Disukai
1
Dilihat
39
Milikku Sejak Pandangan Pertama
Romantis

"Sekian perkenalan diri saya dan jawaban atas setiap pertanyaan Bapak," ujar Bulan dengan nada tegas dan mantap. Matanya memancarkan sinar keyakinan diri yang kuat, seolah tidak menyisakan ruang sedikit pun untuk keraguan. "Apakah ada lagi yang ingin Bapak tanyakan?"

Seorang laki-laki, itu duduk santai namun berwibawa di kursi putarnya. Ia menatap Bulan dengan sorot mata tajam yang melakukan penilaian menyeluruh. Pandangannya menyisir perlahan dari raut muka Bulan yang begitu fokus dan serius selama proses wawancara. Kemudian, beralih ke kemeja maroon yang disetrika sempurna, licin, dan dari jarak itu, samar tercium aroma parfum yang lembut. Pandangannya berhenti pada lipatan jilbab yang tertata rapi, membingkai bentuk pipinya yang sedikit tembam, menambah kesan hangat pada ketegasannya. Tangannya menggenggam pulpen perak merek erat, dan sesekali, tatapannya yang penuh pertimbangan itu turun melirik ke lembar resume Bulan yang tergeletak rapi di atas mejanya.

​"Tidak ada. Saya rasa cukup," jawab Abi, suaranya bernada bariton yang tenang, seraya bangkit berdiri. Sebuah plakat kuningan di mejanya terukir jelas: Abimana Wicaksana, HRD Polaries Industries. Ia menjulurkan tangan ke arah Bulan. "Terima kasih banyak sudah bersedia untuk diwawancara, Bulan."

Bulan segera berdiri, menyambut jabatan tangan Abi dengan senyum tipis di bibirnya. "Sama-sama, Pak Abi. Kalau begitu, saya pamit undur diri." Ia melangkah keluar, menutup pintu ruangan Abi dengan hati-hati.

Begitu meninggalkan gedung perusahaan, Bulan langsung berjongkok di sudut taman dekat gerbang. Ia menghela napas panjang, sebuah hembusan lega yang terasa sesak dan tertahan sejak tadi.

"Ya Tuhan, rasanya jantungku berhenti berdetak," bisik Bulan pelan, menyembunyikan wajahnya di antara lutut yang tertekuk. Tubuhnya lemas, energi gugup tadi kini menguap tak bersisa.

Di tengah ketenangan yang ia cari, sebuah nada dering ceria terdengar nyaring. Cepat-cepat Bulan meraih ponselnya.

"Alhamdulillah! Pokoknya aman, Mir! Semua lancar!" seru Bulan riang kepada sahabatnya di seberang telepon. Sebuah senyum manis dan penuh harap tersungging di wajahnya. "Semoga kali ini aku beneran keterima kerja. Yuk, kita main. Aku butuh refreshing!" Ajak Bulan.

Usai percakapan singkat itu, Bulan berdiri. Kakinya melangkah pasti menuju halte bus. Ia sempat menoleh ke belakang, menatap megahnya gedung perusahaan itu dengan mata yang berbinar penuh impian.

"Kumohon... semoga aku diterima di perusahaan impianku ini," gumamnya, melantunkan sebuah doa dan harapan yang terdalam.

Saat Bulan dan Amira sedang asyik menikmati sore di taman kota, sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Bulan. Ia melihatnya, dan seketika matanya membelalak tak percaya. Dengan tangan gemetar, ia menatap Amira, matanya sudah berkaca-kaca haru.

"Mira! Aku keterima!" jerit Bulan, langsung menggenggam kedua tangan Amira.

Amira ikut melonjak senang. Keduanya berjingkrak-jingkrak di bawah pohon rindang, meluapkan kebahagiaan. Harapan Bulan kini menjadi kenyataan.

Sejak saat itu, Bulan bekerja dengan tekun, giat, dan profesional di Polaries Industries, menempati posisi Akuntansi yang memang ia lamar. Satu tahun penuh berlalu begitu cepat.

​Malam ini, Bulan kembali lembur. Ia duduk di kerjanya yang empuk. Jari-jarinya menari lincah dan tanpa jeda di atas keyboard, mengetik data dengan kecepatan tinggi. Sesekali, ia mengambil jeda singkat, membalik lembaran kertas berisi rekapan data keuangan akhir tahun yang menumpuk di sisi meja. Setelah menunaikan salat Magrib, ia kembali fokus total pada layar komputer yang memancarkan cahaya biru di ruangan yang mulai sepi.

​Di tengah konsentrasi penuhnya, sebuah pesan masuk::

Pak Abimana:

Bulan, bisa ke ruangan saya sebentar?

Bulan mengernyitkan dahi. Tumben sekali, pikirnya. Ia beranjak dari kursi, kakinya melangkah menuju ruangan HRD yang terletak tak jauh di depannya.

"Permisi," ucap Bulan seraya mengetuk pintu kayu berwarna gelap.

"Masuk," terdengar jawaban singkat dan aga serak dari balik pintu.

Bulan membuka pintu, masuk, dan berjalan mendekati meja kerja Abi. Ia melihat Abi sedang duduk di kursinya, namun wajahnya tersembunyi di balik kedua tangan yang menopang dahi, tubuhnya sedikit membungkuk.

"Ada apa, Pak?" tanya Bulan hati-hati.

Abi mendongak. Matanya terlihat sangat merah dan lelah, wajahnya pucat pasi, dan kulitnya tampak memutih. Bulan seketika membelalakkan matanya karena terkejut.

"Ya Allah, Pak Abi kenapa?" tanya Bulan, nadanya kini dipenuhi kekhawatiran yang tulus.

"Kamu bisa bawa mobil?" tanya Abi, suaranya terdengar berat dan pelan.

Bulan mengangguk cepat. "Bisa, Pak."

"Bisa tolong antar saya ke apartemen? Nanti pulangnya akan saya pesankan taksi untuk kamu," pinta Abi, sambil memijat pelipisnya yang terasa berdenyut kesakitan.

"Bisa, Pak. Mau pulang sekarang?"

"Sekarang, bisa?"

"Tentu. Kalau begitu, saya bereskan meja sebentar, ya, Pak." Bulan bergegas keluar, merapikan mejanya yang berantakan, dan mematikan komputernya. Setelah selesai, ia kembali masuk.

"Mau saya bantu, Pak?" tawar Bulan.

"Tidak usah, saya bisa sendiri." Abi berdiri perlahan.

Mereka berjalan beriringan menuju lift, langkah Abi terlihat agak gontai. Sepanjang perjalanan menuju area parkir, Bulan berjalan di sisi Abi, sesekali melirik cemas ke arah atasannya itu. Begitu sampai di mobil, Bulan mengambil posisi di kursi pengemudi, sementara Abi duduk di sampingnya.

Di sepanjang jalanan kota yang mulai lengang di malam hari, Bulan dan Abi hanya terdiam membisu. Suasana di dalam mobil dipenuhi keheningan, hanya dipecahkan oleh deru mobil yang melaju konstan dan lantunan musik instrumental yang diputar Abi dari radio.

​Bulan mencuri pandang ke Abi. Pria itu tampak memejamkan mata erat-erat, dahinya berkerut menahan sakit. Melihat kondisi atasannya, rasa iba dan khawatir muncul di hati Bulan.

​Tepat saat melewati persimpangan yang ramai, Bulan melihat sebuah apotek yang masih buka dan warung bubur ayam di pinggir jalan. Tanpa pikir panjang, ia memelankan laju mobil, menepikan kendaraan ke bahu jalan.

"Pak, saya belikan bubur dan obat sebentar, ya," kata Bulan.

Abi hanya terdiam, pandangan matanya mengikuti Bulan yang bergegas keluar, memasuki apotek lalu menuju warung bubur. ​Setelah kembali ke mobil dengan kantong berisi obat dan bubur hangat, Bulan kembali melajukan mobil menuju kompleks apartemen mewah tempat tinggal Abi.

Setelah memarkirkan mobil di basement, Bulan dan Abi berjalan beriringan menuju unit apartemen. Abi berjalan perlahan, tubuhnya condong sedikit ke dinding. Begitu sampai di depan pintu, Abi memasukkan kata sandi, dan pintu terbuka.

​Abi segera berjalan gontai menuju kamarnya untuk beristirahat. Bulan mengikutinya, meletakkan kantong obat dan kotak bubur di nakas samping tempat tidur.

"Pak, sebelum tidur, dimakan dulu buburnya sedikit, lalu minum obat," ingat Bulan dengan lembut.

Abi hanya menyandarkan punggungnya ke sandaran tempat tidur, wajahnya tampak lelah. "Nanti saja. Saya mau tidur saja," ucap Abi, memejamkan matanya, berusaha meredakan pening di kepalanya.

​"Mau... mau saya suapi?" tawaran itu meluncur spontan dari bibir Bulan. Seketika, ia merasa darahnya berdesir panas, menyesali kata-katanya yang begitu berani dan personal. Kenapa aku menawarkan hal seperti itu pada atasan? batinnya panik.

​Mata Abi yang tadinya terpejam, kini terbuka perlahan. Ia menatap Bulan yang wajahnya sudah memerah tipis karena malu. Setelah jeda sesaat, Abi menjawab dengan suara serak yang tenang,​"boleh."

​Mulut Bulan sedikit terbuka karena terkejut dengan jawaban itu, namun ia segera menguasai diri. "Oh i-iya. Baik, Pak," jawabnya, tangannya mulai membuka wadah styrofoam berisi bubur dengan gerakan yang sedikit gemetar.

Ia menyendok perlahan, mengarahkan suapan demi suapan ke mulut Abi yang sudah bersandar nyaman di ranjangnya. Malam itu begitu sunyi, hanya ada gemericik samar dari air humidifier, aroma uap yang mengepul, dan suara sayup-sayup burung hantu. Di tengah keheningan itu, Abi menatap Bulan dengan pandangan yang terasa lembut, namun tajam dan dalam. Bulan yang ditatap seperti itu hanya terdiam membisu, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.

Setelah selesai, Bulan membereskan wadah bubur dan pamit undur diri. "Kalau begitu saya permisi pulang ya, Pak. Jangan lupa minum obatnya."

​"Terima kasih, Bulan," ucap Abi, suaranya sedikit lebih baik.

​Tepat ketika kakinya melangkah menuju pintu keluar, di sudut matanya, Bulan menangkap siluet bingkai besar di dinding ruang tengah. Ia memundurkan langkahnya beberapa inci, lalu menatap foto itu dengan saksama.

​Matanya membelalak terkejut. Foto berukuran besar itu menampilkan seorang gadis dengan seragam putih abu-abu yang tersenyum lebar ke arah lautan, hanya memperlihatkan separuh wajahnya.

​Gadis itu... adalah dirinya.

​Bulan refleks menutup mulutnya dengan tangan. "Ya ampun... kenapa foto aku... ada di sini?" gumamnya, dilanda rasa penasaran yang luar biasa dan bingung. "Apa saat aku bermain ke pantai dengan teman sekelas dulu, aku pernah bertemu dengan Pak Abi?"

​Karena tidak kunjung menemukan jawaban, dan merasa tidak etis untuk bertanya saat Abi sedang sakit, Bulan segera meninggalkan apartemen Abi, masih dengan dilanda badai pertanyaan di benaknya.

Hari-hari berikutnya terasa janggal bagi Bulan. Bayangan foto dirinya di dinding apartemen Abi terus mengganggu pikirannya. Peristiwa malam itu, ditambah dengan tatapan Abi saat ia menyuapi, membuat Bulan merasa canggung dan salah tingkah setiap kali melihat atasannya.

​Seperti biasa, Bulan sudah duduk di meja kerjanya. Matanya terpatri ke layar monitor, tangannya mengetik data, namun pikirannya berusaha keras untuk tidak memikirkan Abi. Ia bahkan mencoba menghindari lorong menuju ruangan HRD selama beberapa hari terakhir.

​Tiba-tiba, suara Hana, rekan kerjanya, memecah fokus Bulan.

​"Bulan, kamu dipanggil Pak Abi," ucap Hana tanpa basa-basi.

Bulan mendongak, menunjuk dirinya sendiri. "Aku?" ucapnya terkejut.

Jantungnya langsung berdebar kencang dan tidak karuan. Telapak tangannya terasa dingin dan berkeringat. Ia cepat-cepat menautkan jari-jemarinya, berusaha meredakan kegugupan. Pikirannya langsung melayang ke foto besar itu. Ia ingin bertanya, namun malu, takut dan bingung.

Dengan langkah yang terasa berat dan enggan, seolah ada beban tak kasat mata di bahunya, Bulan berjalan menuju ruangan HRD. Ia mengetuk pintu, membukanya perlahan, dan berdiri di depan meja Abi dengan raut wajah yang menunjukkan kegelisahan.

​Seketika itu juga, Abi menekan tombol pada remote, dan jendela kaca ruangan itu berubah gelap, tertutup oleh tirai otomatis, menciptakan suasana yang lebih privat dan intim. Abi kemudian beranjak dari kursinya, berjalan ke sisi meja, dan duduk setengah bersandar di tepi meja kerjanya, posisinya kini lebih dekat dengan Bulan.

​"Bulan," panggilnya dengan suara tegas namun berwibawa yang terasa dalam.

​"Iya, Pak?" jawab Bulan, berusaha menjaga nada suaranya tetap formal.

​"Kenapa kamu menghindari saya?" tanya Abi, menatap Bulan dengan intensitas penuh. Matanya seolah mengunci mata Bulan, tidak membiarkannya lari.

​Bulan gelagapan. Pikirannya kosong, mencari alasan yang masuk akal. "Ngga kok, Pak," ucapnya tercekat, berusaha keras untuk terlihat normal.

​Abi mendengus pelan, sebuah suara singkat yang menunjukkan ia tahu Bulan berbohong.

​"Apa karena foto yang ada di rumah saya?" tanya Abi, pertanyaan itu menusuk tepat sasaran.

Wajah Bulan langsung memerah padam. Ia segera menundukkan wajahnya, menatap ujung sepatu. Bibirnya terasa kaku, entah bagaimana, suaranya benar-benar tidak mampu keluar dari mulutnya.

​"Kenapa tidak bertanya langsung kepada saya?" tanya Abi lagi, kali ini nadanya melembut, menghapus ketegasan sebelumnya.

​Bulan mendongak cepat, matanya memancarkan sedikit harapan. "Boleh?" tanyanya refleks. Ia langsung menutup mulutnya, menyesali keterkejutannya yang terlalu kentara.

​Suara tawa tipis dan lembut terdengar dari Abi, sebuah suara yang belum pernah Bulan dengar sebelumnya. "Tentu saja," jawab Abi sambil tersenyum tipis, menatap Bulan yang kini benar-benar salah tingkah.

Bulan terdiam lama, mengumpulkan keberanian. Akhirnya, ia bertanya, suaranya hampir berbisik. "Apa saya dan Pak Abi... pernah bertemu di pantai?"

​Abi menganggukkan kepalanya pelan. "Iya."

​Bulan mengerutkan dahi, mencoba keras mengingat. "Tapi, kenapa saya tidak ingat sama sekali?"

​Abi hanya tersenyum penuh misteri. Pikirannya langsung memutar kilas balik ke hari pertama ia bertemu Bulan.

​Saat itu, Abi adalah seorang profesional muda yang terjebak dalam kejenuhan kantornya yang dulu. Untuk menghilangkan suntuk, ia pergi berjalan-jalan ke pantai, membawa kamera untuk memotret objek yang bisa menyegarkan matanya.

​Di kejauhan, di antara buih ombak, ia melihat sekelompok siswi SMA. Mereka bermain air dan tertawa renyah, suara mereka seolah mengisi kekosongan pantai.

​"Sini aku fotoin, bagus banget nih pemandangannya!" seru Bulan, gadis berseragam putih abu-abu, memegang ponsel dengan antusias. Ia mengarahkan lensa, memotret teman-temannya yang berpose konyol dan ceria di bawah sinar mentari. Tawa mereka menggema riang, memenuhi udara pantai yang asin. Bulan sendiri hanya tersenyum simpul, sesekali terkekeh kecil melihat tingkah polah sahabatnya.

​Di kejauhan, Abi mengamati. Jantungnya yang tadinya berdetak normal, kini seolah berhenti sesaat. Seluruh fokusnya terkunci pada satu sosok: Bulan. Gadis itu, dengan senyum lebar yang menularkan kebahagiaan, seolah memancarkan cahaya di antara riuhnya pantai. Matanya, yang tadi berkeliling mencari objek foto, kini hanya terpaku pada Bulan. Sebuah kilatan takjub melintas di benak Abi. Tanpa ragu, jari-jemarinya menekan tombol shutter berulang kali, mengabadikan setiap ekspresi dan sudut senyum Bulan. Di balik kamera, sebuah senyum tipis dan penuh kekaguman mengembang di bibir Abi.

Setelah memotret, Abi berjalan menghampiri Bulan. "Mau saya fotokan?" tawar Abi, yang sedikit mengagetkan Bulan.

Bulan menoleh ke arah Abi, tersenyum senang. "Boleh, Kak. Minta tolong potret kami ya, ini untuk kenangan kelulusan," ucap Bulan sambil menyerahkan ponselnya, lalu berjalan cepat menghampiri teman-temannya untuk berpose.

Setelah menceritakan itu, Bulan tampak terkejut.

"Jadi, itu... Pak Abi?" tunjuk Bulan, suaranya dipenuhi rasa tak percaya.

Abi hanya menganggukkan kepalanya, matanya tak lepas dari ekspresi kaget Bulan.

​"Tapi... kenapa foto saya dicetak sebesar itu dan disimpan di rumah Bapak?" tanya Bulan, masih bingung.

​Abi melangkah maju, mengikis jarak di antara mereka. Matanya menatap Bulan dengan sorot yang memikat.

"Tidak bolehkah saya memandangi cinta pandangan pertama saya?" tanyanya, membuat Bulan semakin terkejut. "Sebuah foto yang ketika saya menatapnya, membuat rasa capek itu hilang. Sebuah foto yang membuat saya punya semangat baru, dan sebuah harapan untuk saya bertemu kembali dengannya."

Abi berjalan perlahan, kini berdiri tepat di hadapan Bulan.

​"Entah bagaimana takdir dan semesta bekerja, akhirnya saya bertemu dengan kamu lagi. Sebuah harapan yang tidak pernah padam. Tapi, entah kenapa, selama kamu bekerja di sini, saya tidak berani mendekati kamu secara pribadi. Hingga akhirnya, malam itu, sebuah alasan membuat saya bisa berbicara dan dekat denganmu, dan saya sadar kalau kamu akan mengetahui mengenai foto itu cepat atau lambat."

Abi meraih tangan Bulan, menggenggamnya dengan lembut dan penuh makna. "Bulan," panggilnya pelan. "Maukah kamu membiarkan saya perlahan mengambil hatimu? Pelan-pelan saja, sampai kamu menyadari keberadaan dan rasa cinta saya, karena saya tidak mau kamu menghilang dari pandangan saya lagi."

Mendengar pengakuan yang begitu jujur dan intens, jantung Bulan berdebar kencang, memukul-mukul dadanya. Matanya menatap Abi, mencari celah kebohongan, namun yang ia temukan hanyalah keyakinan dan sorot mata yang dipenuhi cinta.

"Hmm, ini pertama kalinya saya dekat dengan laki-laki," ucap Bulan, jujur. "Apa tidak apa-apa kalau harus menunggu lama?" tanya Bulan, memastikan keseriusan Abi.

​"Iya, tidak apa-apa," jawab Abi, menggenggam tangan Bulan sedikit lebih erat, nadanya kini terdengar posesif namun penuh janji. "Selama kamu akan membuka hati untuk saya dan menjadi milik saya."

Bulan menunduk, wajahnya memanas karena malu. Perutnya seolah dipenuhi sensasi menggelitik, seperti ada kupu-kupu yang berterbangan.

​"Baiklah," ucap Bulan berbisik, menyetujui.

​"Terima kasih, Bulan. Bersiaplah untuk dibuat jatuh cinta berkali-kali oleh saya," bisik Abi di telinga Bulan, senyum manis terukir di wajahnya. Mata Abi tak lepas melihat Bulan yang salah tingkah dan tersenyum malu-malu, lalu tawa merdu keluar dari mulut gadis itu.

​Sebuah takdir yang tidak pernah terduga. Memang, jatuh cinta pada pandangan pertama selalu membekas dalam hati, tidak pernah pergi, dan selalu terpatri menjadi kenangan manis yang menjadi awal dari segalanya.​

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi