Ular itu mendesis dan meleter di balik dedaunan runcing yang tumbuh di pojokkan rima, di bawah akar jati yang sudah tua. Tak satupun yang menyadari kehadirannya, termasuk Ayah yang tampak sibuk mengurusi raspberry di sudut yang lain. Ayah yang orang Jawa tulen itu bekerja sebagai penyelamat hutan. Meskipun begitu cukuplah untuk makan dan menyekolahkan aku serta adik laki-laki kecilku. Aku duduk di bangku kelas 5 SD sementara adikku masih kelas satu. Terkadang kami berdua membantu Ayah bekerja di ‘kebun’ jika mainan tradisional di rumah sudah terasa membosankan untuk dimainkan.
Kami bertiga tampak asyik berkutat dengan pohon raspberry itu. Sesekali kulihat Ayah mencuri pandang ke arahku. Pandangannya tampak mengasihani.
“Ada apa, Yah?” tanyaku, membuatnya kaget. Beliau pura-pura mengusap peluhnya dengan ujung sikunya.
“Ah, tidak,” beliau tampak salah tingkah. Sepertinya ada yang ia sembuyikan dariku. Kemudian beliau melanjutkan,” Apakah kamu suka berada di hutan?”
“Tentu Ayah,” jawabku mantap.
“Kenapa?” tanya beliau lagi
“Kenapa, ya?” lirihku. “Ya, karena aku aku ingin melihat dunia ini tetap hijau,” jawabku polos. Ayah hanya menanggapinya dengan tersenyum. “Yah, apa benar kalau tidak ada tumbuhan hijau bumi ini akan mengalami bencana?” tanyaku dengan nada kekanak-kanakan.
Ayah memperhatikan adik kecilku yang tampak asyik bermain dengan cacing tanah sebelum menjawab.
“Tentu saja itu benar. Dunia akan cepat musnah jika tumbuh-tumbuhan sudah tidak ada lagi. Laut meluap, bencana dimana-mana. Pokoknya sangat mengerikan sekali. Dan mungkin kamu tidak akan bisa melihat senja yang seindah ini lagi…” kata Ayah sembari menatap langit.
Kuperhatikan lekukan tajam pada wajahnya sebelum kuikuti arah pandangannya pada awan-awan yang menggantung jingga di ufuk barat sana.
“Kalau begitu aku akan menjaga bumi ini tetap hijau agar aku tetap bisa menjaga senja ini tetap merah, sampai akhir hayatku,” yakinku teguh. Ayah lagi-lagi hanya tersenyum, dan beralih ke adikku yang dengan bangga memamerkan cacing besar tangkapannya. Aku melihat ada yang tidak ikhlas pada senyum Ayah sore itu. Pasti ada yang disembunyikannya dariku.
Tiba-tiba segerombolan orang datang menghampiri kami dengan tas ransel besar di punggung mereka. Aku tahu mereka teman Ayah. Ada Prof. Sigit yang kurus ceking, ada Prof. Gianto yang tambun, dan beberapa yang belum aku kenal. Mereka menjabat tangan Ayah dan mulai terjebak dalam obrolan berat yang aku tidak paham. Aku melanjutkan memetik raspberry liar. Sesekali kulihat Ayah mencuri-curi pandang kepadaku dengan maksud yang sulit ku tebak.
Dari perbincangan orang-orang besar itu aku hanya bisa menangkap sedikit maksud dari obrolan mereka sore itu. Tampaknya ada sedikit masalah dalam kerjasama mereka. Terakhir kudengar Prof. Sigit berujar,” Pikirkan lagi. Ini proyek yang benar-benar besar. Jangan bunuh cita-cita terbesarmu,” sebelum menepuk pundak Ayah, mengelus kepalaku, kemudian melenggang pergi menembus warna hijau di seberang bersama gerombolan mereka.
“Ada apa, Yah?” tanyaku.
“Tidak ada apa-apa. Ah, sepertinya sudah malam. Ayo kita segera pulang,” ajak Ayah sembari membersi barang-barang kami dan membantu adikku bangkit. Dalam perjalanan aku tidak bersuara sama sekali, sehingga perjalanan yang cukup singkat itu hanya berisi nasehat Ayah kepada adikku agar sesampainya di mobil mau melepas cacing buruannya.
Bintang pertama sudah muncul. Ular yang kulihat tadi menguap bosan menunggu mangsanya tak kunjung lewat. Tanpa kami sadari matanya berkilat penuh makna memandangi punggung kami sesaat sebelum kami menikung keluar dari area hutan.
***
Aku menemukan kertas itu pada senja merah yang lain, tergeletak begitu saja di laboratorium Ayah. Kulihat labelnya dari rumah sakit internasional. Siapa, ya, yang sakit? Kulihat namaku tertera pada nama pasien di sana. Kemudian aku ingat terakhir kali aku jatuh pingsan. Tapi Ayah hanya mengatakan kalau aku hanya kelelahan. Kubaca surat dokter itu lebih detail lagi.
Bagai di sambar petir aku membaca keterangan surat kuning itu. Kanker otak. Begitu jelas dan memukul. Seharusnya aku menyadarinya sejak awal bahwa ada yang tidak beres dalam otakku.
Kuteruskan membaca dengan mata kabur tersaput air mata. Di sana ada tambahan keterangan bahwa kanker otakku harus segera dioperasi. Pantas akhir-akhir ini Ayah terlihat aneh.
Segera kukantongi kertas kumal itu sewaktu kudengar Ayah masuk. Tak lupa kuseka airmataku dengan ujung-ujung jariku yang bebas.
“Hei, Diah, kenapa kau ke tempat kerja Ayah?!” tanya Ayah dengan nada sedikit meninggi. “Sudah berkali-kali Ayah bilang jangan masuk ke laboratorium Ayah!” sentak Ayah. Gertakan seperti itu tidak pernah membuatku menangis kecuali sekali dulu itu. Tapi dengan kenyataan pahit terselip di kantong celanaku aku tak sanggup lagi menahan airmata ini.
Melihatku menangis Ayah tampak mengendor dan jongkok di hadapanku. Tatapannya masih ramah. “Maafkan Ayah, sayang. Kamu tahu sejak kepergian ibumu hanya kamu dan adikmu yang Ayah punya di dunia ini. Ayah melarangmu masuk ke sini karena di sini banyak alat dan bahan berbahaya. Ayah hanya tidak ingin kehilangan kamu juga, sayang,” kata Ayah dengan senyum manisnya sambil menghapus pilu yang menganak sungai di pipiku. Terkadang aku heran kenapa Ayah tidak menikah lagi. Menurutku dia cukup tampan dan gagah untuk pria seusianya. Tapi sekarang aku tahu bahwa Ayah hanya ingin mencurahkan kasih sayangnya kepada anak-anaknya semata.
“Tidak apa-apa Ayah. Aku yang minta maaf,” kataku sembari bergerak keluar. “Oh iya,” kataku lagi, membalikkan badan.
“Ya sayang?”
“Besok Ayah datang, kan, ke acara pertemuan orangtua dan murid?” kataku mengingatkan sekaligus penuh harap.
Ayah tampak berpikur sebelum menjawab,”Ayah pasti datang.”
Aku tersenyum sebelum menutup pintu laboratorium yang berat dengan sisa tenagaku malam itu. Aku bersandar di pintu lab sambil menangis pelan-pelan.
“Kakak tidak apa-apa, kan?” adikku memergokiku, membuatku segera menghapus air mata yang datang lagi itu. Aku tersenyum.
“Kakak baik-baik saja.”
Di dalam lab, samar aku mendengar Ayah berbicara entah dengan siapa,“Sepertinya proyek itu memang harus berlanjut.”
***
Aku membaca berita pagi ini sambil mengunyah suapan terakhir nasi goreng di hadapanku. Adikku sudah menyelesaikannya dengan kecepatan luar biasa, sementara Ayah belum tampak. Headline berita pagi itu tentang penebangangan hutan liar untuk dijadikan pabrik robot terbesar di dunia.
“Mau tambah?” Tuan Popoho, robot berbentuk pohon yang diciptakan Ayah untuk melayani kami berdua, menawariku dengan suuara robotnya yang cempreng.
Tidak ku hiraukan penawarannya. Aku harus memberi tahu Ayah segera, pikirku. Namun sebelum aku sempat melakukannya suara bel bus sekolah sudah menunggu kami di luar. Ah, mungkin pada saat pertemuan orangtua nanti saja, pikirku sambil melesat keluar bersama adikku.
Selama jam pelajaran aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran. Aku terlalu sibuk memikirkan tentang hutan. Bagaimana kalau aku tidak bisa melihat senja yang bagus lagi? Pikirku getir. Yang bisa mengalihkan pikirank hanya kunjungan orangtua murid. Kenapa? Karena sudah hampir setengah acara Ayah belum juga datang.
Sepertinya Ayah memang tidak akan datang, pikirku sedih. Ayah mengingkari janjinya. Padahal setahuku selama ini Ayah belum pernah ingkar janji kepadaku. Pasti ada sesuatu, pikirku cemas.
***
Kutunggu suara mobil Ayah dari beranda. Sudah hampir satu bulan aku tidak bertemu dengan Ayah. Ini tidak seperti biasanya. Biasanya Ayah tetap memberikan perhatian sesibuk apapun pekerjaannya sebagai profesor sekaligus penyelamat hutan. Pasti sekarang Ayah luar biasa sibuk sekali.
Kupeluk lututku erat-erat untuk melawan dinginnya malam. Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul sepuluh malam. Adikku menggeliat, menguap sembari menghampiriku dengan mata berkaca-kaca karena mengantuk.
“Ayah belum pulang, ya, kak?” tanyanya dengan suara agak serak.
Kupeluk dan kuajak dia masuk tanpa memberinya jawaban pasti selain Ayah sibuk sekali.
***
Kalender yang tergantung di kamar sudah aku aku ganti. Tahun baru ini mungkin akan menjadi tahun baru sekaligus ulang tahun terakhirku. Tapi malangnya orang yang paling aku cintai di dunia ini tidak ikut merayakan hari spesial ini bersamaku. Hanya aku, adikku, dan kartu ucapan selamat dari Ayah.
Mataku terlalu sembab untuk menangis lagi. Kugenggam kertas berisi pesan selamat tahun baru dan ulang tahun yang kutemukan tertempel di kulkas subuh tadi. Sebuah miniatur pohon dan langit senja dalam bola Kristal sebagai hadiah ulang tahun dari Ayah terbanting hancur di seberang ruangan. Tentu saat itu adikku sudah terlelap di kamarnya.
Tiba-tiba mataku menangkap berita di TV yang dinyalakan oleh Tuan Popoho, menampilkan berita peresmian pabrik robot terbesar sedunia di daerah yang aku tahu dulunya adalah satu-satunya hutan di Indonesia.
Aku bengun dan segera kuambil sepedaku untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di hutan. Setidaknya butuh dua jam perjalanan dengan sepeda.
***
“Aku tidak percaya Ayah yang melakukan ini semua,” kataku di tengah isak tangis. Bangunan megah itu menjulang menggantikan ratusan ribu batang pohon yang aku cintai. “Tadinya aku ingin memohon pada Ayah untuk menghentikan perbuatan tolol ini. Tapi aku tidak pernah berjumpa dengan Ayah. Ternyata sekalinya bisa berjumpa kembali bukan rindu yang aku rasakan yah. Aku benci Ayah!” kataku dengan perasaan kecewa yang tak bisa dipendam lagi. Suara teriakanku teredam oleh bunyi mesin yang menggebu-gebu di dalam pabrik itu. Ingin rasanya kutendang pantat professor-profesor yang tidak punya otak d alam sana.
“Dengarkan Ayah dulu, sayang,” rengek Ayah sambil mengekorku menuju sepedaku yang kuletakkan begitu saja di tepi jalan bekas papan hutan yang sekarang berubah menjadi plakat besar bertuliskan “ROBOT Inc.”
“Aku tidak mau berbicara dengan Ayah lagi! Aku benci Ayah! Benci! BENCI!!!”
Kukayuh sepedaku kuat-kuat. Seekor ular memandangku dari bawah tiang plakat, kemudian melata dengan raut muram, sehati denganku.
***
“Maafkan Ayah, Nak,” kata Ayah sembari menghampiriku. Senja itu senja yang merah lagi. Dan mungkin itu senja merah terakhirku. Tak kupedulikan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Kemarahan kemarin masih menjalar di setiap sel darahku. Bodohnya aku. Kenapa aku memilih tempat ini untuk kabur, tentu saja Ayah akan cepat menemukanku.
Ayah duduk di sampingku setelah menyingkirkan sepedaku. Kami saling diam beberapa saat. Tapi tak satupun dari kami yang menikmati senja yang indah ini.
“Papa sudah merenggut senja ini dariku,” kataku lirih akhirnya.
“Papa hanya ingin membuatmu tetap…”
“Hidup maksud Ayah? Papa butuh uang untuk operasi Diah?” tembakku. Ayah tampak tidak percaya dengan penuturanku.
“Diah lebih suka tetap menderita kangker otak ini, Yah, dari pada tidak bisa melihat senja seperti ini lagi. Toh, pada akhirnya Diah tetap akan meninggal walaupun operasi Diah berhasil, karena tidak ada pohon lagi yang akan memberi kehidupan pada Diah,” air mata memberi rasa asin pada bibirku. Ayah menatapku tercengang. Kutepis pelukannya.
Kurasakan ada yang mengalir dari hidungku. Yang pasti bukan airmata. Tapi sesuatu yang kental.
“Sayang hidungmu…” kata Ayah sambil bergerak mendekatiku lagi.
“Cukup Ayah, jangan pedulikan Diah lagi. Pedulikan saja rongsokan-rongsokan itu,” aku menghampiri sepedaku, dan kukayuh sepedaku meninggalkan pria paruh baya yang mulai detik ini tidak akan pernah kupanggil Ayah lagi.
“DIAH. AYAH MELAKUKAN INI KARENA TERPAKSA! AYAH INGIN KAMU TETAP HIDUP!”
“DIAH, DAN JUTAAN ORANG DI BUMI INI TIDAK AKAN BISA HIDUP JIKA TIDAK ADA POHON,” balasku, dan sudah tidak kuasa lagi untuk berkata-kata sementara pandanganku sudah mulai kabur dan hilang sama sekali.
Apakah senja di surga benar-benar jauh lebih indah daripada senja di sini? Semoga saja.
***
Aku terbangun entah kapan. Kepalaku terasa aneh. Siluet senja menari-nari di atas tiang-tiang lampu dan gorden kamar yang mengurungnya. Ayah masuk.
“Kau sudah siuman?” tanyanya ramah.
Aku diam tak menyahut. Kupandangi bingkisan dari Tuhan di ufuk barat sana. Kami terjebak dalam kebisuan untuk sekian lama, sebelum Ayah memecahkannya dengan menawariku buah-buahan dalam keranjang yang di bawanya.
“Aku tidak mau!” teriakku sambil menghempaskan buah-buahan yang di bawa Ayah hingga berceceran di lanati rumah sakit. Ayah mendengus sebelum akhirnya berujar.
“Mari ikut Ayah sebentar,” ajaknya.
“Tidak,” tolakku kasar.
“Sekali ini saja,” pinta Ayah sungguh-sungguh. Adikku masuk dengan sebotol susu. Melihat ada adkikku aku-pun menurut dibawa dengan kursi roda ke suatu tempat. Dalam perjalanan benar-benar tidak ada suara kecuali gerung mesin mobil.
Aku terkejut dengan apa yang aku lihat setelah tiba di lokasi yang di maksud Ayah. Di sana, yang tadinya merupakan pabrik robot terbesar sedunia kini berganti dengan hutan rapi yang dikelola oleh para robot.
Aku tidak percaya. Kupandangi Ayah setengah kagum setengah malu dan setengah lagi rasa takjub.
“Ayah membuat penemuan yang dapat menumbuhkan pohon dengan cepat, sekaligus memanfaatkan kemajuan teknologi untuk keseimbangan,” tutur Ayah.
Seketika itu juga aku peluk Ayah erat-erat. “Maafkan Diah, Yah,” ucapku tulus”
Ayah mengusap rambutku dan adikku yang turut memelukku.
“Ayah tidak akan membiarkan senjamu dan senja-senja orang lain hilang, sayang.”