melanjutkan untuk berbicara kepadaku lagi.

“Kita sama. Sayang sekali … ibu hanya membiarkanku menonton filmnya hingga seri ke-3.”

“Um ... kau boleh menontonnya jika sudah cukup umur.”

Aku berkata lembut padanya dan dia mengangguk.

“Ibu juga bilang begitu. Jika aku sudah masuk SMP, aku boleh menonton semuanya.“

“Bukankah itu bagus?”

“Itu masih sangat lama ... aku masih kelas 3 SD.”

Benar dugaanku. Dia masih terlalu dini untuk menikmati semua film Harry Potter.

“Ah ... aku harus pergi sekarang. Sudah waktunya ibu pulang ...”

Dia berlari begitu saja meninggalkanku. Tanpa mengucapkan selamat tinggal. Aku bahkan belum bertanya siapa namanya. Dan juga … bagaimana dia bisa begitu mirip denganku.

Tatapanku terpaku melihatnya berlari meninggalkanku. Dia masuk ke dalam restoran tempat aku makan bersama adikku.

Aku terus menatapnya hingga dia tak terlihat lagi oleh pandanganku.

“Kak Andra ...”

Aku terperanjat ketika mendengar suara adikku, Diana. Dia memanggilku dari arah pintu keluar dari meja kasir.

“Kakak melihat siapa di dalam? Aku memanggilmu berkali-kali.“

“Ah ... sepertinya aku tidak mendengar kau memanggilku.”

“Memangnya ada orang yang kau kenal?”

Tatapan tampak sangat serius. Langkahnya terlihat lebih cepat saat berjalan ke arahku. Aku paham betul mengapa dia menanyakan hal ini.

Ini pertama kalinya aku mengunjungi Diana sejak dua tahun lalu. Kala itu dia memutuskan untuk menyelesaikan studinya di Belgia.

“Ah … entahlah ... aku bahkan belum sempat menanyakan namanya ...”

“Oh ... aku penasaran. Dia perempuan?”

Diana tersenyum sambil menggodaku. Aku meraih lengannya dengan lembut untuk kugandeng.

“Memangnya aku terlihat mudah merayu perempuan?”

“Sepertinya begitu ...”

Dia tersenyum lembut saat aku mencubit lengannya dengan pelan.

“Apa yang kau pikirkan? Ayo pulang. Kau harus belajar untuk ujian tengah semestermu.”

“Okay ...”

Setelah kejadian itu aku lebih sering menghabiskan waktuku di restoran itu. Hanya untuk sekedar makan siang di sana.

Letaknya hanya sekitar 100 meter dari hotel. Dan ... hanya dua blok dari asrama tempat Diana tinggal.

Diana heran mengapa aku lebih memilih makan siang di restoran itu. Padahal masih banyak tempat lain yang menurutnya lebih enak.

Aku tidak mengatakan alasan yang tepat padanya. Kenyataan bahwa aku telah dekat dengan seorang anak kecil terasa aneh. Bahkan untukku sendiri.

Tiga hari kemudian aku mengetahui bahwa anak itu bernama Ren. Aku heran mengapa namanya terdengar seperti orang Jepang. Wajahnya seperti orang Indonesia. Dan ... restoran itu menyajikan menu ala Meksiko.

“Apakah orang tuamu dari Jepang?”

Aku bertanya padanya dengan hati-hati. Dia hanya menggelengkan kepalanya.

“Tidak? Bukankah restoran ini milik ibumu?”

“Betul. Restoran ini milik ibu. Tapi ibu dari Indonesia ...”

“Ah ...”

Aku mengangguk pelan. Tanpa sadar aku teringat akan sosok ibuku.

Apakah karena melihat kondisi Ren saat ini? Atau … aku memang merindukan kehadirannya? Beliau tak kunjung datang meskipun aku menunggunya.

Jauh di dalam hatiku, aku selalu merasa terusik ketika mengingat masa kecilku. Sama seperti Ren, ibuku pun mengelola usaha restoran Meksiko seperti ini.

Selama satu minggu penuh berada di Belgia, selain berkeliling kota Antwerp bersama Diana, aku selalu menyempatkan waktuku untuk bertemu Ren.

Aku senang menghabiskan waktuku di restoran Meksiko itu. Mengobrol hal-hal kecil dengan anak itu terasa menyenangkan.

Satu tahun kemudian setelah kembali dari Belgia aku teringat akan Ren. Ingatanku muncul begitu saja ketika masuk ke restoran ala Meksiko di Jakarta.

Terlebih lagi ketika melihat anak seusia Ren di restoran itu. Dia tampak merengek pada ibunya untuk dibelikan mainan lego.

Ren sangat menyukai lego, sama sepertiku. Setelah selesai makan aku memutuskan untuk menelepon Diana. Dia yang masih tinggal di Belgia menyelesaikan studinya.

Diana mengangkat teleponku dengan cepat. Hanya sesaat setelah dering pertama.

“Diana ... bantu aku untuk membeli Harry Potter lego di dekat tempatmu. Lalu … kirimkan untuk Ren, okay?

“Ren? Siapa yang kau maksud?”

Suara Diana terdengar terkejut ketika aku menyebut nama Ren.

“Ah ... apakah aku belum menyebutkan tentang dia? Uhm ... kau ingat ketika tahun lalu aku mengunjungimu di Belgia?”

“Iya ... tentu saja aku mengingatnya.”

“Ren adalah anak kelas tiga SD yang tinggal di restoran Meksiko itu ...”

“Ah ... jadi orang yang sering kau temui hanya anak SD? Aku pikir dia perempuan yang sedang kau dekati ...”

“Dia anak pemilik restoran. Jangan menganggapnya sebagai anak SD biasa. Dia sangat pintar di usianya itu ...”

“Ah, benarkah? Baiklah ... aku akan membelikannya besok. Apakah ini ulang tahunnya? Maksudku ... apa yang harus aku katakan padanya? Dia pasti menanyakannya?”

“Katakan saja bahwa aku yang mengirimnya. Dan … sampaikan bahwa aku merindukannya.”

“Okay ...”

Thank you. Dan … oh, satu lagi! Aku sudah mengirim uang sakumu bulan ini yaa … beserta uang lego juga ...”

“Okay ... Thanks, kak Andra ...”

“Sama-sama ...”

Aku menutup percakapan kami dengan cepat. Kemudian bergegas pulang ke rumah. Astaga … sekarang sudah hampir jam sembilan malam.

Aku tidak terbiasa pulang selarut ini. Kecuali ada pekerjaan dari kantor yang mengharuskanku untuk mengambil jam lembur.

Satu minggu kemudian, di suatu minggu pagi … aku terperanjat ketika mendengar dering ponselku berbunyi.

Aku masih belum tersadar sepenuhnya. Namun, berusaha membuka mataku pelan-pelan.

Tanganku meraih ponsel di sekitar meja nakas sebelah tempat tidurku.

“Uhm … halo …”

“Kak Andra? Kau sudah bangun?”

“Ah … kenapa Diana? Aku baru saja terbangun …”

“Umm … apa kau bisa mengunjungiku dalam waktu dekat?”

“Kau ingin aku mengunjungimu?”

“Iyaa … bukankah sudah lama? Kau hanya mengunjungiku satu kali di tahun lalu …”

“Ah … baiklah … Aku juga bisa bertemu dengan Ren lagi nantinya. Biarkan aku mengatur pekerjaanku dulu yaa …”

“Baiklah. Dan … oh, kau masih ingin bertemu dengannya? Ren maksudku …”

“Tentu saja. Oh, bagaimana dengan lego yang kuminta? Kau tidak memberitahuku sejak saat itu. Ren juga tidak mengatakan apapun ketika meneleponku …”

“Dia meneleponmu?”

“Tentu saja. Kami sering berbicara lewat telepon. Bahkan lebih sering dibandingkan denganmu.”

“Oh … aku merasa tersingkirkan.”

“Bagaimana mungkin aku menyingkirkan adikku sendiri, hum?”

“Hahaa … baiklah … kabari aku lagi nanti yaa, kak?”

“Okay.”

Satu bulan berikutnya aku lebih sibuk dengan pekerjaanku. Aku berharap dapat berangkat ke Belgia untuk mengunjungi Diana lebih cepat.

Aku juga sudah tidak sabar bertemu dengan Ren lagi. Satu tahun berlalu tanpa kehadirannya. Itu terasa kosong bagiku. Aku cukup senang ketika dia meneleponku setiap hari.

Hari yang dinantipun tiba. Aku menginjakkan kakiku kembali di Belgia. Diana berjanji akan menjemputku sesampainya di sana.

Aku masih merasa jetlag akibat penerbanganku. Itu memakan waktu lebih lama dari biasanya.

Aku tidak mengerti mengapa bisa ada delay. Bahkan hingga dua jam dari jadwal seharusnya. Aku cukup kesal, tapi tidak ada yang dapat kuperbuat.

Setibanya di Belgia aku berusaha untuk tidur sebentar di hotel. Sembari menunggu Diana menyelesaikan kelasnya.

Sebelumnya, aku telah menelepon Ren. Aku mengatakan padanya jika malam ini aku akan mampir ke restorannya.

Beberapa jam kemudian, Diana mengirimiku pesan lewat ponselku.

“Kak Andra … ayo berangkat!”

Aku membalas pesannya dengan cepat.

“Kau sudah di hotel tempatku menginap?”

Diana membalas pesanku lagi.

“Iya … aku berada di lobby hotel.”

Aku bergegas turun ke lobby hotel tanpa berganti pakaian. Begitu keluar dari elevator, aku melihat sekeliling perlahan.

Kutemukan Diana yang melambaikan tangannya padaku. Bibirku merekahkan senyum ketika melihat senyum lebarnya itu.

Kakiku berlari ke arahnya. Segera kupeluk tubuh mungilnya dengan lembut.

“Kak … kau tampak lebih kurus.”

“Oh, benarkah? Akhir-akhir ini pekerjaanku lebih banyak.“

“Ah … kau masih sering melewatkan makan?“

“Tak usah dipikirkan … ayo berangkat.”

“Hum … ayo!”

Kami menempuh perjalanan selama hampir 20 menit. Diana tidak mengatakan apapun tentang tempat yang dimaksud.

Aku bertanya-tanya dalam hati mengenai tempat yang kami kunjungi. Diana hanya memberitahuku tentang seorang teman dari kenalan seorang professor yang dia kagumi di kampusnya.

Sesampainya di sana, kulihat seorang perempuan paruh baya yang menghampiri kami. Dia menyambut kami dengan ramah.

Senyumnya membuat siapapun menganggapnya demikian.

“Kak Andra … ini Ibu Sofia Grace.”

“Ah … halo Ibu Grace. Saya Andra. Kakaknya Diana.”

“Ah … senang bertemu denganmu, Andra. Tolong, panggil Sofia saja.”

“Oh, baiklah …”

"Diana banyak bercerita tentang Anda."

"Oh, begitukah?"

Aku menatap Diana dan Sofia secara bergantian. Mereka hanya tersenyum dan mengangguk pelan.

Sofia membawa kami ke ruangan yang terlihat seperti perpustakaan bagiku. Buku-buku yang tertata rapi di rak dinding membuatku kagum.

Di dekat pojok jendela ada dua sofa yang tertata rapi. Mereka berhadapan satu sama lain.

Sofa itu mendapatkan pemandangan dari taman. Cahaya matahari masuk dengan sempurna dari kaca yang besar.

Di seberang jendela kaca itu, terlihat kebun kecil dipenuhi rumput nan hijau. Tampak menenangkan bagi siapapun yang memandangnya.

Terasa menenangkan sekali ketika kami duduk bertiga. Kami membicarakan berbagai hal.

Kami seolah larut dalam pembicaraan itu. Aku bahkan tidak sadar telah menceritakan mengenai masa kecilku pada Sofia.

Masa-masa yang selalu ingin aku lupakan. Masa dimana ibuku meninggalkanku selamanya.

Kejadian itu mengubah takdirku. Memaksaku untuk merawat Diana. Padahal aku masih berada di bangku sekolah dasar.

Diana masih berusia dua tahun saat itu. Aku yakin dia tidak akan mengingatnya. Oh, betapa beratnya hari-hari yang kulalui saat itu.

Aku terlarut dalam pikiranku. Tak sanggup lagi untuk berkata-kata. Aku memilih untuk diam daripada merespon pertanyaan Sofia.

Aku tersadar ketika Diana menggenggam tanganku. Dia tersenyum padaku sebelum berucap.

“Terima kasih atas kerja kerasnya, kak Andra. Aku tak bisa membayangkan bagaimana diriku tanpa dirimu saat itu. Bahkan … saat ini pun tetap sama.”

Aku berusaha keras menahan air mataku. Tak pernah kusangka aku mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Diana. Membayangkan saja tidak.

Bibirku tersenyum kecil pada Diana. Tatapannya terasa hangat saat mata kami bertemu.

”Sama-sama, Diana. Kau adalah kebanggaanku.”

“Aku percaya hari-hari itu pasti berat untukmu, Andra. Sama seperti yang telah kau katakan sebelumnya. Apakah dulu kau pernah berpikir untuk meninggalkannya?”

Aku merasa tidak nyaman dengan pertanyaan Sofia. Tanpa kusadari aku meninggikan suaraku.

Perempuan paruh baya itu baru kukenal kurang dari dua jam. Namun, pertanyaannya terdengar kasar bagiku.

“Bagaimana mungkin aku meninggalkan adikku?! Dia satu-satunya yang kumiliki.”

Sofia mengangguk pelan. Matanya tampak lebih sayu. Namun bibirnya tersenyum.

Aku mengalihkan pandanganku saat mata kami beradu. Seketika itu juga aku terpaku pada kotak mainan di meja kerjanya.

Kotak lego dengan desain Harry Potter. Sama seperti yang aku pesan pada Diana.

“Sofia, kau menyukai lego?”

Ucapan itu keluar begitu saja. Entah karena aku berusaha mengalihkan perhatiannya … atau hal lainnya.

Hanya saja … itu sangat mengangguku.

“Ah … tidak. Diana yang membawanya kemari.”

Kepalaku menoleh pada Diana. Tubuhnya tampak membeku. Dia bahkan mengalihkan padangannya dariku dengan cepat.

“Aku tidak mengerti. Mengapa kau membawanya kemari? Bukankah aku memintamu untuk memberikannya pada Ren?”

“Ah … tentang itu …”

Aku menangkap kegelisahan dalam tingkahnya. Suaranya terdengar lirih. Matanya tampak bergetar saat menatapku.

Kulihat Diana terus meremas jemarinya. Berulang-ulang dia lakukan dalam pangkuannya. Hal itu sungguh membuatku tidak nyaman.

Aku menunggu penjelasannya. Namun dia memilih untuk menundukkan kepalanya. Mulutnya seolah terkunci rapat.

Perlahan aku meraih tangannya dengan lembut. Terasa sangat dingin saat aku menggenggamnya.

“Diana … lihat Kak Andra sebentar.”

Suaraku terdengar lebih tegas dari biasanya. Sorot mataku lebih tajam. Melekat dan mengunci pandangannya.

Perlahan Diana mengangkat kepalanya. Matanya mulai memerah. Berkaca-kaca menahan tangisnya.

Pemandangan itu merontokkan hatiku. Tak kuasa aku melihat kesedihan di matanya.

Perlahan kuraih lengannya ke dalam pelukanku. Kubelai rambutnya perlahan. Isak tangisnya kurasakan dengan jelas dalam pelukanku.

 “Tidak apa-apa, Diana. Kau bisa mengatakannya padaku.”

“Maafkan aku …”

Entah apa yang terjadi. Tangis Diana pecah. Untuk apa dia meminta maaf padaku?

“Apakah … kau lupa memberikan itu pada Ren?”

Aku tertawa geli padanya sembari menyeka air matanya. Diana tidak menjawabku. Tangisnya justru semakin pecah.

 “Tidak apa-apa. Aku akan menyerahkannya sendiri nanti.”

Aku tersenyum padanya sembari membelai pipinya dengan lembut. Diana tampak berusaha keras menghentikan tangisnya. Butuh beberapa saat hingga dia menguasai dirinya kembali.

“Kau yakin pernah bertemu dengan Ren?”

Diana menatapku sambil menahan isak tangisnya. Aku tertawa pelan menanggapinya.

“Tentu saja. Kami juga sering bicara lewat telepon. Bukankah aku sudah mengatakannya padamu?”

“Uhm …”

Diana mengangguk pelan. Dia tampak menelan ludahnya sebelum bertanya padaku.

“Boleh aku lihat nomor teleponnya?”

Aku menatapnya dengan bingung. Kemudian menyerahkan ponselku padanya.

“Lihat kan? Aku meneleponnya terakhir kali setelah sampai di hotel tadi siang.“

Diana terpaku melihat ponselku. Tangannya bergetar saat mencoba membuat panggilan untuk Ren.

“Nomornya … tidak terdaftar kak.”

Suara Diana terdengar bergetar. Matanya mulai berderai air mata. Tangannya masih bergetar saat menekan tombol loud speaker.

Nada suara nomor tidak terdaftar terdengar jelas memenuhi ruangan.

“Ah … tidak mungkin. Dia selalu mengangkat teleponku. Mungkinkah terjadi sesuatu padanya?”

Hatiku mulai gelisah mengetahui bahwa nomor Ren tidak terdaftar. Bukan tidak aktif. Bahkan tidak terdaftar.

Tidak peduli berapa kalipun aku mencoba membuat panggilan untuk Ren … hasilnya tetap sama.

“Kak …”

“Hum?”

Aku setengah mengabaikan Diana. Tatapanku dan pikiranku masih terpaku ke ponselku. Memikirkan keberadaan Ren.

“Umm … Aku telah mendatangi restoran yang kau maksud bulan lalu.”

“Oh, benarkah?”

“Aku bertemu dengan pemilik restoran.“

“Oh, itu pasti Fiona bukan? Dia Ibunya Ren. Ah … aku hanya bertemu dengannya sekali. Dia sangat cantik bukan?”

Aku tersenyum padanya. Namun Diana menutup mulutnya. Suaranya bergetar. Air matanya mengalir tiada henti.

“Oh, Tuhan …”

Diana menarik nafasnya dalam-dalam. Suaranya masih bergetar hebat. Aku merasa tidak nyaman dengan keadaan ini.

“Pemilik restoran itu pasangan suami istri dari Meksiko bernama Jose dan Julissa Gerardo.”

Aku menggeleng pelan mendengarnya.

“Tidak mungkin, Diana ....”

“Kak … tidak ada orang yang bernama Fiona di restoran itu. Tidak pula Ren. Mereka juga tidak pernah mempekerjakan orang Indonesia.”

“Tidak mungkin. Kau pasti berbohong padaku!”

Aku menatapnya tajam. Namun Diana menggelengkan kepalanya. Dia menunjukkan rekaman CCTV pada tablet yang diambil dari tasnya.

Aku terpaku melihat diriku di restoran Meksiko tempat Ren pada tahun lalu. Hari pertama adalah ketika aku dan Diana makan siang.

Kemudian, hari demi hari berikutnya yang kulalui disana … duduk sendirian. Selama satu minggu itu aku habiskan dengan duduk sendirian. Tanpa seorangpun menemaniku.

Tidak ada Fiona … atau Ren yang selalu menghampiriku.

“Ini … bagaimana mungkin? Tidak … ini tidak mungkin terjadi. Rekaman ini pasti bohong kan?”

“Tidak kak … semua itu benar.”

Diana mengenggam tanganku dengan erat. Air matanya terus mengalir.

Aku masih mengelak atas fakta yang baru saja kulihat dari rekaman CCTV itu.

“Tidak mungkin ...”

“Kak Andra, aku mohon …”

“Tidak Diana. Aku baik-baik saja.”

Aku menggelengkan kepalaku. Bersikeras bahwa itu tidak mungkin terjadi. Diana memelukku dengan erat. Tangisnya semakin pecah dalam pelukanku.

Aku tak tahan mendengar tangisannya. Perlahan aku memaksanya melepas pelukannya. Suaraku bahkan meninggi padanya.

“Tidak Diana!”

Aku beranjak dari tempat dudukku. Langkahku mondar-mandir tak karuan. Sofia berusaha menenangkanku. Namun aku memberontak.

“Aku baik-baik saja. Kau pikir aku berhalusinasi? Tidak … itu tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin.”

“Kau benar. Bagimu mereka bukan halusinasimu. Ketahuilah Andra … Ren hanya ada di duniamu. Begitu pula Fiona. Mereka semua tidak nyata.“

“Tidak mungkin. Aku … aku bertemu dengan mereka, Sofia. Bagaimana mungkin ini hanya fatamorgana bagiku?”

Diana meraih lenganku dan membuatku berhenti dari tantrum. Dia menatapku dengan lembut. Matanya mulai sembab.

Kulihat Diana masih terisak. Perlahan mendekatiku. Memelukku lebih erat. Kemudian ... berbisik di telingaku.

“Kau … butuh perawatan, kak Andra.”

-End-

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@arieindienesia : Terima kasih, kak :)
Bagus tulisannya ♥️
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi