Disukai
0
Dilihat
2,169
Racau
Slice of Life

Saat SMP—berarti sekitar tahun 2002—saya tinggal di Indramayu, di sebuah indekos dua lantai yang dikelola guru bahasa Inggris dan ibu rumah tangga, tempatnya di jalan Ahmad Yani, di sebelah toko mebel yang selalu sepi dan di seberang keranjang-keranjang yang menawarkan berbagai jenis mangga, dari yang belum matang sampai hampir busuk—biasanya untuk dijadikan dodol; dari lalujiwo sampai gedong. Saya lupa nomor rumahnya, mungkin 28, atau 29. Satu-satunya yang saya ingat, kos-kosan Taci Dian itu terdiri dari dua rumah, sehingga mempunyai dua nomor—jadi bisa saja nomornya 28/29—atau 27/28. Indekos itu lumayan murah, sebulannya hanya 150 ribu, sudah dengan makan siang dan malam, hanya saja kamarnya tidak ber-AC (saat itu memang jarang ada kos-kosan yang dilengkapi AC). Bagian depan kos-kosan juga saya ingat. Ada dua pintu, tapi bukan pintu koboi (kiri kanan), melainkan atas bawah. Biasanya pintu atas dibiarkan terbuka, setidaknya hingga bakda magrib, sementara pintu bawah selalu tertutup. Di dekat pintu itu, di depan kamar Ci Verlyn, hampir setiap sore saya membaca buku yang saya beli di toko Wiralodra (dekat Gereja Santo Mikael) atau lapak Bang Asu yang jaraknya tidak jauh dari indekos—yakni di lampu merah perempatan jalan.

Ci Verlyn adalah salah satu karyawan Yogya—yang saat itu masih satu-satunya "mal" di Indramayu—Toserba Surya baru buka saat saya hampir lulus. Dia hanya mengekos selama setahun, sampai mes untuk para pekerja selesai dibangun. Ci Verlyn penggemar Jikustik, terutama album Perjalanan Panjang, dan sangat menyukai lagu Akhiri Ini dengan Indah. Dia kecewa ketika Jikustik merilis album Sepanjang Musim yang menurutnya hanya menawarkan sedikit lagu bagus. Kalau tidak salah, Ci Verlyn-lah yang membuat saya menyukai Jikustik. Atau sebaliknya, ya?

Saya sudah melupakan buku apa saja yang saya baca di depan kamar Ci Verlyn, hanya ingat Detektif Conan. Dulu saya takjub kepada Kaito Kid, pencuri cerdas rival abadi Conan Edogawa, sampai-sampai kata-katanya saya tempel di depan pintu kamar—saya lupa apa yang saya kutip, hanya mengingat angka 1412. Jadi, kalau kamu penasaran, cari saja bab yang mengandung angka itu.

Bacaan saya saat itu, kalau bukan teenlit, ya manga. Sampai sekarang pun, saya masih membaca manga—dan selalu saya prioritaskan di atas segala wishlist, berhubung manga cepat sekali langkanya—tapi saya sudah hampir tidak pernah membaca teenlit. Selera saya justru kembali ke masa kanak-kanak—dongeng, buku anak, novel anak, dan semacamnya, termasuk buku bergambar yang menerangkan berbagai peri bunga. Mungkin benar kata C.S. Lewis. Some day you will be old enough to start reading fairy tales again.

Seperti yang sudah saya sampaikan, ada dua lantai di kos-kosan Taci Dian. Kamar anak-anak dan induk semang ada di lantai satu. Di lantai dua hanya ada satu ruang kecil tempat bapak kos—yang saya lupa namanya—membuka les bahasa Inggris. Setiap anak yang mengekos di sana wajib mengikuti pelajaran bahasa Inggris tambahan, kecuali yang sudah bekerja, tentunya. Saya yang belum pernah belajar bahasa Inggris (di SD tidak ada) butuh waktu lebih lama untuk memahaminya. Bapak kos menghukum setiap anak yang nilai bahasa Inggrisnya jelek. Hukumannya sederhana, menyalin janji, tapi dikali ratusan. "Saya berjanji tidak akan mendapat nilai merah lagi" seratus kali, misalnya. Sayalah yang paling sering kena. Tapi akibatnya, saya jadi cepat bisa. Ketika naik kelas dua, nilai bahasa Inggris saya cukup bagus, hanya sedikit di bawah Sella, si juara kelas yang sekarang jadi artis.

Kamar saya terletak di bawah tangga. Kecil saja. Hanya cukup untuk meja belajar dan kasur. Di bawah ranjang, saya menyimpan komik-komik yang ratusan jumlahnya (sebagian besar, 75%-nya, adalah pemberian Nanda, teman masa kecil saya).

Di sebelah kiri saya, ada kamar Rico yang seperti rimba belantara. Dia membiarkan burung-burung peliharaannya berkeliaran di dalam ruangan dan menguarkan bau tahi. Lantai kamarnya licin, seperti ditumpahi berton-ton minyak. Tapi dia bukan pencinta hewan. Kucing peliharaan saya, Belang namanya, yang tidak bisa tumbuh lagi setelah mencapai ukuran tangan saya, dibuangnya ke kali. Mati. Katanya, si Belang selalu mengincar burung-burung peliharaannya. Padahal tidak. Saya yakin tidak. Si Belang bukan satu-satunya, kucing saya yang lain, si Bleki yang berbulu hitam putih, juga dibuangnya. Saya mencarinya di mana-mana, di seantero kota, di kuburan keluarga (Taci Dian masih bersaudara dengan pemilik Hotel Jayakarta; mereka punya kuburan keluarga di Indramayu yang luar biasa luas; kuburan itu sering saya datangi untuk tempat tidur siang—tapi itu cerita lain), tapi nihil. Ketika Rico keluar sebelum genap setahun mengekos, barulah saya berani memelihara kucing lagi.

Di sebelah kanan saya, tinggal Ando—atau Tata—anak dokter, yang setiap malam menekan tuts-tuts kibornya dengan suara sekeras mungkin, padahal permainannya biasa saja. Karena tidak terlalu mengenalnya, saya tidak bisa bercerita banyak tentangnya. Hanya saja, di meja kamarnya, ada botol-botol bekas selai yang diisinya dengan potongan daging kecil-kecil—katanya itu ikan, sapi, ayam, dan entah apa lagi. Ada pula yang berisi lalat hijau hidup—dan kemudian sekarat. Kalau tidak salah, ada 20 botol. Mungkin lebih, mustahil kurang (ergo, Tuhan itu ada). Tanya saya, apa ini tugas biologi di sekolahmu? Kami menuntut ilmu di sekolah berbeda. Saya di Santo Mikail, dia di BPK Penabur. Jawabnya, bukan. Ini eksperimen pribadi. Karena penasaran, dengan bodohnya saya membuka salah satu botol isi daging yang terlihat seperti ikan asin, sedikit saja, sedikit sekali, bahkan tidak sempat terbuka, hanya mengendurkan tutupnya, tapi itu cukup untuk membuat seantero kos bau busuk. Dia marah dan tidak mengizinkan saya memasuki kamarnya lagi.

Tidak ada kamar mandi di dalam kamar kami—atau siapa pun. Kamar mandi ada di belakang, di dekat empang lele. WC kanan berlampu bohlam yang menyala panas kekuningan, lantai tehelnya retak di sana-sini, dan di sela-sela retakan sering menyembul cacing sebesar jempol yang panjangnya mungkin enam puluh sentimeter. Di temboknya, entah bagaimana, selalu menempel dua-tiga ekor lintah. Kondisi kamar mandi sebelah kiri jauh lebih baik. Lampunya sudah putih dan lantainya dikeramik. Setiap pagi, WC 01 (kiri) selalu jadi rebutan. Beberapa di antara penghuni kos, seperti saya, memilih mengantre daripada mandi di WC 02 (kanan). Pernah sekali waktu saya terpaksa menggunakan WC 02. Alhasil, butuh waktu lama untuk menunaikan hajat, sebab cacing sebesar ular merayap pelan merintangi jalan. Itu cacing apa, kenapa bisa sebesar itu, sampai sekarang saya tidak tahu. Tapi gerakannya yang mengulur dan merenggang berkali-kali, berdenyut-denyut seperti jantung yang kualahan memompa darah, mustahil saya lupa. Sekarang pun, jika memejamkan mata, bayang-bayang cacing itu menjadi pengalaman horor yang menghantui sudut gelap benak saya. Cacing dan lintah bukan satu-satunya penghuni kamar mandi itu. Kadang ada kecoak, kelabang (gendut-gendut), ular-ular kecil yang menghuni lubang kusen pintu, dan tikus, barangkali juga hantu-hantu. Kalau mau menciduk air, periksalah bak mandi yang gelap itu, apakah ada bangkai tikus yang mengambang (atau tenggelam) atau justru hidup berenang-renang putus asa mencari jalan keluar. Hana, salah satu penghuni kos yang satu sekolah dengan saya, pernah mandi dengan air yang dikontaminasi tikus mati. Malamnya, kulitnya jadi gatal-gatal dan beruam seperti cacar—atau memang cacar? Dia diobati dengan bubuk merah yang katanya mengandung mesiu. Bubuk itu dilarutkan dengan air. Kata Hana, pedih nian di kulit, seperti ikan menyisiki dirinya sendiri—kata-katanya memang metaforis, tapi entah kenapa selalu tepat. Selama Hana sakit, bapak dan ibu kos, beserta anak-anaknya (mereka punya dua puteri, Dea dan Dean) mengungsi ke rumah satunya, sementara anak-anak kos ditinggalkan sendiri tanpa penjagaan dengan si sakit yang sewaktu-waktu bisa menularkan wabah. Kalau tidak salah, hanya empat hari Hana sakit. Kemudian giliran saya.

Di dekat ruang makan ada jam Jepang yang luar biasa besar, yang bekerja dengan diputar kuncinya, mekanis, tanpa listrik. Satu jam sekali, jam itu berdentang sesuai jumlah waktu. Dong! Dong! Dong! Karena sudah terbiasa, saya tidak terganggu dengan bunyinya, tapi entah kenapa ia selalu berhasil membangunkan saya pada tengah malam. Saat berdentang dua belas kali, kos-kosan sudah sesunyi kubur, satu-satunya yang masih melek hanya bapak kos di ruang tamu, entah menonton apa, mungkin sinetron dinihari. Saya selalu terjaga pada dentang ketujuh (ini sudah saya pastikan). Agar bisa tertidur lagi, saya menyumpal telinga dengan earphone, memutar lagu Dewa lewat Walkman hitam Sony pemberian Nenek. Nenek membelinya di Marina, Tegal, saat saya mengunjungi rumahnya (di dinding rumah Nenek, tertempel gambar-gambar perempuan tanpa busana atau bikini milik Kakek, dan di halaman belakang ada belasan burung yang di setiap kandangnya ditempeli nama artis—burung peliharaan Kakek yang saya suka diberi nama Tamara Bleszynski dan Nike Ardilla). Kata Nenek, Walkman itu untuk kado kelulusan saya.

Kalau tidak salah, saat itu saya kecewa Dewa (yang awalnya bernama Dewa 19) mengganti vokalisnya—dari Ari Lasso ke Once. Saya yang belum terbiasa mendengar suara Once, mengernyitkan dahi setiap mendengar album Bintang Lima. Saya merasa album itu akan sempurna jika Ari Lasso yang menyanyikannya. Baru pada album Cintailah Cinta, saya bisa menerima kehadiran Once.

Di kamar kos, saya mengoleksi banyak kaset, di antaranya Dewa—dengan atau tanpa 19—Stinky, Padi, Element, Caffeine, dan Sheila on 7. Chrisye punya satu, yakni Dekade. KLa hanya ada album the best. Pada dasarnya, saya hanya mendengarkan lagu-lagu pop Indonesia. Teman saya, Kris, kerap memprovokasi saya untuk mendengar kaset Linkin Park, Hybrid Theory, tetapi lagu-lagunya selalu gagal menaklukkan telinga saya yang seleranya easy listening ini—padahal sudah berkali-kali saya meminjamnya. Saya baru menyukai Linkin Park saat mendengar album A Thousand Suns—jauh setelah latar waktu cerita ini—dan akhirnya menjadi penggemar berat Chester (dan ikut menangis saat mendengar kabar kematiannya).

Saya pertama kali mengenal L'Arc~en~Ciel—yang kelak saya gandrungi sepenuh hati—dari majalah Animonster yang saya beli di lapak buku bekas dekat lampu merah. Lapak itu bersahaja saja, hanya gerobak yang di dinding-dindingnya, Bang Asu—namanya memang itu, makanya saya ingat—memajang majalah-majalah lama. Dengan kode "TeEsTe" atau "TST" (tahu sama tahu), kita bisa mendapatkan manga hentai, buku porno, VCD bokep, atau stensilan yang disembunyikan di laci bawah gerobak. Saya tidak pernah membeli printilan porno itu (uang saya tidak cukup), tapi saya sering membaca di tempat dengan metode skimming dan skipping sebab takut dilihat teman—di seberang lapak Bang Asu, ada toko elektronik Mini yang dikelola orang tua teman saya. Manga hentai adalah favorit saya. Saya tidak peduli pada ceritanya dan hanya mencari adegan perkelaminannya. Itu cukup membuat saya berdiri dan uring-uringan sepanjang malam. Karena belum tahu bagaimana mengeluarkannya, saya tidur dengan perasaan gelisah—si burung saya biarkan memancung. Beruntung kalau malam itu saya mimpi basah—yang awalnya saya anggap ompol, tapi kok enak.

Sudah lama saya berlangganan majalah Animonster di lapak Bang Asu, harganya sepertiga dari yang baru—maklum, telat 1-3 bulan. L'Arc~en~Ciel menjadi cover Animonster volume 66 yang saya beli sore itu—dan langsung saya baca malamnya. Pada edisi itu, huruf O pada AnimOnster yang biasanya diisi Cathleen diganti dengan kover album SMILE. Saya tidak tahu siapa L'Arc~en~Ciel, tapi pembahasan Animonster membuat saya penasaran. Besoknya, hari Sabtu, saya naik elep (maksudnya "elf"—merek mobil—semacam metromini atau kopayu) untuk membeli kasetnya di kota Cirebon. Di mal Grage, ada dua toko musik, yakni Bonanza dan DiscTarra (sekarang kedua toko itu sudah tidak ada), yang saya kunjungi saban minggu—atau dua minggu—sekali. Koleksi di dua toko itu jauh lebih lengkap dan update daripada di Indramayu yang koleksinya terjebak di tahun 80-90an.

Saya menemukan kaset SMILE di Bonanza, tapi tetap mampir ke DiscTarra, sekadar melihat-lihat koleksi CD terbaru yang dipajang di rak (Bonanza adalah spesialis kaset, DiscTarra CD). Di pojok rak, ada display Discman dengan berbagai merek dan model. Saya memandang semuanya dengan penuh damba. Apa daya uang tak ada. Minta orang tua pun kurang genah rasanya. Dengan sedikit waktu yang tersisa (saat itu sudah malam), saya sempatkan melihat-lihat buku di Gramedia. Alih-alih menyongsong rak manga, saya mencari novel dari penulis Jepang, lalu menemukan buku Ryuunusuke Akutagawa, Kappa. Saya membelinya. Saya baru mengerti isinya sepuluh tahun kemudian.

Karena malam itu saya langsung pulang ke rumah, bukan kos-kosan, saya tidak naik elep, tapi bus. Jarak Cirebon–Kiajaran cukup jauh. Jadi, setelah duduk di bangku belakang, saya menyumpal telinga dan mendengar kaset SMILE—diawali dengan Seppun, diakhiri Spirit dreams inside. Total ada sepuluh lagu. Saya putar satu kali saja. Karena tak ada yang masuk, saya ganti dengan Pandawa Lima.

Cirebon, 5 Agustus 2023

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi