Jalan Sepajang Malam

Tentu saja aku sadar bahwa aku sudah mati, dan yang berjalan di sampingku adalah Kematian itu sendiri. Dia tidak jauh berbeda dengan yang selama ini kubayangkan. Wajahnya setua pohon-pohon di belantara dan rambutnya dipenuhi uban sehalus gerimis. Badannya kurus, tapi tidak kering. Aku mencari matanya di balik kacamata berbingkai perak yang gagangnya sudah sedikit berkarat, tapi tidak menemukan apa pun, selain gurat lelah di pelipisnya. Di bibirnya terselip sebatang rokok separuh terbakar. Dia tidak banyak bicara. Seolah menyampaikan sepatah kata saja mampu menghabiskan seluruh energinya. 

“Aku tak menyangka kau merokok juga,” kataku.

Dia mengambil rokoknya, lalu memandangnya lama. Akhirnya aku melihat matanya—tua dan getir. Bukankah dia sudah ada sejak permulaan waktu? 

“Entahlah. Menurutmu, bagaimana aku mampu melakoni pekerjaan sesunyi ini tanpa merokok?” Dia mengambil kotak rokok di saku kanannya, lalu menepuknya lembut sampai sebatang rokok menyembul. “Kau mau?” tawarnya. "Ambil, lah."

Aku menolaknya. Namun, dia tahu aku mau. Lagipula, aku sudah mati, jadi tidak perlu menahan diri. Tak ada yang bisa membunuhku—lagi. Saat aku menerima tawarannya, dia terkekeh, lalu menyulut rokokku dengan ujung rokoknya. Suara desis terdengar empuk saat aku mengisapnya. Asap putih mengepul kental begitu aku mengembuskannya. Rasanya lebih nikmat dari yang kuingat.

“Omong-omong, ada angkringan di dekat sini. Kopinya enak. Mau mampir?” dia tiba-tiba bicara dan aku mengiyakan saja. Setelah setengah jam berjalan seolah tanpa tujuan, akhirnya kami tiba di tempat yang dia maksud—sebuah tenda terpal dengan lampu oranye seredup kunang-kunang. Begitu kami memasuki ruangan, seorang pria mengantarkan dua cangkir kopi, lengkap dengan pisang gorengnya. Setelah menaruh rokok di ujung meja, aku menyesap kopiku. 

Bau tanah mulai merayap di udara dan tetes air jatuh di permukaan tenda. Angin mengubah hujan yang tadinya gerimis, menjadi deras. Aku mengintip sebentar. Di luar, halimun memanjat pohon-pohon dan kabut memamah batu-batu. Dingin menjilat-jilat kulit. Aku merapatkan jaket, lalu mengancingkannya. Setelah membuang lelatu di ujung rokok, aku mengisapnya lagi.

Ketika hujan menderas, seraya menutup kepala dengan tangan, beberapa pelanggan buru-buru memasuki tenda. Mereka memesan secangkir kopi, sama seperti kami. Aku tidak tahu, apakah mereka pernah hidup atau tidak, atau mungkin adalah Kematian itu sendiri—seperti dia yang kini duduk di sampingku. Rekanku menumpahkan kopinya ke pisin, lalu menyesapnya dengan sangat hati-hati. Ketika dia mendekatkan ujung piring ke bibir, tangannya bergetar

Hujan mengaburkan seluruh jalan. Tenda mulai ramai. Mungkin sebentar lagi asap rokok dan obrolan tak berarti memenuhi tempat ini. Mungkin malam ini akan berlangsung selamanya. Tanpa rumah untuk pulang.

12 disukai 4 komentar 7.1K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
indah dan profesional banget gaya penulisannya. Sayang ada beberapa kata yang mungkin tidak dipahami oleh orang awam, pun saya. 💀💀💀💀💀1/2/💀💀💀💀💀 alias 4.5/5 dari saya. 🤗🙏
Keren Kak 👍⭐
Can
lumayan. soalnya aku suka misteri thriller
Wow akhirnya terlihat, Kak...
Saran Flash Fiction