Disukai
0
Dilihat
437
Sofia
Slice of Life

Sofia memasukkan anak kunci yang sudah berkarat ke dalam lubang kunci, kemudian memutarnya dengan hati-hati. Begitu mendengar bunyi klik, dengan pundak mungilnya, dia mendorong pintu itu kuat-kuat. Tidak mudah memang, tapi dia sudah terbiasa. Ketika pintu terbuka dan engsel yang kering berhenti menjerit, cahaya matahari segera menghangatkan jiwa dan raganya.

Sofia menghapus butir-butir keringat di keningnya, lalu merapikan rambutnya yang panjang sebahu dengan jari. Selamat pagi, bisiknya. Dia duduk di bangku bambu samping rumahnya, kemudian memainkan kalung harmonika di lehernya. Dipanggilnya nada La yang panjang, kemudian Fa yang sama panjang, lalu ditutupnya dengan Mi yang menggantung di ujung tiup. Sofia tersenyum, napasnya sudah lebih tahan dibandingkan dahulu.

Setelah dia menyimpan harmonikanya di balik baju, hening segera menyesaki udara, tapi tidak lama. Burung-burung yang sejak tadi tekun mendengar Sofia, segera membalas dengan nada yang tak kalah indah. Sofia memejamkan matanya dan menarikan jarinya. Senyum teruntai tanpa dia sadari. Sungguh, tak ada yang seindah senandung burung-burung di alam bebas pada pagi belia. Berapa kali pun mendengarnya, mustahil aku bosan.

Setelah puas mendengar kicauan burung-burung, Sofia kembali memasuki rumah untuk mengambil keranjang anyaman di muka meja, lalu berjalan menyongsong hutan. Langkahnya riang, nyaris melompat-lompat. Pertama-tama, dia mengisi botol minum di sungai, lalu menyantap buah-buah beri yang tumbuh di sisi jalan. Dipungutnya pula beberapa apel dan pir yang berjatuhan di tanah lapang. Pagi belum beranjak menjadi siang ketika dia kembali memasuki pondoknya untuk membaca dan mencatat. Mumpung cahaya masih berlimpah.

Pondoknya sederhana saja, hanya bilik kayu dengan dua kamar tidur, dapur di luar ruangan, tumpukan kayu bakar di dekat jendela, dan bilik mandi di seberang sungai. Satu-satunya hiasan di dalam rumah hanya foto keluarga di pojok mejabaca dan potret sepia Ibu ketika masih remaja. Di sebelah meja, ada rak berisi 50-an buku bersampul tebal—di antaranya koleksi lengkap Kisah 1001 Malam dan kumpulan lengkap dongeng Andersen bersampul biru yang dulu dibacakan ayahnya menjelang lelap. Di salah satu rak, tersimpan mesin tik tua dan berim-rim kertas, serta papan bertuliskan delapan bait puisi karya Kahlil Gibran—karena begitu sering membacanya, Sofia sudah menghapalnya di luar kepala. Begini bunyinya,

Tujuh kali telah kucemoohkan jiwaku:

Pertama, ketika kulihat dia menunduk agar mendapat ketinggian.

Kali kedua, waktu kulihat dia berjalan timpang di muka si pincang.

Kali ketiga, waktu dia berkesempatan memilih antara yang sukar dan mudah, dan memilih yang mudah.

Kali keempat, ketika dia berbuat salah, lalu menghibur diri bahwa orang lain pun telah melakukan kesalahan.

Kali kelima, ketika dia bersabar demi kelemahan, dan menghubungkan kesabaran itu dengan ketabahan.

Kali keenam, ketika ia mencemooh keburukan seraut wajah, namun tidak menyadari bahwa itu salah satu topengnya sendiri.

Kali ketujuh, ketika dia menyanyikan lagu pujian, dan merasa berbuat kebajikan.

Orang tua Sofia sudah tiada. Ibunya meninggal saat melahirkannya, dan ayahnya dalam kebakaran hebat setahun lalu. Ketika itu, Justin baru saja berbaring di samping putrinya, Sofia, saat mendengar suara derak yang keras. Itu suara api, berasal dari lantai bawah, tapi tidak sejauh itu. Jantung Justin berpacu saat dia meraih Sofia dan memeluknya. Dia tahu harus berlari sekencang mungkin, tetapi terlambat, api menyebar begitu cepat. Justin bergegas ke jendela terdekat dan membuka pintunya, namun engselnya rusak. Dia menghantamnya dengan kepalan tangan, tapi tenaganya tidak cukup. Justin panik. Dia berusaha mendorong dengan bahunya. Berhasil. Namun, kamarnya berada di lantai dua. Dia tak mungkin melompat begitu saja. Sementara asap mulai merabunkan mata dan memendekkan napasnya, perasaan putus asa menghantamnya. Ah, dia teringat pada tangga darurat yang disimpannya di gudang samping kamarnya. Dia cepat-cepat mencarinya, meraihnya, dan membuka lipatannya secepat yang dia bisa, lalu berusaha menenangkan tangannya yang gemetar. Dengan Sofia masih dalam pelukannya, Justin menuruni tangga. Hujan turun dengan deras di luar sana, tapi dia tidak peduli. Dia harus membawa putrinya ke tempat aman. Namun nahas, plafon rumah ambruk menindih dan membuatnya terempas. Karena kepalanya merunduk melindugi Sofia, tiga paku berkarat menancap di tengkuknya. Justin jatuh mengempas tanah dan tak sadarkan diri. Untungnya, sebelum memejamkan mata, dengan sekuat tenaga Justin melempar Sofia. Teriakan terakhirnya seolah merenggut nyawanya pula. Sofia mendarat dengan kepala terlebih dahulu, tapi selamat tanpa kurang suatu apa, hanya sedikit lebam dan sesak, serta gegar otak ringan. Dia masih setengah sadar ketika menyaksikan rumahnya memendarkan warna serupa unggun. Pemadam kebakaran datang terlambat, begitupun ambulans. Justin segera dilarikan ke rumah sakit, tapi nyawanya tidak tertolong. Sofia, karena tak mempunyai saudara, diungsikan ke panti asuhan Santo Ignatius yang terletak di Jalan Tigabelas, tapi memutuskan pergi sebab tidak tahan dengan perlakuan zalim para susternya. Dalam rindunya, Sofia teringat pondok kecil di jantung hutan. Ayahnya selalu mengajaknya menghabiskan musim gugur di sana.

Maka, pergilah dia.

Dengan membawa tas kecil berisi beberapa helai pakaian, Sofia berjalan di tengah kota. Kepalanya menunduk menghindari cahaya. Tidak ada yang mendengar isaknya dan tidak ada yang memperhatikannya. Dia sebatangkara di dunia sarat manusia. Namun, begitu memasuki hutan, perasaan sedihnya menghilang. Dalam sembap malam, di bawah manai rembulan, dia memasuki jalan yang dicekungkan pohon-pohon tua. Kunang-kunang menuntun langkahnya.

Ketika sampai di tanah lapang, dia terdiam sejenak untuk mencari alamat sungai dan memastikan langkah dengan menatap bintang-bintang. Dia mengambil dahan jatuh yang cukup besar untuk dijadikan penopang. Begitu kembali memasuki hutan, dia dihadapkan pada undakan licin yang curam dengan dinding sarat lumut dan tanaman merambat. Sofia berpegang pada akar-akar yang menjalar dan berusaha menjaga langkahnya agar tidak terpeleset. Selebihnya, gelap. Dia hampir tidak dapat melihat. Namun, lama-lama matanya terbiasa.

Akhirnya sampai juga dia di sungai yang dicarinya—tersembunyi di antara janggut-janggut muram pepohonan. Tidak dalam, tetapi jernih. Dengan hati-hati, dia mengambil air untuk membasahi kerongkongannya yang kering, tapi menarik tangannya kembali. Rasanya seperti disengat ribuan jarum. Dingin sekali. Belum apa-apa jari-jarinya sudah membiru. Dia mencobanya sekali lagi. Rasanya tidak terlalu dingin seperti tadi. Dia menadah air dengan tangannya, tapi setangkup tidaklah cukup. Nekat, Sofia menelungkup di rumput, lalu mendekatkan bibirnya ke permukaan sungai. Dia minum sepuasnya.

Bulan sudah berada di puncak kepala ketika dia menyeberangi sungai dan tiba di jantung hutan — di pondok kecilnya yang nyaman. Seketika saja, meski lapar mengganggu tidurnya sepanjang malam, perasaan nyaman yang sudah lama meninggalkannya, menyelimuti benaknya.

***

Untuk menemukan makanan, Sofia mengikuti jejak-jejak hewan di hutan. Ah, jejak ini mengarah ke biji-bijian, yang ini kacang-kacangan, dan ini buah-buahan, ini jamur yang tumbuh di balik pohon tua, itu sayur-mayur liar. Sofia sangat pandai membaca sasmita. Dengan sekali lihat, dia mampu membedakan jejak kucing, monyet, elang, rusa, ataupun hewan-hewan lain yang setiap hari hilir mudik di dalam hutan.

Beberapa hari lalu, Sofia menemukan jejak kucing di dekat pondok. Tak mampu membendung rasa penasaran, dia mengikutinya. Cukup sulit, ternyata, bahkan hampir mustahil, tapi Sofia jeli. Karena kucing biasa mencari makan di dasar pohon dan tepi sungai, Sofia memperhatikan suara air juga. Diperhatikannya pula jejak daun yang remuk terinjak. Sepertinya sudah dekat.

Setelah melewati bagian hutan yang ditumbuhi pohon-pohon berdaun lebar, Sofia menemukan pohon apel yang sudah berbunga di sisi sungai berarus deras, yang ternyata dipenuhi ikan trout. Mungkin suatu saat aku harus memasang perangkap di sana. Sofia memunguti beberapa butir apel yang berguguran, membuang yang sudah berlubang karena dimamah ulat, dan meraih yang masih di dahan, tapi sebatas yang mampu digapai tangannya dengan berjinjit.

Dengan mengetahui letak pohon apel yang buahnya berlimpah ruah ini, dia memiliki makanan yang cukup untuk beberapa hari ke depan. Dia pun berjalan pulang dengan hati riang. Malangnya, dia malah tersesat di bagian hutan yang dipenuhi pohon kapuk. Mungkin karena lelah, dia terlambat menyadari bahwa jejak yang diikutinya berbeda dengan yang ditelusurinya ketika berangkat tadi.

Jejak harimau dan singa tidak jauh berbeda dengan kucing, hanya saja ukurannya jauh lebih besar, dan entah di belokan mana matanya silap membedakan keduanya. Dia segera melarikan diri sebelum baunya diendus hewan buas itu. Lumayan sukar baginya menemukan jalan yang benar, apalagi sore mulai berubah menjadi senja, dan bulan pucat sudah muncul di ufuk timur. Syukurlah, dalam temaram dia melihat jejak rusa yang mengarahkannya ke bagian hutan yang dikenalnya. Dia kembali menemukan setapak yang dicekungkan pohon-pohon tua. Akhirnya, Sofia bernapas lega.

Petang turun dengan cepat, dan cahaya kunang-kunang pertama mulai terlihat. Dia mengikuti suara sungai yang lembut. Tepat ketika malam melebarkan sayapnya yang kelabu, Sofia tiba di pondoknya. Dia langsung berbaring di kasur, lalu menangis sekencang-kencangnya. Namun, sebelum lupa menyelimuti benaknya, dengan air mata masih membasah di pipi, dia memaksakan diri menggambar jejak harimau sejelas yang mampu diingatnya, agar kelak tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dia juga memperluas gambar peta hutannya dengan menambahkan pohon apel dan sungai trout, serta bagian hutan yang dipenuhi pohon kapuk dan gundukan-gundukan bukit kelam dengan jalan bergelombang. Dia mencatat segala yang penting, yang tidak terlalu penting, dan yang sama sekali tidak penting, hingga lama-lama dia lupa bagaimana membedakan ketiganya.

Selalu saja, setiap habis menulis, Sofia teringat ayahnya. Dulu, ketika Sofia terjaga pada malam larut, dalam perjalanannya ke kamar kecil, dia selalu melihat punggung ayahnya yang duduk menghadap meja di ruang tamu—menulis sesuatu, entah jurnal harian, jurnal ilmiah, dongeng, atau apa pun. Pada suatu hari, Sofia bertanya kepada ayahnya. Kenapa Papa suka menulis? Justin menjawab dengan mengutip kata-kata James Salter, “Sofia, akan datang waktu ketika kau menyadari bahwa semuanya adalah mimpi, dan hanya hal-hal yang dipelihara melalui tulisan yang mempunyai kemungkinan menjadi nyata.”

Saat udara gelap tidak memungkinkannya melihat, Sofia menyimpan catatannya di dalam laci, lalu menyantap sebutir apel seraya memandang bulan yang meninggi di jendela. Sang dewi purnama.

Esoknya, agar tidak tersesat, Sofia menandai jalan yang dilewatinya dengan menorehkan pisau di batang pohon. Namun, godaan untuk singgah selalu menghasutnya. Jika di dekatnya ada sungai, dia akan menyempatkan diri mendinginkan kakinya seraya memandangi ikan-ikan yang berenang di air yang tenang. Dia mampu duduk diam selama berjam-jam. Namun, dalam diamnya dia tidak melamun. Dipisahkannya bau yang satu dengan yang lain, suara yang satu dengan yang lain, dan warna yang satu dengan yang lain. Dia tidak sadar bahwa yang apa yang dilakukannya hampir mendekati meditasi.

Dia juga senang berbaring di tanah lapang berumput hijau untuk merasakan teksturnya yang kasar tetapi lembut. Jika sudah begitu, benaknya selalu terkenang suara ayahnya ketika membisikkan Masmur Daud seusai menceritakan satu bab Kisah 1001 Malam atau tiga dongeng Andersen. Karena itu sajak yang indah, izinkanlah saya menyalinnya di sini. Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang berumput hijau dan membimbing aku ke air yang tenang. Ia menyegarkan jiwaku.

Hanya satu kelemahan Sofia, dia tidak pandai memanjat pohon. Sudah berkali-kali dia mencobanya, tapi selalu saja jantungnya berdegup masai dan kepalanya berkunang-kunang ketika mencapai dahan terpendek. Dia takut ketinggian. Meski begitu, jika musim berbuah datang, pohon-pohon sendirilah yang seperti sengaja menjulurkan dahannya rendah-rendah kepada Sofia agar dia dapat memetiki buah-buah yang tumbuh di cabangnya.

Kelak, dia juga mulai menanami halaman rumahnya dengan buncis yang hasilnya jauh lebih banyak dibanding yang dia harapkan. Sofia bahkan tidak tahu kenapa dia menanamnya, sebab segala yang dia butuhkan sudah disediakan oleh Bumi. Meski begitu, dia sangat menyukai berkebun. Dia merapikan dan mengawasinya siang dan malam, pun memandang daun-daunnya yang lebar dan menyenangkan mata. Rambutnya yang hitam mulai berwarna kecokelatan sebab terlalu lama bekerja di bawah sinar matahari. Dia menghalau cacing dan marmot tanah yang mampu melahap habis buncis-buncis muda. Tanpa sengaja, kebun kecilnya membuka lebar gerbang persahabatan dengan penghuni hutan lain, sebab mamalia-mamalia kecil seperti tupai dan monyet ikut menikmatinya.

Sofia senantiasa teringat pesan ayahnya. Sofia, tak ada apa pun yang lebih lembut daripada Alam dan tak ada apa pun yang lebih kejam kepada Alam daripada Manusia. Kita bisa memilih untuk menghentikan penghancuran hutan sesegera mungkin. Kita bisa berhenti menghabiskan lapisan pelindung yang melayang-layang di atas Bumi kita. Kita bisa menghentikan serangan gencar yang terus-menerus atas ekosistem. Kita bisa mengurangi pemanasan global dan menghentikan pencairan es sekarang juga. Kita bisa menghentikan semua perang besok. Namun, kita memilih untuk tidak melakukannya. Coba sebutkan satu—satu saja—manfaat manusia, yang kalau sewaktu-waktu kita punah, Alam akan kehilangan? Tidak ada, bukan? Manusia tidak ada manfaatnya bagi alam. Semua pekerjaan sudah diambil spesies lain. Kita tinggal memetik buahnya. Bahkan, serangga yang kecil itu jauh lebih bermanfaat daripada Manusia. Tidak percaya? Kita butuh oksigen yang diembuskan tumbuhan — yang penyerbukannya dibantu oleh lebah. Bayangkan kalau suatu hari lebah punah. Manusia harus melakukan penyerbukan mandiri untuk sesuatu yang dilakukan lebah tanpa pajak dan pungutan—atau mati kehabisan napas. Namun, manusia tetap merusak Alam sehingga lebah-lebah terancam punah. 

Semula, Sofia tidak terlalu memahaminya, tapi setelah berbulan-bulan hidup sendiri, Sofia tahu ayahnya benar. Hutan selalu menyediakan apa yang dia butuhkan dan tak pernah lelah memberikan kasih sayangnya kepada siapa pun yang berhak—bahkan yang tidak. Semenjak berkarib dengan Alam, Sofia tak lagi merasa sendirian. Alam memberinya teman-teman yang baik. Akan tetapi, meski Sofia menyayangi semua temannya, di antara jari lain, selalu ada jari yang ingin dipasangi cincin, bukan?

Dia pertama kali bertemu Owly, seekor burung hantu tanduk, ketika mendengar suara gemeresik di langit-langit rumahnya. Karena penasaran, Sofia mengambil tangga, lalu memeriksanya. Ternyata ada seekor burung hantu yang sayapnya tersangkut di lubang dinding. Dia segera membantu melepaskan jerat di sayapnya, lalu dengan sangat hati-hati mengobati lukanya. Dia mengambil perban dan obat merah yang disimpan Justin di lantai dasar. Dia tidak tahu cara membebat luka, dan ada perasaan gentar ketika burung itu memekik galak. Meski begitu, akhirnya dia berhasil juga membebat sayap kanannya. Setelah itu, dia membagikan makanannya—makan apakah burung hantu? Bolehkah makan buah-buahan? Di sini hanya ada cinquefoil dan blackberry, serta buncis muda dan kacang-kacangan—dan membiarkannya lelap di sampingnya. Dalam waktu singkat, Owly menjadi sahabat pertama Sofia di hutan, sekaligus sekutunya yang paling berharga. Sepanjang siang, Owly tidur di langit-langit pondok, lalu keluar mencari makan saat malam menjelang. Sofia jarang berjumpa dengannya, tapi menyadari keberadaannya menenteramkan benaknya.

Selain Owly, beberapa ekor monyet kerap datang mengunjungi Sofia dengan membawa buah-buahan—suatu pagi bahkan meninggalkan setandan pisang yang hampir matang. Tupai dan bajing juga kerapkali terdengar langkahnya, begitupun seekor kucing yang beberapa hari lalu mengantarkannya ke sungai apel. Si kucing sering meninggalkan bangkai burung di depan pintu. Jika sudah begitu, Sofia dengan berathati memarahi Sioren, nama kucing itu.

Aku penasaran, kenapa beberapa hari belakangan, suara burung-burung tidak senyaring biasanya. Ternyata kamu penyebabnya! Dasar nakal!

Sofia yang suka menyanyi dan bernyanyi bersama burung-burung kecil, cukup dipusingkan oleh ulah Sioren yang sembarangan memburu sahabat-sahabatnya itu.

***

Suatu hari, seorang pria tua yang bertugas di departemen penjarangan, menyadari pondok kosong tempatnya biasa beristirahat, sudah dihuni seorang gadis kecil. Dia memang terbiasa meminjamkan pondoknya kepada peneliti yang selama musim gugur tetirah di sana. Namun, seingatnya Justin sudah meninggal dalam kebakaran hebat setahun lalu, dan putri semata wayangnya dirawat di panti asuhan Santo Ignatius.

Henry sudah lama mengenal Justin, tapi hampir tidak pernah bertemu dengan putrinya. Meski begitu, dia yakin gadis kecil yang terlihat sibuk menyiangi ladang buncis di depan pondoknya itu adalah Sofia, putri Justin yang seharusnya ada di panti. Dia mempunyai kemiripan dengan sang penulis, tapi terutama dengan ibunya, Lily. Henry mendekati Sofia yang menyambutnya dengan senyum hangat. Setelah mendengarkan pengalaman Sofia, dia menawarkan bantuan kepadanya, tapi Sofia menolaknya dengan halus. Sofia berkata, dia sudah merasa kerasan tinggal di hutan. Teman-temanku ada di sini.

