Disukai
7
Dilihat
1317
Tetangga Depan Rumah
Slice of Life

TETANGGA DEPAN RUMAH

(Inspired by True Event)

 

Tinah melongok-longok dari jendela rumahnya. “Pak … rumah depan sudah ada yang beli ya?” tanya Tinah pada suaminya Djunaedi. “Ga tau Bu, emang kenapa gitu?” jawab Djunaedi acuh tak acuh sambil mengusap-ngusap burungnya yang berkepala coklat itu. Eh jangan mikir macam-mcam loh ya, ini maksudnya Djunaedi memang pelihara burung beneran hehehe, seeekor –jangan lupa E-nya tiga– burung kenari berbulu coklat. Tinah menyibak gordennya untuk bisa melihat lebih jelas lagi dari jendelanya. Di seberang rumah mungilnya, tampak sebuah rumah yang berukuran lebih besar dari rumahnya dengan kesibukan orang yang sedang pindahan.

Sebuah mobil box besar dari jasa pindah rumah berhenti di depan rumah itu menurunkan berbagai perabot rumah tangga. Para petugasnya sibuk menurunkan dan membawa perabot itu ke keluar masuk rumah. Tinah bergumam sendiri, “Wah barang-barang bagus dan modern, pasti harganya mahal, ini pasti horang kaya yang beli rumah besar itu.” Tina melirik pada perabot rumah tangganya sendiri yang terlihat jadul dan membosankan. Bahkan kipas angin satu-satunya di rumahnya itu tidak bisa menengok ke kiri lagi, arahnya hanya ke kanan terus dengan bunyi tek, tek, tek. “Itu belum rusak kok Bu … kita harus bersyukur karena kipas angin kita itu sudah mendapakan hidayah, dia hanya mau menengok ke kanan, jalan yang benar, ga tergoda buat nengok ke kiri lagi, hehehe,” seloroh Djunaedi saat Tinah mengeluh soal kipas angin.

Sedang asyik-asyiknya mengintip tetangga yang pindahan, Tinah mengerutkan keningnya, hidungnya mencium bau sesuatu. “Bu!! Ini goreng tempemu gosong loh!” teriak Djunaedi dari belakang. “Astaga!” seru Tinah bergegas menuju dapur. “Kamu itu lagi apa sih Bu? Sampai hitam itu tempe,” geleng-geleng Djunaedi seraya memasukkan kembali burungnya ke dalam sarung eh kandang. “Itu loh Pak … rumah di depan itu memang sudah ada yang beli … lagi pindahan …” jawab Tinah dan mengangkat tempe-tempe yang gosong lalu mematikan api kompornya.

“Ya terus?” sahut Djunaedi. “Mereka kayaknya orang kaya … barang-barangnya bagus-bagus dan mahal-mahal Pak … mereka punya kursi-kursi mewah, mereka juga punya sofa bed yang aku pengen itu loh … dan kulkasnya buesar Pak! Kayaknya Bapak sama burungnya juga muat kalau mau ngadem di dalam situ,” papar Tinah penuh semangat.

“Ya ampun Bu, kamu merhatiin sampe segitunya?”

“Abis keliatan sih jadi keperhatiin Pak. Tapi aku jadi tahu barang-barang mewah itu seperti apa Pak,” cengir Tina yang kini tengah meracik sambal goang. Memang tepat, kombinasi nikmat yang sempurna antara nasi hangat, tempe goreng dan sambal goang! Tapi tempenya ga gosong juga sih hehehe. Djunaedi geleng-geleng, “Terus kalau sudah tahu, manfaatnya buat Ibu apa?” Tinah berpikir sebentar, lalu berkata, “Ya manfaatnya, jadi tambah iri dan dengki Pak.” Djunaedi tertawa mendengar jawaban istrinya itu, “Dasar si Ibu!”

 

***

 

Sebuah mobil bagus berhenti di depan rumah yang baru pindahan itu. Djunaedi yang tengah mencuci motor di teras depan tak sengaja melihatnya. Ia melirik pada motor tua satu-satunya yang ia miliki ini. Memang jauh sih, gumam hati Djunaedi kemudian melanjutkan mencuci motornya. Ia tak lagi memerhatikan tetangga barunya itu. Setelah selesai Djunaedi melangkah masuk ke dalam rumah dan kaget melihat istrinya.

“Si Ibu pasti lagi ngintipin tetangga depan lagi ya?”

Tinah mengangguk. “Ga ada kerjaan aja sih Bu,” sambung Djunaedi. “Abis mau ngapain lagi Pak semua sudah beres dikerjain kok,” jawab Tinah dengan matanya terus melihat ke rumah seberang itu. “Ya bikin video TikTok kek kayak ibu-ibu yang joget-joget ga jelas itu loh,” sahut Djunaedi. “Mobilnya bagus ya Pak?” Tinah berkata lain, tidak menanggapi ucapan Djunaedi. “Ho’oh,” Djunaedi tak menyangkal, itu memang sebuah mobil yang bagus. “Pak … Pak … sini lihat … kayaknya itu yang punya rumahnya baru turun dari mobil … kemarin mereka belum datang,” panggil Tinah. Djunaedi jadi ingin tahu juga seperti apa rupa tetangga baru mereka itu, maka ia berdiri di samping istrinya dan ikut melihat melalui jendela.

Tampak pasangan suami istri yang masih berusia muda berjalan dengan bergandengan tangan memasuki rumah baru mereka. “Tuh Pak, romantis, gandengan tangan gitu,” celetuk Tinah. “Gandengan tangan kayak mau nyebrang jalan aja,” cengir Djunaedi. “Ih, gandengan tangan itu ga hanya mau nyebrang doang kali,” balas Tinah. “Iya, iya … ntar Ibu kalau mau pipis Bapak gandeng deh ke toilet,” seloroh Djunaedi sambil berjalan ke belakang. “Huh ga romantis! Burung aja diusap-usap, dielus-elus terus, istri dilupain, dielus kalau ada maunya aja!” gerundel Tinah tak terdengar Djunaedi.

 

***

 

Hujan turun saat itu. Tinah bergegas ke lantai atas karena bila hujan turun deras seperti ini, biasanya kamar tempat anak-anaknya tidur di lantai atas akan bocor. Benar saja, tetes-tetes air sudah membasahi lantai. Tinah segera mengambil ember dan panci untuk menampung tetesan air itu. Kemudian ia ke balkon -sepetak teras kecil tempat menjemur pakaian- bermaksud untuk menurunkan kerai bambu agar hujan angin tidak menciprati balkonnya. Baru saja Tinah akan melepaskan tali kerainya, matanya tertumbuk pada jendela kamar lantai dua rumah tetangga barunya yang tepat berada di seberang balkonnya.

Jendela kamarnya terbuka dan dengan jelas Tinah bisa melihat tetangga barunya itu sedang memadu kasih. Tinah menelan ludahnya, ia bisa merasakan darahnya mendesir-desir. Pasangan itu bercinta dengan hebatnya membuat gejolak syahwat Tinah meletup. Pasangan muda itu saling banting, piting bahkan ada gerakan menguncinya juga hingga mereka terengah-engah. Ini bercinta atau gulat WWE sih? Hehehe. Tinah melihat itu semua dan teringat akan kondisi percintaannya yang jauh berbeda.

Tinah dan Djunaedi memang sudah tak muda lagi. Mereka sudah menikah untuk lima belas tahun tapi kadang ia ingin Djunaedi bisa “buas” lagi seperti awal-awal menikah dulu. Seperti singa yang mengoyak, seperti banteng yang menyeruduk, seperti kuda yang menyepak atau seperti kucing yang mengeong. Umur boleh tua tapi urusan ranjang harus seperti pengantin baru terus dong, begitu yang diinginkan Tinah tapi kadang kenyataan memang tidak sesuai keinginan. Tiba-tiba perempuan muda di seberang balkon itu menatapnya dan melihatnya. Mata mereka bertumbukan. Tinah terkejut, ia jadi malu sendiri, seakan tertangkap basah sedang mengintip orang yang sedang berasyik masyuk. Ia pun menunduk dan bergegas membuka tali kerai sehingga gulugan kerai itu terbuka menutupi balkon, lalu Tinah segera masuk ke dalam membiarkan pasangan muda itu melanjutkan gulat bebasnya lagi.

Duduk di atas sofa tua yang lusuh, Tinah terdiam. Dalam hatinya terus berkata, betapa beruntungnya pasangan muda itu. Hujan pun masih turun.

 

***

 

Pintu rumah diketuk.

Tak berapa lama pintu dibuka. Di depan pintu berdiri pasangan muda pria dan wanita yang sedang tersenyum. “Selamat malam Dek, Bapak Ibunya ada?” tanya sang pria ramah. “Ibu lagi di dapur bikin video TikTok, kalau Bapak lagi ngelus-ngelus burungnya di belakang, mau ketemu yang mana?” jawab Dodi lempeng. Pria dan wanita itu diam terpana mendengar jawaban Dodi. “Jangan kaget gitu dong, tenang, Bapak itu ngelus-ngelus burung kenari bukan burung yang itu,” jelas Dodi.

“Oh syukurlah,” sang pria tertawa malu begitu pun sang wanita. Mereka berdua tertawa lega dalam pikiran mereka tadi sudah mengembara kemana-mana soalnya. “Jadi mau ketemu Bapak dan Ibu saya ga?” tanya Dodi lagi. “Oh ya tentu saja Dek, ketemu ibu saja, takut bapak sedang sibuk ngelus-ngelus burungnya hehehe,” cengir pria itu. Dodi mengangguk, “Ok, tunggu … Buuuu! Ada tamu nih!”

Mendengar namanya dipanggil, Tinah bergegas keluar dari dapur. “Ada apa sih Dod?” tanya Tinah sembari meletakkan HP-nya. “Tuh ada tamu di teras,” jawab Dodi lalu melempar tubuhnya ke atas sofa lusuh di mana adiknya sedang rebahan di situ. “Aduh! Bang! Apaan sih!” seru sang adik yang terkejut karena Dodi menindihnya lalu menggelitikinya. Adiknya menjerit-jerit kegelian. Tinah membuka pintu dan terkejut melihat tamunya. Ternyata tamunya adalah pasangan muda tetangga baru depan rumahnya itu, yang tengah memberikan senyum manis mereka pada Tinah.

“Maaf mengganggu Bu, kami hanya ingin berkenalan dengan tetangga depan rumah kami---“

“Dodi, Dini! Diam jangan berisik! Ini ada tamu!” teriak Tinah kesal pada kedua anaknya yang sedang bercanda itu kemudian kembali menatap tamunya dengan senyum terkembang, “maaf jadi kepotong, anak-anak itu memang suka rusuh.” Pasangan muda itu masih tersenyum, entah pake bahan apa senyumnya, kok awet banget ya. “Ga apa-apa Bu, namanya juga anak-anak,” kata sang wanita. “Bukan anak-anak mereka mah, mereka itu jelmaan setan,” bisik Tinah lalu tertawa. Pasangan muda itu ikut tertawa tapi canggung mendengar candaan itu. “Ayo masuk,” Tina mempersilakan.

Setelah pasangan muda itu duduk, Tina memanggil Djunaedi. “Sayaang, ada tamu nih.” Dodi dan Dini saling tatap tak percaya mendengar panggilan ibunya itu. “Sayang?” bisik Dodi menahan geli begitu pun Dini lalu mereka cekikikkan berdua. “Sayaaang, tetangga baru kita is in da house nih,” panggil Tinah lagi kali ini lebih mesra. Pasangan muda itu masih sabar menunggu dengan senyum yang masih menempel di wajah mereka. “Maklum … suami saya itu kalau lagi mainin burungnya suka lupa waktu,” kata Tinah, “Sayaaang!”

Teriakan tegas dan keras tanpa mesra di kata terakhir itu membuat Djunaedi bergegas datang dari belakang sembari membetulkan sarungnya. Pasangan muda itu bangkit dari duduknya menyambut kedatangan Djunaedi dengan senyuman tentu saja. Melihat siapa tamunya membuat Djunaedi terkejut. “Eh ada tamu,” begitu kata Djunaedi. “Perkenalkan Pak, kami tetangga baru depan rumah, saya Steven dan ini istri saya, Calista,” pasangan muda itu memperkenalkan diri mereka.

“Oh iya, saya Djunaedi dan ini istri saya, satu-satunya dan belum berencana untuk ganti, Sutinah,” ucap Djunaedi. Tinah mencubit pinggang Djunaedi seraya tersenyum pada Steven dan Calista. “Bisa aja suami saya ini … maklum kita memang suka bercanda … mmmh.” Wajah Djunaedi memerah, “Tapi nyubitnya engga bercanda.” Steven dan Calista tertawa. “Ini akan menyenangkan karena saya punya tetangga yang senang bercanda,” tawa Steven. Calista menyodorkan sebuah kotak yang bertuliskan nama bakery ternama di kota ini pada Tinah. “Ini sekadar salam perkenalan dari kami Bu,” ucap Calista.

“Eh apa ini, duh pake repot-repot begini, saya ‘kan jadi enak loh eh jadi ga enak maksudnya,” Tinah tersenyum malu-malu seraya menyabet kotak bakery itu. “Oya … kalau yang di depan tivi itu, namanya Dodi dan Dini … mereka … mereka itu siapa sih Bu? Kok ada di dalam rumah kita?” tanya Djunaedi bingung. “Iya mereka tuh pengen banget jadi anak kita,” jawab Tinah. Dodi dan Dini tampak cemberut membuat Steven dan Calista tergelak. “Canda … mereka anak-anak kami kok, asli … ga ada campuran dari tetangga,” tawa Djunaedi, “eh ayo kita duduk lagi.” Mereka semua pun duduk.

“Sepertinya kami harus belajar sama Bapak dan Ibu, gimana membuat rumah tangga semenyenangkan dan penuh canda seperti ini ya,” kata Steven diikuti anggukan kepala Calista. “Ngomong-ngomong kalian tampak masih muda … umur berapa kalau kami boleh tahu,” tanya Tinah. “Usia saya tiga puluh tiga tahun dan Calista, dua puluh delapan tahun,” Steven menjawab seraya menggenggam jemari Calista, romantis sekali. “Umur kami terpaut jauh,” tambah Calista.

“Ah terpaut lima tahun itu ga jauh kok Bu, saya dan suami itu bedanya sepuluh tahun loh,” kata Tinah seraya menggenggam jemari Djunaedi, pengen ikutan romantis juga. “Kamu mau pipis?” bisik Djunaedi terkejut jemarinya digenggam Tinah. Dasar ga peka! Kesal Tinah dalam hati pada suaminya lalu melepas genggamannya. “Wah cukup jauh juga jaraknya ya,” kata Calista. “Iya, tapi setelah lima belas tahun umur perkawinan kami, sekarang kami sudah seperti seumuran saja, ga ada lagi ewuh pakewuh tuh,” kekeh Djunaedi.

Steven dan Calista bengong mendengar itu. “Lima belas tahun? Bapak dan Ibu sudah menikah untuk lima belas tahun wow!” seru Steven. Tinah melihat senyum Calista yang mendadak hilang dengan tatapan matanya yang nanar seperti untuk sesaat pikirannya tidak ada di sini. “Ah bukan sebuah hal yang istimewa … bukan sebuah prestasi juga … kalian pasti bisa juga kok,” kata Tinah. Steven mengangguk dan menepuk-nepuk jari Calista seperti yang menenangkan. Calista pun tersenyum lagi. “Tapi tetap sebuah hal yang hebat,” ucap Steven. “Memang kalian sudah menikah berapa lama?” tanya Djunaedi.

“Kami baru mau lima tahun Pak,” jawab Calista. “Oh,” Djunaedi manggut-manggut. “Semangat,” sela Tinah sambil mengepalkan jemarinya. Calista tertawa. “Baiklah, karena sudah malam, kami sebaiknya pulang dulu … oya … malam minggu besok, kami mau mengundang Bapak Ibu untuk makan malam di rumah kami … bukan makan malam besar hanya tetangga depan belakang kiri dan kanan saja,” senyum Steven, “bila tidak sibuk, senang sekali kalau Pak Djunaedi dan Bu Tinah bisa datang.”

“Oh tentu! Kita ga pernah sibuk kok, jadi pasti datang,” sambar Tinah tanpa keraguan. Setelah itu Steven dan Calista kembali ke rumah mereka. “Semangat banget Bu mau datang ke rumah mereka,” sahut Djunaedi saat mengunci pintu. “Oiya dong, Ibu mau lihat isi rumahnya hehehe,” ungkap Tinah lalu bergabung dengan Dodi dan Dini yang sedang menikmati roti bakery. “Pantesan …” geleng-geleng Djunaedi. “Daddy, Daddy, sini deh nyobain roti mahal dari tetangga tadi … mm … uenak tenan!” panggil Dodi sambil mengunyah roti berisikan fla vanilla itu. “Iya Daddy, ini baru namanya roti … lembut dan ga bikin seret,” tambah Dini.

“Dedi dedi, ndasmu kuwi!” cetus Djunaedi membuat istri dan anaknya tertawa.

 

***

 

  Djunaedi membawa sangkar yang berisikan burung kenari itu ke teras depan rumahnya. Saat ia sedang menjemur burungnya dan menyemprot sangkarnya dengan air bersih, Calista menghampiri. “Pagi Pak Edi … wah burungnya lucu ih,” sapanya sedikit berbasa-basi meski kalimat sapanya agak ambigu ya. “Eh pagi juga Bu, iya Bu lucu hehehe,” Djunaedi membalas sapaan itu lalu menoleh. Berdebar dada Djunaedi saat melihat Calista tengah berdiri dengan pakaian olah raga yang menampilkan lekuk tubuhnya. Bajunya yang ketat membuat nafas Djunaedi sedikit sesak. Melihat tubuh Calista itu membuatnya teringat akan Sutinah saat berpacaran dan awal menikah dulu. “Pak Edi … kemana Bu Tinah?” pertanyaan Calista itu membuat Djunaedi kembali fokus pada hari ini.

“Oh sedang ke pasar diantar motor sama Dodi,” jawab Djunaedi. Calista mengangguk, “Baiklah kalau gitu Pak, saya lari dulu, mari.” Djunaedi pun mengangguk sopan dan setelah Calista pergi, ia menghela nafas. Ia menyesal telah memandangi Calista tadi, ia merasa telah ‘cheating’ pada Sutinah. Maafkan aku istriku, aku tidak bermaksud memandanginya tapi body-nya memang bagus buanget, eh aduh maaf istriku, kata Djunaedi dalam hati sambil menampar-nampar pelan bibirnya sendiri. 

“Nah, Bapak ketahuan! Tadi ngeliatin Bu Calista ya!” seru Dini yang tiba-tiba mucul dari balik pintu. “Ah yo engga lah! Menuduh itu namanya,” sangkal Djunaedi kaget. “Dini tadi lihat kok, Bapak sampai melongo … nanti Dini bilangin ibu loh,” ancam Dini lalu kembali masuk rumah. “Eh, eh … bentar anakku Sayang …” Djuheri menarik lengan Dini yang senyam-senyum penuh kemenangan. “Gini loh Dini yang cantiknya tiada dua … tidak sengaja itu beda sama sengaja … jadi tadi itu Bapak tidak sengaja melihat, bukan sengaja melihat,” jelas Djunaedi tersenyum.

“Ga sengaja tapi lama lihatnya,” cibir Dini, Djunaedi nyengir. “Tuh Ibu udah pulang!” seru Dini melihat ke pagar. Djunaedi langsung panik. “Ibu, Ibu? Mana Ibu?” kepalanya celingukan dan Dini tertawa tergelak karena dia memang berpura-pura. “Oalah dasar kamu itu ya!” kesal Djunaedi yang diperdaya oleh Dini karena tidak ada siapa-siapa di pagar. “Pak, besok itu Dini mau makan bakso sama temen-temen, tapi uang jajan dari ibu ngepas, bisa kali Pak tambahin buat ngebakso,” cengir Dini sambil mengangkat-ngangkat kedua alisnya.

“Ya ga bisa dong, ‘kan kamu sudah dikasih uang jajan---“

“Eh, tadi Bu Calista pake baju ketat warna apa ya Pak? Mmmm …” Dini menepuk-nepuk bibirnya dengan jari telunjuk tangannya seakan berpikir. “Eh, iya, iya … besok mau makan bakso berapa? Dua puluh ribu cukup?” Djunaedi merogoh kantong celananya mengeluarkan lembaran dua puluh ribuan. “Mana cukup … dua puluh ribu itu buat baksonya aja Pak … es kelapanya belum,” tolak Dini merasa di atas angin. Djunaedi mendengus sebal. “Woalah gayamu! Pake es kelapa segala, minum teh anget juga cukup Din,” dumel Djunaedi. “Halo Bu,” Dini pura-pura menelepon ibunya. “Eh, iya, iya … nih Bapak cuma ada tiga puluh ribu, mau ‘ndak?” Djunaedi menunjukkan dua lembar uang kertas bernilai dua puluh ribu dan sepuluh ribu di telapak tangannya.

“Iiih mana lecek lagi,” Dini menatap geli dua lembar uang itu lalu mengambilnya dengan ujung jarinya, “ya sudah Dini ambil.” Djunaedi nyengir, “Tapi jangan bilang-bilang soal tadi ya Din.” Dini menatap Djunaedi, “Soal apa ya Pak? Duh Dini kok ga inget apa-apa gara-gara duit lecek ini?” Djunaedi tertawa lega, “Nah bagus itu Din!”

“Tapi ga tahu kalau besok atau lusa, kayaknya bakal inget lagi deh Pak,” kata Dini. “Weh bocah edan! Mau meras Bapakmu ya!” kesal Djunaedi sembari menyemprotkan air pada Dini yang lari ke dalam rumah sambil tertawa.  

 

***

 

Djunaedi dan Tinah mengetuk pintu rumah Steven dan Calista. Pintu dibuka. Wajah pasangan muda itu sumringah ketika melihat kedatangan Djunaedi dan Tinah. “Ah senang Bapak dan Ibu bisa datang,” sambut Calista lalu memeluk Tinah. Tinah tertawa lalu membalas pelukan itu dan menyerahkan sebuah kotak Tupperware berukuran kecil. “Ga banyak … tapi lumayan untuk nambah nafsu makan, balado jengkol, bikinan saya sendiri loh,” Tinah tersenyum bangga. Calista tampak senang, “Wah saya senang jengkol! Ibu tahu aja … tapi padahal ga usah repot Bu, kami sudah siapkan makanan untuk malam ini … ayo silakan---” Belum selesai ucapan Calista, Tinah sudah melangkah masuk meninggalkan Djunaedi. Djunaedi terkejut melihat istrinya nyelonong begitu saja kayak mobil yang remnya blong.

“Biasa istri saya selalu senang kalau diundang ke rumah tetangga, sampai lupa sama suami,” cengir Djunaedi tak enak. Steven tertawa, “Ayo masuk Pak.” Djunaedi mengikuti Steven, berkata, “Semoga bukan jadi yang pertama datang.” Steven nyengir, “Sayang sekali … Bapak dan Ibu memang yang pertama dan terakhir.” Djunaedi terkejut, “Loh tetangga belakang dan kiri kanan kemana?” Steven mempersilakan Djunaedi untuk duduk di ruang tamu. Djunaedi melihat sekilas istrinya dan Calista tengah melihat-lihat seisi rumah.

“Sepertinya kami salah memilih akhir pekan untuk mengundang makan malam Pak … karena akhir pekan ini ternyata para tetangga kiri kanan dan belakang sedang sibuk semua,” jelas Steven. “Dan hanya saya dan istri yang nganggur,” cengir Djunaedi. “Tapi ga apa-apa … show must go on … saya dan Calista tidak mau membatalkan acara hanya karena mereka tak bisa, kita lebih mementingkan yang bisa,” lanjut Steven, “karena itu kita senang, Bapak dan Ibu bisa datang malam ini.”

“Diundang itu hukumnya wajib datang buat kami apalagi kalau soal makan hahaha,” tawa Djuheri. “Tentu saja, nolak rejeki namanya itu kalau tidak datang,” timpal Steven. Mereka pun tertawa berdua. Sedang Calista dan Tinah terlihat akrab berbincang sembari menaiki tangga ke lantai dua. “Oya Bu Calista … mmm saya …” Tinah merasa ragu untuk mengatakannya dan Calista terlihat menunggu lanjutan kalimat Tinah itu. “Itu loh waktu hujan-hujan, saya bukan ngintip tapi ga sengaja lihat---“

“Oh ya ampun … soal itu … aduh saya malu juga itu … sudah ga usah dibahas lagi Bu, kita sama-sama ga sengaja,” tawa malu Calista. Mereka berdua pun tertawa. “Tapi hujan-hujan itu memang waktu yang tepat sih Bu, apalagi kalau di rumah sepi, ga ada kerjaan, ya mau ngapain lagi? Ya ga?” seloroh Tinah. Calista mengangguk dan tertawa. 

“Tapi … ini rumah yang indah banget Bu Calista, terima kasih sudah mengundang kami ke rumah ini,” puji Tinah dengan matanya yang berbinar melihat sekelilingnya di lantai dua. “Ah biasa saja Bu tapi terima kasih untuk pujiannya dan senang bisa mengundang Bapak dan Ibu kesini,” senyum Calista.

“Dulu pertama kami menikah, boro-boro kami bisa beli rumah sebesar dan sebagus ini, kami hanya mengontrak rumah kecil satu kamar dan setelah lima belas tahun pernikahan tetap saja jadi kontraktor---“

“Kontraktor?”

“Oh buat kami kontraktor itu sebutan buat orang yang mengontrak hehehe, sekarang pun masih kontraktor tapi lumayan sekarang bisa mengontrak rumah dua lantai meski kecil.”

Calista tersenyum mendengarkan. “Melihat perabotan yang Bu Calista miliki sungguh impian setiap ibu rumah tangga,” ucap Tinah, “ada sofa-sofa empuk besar, kursi-kursi tamu mewah, lemari pajang besar berisikan pajangan kristal, alat-alat dapur yang modern, kamar-kamar tidur yang besar, kasur yang luas, ada treadmill juga buat ngecilin perut biar ga kayak saya nih.” Calista tertawa melihat Tinah menggoyang-goyangkan perutnya.

“Sampai apal isi rumah saya ya Bu,” cengir Calista. “Kalian sungguh beruntung … masih muda, sukses, sudah punya rumah, mobil … betul-betul pasangan sempurna dengan kehidupan impian banget,” puji Tinah sedang di hatinya berkata sedih, berbanding terbalik dengan kehidupanku. Calista membuka mulutnya mau berkata tapi Tinah sudah lebih dulu berbicara, “Kehidupan kami tidak seperti mimpi … semua tampak gelap dan suram … semua serba sulit dan susah ….”

Calista mengurungkan untuk berkata, dia memilih untuk mendengarkan. “Kami sudah tidak muda lagi … tapi masih belum punya apa-apa … apalagi tahun ini tahun yang berat, suami tidak punya gaji tetap … sekarang kami bekerja serabutan dan mengandalkan simpanan yang ga seberapa … masa depan anak-anak kami, tidak bisa kami jamin akan seperti apa … karena untuk hari esok saja kami belum tahu akan seperti apa,” Tinah tercenung. Calista mengusap-ngusap bahunya. “Eh kenapa jadi curhat ga penting begini ya? Maaf Bu Calista …” kata Tinah. “It’s ok Bu … tapi sebaiknya gimana kalau kita makan malam dulu, setelah itu kita lanjut lagi ngobrol-ngobrolnya?” Calista tersenyum. “Ide bagus!” seru Tinah yang baru menyadari perutnya sudah keroncongan.

Maka, pasangan Djunaedi-Sutinah dan pasangan Steven-Calista itu pun menghabiskan malam minggu dengan menyantap makanan enak dan berbincang-bincang ringan.

 

***

 

“Enak sekali rumah mereka ya Pak,” kata Tinah setelah menutup pintu. Djunaedi hanya mengangguk lalu ke belakang mengecek burungnya. Tinah menghela nafas sebal, melihat Djunaedi yang lebih senang pada burung kenari itu dibanding ngobrol dengannya. Pria dan hobinya itu menjengkelkan! Kenapa sih mereka bisa tergila-gila untuk hal yang ga penting!? Rutuk Tinah dalam hati. Kadang ia ingin memotong burung itu, menepunginya, menggorengnya dan menjadikannya Kenari Fried Bird nan krispi.

 

***

 

Steven mengecup kening Calista sebelum menaiki mobilnya. Mereka saling melambaikan tangan setelah itu mobil pergi meninggalkan rumah. Calista menutup pintu pagarnya dan kembali ke dalam rumah. Di seberang rumah, Tinah melihat semua itu dari spot yang sama, dari balik jendela tentu saja. Ia mengingat-ngingat kapan terakhir Djunaedi mengecup keningnya sebelum berangkat kerja. Ia tidak bisa mengingatnya, itu artinya sudah lama sekali. Yang diingatnya adalah kerusuhan yang terjadi setiap pagi.

“Bu baju seragamku mana sih?” teriak Dini mencari baju seragamnya di lemari. “Aduuuh Dini, nyari baju sih nyari baju, tapi jangan ngacak-ngacak semuanya dong!” kesal Tinah bertolak pinggang melihat pakaian di dalam lemari jadi tumpang tindih. “Naah ini dia!” Dini menarik seragam sekolahnya yang tertutup baju ibunya itu lalu naik ke lantai dua untuk berganti pakaian di kamarnya. Semua baju memang dijadikan dalam satu lemari besar oleh Tinah dan diletakkan di lantai bawah karena kamar Dodi dan Dini di lantai atas yang kecil itu tidak bisa masuk lemari. “Dood cepetan! Di kamar mandi lama banget! Ngapain sih kamu? Ngebangun candi apa gimana?” seru Djunaedi memegangi perutnya. “Sabar Daddy! Bentar lagi udah, lagi andukan nih!” balas Dodi.

“Dod! Kamu itu udah kesiangan loh, malah lama mandinya! Cepetan nanti telat lagi sekolahnya!” teriak Tinah. Teriakan Tinah membuat burung kenari terkejut dan bercuit-cuit menambah semarak pagi itu. Pintu kamar mandi terbuka, Djunaedi pun melompat masuk. “Minggir!” serunya. Dodi tertawa melihat bapaknya terburu-buru begitu. “Mules ya Pak? Duh kasian,” ledek Dodi. Pret! Dodi terkejut, “Waduh dijawabnya sama pret.” Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh. “Ayo, ayo cepetan! Dodi, Dini! Sudah jam tujuh, kalian itu telat terus loh,” teriak Tinah pada kedua anaknya yang bergegas turun dari lantai atas dan mengambil setangkap roti yang sudah disiapkan Tinah.

“Gimana ga telat, pada maen hape sampai malem, jadi bangun kesiangan terus!” sahut Djunaedi yang tengah mengeluarkan motor, “aneh, anak-anak sekarang itu pada ngapain sih maenin hape sampe tengah malam kayak ga ada hari esok saja.” Tinah mendorong Dini supaya bergegas. “Ini kayak putri solo saja jalannya lama!” Dini tertawa didorong ibunya sampai keluar rumah. “Bu peluk dulu,” Dini merentangkan tangannya. Tinah mendorong pelan dahi Dini dengan ujung jarinya dengan gemas, “Peluk, peluk, kayak anak kecil aja!” Dini tertawa lalu memeluk ibunya. “Aku juga mau dong Bu,” Dodi menyandarkan sepedanya dulu lalu ikut memeluk Tinah dan Dini.

“Loh, loh kok Bapak ga diajak?” Djunaedi mematikan mesin motornya, melompat dari motor dan memeluk istri serta kedua anaknya yang sedang berpelukan itu. “Berpelukaaan,” kata mereka serempak. “Udah, udah pelukannya, engap ini!” cetus Tinah melepaskan pelukan mereka satu persatu. “Aku duluan semuanya!! Bye bye!” lompat Dodi ke sadel sepeda lalu mengayuh pedalnya cepat.

Djunaedi kembali duduk di atas motor sedang Dini naik di boncengannya. “Bu, titip jemuran Dini yaaa di atas.” Tinah mengangguk. “Bu, abis nganterin Dini, Bapak nanti mau ketemu temen dulu ya katanya ada proyekan,” kata Djunaedi. Tinah mengangguk lagi. “Oya Bu, titip cium kening ya,” sambung Djunaedi. “Buat aku?” wajah Tinah terlihat merona. “Buat burungku itu loh,” cengir Djunaedi. Wuasyuuu, kata hati Tinah sebal. Motor pun melesat pergi meninggalkan rumah.

Tinah mengingat itu semua. “Kerusuhan-kerusuhan” yang selalu terjadi di setiap pagi. Jauh berbeda dengan Steven dan Calista yang penuh lemah lembut dan keromantisan ala-ala film percintaan. Tinah ke dapur menyiapkan telur dadar untuk makan siang Djunaedi dan kedua anaknya bila pulang nanti. Ia melihat burung kenari yang tengah melompat-lompat dalam sangkar. “Nah, tuanmu lagi ga ada nih, mau aku potong kau?” kata Tinah pada burung itu. “Aku ‘tu kadang cemburu sama kau Bur, kau sering diusap-usap, dielus, diajak ngobrol … aku istrinya malah jarang digituin … harusnya kau saja yang cuci baju, masak dan nungging di kasur huh!” lalu dipukulnya sangkar itu sebelum kembali ke dapur membuat burung kenari itu bercuit-cuit.

Beberapa saat kemudian, Djunaedi kembali pulang. Tinah bisa mendengar suara motornya yang masuk teras rumah. Djunaedi masuk ke dalam rumah dan melihat Tinah sedang memainkan telepon genggamnya. “Serius amat, lihat apa Bu?” Tinah menunjukkan layar HP-nya. “Kamu follow IG-nya Bu Calista?” Djunaedi mengerutkan kening. “Iya Pak, foto-fotonya bagus-bagus, tempat-tempat liburannya indah-indah sampai ke luar negeri … ga kayak kita paling foto di kondangan tetangga, paling jauh juga ke mall atau kebon binatang,” Tinah melanjutkan stalking-nya. “Buat apa Bu ngeliatin foto orang liburan, jalan-jalan? Apalagi kalau kita lagi ga punya duit, cuma bikin kita pusing, ujung-ujungnya jadi nyalahin hidup, lagi pula apa manfaatnya sih buat kita Bu?” kata Djunaedi.

“Kapan orang-orang kayak kita dan kita kayak orang-orang ya Pak?”

Djunaedi tak menjawab, ia melangkah ke belakang. “Pasti ngelus-ngelus burung, ngobrol sama burung, kenapa ga ngobrol sama istrinya aja sih?” gerundel Tinah. Kali ini Djunaedi mendengarnya, ia membalikkan badan, menatap Tinah, “Ada apa Bu? Sepertinya ada yang membuat Ibu kesal?” Tinah diam untuk beberapa saat tapi ia memutuskan untuk bicara saja dari pada dipendam-pendam.

“Iya Pak … ada … kenapa sih Bapak selalu ke burung terus? Pulang dari mana-mana bukannya ke istri atau anak-anak, pasti ke burung … apa burung itu lebih penting dari istri dan anakmu Pak?”

Djunaedi menatap dalam mata istrinya. Ada oase yang dulu sejuk di mata itu sekarang menjadi kering. Apakah itu karena burung? Djunaedi tidak memercayainya begitu saja. “Ini bukan soal burung ‘kan Bu? Bapak tahu … ada hal lain yang membuat Ibu kesal … dulu Ibu tidak seperti ini … dulu Ibu biasa saja Bapak bermain burung … burung hanya pelampiasan Ibu saja, Bapak yakin sekali … Ibu begini sejak tetangga baru depan rumah itu datang …”

Tebakan Djunaedi membuat Tinah gelagapan. “Eung bukan … mmm … pokoknya Ibu kesal!” kelit Tinah. Djunaedi menghela nafas. “Ayolah Bu mengaku saja … apakah karena rumah mereka lebih bagus dari rumah kita? Apakah karena mobil mereka mahal sedang kita hanya punya motor tua? Apakah karena mereka punya rumah sedang kita masih mengontrak? Apakah karena perabot mereka bagus dan perabot kita jelek? Apakah karena mereka sering jalan-jalan---“

“Sudah Pak! Iya Bapak benar! Ibu capek dan kesal sama hidup kita!”

Djunaedi terdiam.

“Ibu iri sama mereka yang hidupnya lebih baik sama kita! Kenapa hidup kita selalu susah Pak? Kenapa kita ga pernah hidup enak Pak? Lihat Steven sama Calista … mereka masih muda tapi sudah punya semuanya … kita sudah tua tapi masih gini-gini aja! Apa Bapak ga pernah mikir kita mau makan apa besok? Apa Bapak ga sadar kalau uang kita sudah habis Pak? Bagaimana nasib Dodi dan Dini? Semua muter jadi satu di kepala Ibu Pak!”

Djunaedi masih diam dan mendengarkan.

“Ibu juga iri karena Calista bisa mendapatkan semua yang Ibu impikan!”

Djunaedi menatap istrinya, “Apakah yang Bapak berikan ini ga cukup Bu?” Tinah menggeleng, “Kenyataannya lihat sekarang Pak … bahkan Ibu ingin suami yang romantis aja kok susahnya minta ampun! Bapak sudah jauh berbeda dari kita pacaran dulu!”

“Tapi waktu pacaran Ibu juga tahu ‘kan kalau Bapak ga romantis-romantis banget ….”

Tinah mengangguk, “Iya … tapi di saat hidup menjadi berat seperti ini … kadang Ibu juga ingin diusap, dielus, dipeluk … seperti Steven ke Calista, seperti Bapak ke burungnya.”

“Rumput tetangga memang lebih hijau Bu ….”

 “Pak … perempuan itu tidak seperti laki-laki yang masih bisa tenang, ngopi … ngobrol sama burungnya walaupun kondisi lagi sulit, pikiran lagi mumet. Kami, perempuan, tidak bisa tidur kalau tidak ada beras di dapur, kami migren kalau tagihan bulanan sudah dekat tapi uangnya belum ada, tensi kami naik kalau ingat belum bayar kontrakan! Belum lagi lihat tetangga yang romantis, banyak duit, pasangan sempurna!!”

“Makanya jadi wong jangan suka banding-bandingke … yo kita pasti kalah Bu … setiap orang ‘kan sudah ada rejekinya masing-masing Bu,” Djunaedi mencoba menenangkan hati Tinah. “Rejekinya masing-masing? Tapi mana rejeki kita Pak?” cetus Tinah seraya menyeka air matanya, jelas terlihat sekarang di mata Djunaedi kalau hidup yang mereka jalani ini begitu menekan istrinya. “Padahal setiap hari kita berusaha, setiap hari kita berdoa …” sambung Tinah.

“Itu memang sudah tugas kita Bu … tugas nanusia itu hanya berusaha dan berdoa soal hasil, itu tugas Tuhan, bukan urusan kita lagi.”

“Kenapa hidup orang begitu mudah … hidup kita susah?”

“Bapak ga bisa jawab itu Bu … Bapak ga tahu jawaban dari pertanyaan seperti itu … yang Bapak tahu adalah, kalau hari ini hidup kita tidak berjalan sesuai rencana kita, tidak sesuai keinginan kita, tidak sesuai harapan kita … itu berarti yang berjalan adalah rencana Tuhan, keinginan Tuhan … pasti ada sesuatu yang Tuhan siapkan untuk kita, sesuatu yang lebih baik untuk kita … tidak ada yang bisa kita lakukan Bu … kita hanya bisa menerimanya … menjalaninya ….”

“Sampai kapan?”

Djunaedi mengangkat bahunya, “Bapak juga ga tahu Bu … bersabar saja … Bu, dalam kondisi kita yang sulit begini, jangan ngebandingin hidup kita dengan kehidupan orang lain yang sedang bahagia … sabar … nanti Tuhan juga akan kasih jatah bahagia kita kok ... kurang-kurangi juga maen sosmednya, postingan-postingan orang itu akan mengganggu pikiran Ibu nanti ….”

“Ini juga sudah kuota terakhir kok Pak … besok mati ….”

Djunaedi memberanikan diri duduk di sebelah istrinya, ia ingin sekali memeluk istrinya. Saat Djunaedi akan meraih tangan Tinah, Tinah menepisnya pelan. “Pak, Ibu lagi butuh sendiri ….” Djunaedi mengangguk lunglai dan berdiri lalu berjalan ke belakang. Tinah menutupi wajahnya dengan kedua tangannya membiarkan air matanya menetes bersama beban hidup yang dirasanya terlalu berat.

 

***

 

“Bu, Bapak mana? Udah malem kok belum pulang?” tanya Dini. Tinah hanya diam, sejak pagi tadi Djunaedi memang telah pergi tapi tidak mengatakan akan kemana. “Ibu sama Bapak lagi berantem ya?” celetuk Dodi duduk di sebelah Tinah yang tidak menjawab pertanyaannya. “Tapi Bapak pulang ‘kan Bu?” suara Dini terdengar gemetar, ia takut sekali kalau bapaknya tidak pulang lagi.

Tinah mengangguk. “Berantem kenapa sih Bu? Udah tua jangan sering-sering berantem ntar makin tua loh … kalau udah tua itu selow-selow aja kenapa … dibawa hepi aja Bu,” kata Dodi. Tinah tersenyum mendengar Dodi, Dodi memang sangat mirip bapaknya yang selow, lempeng dan apa adanya. Hati Tinah mendadak rindu pada Djunaedi. Kamu kemana Yang? Batin Tinah pada suaminya itu. “Berantem soalnya Ibu cemburu sama Bu Calista ya?” tebak Dini.

Tinah tertawa, “Kok bisa mikir kesitu sih Din?” Dini mengangkat bahunya, “Ga tahu … ya barangkali Ibu jadi insecure ngelihat Bu Calista yang cantik dengan body seksi kayak boneka Barbie itu terus cemburuin Bapak.” Tinah menggeleng, “Ga, Ibu ga insecure … meski Ibu gemuk begini tapi Ibu yakin Bapakmu masih sayang sama Ibu.” Dini tersenyum memeluk ibunya, “Nah gitu dong Bu, pede aja.” Tinah tertawa, “Sudah pada tidur sana ke atas, besok pagi sekolah.” Dodi dan Dini menggeleng. “Dodi mau nunggu Bapak di sini Bu.” Dini menambahi, “Dini juga.” Tinah manggut-manggut, “Ya, deh … kita sama-sama nunggu Bapak di sini.”

 

***

 

Djunaedi sedang duduk di sebuah halte. Motornya terparkir di pinggir jalan tak jauh dari halte. Seharian ini Djunaedi memikirkan apa yang terjadi pada dirinya dan Tinah. Lima belas tahun pernikahan, Tinah tidak pernah mengeluh dan semua terasa baik-baik saja tapi semua berubah ketika tetangga depan rumah itu datang. Djunaedi menatap lalu lalang kendaraan di depannya. Seorang pria datang dan menunggu bus di halte bersamanya. Seorang pria berusia muda. Melihat pemuda itu mengingatkan Djunaedi akan masa-masa mudanya saat ia berada di umur-umur keemasannya antara umur 25 tahun dan 35 tahun. Masa-masa semangat, di mana Djunaedi muda memiliki banyak mimpi.

Bekerja siang malam. Dalam pikirannya saat itu adalah muda, sukses dan kaya raya. Kemudian ia bertemu Tinah, seorang gadis lugu nan cantik. Mereka pun memutuskan menikah. Kelahiran anak pertama mereka adalah kebahagiaan, disusul kelahiran anak kedua mereka, yang adalah penyempurna kebahagiaan. Memiliki keluarga kecil membuat Djunaedi semakin bersemangat untuk mewujudkan mimpi-mimpi kali ini bukan mimpinya sendiri tapi mimpi istri dan anak-anaknya juga.

Manusia berencana tapi Tuhan yang menentukan. Semua tidak seperti yang Djunaedi bayangkan dan rencanakan. Hidup menjungkirbalikkan Djunaedi. Kegagalan, pemutusan hubungan kerja, ditipu, ditikam teman dari belakang dan kebangkrutan membuat roda kehidupan Djunaedi tumbang. Di usianya yang setengah abad, kini Djunaedi mencoba berdamai dengan mimpi-mimpi besarnya yang tak bisa dicapai. Merelakan semuanya yang hilang.

Kehidupan yang sama sekali tidak ada di bayangannya saat ia masih muda dulu. Tua, belum sukses dan belum kaya raya. Mau bilang apa, meski selalu berusaha dan pantang menyerah tapi kalau Tuhan bilang, “Belum saatnya!” apa yang Djunaedi bisa lakukan? Kini Djunaedi hanya ingin mewujudkan impian-impiannya yang lebih realistis. Kini Djunaedi tunduk pada apa yang Tuhan berikan, meski itu sebuah kesulitan, kesusahan atau kemiskinan. Ia tetap yakin, setiap orang ada saatnya, ia yakin saatnya belum tiba, bahkan Kolonel Sanders, pemilik Kentucky Fried Chicken saja menjadi sukses di usianya yang ke 60 tahun.

Sayangnya, ternyata Tinah berbeda. Tinah masih belum bisa menerima keadaan yang diujikan Tuhan pada mereka. Djunaedi tidak bisa menyalahkannya. Djunaedi menunduk, kalau saja Tinah tahu betapa ia sangat menyayanginya. Betapa ia sangat ingin membahagiakannya. Kini hatinya merindukan Tinah.

 

***

 

  Tinah melihat jam dinding di atas televisi tabungnya itu. Pukul 23.30. Tampak Dodi dan Dini sudah tertidur di atas kasur palembang di depan tivi. Hatinya mulai gelisah. Si Djunaedi ini kemana sih?! Sudah malam belum pulang? Kesal bercampur khawatir dalam hati Tina. Ia ingin meneleponnya tapi kuota dan pulsanya sudah habis. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara gedoran keras di pintu depan rumahnya. Tinah ketakutan dan segera membangunkan Dodi. “Dod, Dod bangun itu ada yang gedor-gedor pintu!” Dodi mengucek-ngucek matanya dan mendengar gedoran itu juga. “Siapa malam-malam gedor pintu kita ya Bu?” Tinah menggeleng cemas. Dini terbangun, “Bu, itu bapak kali.” Tinah menggeleng, “Bapak ga pernah gedor-gedor pintu begitu Din.”

Gedoran pintu itu kali ini diiringi dengan suara perempuan yang meminta tolong. “Bu Tinah … tolong saya Bu … tolong!” Tinah terkejut ia mengenali suara itu. Maka dengan cepat ia menghampiri pintu dan membukanya. Di depan pintu berdiri dengan wajah pucat dan tubuh gemetar. “Bu Calista?” kaget Tinah, “ayo masuk.” Calista menggeleng, “Ga sempat Bu … saya mau minta tolong, Steven pingsan dan harus ke rumah sakit … saya sudah nelponin ambulan tapi belum datang-datang … apakah Pak Djunaedi ada? Saya mau minta tolong untuk bawa mobil mengantar ke rumah sakit … saya ga bisa nyetir soalnya Bu.”

“Ya Tuhan!” seru Tinah, “duh bapak lagi ga ada.” Wajah Calista menjadi panik dan bingung, “Saya hanya akrab dengan Ibu dan Bapak di sini … saya belum tahu tetangga yang lain … apakah tetangga lain ada yang bisa dimintai tolong ga ya Bu?” Tinah memeras pikirannya mencoba mengingat-ngingat tetangga mana yang bisa menyetir mobil karena seingatnya sebagian besar tetangganya di sini hanya bisa mengendarai motor.

“Bu, Dodi aja yang bawa gimana?” celetuk Dodi yang sudah berdiri di belakang Tinah. “Ah iya!” Tinah menepuk jidatnya baru ingat kalau anaknya bisa mengendarai mobil. “Gimana kalau anak saya aja yang setir mobilnya? Tapi dia belum---“ Calista dengan cepat menyerahkan kunci mobilnya pada Dodi tanpa banyak bicara. Dodi menerimanya dan bergegas keluar rumah. “Din kamu tunggu di rumah,” perintah Tinah, Dini mengangguk. “Dod kamu bawa hape ‘kan?” Dodi mengangguk, “Bawa Bu.”

Maka malam itu mereka membawa Steven ke rumah sakit.

 

***

 

Djunaedi mendengar nada dering dari telepon genggamnya. Ia mengeluarkan teleponnya dari kantong jaketnya dan melihat nama Dodi di layar telepon. Dodi? Batin Djunaedi yang lalu menempelkan telepon itu ditelinganya.

“Ada apa Dod? Bapak---“

“Bapak kemana saja sih sampai malam begini? Seharian pergi ga bilang mau kemana, anak-anak di rumah nungguin Bapak tuh, anak-anak khawatir sama Bapak! Anak-anak rindu tuh sama Bapak! Bapak itu kemana sih?” cerocos suara perempuan di ujung telepon sana.

Djunaedi tersenyum mendengar suara dari orang yang dirindukannya itu. “Kalau Ibu khawatir ga sama Bapak? Ga rindu gitu?” kekeh Djunaedi. “Udah deh Pak, cepetan pulang!” Djunaedi mengerutkan kening, “Katanya kemarin Ibu butuh waktu sendiri … me time gitu … jadi ya Bapak pergi dulu tadi.” Terdengar suara helaan nafas Tinah yang kesal, “Iya tapi bukan berarti Bapak pergi sampe seharian gitu … lagi pula Bapak ‘kan bisa di lantai atas ga usah kemana-mana juga … hadeh!” Djunaedi nyengir sembari menggaruk-garuk kepalanya, “Oiya ya.”

“Pak, sekarang Bapak pulang---“

“Iya Bu, Bapak pulang ke rumah sekarang.”

“Dengerin Ibu dulu jangan maen potong … maksud Ibu … Bapak sekarang ke rumah sakit bukan pulang ke rumah.” Djunaedi terkejut mendengar itu. “Hah siapa yang masuk rumah sakit Bu?” Maka Tinah pun menjelaskan kronologinya. “Jadi tadi si Dodi yang bawa mobil?” seru Djunaedi, “tapi dia belum punya SIM mobil Bu! Ya sudah Bapak sekarang ke rumah sakit kalau begitu.”

 

***

 

Tinah melihat Calista yang tengah duduk sendirian di ujung lorong rumah sakit yang sepi. Steven sudah mendapatkan perawatan di ruang UGD sedang Dodi sudah kembali pulang ke rumah menggunakan ojek online. Tinah menghampiri dan duduk perlahan di sebelah Calista. “Boleh saya duduk di sini Bu?” tanya Tinah pelan. Calista mengangguk. Dari jarak yang dekat Tinah bisa melihat mata Calista yang sembab dan wajah yang terlihat layu sangat jauh berbeda dengan Calista sebelumnya yang segar. Sepertinya kesedihan sedang mengisap jiwanya.

“Apakah semua baik-baik saja Bu?” Tinah membuka percakapan, ia ingin meringankan beban di hati Calista yang begitu terlihat di bias tatap matanya. Calista tercenung untuk beberapa saat dan Tinah bersabar menunggu. “Hhhh …” hela nafas Calista, “sebetulnya semua tidak baik-baik saja Bu.” Suara Calista tercekat. Tinah merapatkan duduknya pada Calista dan mengusap-ngusap punggungnya. Calista mengusap air matanya yang menitik. “Steven punya penyakit jantung Bu … dan dokter sudah memvonisnya tidak akan berumur panjang lagi ….”

Tinah terkejut mendengar itu, tak menyangka Steven yang terlihat bugar ternyata memiliki sakit. “Ya Tuhan Bu,” lirih Tinah dengan simpati yang dalam. “Dan saya … saya juga punya penyakit Bu … saya mandul,” gemetar Calista mengucapkannya. Tinah terdiam membeku. “Itulah kenapa kami belum memiliki anak … kami bukan pasangan sempurna seperti yang pernah Ibu katakan … kami … kami hanyalah pasangan cacat yang saling mengisi satu sama lain ….” Tinah segera merangkul erat bahu Calista yang sesunggukan menangis.

“Betapa saya iri melihat keluarga Ibu,” sambung Calista dan kalimat ini membuat Tinah tertegun. “Saya iri melihat Ibu dan keluarga yang begitu bahagia, penuh canda … keramaian setiap pagi itu selalu membuat saya ikut tertawa ….” Tinah tak percaya dengan apa yang didengarnya ini. “Saya dan Steven selalu mengintip setiap pagi Bu … maafkan kami atas kelancangan ini Bu … tapi melihat Ibu dan keluarga yang seru kemudian saling berpelukan di teras rumah … itu menghangatkan hati kami Bu, membuat kami ikut bahagia … kami tidak akan pernah bisa seperti itu … rumah kami akan selalu sunyi ….”

Mata Tinah berkaca-kaca mendengar itu, sedang ia sendiri tak menyadari bagaimana itu tidak bisa membahagiakan hatinya? Mengapa ia tidak bisa mensyukurinya? Tinah seperti ditampar oleh kenyataan, dimarahi oleh hidup.

“Saya harus selalu siap, bila suatu saat Steven pergi … dan saya tidak bisa memberikan keturunan buat Steven … hidup saya akan selalu sepi … ini bukan kehidupan yang saya inginkan Bu … ini bukan kehidupan impian seperti yang Ibu bilang, ini bukan hidup yang saya rencanakan …” sambat Calista di antara sedu sedan tangisnya. Tinah ikut menitikkan air matanya.

“Bu, ada seseorang yang pernah mengatakan ini pada saya, ‘kalau hari ini hidup kita tidak berjalan sesuai rencana kita, tidak sesuai keinginan kita, tidak sesuai harapan kita … itu berarti yang berjalan adalah rencana Tuhan, keinginan Tuhan, pasti ada sesuatu yang Tuhan siapkan untuk kita, sesuatu yang lebih baik lagi untuk kita’ …” Tinah menguatkan Calista dengan suara yang bergetar. Calista mengangguk-ngangguk seraya mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Melihat itu Tinah segera mengeluarkan sapu tangannya lalu menyerahkannya pada Calista. “Terima kasih Bu.”

“Saya tidak bisa bilang, ‘semua akan baik-baik saja’ Bu karena kenyataannya memang tidak … tapi yang bisa saya katakan adalah, ‘Bertahanlah Bu, kita semua adalah orang-orang patah yang akan kembali kuat setelah badai datang’ …” bisik Tinah. Calista memeluk Tinah dengan erat.

“Maaf mengganggu,” ucap seorang perawat membuat Tinah dan Calista menoleh. “Bapak Steven sudah sadar … Ibu boleh menjenguknya tapi maaf hanya istrinya saja yang diperbolehkan … kalau untuk Ibu, besok, waktu jenguk pasien,” terang perawat. Calista memandangi Tinah. “Ga apa-apa Bu, sebentar lagi suami saya datang menjemput … sana temani Pak Steven … salam dari saya, besok saya dan suami akan datang kesini lagi …” senyum Tinah. Calista memeluk Tinah lagi untuk beberapa detik setelah itu bergegas ke ruang UGD bersama perawat.

Seperginya Calista dan perawat, suasana kembali sepi. Tinah duduk tercenung seorang diri di taman rumah sakit malam itu. Langit tanpa bintang, malam tak bersuara. Hanya sunyi melingkupi hati. Tinah menatap kamar-kamar rawat yang berderet di hadapannya itu. Begitu banyak orang-orang yang bergelut dengan sakitnya dalam senyap. Tidak ada orang yang tahu. Mereka berjuang untuk hidup tanpa mengeluh. Menjalani hidup dengan hati yang besar. Merayakan hidup meski dalam hitungan hari. Semua orang berjuang, semua orang patah, semua orang menangis. Tidak ada yang harus disesali, tidak ada yang harus dibandingkan.

Hiduplah dalam hidupmu, dalam ukuran kemampuanmu, dalam takaran kebahagiaanmu. Kesusahan, kesulitan akan datang menggulung. Biarkan mereka datang bergantian dan dengan keikhlasan menerima keadaan, kamu akan siap menghadapi kedatangan mereka dengan tangan terbuka tanpa harus terkejut lagi. Dan di ujung hari, kemudahan dan kebahagiaan akan menjadi hadiah untukmu.

 “Bu …” panggil Djunaedi pelan. Tinah menoleh dan melihat kedatangan seseorang yang sangat dicintainya itu. Tinah segera bangkit dari duduknya untuk memeluk Djunaedi dengan erat. “Maafkan Ibu kemarin Pak, Ibu kekanak-kanakkan …” Djunaedi mencium kening dan pipi Tinah. “Pak, aku rindu sama Bapak.” Djunaedi menatap mata Tinah dan melihat oase yang sejuk dalam mata itu lagi. Djunaedi mengangguk, “Bapak tahu itu. Bapak juga rindu sama Ibu.”

Mereka pun pulang sambil bergandengan tangan dengan erat.

 

 

TAMAT

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@rahajeng1645 : Terima kasih sudah membaca Kak.
Ya Allah ku tergugu seketika betapa banyak hal yg patut untuk di syukuri daripada membandingkan dengan orang lain. Cerita yg sangat bernilai, nice
@ariyyy : Sama-sama Mas :)
@astromancer : Terima kasih sudah membaca :)
@fiathira67 : Terima kasih sudah membaca
Cerpen yang sangat relatable dengan orang orang yang suka iri dengki seperti saya.
Thank you utk cerpen ini. Walau agak panjang, tapi moral valuenya dapet banget.
Ceritanya bagus, cerpennya juga enak dibacanya.
Congrat ya, Mas.
@ravistara : Terima kasih Kak sudah membaca cerita yang terinspirasi dari kisah saya dan istri :)
Ceritanya hampir seperti fiksi
Rekomendasi