Disukai
0
Dilihat
953
Cinta yang Tersisa
Slice of Life

Mata Vara tak pernah lepas dari satu titik, yaitu pintu cokelat gelap di seberang jalan. Sudah cukup lama dia berdiam diri di dalam mobil yang dia parkir di pinggir jalan sebuah kompleks perumahan. Pada menit ke-38, dia menarik napas dalam-dalam dan keluar dari mobil. Ditemani gerimis hujan, langkahnya terayun ke depan pintu cokelat yang dia pandangi sedari tadi.

Sekonyong-konyong, Vara berhenti. Dia tak sanggup mengetuk pintu itu. Padahal, dulu dia sering mengetuknya. Itu berbeda. Dia tak lagi berhadapan dengan pintu cokelat saat usianya masih 16 tahun. Sekarang adalah saat sepuluh tahun kemudian, ketika dia berhadapan kembali dengan sang pintu.

Vara menghela napas. Dia harus berani mengetuknya jika ingin menemui sang empunya. Vara tersentak. Bagaimana kalau pemilik rumah itu sudah pindah dan yang di balik pintu cokelat bukanlah seseorang yang dia kenal?

Tiba-tiba pintu terbuka. Vara menahan jerit kagetnya.

“Vara?”

Gadis itu mengangguk.

Pemilik rumah menutup pintu. Vara bergeming. Dia merapatkan jaket dan penutup kepalanya berusaha menghalau rasa dingin yang mulai menyelimuti. Pintu cokelat tak kunjung terbuka lebar hanya sekadar mengembang demi mengakomidir keinginan mengintip pemiliknya.

Vara menyesal karena telah memutuskan untuk mengunjungi rumah itu. Dia sudah akan kembali ke tempat mobilnya terparkir, ketika sang pemilik rumah melewati pintu dan memanggilnya kembali dengan suara lebih keras. Vara menghentikan langkah.

“Kita ke kafe di depan, yuk!” kata orang yang memanggil namanya tadi.

***

Cangkir teh milik Vara masih mengepulkan uang panas. Dia menempelkan kedua tangannya ke cangkir agar kehangatan dari teh berpindah ke tubuhnya.

“Walau cuma rintik-rintik, hujannya awet, ya?”

Vara tak tahu bagaimana menjawabnya. Obrolan tentang cuaca identik dengan obrolan dua orang asing. Padahal, seharusnya mereka tidak serikuh ini. Setidaknya, jauh dari kata asing.

“Kalau hujan tidak berhenti, sebagian kawasan Jakarta bisa banjir, nih.” Sang pemilik rumah berpintu cokelat melanjutkan kalimatnya dengan teorinya dalam mengatasi banjir dan lambannya aksi pemerintah Jakarta menanggapi masalah itu.

Vara meraih tangan sang pemilik rumah berpintu cokelat. Dengan menggenggam tangan itu, dia berkata, “Mama, Vara ke sini bukan untuk membicarakan cuaca.”

Awalnya, Vara bersyukur ketika wanita yang melahirkannya 26 tahun lalu itu menghentikan ceracaunya. Tapi, ketika mereka menghabiskan waktu hampir setengah jam hanya dengan berdiam, Vara mengutuk sikapnya yang menghentikan pembicaraan mereka. Situasi ini malah lebih buruk ketimbang cerewetnya Mama mengenai cuaca. Dia harus mengatakan sesuatu.

“Hari ini, temani aku jalan-jalan, Ma.”

***

Ketika melontarkan ide berjalan-jalan, Vara membayangkan dia dan ibunya akan pergi taman dan atau ke pusat perbelanjaan. Akan tetapi, Mama justru mendesaknya ke Dunia Fantasi. Semesta pun mendukung karena sepanjang perjalanan ke Ancol, rintik hujan perlahan-lahan menghilang. Di taman bermain itu, dia bahkan mencoba wahana Kora-Kora, Ontang Anting, dan Arung Jeram bersama ibunya.

Di ruang ganti, Vara melepas kemejanya yang basah dan memakai kaos suvenir yang baru saja dibeli Mama. Dia menyentuh penutup kepala bergaya penyanyi rap yang bertengger di kepalanya. Masih kering, pikirnya. Jadi, ia tak perlu melepas penutup kepala itu.

“Sekarang, kita resmi jadi turis Jakarta,” kata ibunya gembira melihat Vara keluar kamar pas dengan mengenakan kaos bermotif maskot Dufan.

“Vara memang turis, Ma. Dari Surabaya,” jawab Vara.

Ibunya tertawa menimbulkan kerut-kerut di wajahnya. Mama terlihat jauh lebih tua dari yang pernah dia bayangkan.

“Sekarang ke mana?”

“Ikut Mama ke restoran paling lezat di Jakarta. Kamu kurus banget, Vara. Memangnya di Surabaya tidak ada makanan enak, ya?”

***

Smoking atau non-smoking?” tanya pelayan setibanya Vara di restoran Bandar Djakarta.

“Tidak merokok, Mbak,” jawab Mama.

Vara dan Mama diantar ke meja sesuai yang diminta. Apabila pertemuan pertama mereka berlangsung canggung, kali ini ketegangan antara keduanya telah memudar. Berkat wahana penuh petualangan di Dufan, pikir Vara.

“Mama sudah berhenti merokok?” tanya Vara.

“Sudah empat tahun,” jawab Mama bangga.

“Mama masih bekerja di event organizer yang sama?”

“Sudah tidak setahun ini, Vara. Lagi mau istirahat dulu. Kalau kamu, sekarang kerja di mana?”

“Sejak Papa meninggal, Vara berhenti kerja dari bank dan meneruskan usaha toko elektronik Papa.”

Vara memperhatikan raut wajah ibunya. Tidak ada kerutan pertanda kaget akan berita yang baru saja ia sampaikan. “Mama tahu Papa sudah meninggal?”

Mama mengangguk. “Ada yang memberitahukan. Walaupun Mama di Jakarta, kabar dari Surabaya pasti selalu sampai ke telinga Mama.”

“Kenapa Mama tidak datang ke pemakaman?”

“Mama tahu Papa pasti tidak ingin kehadiran Mama di sana.”

“Tapi, Vara pengin, Ma. Vara perlu Mama ada di sana untuk bilang semua akan baik-baik saja.”

“Sudahlah, itu tiga tahun yang lalu. Toh, kamu baik-baik saja sekarang.”

Vara mendengus. “Mama ternyata masih saja arogan. Kalau ada perlunya mendekati. Kalau nggak, boro-boro! Semua harus sesuai perintah Mama.”

Kalimat itu ditanggapi dengan senyum sinis oleh Mama. “Kamu juga tidak berubah, Var. Masih sama seperti terakhir kali Mama melihatmu. Anak 16 tahun yang selalu membesar-besarkan masalah.”

Habis sudah kesabaran Vara. Padahal, dia jauh-jauh datang ke Jakarta dengan niat untuk memperbaiki hubungannya dengan Mama. “Siapa yang nggak marah kalau privasinya dilanggar. Mama membaca diariku diam-diam! Dan nggak pernah ada satu kata maaf pun dari Mama,” katanya setengah menjerit.

“Untunglah Mama baca sebelum kamu ke prom. Mama tidak menyesal.”

Vara mencengkeram taplak meja untuk meredakan amarahnya. “Vara yang menyesal sudah datang ke sini, Ma!” katanya.

***

Senja bergeser menuju malam. Di sebuah kawasan perumahan di pusat kota Jakarta, Vara mengemudikan mobil ke arah garasi dengan hati-hati. Sahabat masa kecilnya, Danty ikut memberikan komando agar mobil terparkir sempurna.

Vara menyerahkan kunci, “Thanks, ya. Sudah mau meminjamkan mobil.”

“Bagaimana? Ketemu sama ibumu?”

Vara mengangguk. “Mama masih tinggal di rumah yang sama.”

“Oh ya? Kalau begitu kapan-kapan aku bisa berkunjung, dong.”

“Pasti dia senang kalau kamu datang ke rumahnya.”

Danty mengajaknya berjalan ke teras. “Jadi, kamu sudah kasih tahu dia?”

Vara menggeleng. “Nggak perlulah. Dia juga nggak peduli.”

“Memangnya ibumu yang bilang itu sendiri?” Danty memastikan.

“Dia memang begitu, Aku hapal sifat buruknya. Seharusnya, kamu juga. Masih ingat, kan, setiap bertengkar dengan Mama, aku curhat-nya ke kamu?”

“Bukan sifat buruk, tapi tugas seorang ibu. Semua ibu rela melakukan apapun untuk melindungi anaknya.”

“Apa membaca diari orang lain tanpa izin itu artinya melindungi?”

“Kalau itu bisa menyelamatkan hidup anaknya, kenapa nggak?”

Waktu sepuluh tahun ternyata bisa mengubah sikap dan kepribadian seseorang. Dia masih ingat Danty pernah mengutarakan prinsip yang bertolak belakang dengan kata-katanya saat itu. Walaupun berstatus orangtua, seorang ibu tetap harus menghormati hak privasi anaknya, begitu opini Danty dulu.

“Lihat ini!” Telepon genggam Danty terjulur ke muka Vara.

Layar telepon itu hanya memperlihatkan foto seorang pria berambut botak dan berperut buncit. “Siapa dia?”

“Rudy. Kakak kelas alias mantan pacar kamu yang mengajakmu ke prom.”

“Kok jadi beda begini, Dan?”

“Dia batal kuliah karena harus menikah dan bekerja menghidupi keluarganya. Kamu tahu kenapa dia harus kawin? Dia menghamili cewek yang dibawanya ke malam prom.”

Informasi yang tidak disangka-sangka itu membuat Vara limbung. Dia pasti jatuh jika tidak segera berpegangan pada lengan Danty.

“Vara, kamu baik-baik saja?”

Dia tidak baik-baik saja. Kakinya yang kurus melemah seperti agar-agar. Vara menyugesti dirinya sendiri agar tetap kuat.

“Kamu sebenarnya stadium berapa, Var?” tanya Danty sambil memegangi Vara.

“Stadium bola.”

“Ini bukan saatnya bercanda.”

Vara tak mau menjawab.

Vara melihat Danty mendesah. Lalu sahabat masa kecilnya itu berkata, “Ayo, Var. Masuk ke dalam dulu!”

Selagi Vara duduk di sofa ruang tamu, Danty beranjak ke ruang keluarga memesan taksi untuknya lewat telepon. Ketika kembali, selembar kartu nama diserahkan ke telapak tangannya.

“Besok jam sembilan pagi, dokter ini sudah menunggu kedatanganmu. Dia temanku jadi aku pasti tahu kamu beneran datang atau nggak.”

Tak ada gunanya lagi mengunjungi dokter, pikir Vara.

Tiba-tiba, bunyi pelan suara klakson mobil terdengar di telinga Vara.

“Itu pasti taksinya,” kata Danty.

Sudah waktunya berpisah. Vara memeluk sahabat masa kecilnya itu lebih lama dari seharusnya. Ini bukan pelukan biasa. Ini pelukan perpisahan.

***

Tiga hari kemudian, Vara kembali ke kompleks perumahan sang ibu. Kondisi tubuhnya sempat menurun sehingga harus terkapar di kamar hotel selama dua hari. Walaupun begitu, dia tetap tidak mau bertemu dengan dokter. Telepon dari Danty selalu dia abaikan. Pesan singkat Danty pun tak pernah dibalasnya. Vara pikir dia sudah menyampaikan perpisahan kepada sahabat masa kecilnya itu. Hanya tinggal satu orang lagi yang perlu dia temui. Itulah mengapa dia ada di depan pintu cokelat ini kembali seturun dari taksi yang dia tumpangi tadi.

“Vara? Syukurlah kamu datang lagi. Mama lupa menanyakan nomormu,” berondong Mama begitu menyuruhnya masuk.

“Aku sudah menuruti keinginan Mama ke Dufan. Sekarang, gantian Mama yang harus mengikuti ke manapun aku mau.”

Mama mesti setuju. Dia ingin menghaturkan perpisahannya hari ini.

“Masuk, Vara! Tunggu Mama selesai mandi, nggak apa-apa, kan?”

Dia melangkahkan kakinya ke dalam rumah yang dia tempati selama 16 tahun masa hidupnya. Ketika orang tuanya bercerai, Vara tinggal berdua dengan Mama di rumah itu. Sejak peristiwa diari, dia merengek dan meminta pindah ke rumah Papa. Usianya sudah remaja dan bukan anak-anak lagi sehingga tidak perlu ada perintah pengadilan yang memaksanya dirawat oleh seorang ibu ketimbang ayah.

Vara melangkah ke ruang keluarga. Berantakan sekali karena dipenuhi buku-buku yang berserakan. Dia mengambil satu buku yang terbuka di atas sofa. Ia familiar dengan kalimat-kalimat yang tertera di buku itu. Vara menutup dan membaca sampulnya. Life Over Cancer, karya Dr. Keith Block.

Jantung Vara berderu cepat. Segera dia melirik buku-buku lain yang berserakan. Berdamai dengan KankerDukung Pasien KankerHow to Deal with Death, semuanya tentang penyakit kanker. Vara mengambil beberapa buku dan menggendongnya. Dengan terburu-buru, dia melangkah ke kamar ibunya.

“Apa ini?” teriak Vara. Dia melemparkan buku-buku itu ke hadapan Mama.

“Vara? Ada apa?”

“Dulu, aku bukannya marah karena Mama membaca diariku diam-diam. Tapi, karena Mama nggak pernah mau bertanya langsung. Mama selalu ingin tahu urusanku. Tapi, nggak pernah datang kepadaku. Mama lebih memilih bertanya ke Danty, guru di sekolah, bahkan memata-mataiku.”

“Vara, Mama tidak mengerti.”

“Jangan pura-pura lagi. Mama pasti tahu dari Danty, kan? Aku ingin dekat sama Mama lagi. Tapi, Mama nggak berubah sama sekali. Nggak pernah percaya sama Vara.”

Vara berlari meninggalkan ibunya. Dia berjalan tergesa-gesa ke depan kompleks perumahan untuk mencari taksi.

“Vara. Tunggu, Nak!”

Vara menoleh. Mama yang masih mengenakan gaun mandi berusaha menjajari langkahnya.

“Mama minta maaf, Nak. Sejak ketemu kamu lagi, berhari-hari Mama memikirkan ini. Mama minta maaf karena sudah membaca diarimu. Seharusnya dari dulu Mama mengucapkan ini.”

“Lupakan, Ma. Aku tahu itu cuma basa-basi.”

Mama memegang kedua lengannya. Langkah Vara jadi terhenti. “Mama sungguh-sungguh minta maaf untuk semua kesalahan Mama di masa lalu, Vara. Sekarang, kalau Mama tahu apa yang membuatmu tiba-tiba marah, Mama juga akan meminta maaf. Kalau perlu sampai bersujud di jalan raya ini juga.”

Vara ingin berteriak menuduh kepura-puraan Mamanya. Tapi, menyadari warga perumahan yang lalu-lalang mulai memperhatikan mereka, Vara berkata pelan, “Buku-buku di rumah. Tentang kanker. Mama sebenarnya tahu kalau aku terkena penyakit itu, kan? Tapi Mama diam saja. Lagi-lagi, Mama memata-mataiku.”

Pegangan Mama di kedua lengannya melemah. Mama menangis. Wanita yang melahirkannya itu tak kuasa menahan tubuhnya dan berjongkok. Vara ikut berlutut. Dia menantikan jawaban. Tapi, isak tangis Mama semakin menderu.

Mama memeluk Vara. Sangat erat. Tangis Mama terus berderai membasahi tengkuk Vara. Lama menunggu, akhirnya Mama berkata, “Buku-buku itu untuk Mama, Var. Mama terkena kanker paru-paru.”

***

Suasana malam Jakarta yang meriah dengan lampu-lampu yang menerangi kota terlihat memukau dari restoran roof top di gedung tinggi di kawasan Thamrin.

“Untuk ulang tahunmu yang ke-17, Mama sudah berniat membawamu ke sini. Tapi baru kesampaian sekarang. Happy belated birthday, Sayang.”

“Maafkan Vara, Ma. Vara nggak menyesal sama sekali Mama membaca buku diariku. Baru sekarang Vara menyadarinya.”

“Maaf karena absen dari hidup kamu selama sepuluh tahun ini, ya, Sayang.”

Ibunya terlihat sedih. Vara meremas punggung telapak tangan Mama. “Tenang, Ma. Kita, kan, sudah sepakat akan menebusnya,” katanya berusaha membuat ibunya ceria kembali. Kemudian, dia menunjukkan sebuah kertas.

Berhasil. Ibunya tersenyum lebar. “Mama pasti akan menemani dan membantumu melakukan semua daftar itu. Walaupun Mama heran, for someone who has Cancer, kamu punya banyak sekali hal yang ingin kamu lakukan,” kata Mama menggoda.

Eits, ingat peraturan yang sudah kita sepakati, Ma. No more C word!”

Mama menggenggam tangan Vara. “Boleh dibatalkan tidak peraturannya, Var? Karena mulai sekarang, Mama tidak akan pernah bosan mengucapkan kata C ini: Mama cinta kamu, Nak. Mama sayang kamu. Selalu cinta. Selalu sayang! Semoga Mama mampu menghadirkan cinta yang luar biasa dalam sisa waktu hidup Mama ini, Var.”

Vara tersenyum. Vara beruntung sudah menguraikan kesalahpahaman antara dirinya dengan sang ibu. Penyakit kanker justru mendekatkan kembali jalinan kasih antara mereka berdua. Kehangatan mengalir di hatinya. “Untuk kata C yang itu, sih, Vara juga nggak akan pernah bosan mendengarnya, Ma. Vara juga cinta Mama.” Vara sungguh-sungguh. Dia bersyukur masih sempat mengucapkannya.

Mama mendekatkan diri dan merangkulnya. Vara membalas dengan pelukan. Tapi bukan pelukan perpisahan, melainkan pelukan penuh cinta di sisa waktu hidup mereka berdua.

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Lumayan lah... Tp topik nya kurang jelas.
Rekomendasi