Henry mengerti dan memberikan Sofia serantang makanan yang dibawanya sebagai bekal, lalu mengajaknya bersantap siang di halaman. Ternyata isinya nasi dan jangan lodeh. Sofia menyantapnya lahap, tanpa mampu menyembunyikan haru di matanya. Sudah lama dia tidak memakan nasi dan lauk hangat. Henry hanya diam memandangnya. Seusai bersantap, keduanya saling bertukar cerita bagai kakek dan cucu. Dia tidak memberitahu Sofia bahwa pondok itu adalah miliknya. Kakek cuma petugas penjarangan yang kebetulan melewati hutan ini, katanya. Pekerjaan Kakek adalah menebangi pohon-pohon yang jaraknya terlalu rapat agar cahaya matahari dapat memancarkan cahayanya secara merata. Sofia cemas hutannya juga terkena dampak penjarangan, tapi pria tua itu, menegaskan bahwa hutan ini sudah dalam kondisi yang baik.

Henry, yang hampir sepanjang hidup bekerja sebagai salah satu pegawai di departemen penjarangan hutan setempat, tinggal berdua saja dengan istrinya di kaki gunung membiru, di sebuah rumah kecil yang menghadap selatan. Setiap hari, Henry bangun pagi-pagi sekali untuk memeriksa kondisi pohon-pohon. Salah satu sajak Sapardi Djoko Damono, Tentang Tuhan, menjadi teladannya dalam mengarungi hidup, terutama saat bekerja. Ini sajak yang indah, dan saya tidak kuasa membendung hasrat untuk mengutipnya di sini,

Pada pagi hari Tuhan tidak pernah seperti terkejut dan bersabda, “Hari baru lagi!”; Ia senantiasa berkeliling merawat segenap ciptaan-Nya dengan sangat cermat dan hati-hati tanpa memperhitungkan hari.

Ia, seperti yang pernah kaukatakan, tidak seperti kita sama sekali.

Tuhan merawat segala yang kita kenal dan juga yang tidak kita kenal dan juga yang tidak akan pernah bisa kita kenal.

Henry sangat menghargai setiap nyawa di hutan, termasuk hewan-hewan yang hidup di dalamnya. Dia dan timnya bekerja dengan cara seaman mungkin dan selalu memastikan semua pohon yang dipotong telah direplantasi dengan benar, sehingga tidak merusak ekosistem. Kini, Henry sudah berusia lanjut, enam puluhan tahun umurnya, tapi itu bukan penghalang baginya untuk bekerja dengan sepenuh hati. Dan perjumpaannya dengan Sofia membuat harinya bertambah cerah. Dia seperti bertemu cucunya sendiri yang sudah lama tidak kembali. Seandainya bisa, dia ingin sering-sering mengunjungi Sofia. Namun, dia hanya bisa datang sesekali, sebab di sini bukan bagian hutan yang menjadi tanggung jawabnya.

Sesampainya di rumah, Henry bercerita kepada istrinya.

“Tebak dengan siapa aku bertemu siang tadi. Sofia, putri Justin. Dia tinggal di pondok kecil milik kita.”

Setelah mendengar cerita suaminya, Evelin langsung menaruh peralatan sulamnya, lalu menyembunyikan wajahnya dengan tangannya. Dia menangis terisak-isak dan butuh waktu lama untuk berhenti. Henry menunggunya dengan sabar. Sofia, bagaimanapun, hanyalah seorang gadis kecil. Dia menyalahkan Henry yang tidak membawanya pulang, bahkan tanpa mengindahkan pembelaan suaminya sama sekali. Dia ingin menjaga Sofia dan mencurahkan kasih sayang kepadanya. Sekarang sudah pengujung musim gugur dan sebentar lagi musim dingin datang. Meskipun di pondok ada bertumpuk-tumpuk kayu bakar, apakah mungkin Sofia mampu bertahan di tengah bekunya salju? Tak mau terus-menerus diselimuti perasaan cemas, besok, Evelin berencana menjemput Sofia.

***

Sementara itu, jauh di jantung hutan, Sofia yang tidak dapat tidur, menyalakan kompor zanjabil di dapur, lalu merebus segelas cokelat yang siang tadi diberikan Henry. Dia membiarkan tungku tetap menyala selama beberapa saat untuk menyebarkan hawa hangat di sekujur tubuhnya. Bajunya sudah robek di sana-sini. Mustahil mampu menahan gigil cuaca. Dia mendekap erat selimutnya yang dikenakannya sebagai mantel. Dia hanya mempunyai dua pasang baju yang dipakainya berganti-gantian.

Bersedekap, dia duduk di depan pintu dan menghangatkan tangannya dengan menggenggam secangkir cokelat yang masih mengepul. Namun, meski cuaca dingin, langit terlihat cerah. Bintang-bintang berkilau bagai sungai yang deras — atau bercak darah, justru. Sofia selalu merasa terhubung dengan Alam ketika memandangi bintang-gemintang. Di benaknya terangkum serangkai nada yang indah. Dia segera mengambil harmonika kecilnya di balik kerah baju, lalu meniupnya perlahan. Mi Fa So — Do – Si La So La So — Mi Re Do.

Tanpa sadar, Sofia mulai membayangkan apa yang terjadi di luar sana. Bagaimana bintang-bintang bisa terbentuk? Ada apa di luar angkasa? Apakah aku seorang diri saja di jagat yang mahaluas ini?

Seandainya Tuhan menganugerahiku sepasang sayap, aku ingin terbang menjelajahi dunia. Pasti ada begitu banyak tempat indah yang bisa aku lihat. Bayangkan berapa banyak hal baru yang bisa aku pelajari ….

Meski segalanya hanya angan-angan, Sofia tidak menyesal. Dia pun beranjak memasuki rumahnya, lalu dengan setengah malas menarik pintu yang engselnya berkarat. Bunyi bruk! yang kencang ketika pintu tertutup membuatnya terkejut. Sofia memandang langit-langit. Maaf, bisiknya kepada Owly. Dia berbaring di kasur, menarik selimutnya, lalu memejamkan matanya.

Dalam mimpinya, seorang malaikat berambut cokelat datang kepadanya—dan Sofia yakin pernah melihatnya, entah di mana.

“Hai, Sofia.” Suara yang lembut menyapanya. “Aku Lily. Aku tinggal di hutan ini bersama teman-temanku yang lain.”

Tanpa mampu berkata sepatah pun, Sofia memandang Lily.

“Apa kamu tidak pernah bertemu malaikat sebelumnya?”

Sofia menggeleng. “Tidak. Baru pertama kali aku melihat malaikat, dan itu Kakak.”

Lily tertawa. “Jangan khawatir, Sofia. Kami takkan menyakitimu. Kami hanya ingin menjadi temanmu.”

Sofia senang mendengarnya. Dia senang bisa berteman dengan Lily dan malaikat-malaikat lain di hutan ini. Itu akan membuatnya tak lagi kesepian. Selama ini, dia yakin berteman dengan penghuni hutan sudah cukup, tapi pertemuannya dengan Henry membuatnya merindukan seseorang yang mampu memahami bahasanya.

“Terima kasih, Kak. Aku—betapa bersyukurnya aku bisa bertemu dengan Kakak.”

Lily tersenyum lembut. “Aku pun bersyukur, Sofia. Mari jelajahi hutan ini bersama. Ada begitu banyak tempat indah yang ingin aku perlihatkan kepadamu.”

Sofia mengangguk. “Iya, Kak.”

Lily dan Sofia menyusuri jalan-jalan di hutan. Sofia yakin sudah mengenal baik seisi hutan, tapi Lily menuntunnya ke tempat-tempat yang mustahil mampu dia temukan seorang diri. Ada jalan yang seharusnya tidak ada, ada sesuatu yang seharusnya ada, tapi tiada. Sofia bahagia ketika berjumpa dengan malaikat-malaikat lain yang ternyata tinggal di sebuah negeri yang sangat indah, di balik kabut.

Sofia tak menyadari bahwa di punggungnya telah tumbuh sayap yang tak kalah indah dengan sayap malaikat yang lain.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi