"Lang....sst....Elang"
Bimo menepuk-nepuk lengan Elang yang sedang tidur di sofa. Wajah Elang tertutup buku, sementara tangannya ditekuk di bawah kepala sebagai bantal. Elang diam saja, sama sekali tidak bergerak meski sudah ditepuk berulang kali.
Bimo melirik Embun yang berdiri di depan mereka. Wanita berhijab putih itu tampak kesal. Ia melipat tangan di dada sambil terus menghentakkan kakinya ke lantai.
"Bangunin lagi, Bimo!" perintah Embun dengan nada tinggi.
Bimo menoleh ke arah Embun dengan wajah jengah. "Sabar, Embun. Kamu tahu sendiri Elang kalau sudah tidur susah dibangunkan," jawab Bimo. Ia lalu memegang bahu Elang dan mengguncangnya lebih kuat.
Embun mendengus kesal. Ia berjalan mendekat ke sofa agar posisinya lebih dekat dengan Elang. "Sagara Elang!" teriak Embun keras-keras.
Elang yang mengenakan seragam putih abu-abu itu masih tidak bergerak. Ia tampak sangat lelap.
"Sagara Elang, bangun enggak?!" teriak Embun lagi sambil menyenggol kaki sofa.
Di balik buku, Elang mengembuskan napas panjang. Tangannya perlahan meraih buku di wajahnya, lalu melemparkannya ke samping. Ia membuka mata, duduk dengan malas, lalu menatap Embun dengan tatapan yang tajam.
"Kenapa?" tanyanya singkat dan tajam.
"Kamu tanya kenapa?" Embun balik bertanya. Ia tertawa sinis, lalu mendorong kacamatanya yang sedikit merosot di hidung. "Hari ini ada jadwal rapat OSIS, Pak Ketua. Bisa-bisanya Anda malah tidur di atap sekolah!"
Elang memutar bola matanya malas. "Ya sudah, seperti biasa saja, diwakilkan sama Anda. Wahai Sekretaris yang teladan dan berprestasi."
Embun mengentakkan kakinya ke lantai dengan kencang. "Enggak mau!" rengeknya, yang sedetik kemudian berubah menjadi nada tegas. "Hari ini jadwal rapat dengan Kepala Sekolah, dan Anda sendiri yang wajib memimpin pembahasan PPDB."
Mendengar itu, Elang perlahan bangkit dari posisi berbaringnya. Sambil duduk, ia sedikit mencondongkan tubuh ke depan hingga jaraknya mengikis dengan Embun. Ia kemudian mendongak, menatap gadis di hadapannya itu dengan sorot mata dalam yang sulit dibaca—membuat suasana di atap sekolah itu mendadak sunyi.
"Tolong kali ini Anda bisa diajak kerja sama untuk rapat penting ini, wahai Ketua OSIS Sagara Elang," ucap Embun dengan penekanan pada setiap kata.
Elang berdecak pelan. Ia bangkit berdiri, lalu melangkah malas menuju tangga arah ruang OSIS. Melihat itu, senyum semringah langsung terpatri di wajah Embun. Ia segera mengekor di belakang Elang dengan langkah ringan.
"Woy, Lang! Hari ini enggak jadi main?" teriak Bimo dari kejauhan.
Tanpa menoleh, Elang hanya melambaikan tangan yang menggenggam ponsel, memberi isyarat bahwa ia akan menghubungi Bimo nanti.
Mereka berjalan beriringan menyusuri lorong menuju ruang OSIS. Embun sibuk membolak-balik buku di tangannya sambil menjelaskan poin-poin penting untuk rapat nanti. Di sampingnya, Elang hanya terdiam, sesekali mengangguk singkat mendengarkan penjelasan panjang lebar sang sekretaris.
Saat Elang hendak menyentuh kenop pintu, sebuah tarikan kuat di seragamnya membuat ia tersentak mundur.
"Woy!" teriak Elang. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Embun sedang menatapnya dengan pandangan tidak suka.
Embun melirik Elang dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Kamu serius mau masuk rapat dengan penampilan seperti ini?" Embun menunjuk seragam Elang yang keluar dari celana dan rambutnya yang berantakan tak tentu arah.
Elang mengusap wajahnya gusar. "Ya sudah, berbalik sana!" perintahnya.
Embun mengernyitkan dahi, tampak bingung. "Buat apa?" tanyanya terheran-heran.
"Oh, jadi kamu mau lihat aku ganti baju?" Elang bertanya balik dengan nada menggoda.
Menyadari maksud Elang, wajah Embun sontak memerah. Ia segera tertunduk malu, lalu berbalik badan dengan cepat sambil menepuk-nepuk kedua pipinya yang terasa panas.
Elang yang melihat reaksi itu hanya tersenyum tipis. Ia mulai merapikan pakaian, memasukkan seragamnya, dan menata rambut yang berantakan dengan sisir. Tak lupa, ia mengambil parfum dari tas dan menyemprotkannya ke tubuh. Seketika, aroma parfum yang maskulin dan berkelas menyeruak di lorong sekolah.
"Sudah," ucap Elang.
Embun langsung berbalik dan meneliti penampilan Elang dari atas sampai bawah. Senyumnya merekah, lalu ia mengacungkan kedua jempol.
"Perfect!" jawabnya puas.
Elang dan Embun pun memasuki ruang rapat. Sesi rapat OSIS itu dimulai dengan serius. Di dalam ruangan, Kepala Sekolah—Bu Yuni—menyimak dengan saksama presentasi Elang di depan. Di samping pemuda itu, Embun sibuk mencatat setiap poin dan pertanyaan yang diajukan Bu Yuni. Elang membawakan presentasi dengan lugas, tepat, dan menjabarkan setiap detail dengan jiwa kepemimpinan yang kuat.
Embun menatap Elang dalam diam, mengamati setiap gerakan dan intonasi suaranya. "Kalau lagi rapat seperti ini auranya kayak orang benar. Giliran sudah keluar pintu, balik lagi jadi orang rada-rada," gumam Embun sangat pelan.
Mendengar gumaman itu, Elang sontak melirik ke samping dan mengangkat kedua alisnya. Embun yang menyadari reaksi Elang langsung gelagapan. Dengan gerakan cepat, ia pura-pura sibuk mencatat sesuatu di bukunya, menghindari kontak mata.
Sagara tersenyum tipis mendengar itu. Namun, sedetik kemudian, wajahnya langsung berubah serius. Ia melanjutkan presentasinya dengan gaya yang sangat tenang dan percaya diri, membuat semua orang kembali fokus mendengarkannya.
Setelah rapat berakhir, ruangan pun kosong, menyisakan Embun yang sedang membereskan alat tulis.
"Sini, biar aku bantu. Maaf ya, ketua kita itu memang suka merepotkanmu," ucap Aksa sambil meraih tumpukan kertas fotokopi yang sedang dirapikan Embun.
Embun mendongak dan tersenyum tulus. "Tidak apa-apa, Aksa. Yang penting rapat kita berjalan lancar."
Aksa melirik Embun dan tersenyum tipis. "Cuma kamu satu-satunya yang bisa menyeret Elang ke ruang rapat. Meskipun aku sahabatnya, aku sendiri tidak pernah berani bertindak tegas sepertimu," ucapnya dengan raut wajah sedikit bersalah.
Embun mengembuskan napas panjang lalu menyandarkan punggungnya di kursi. "Yah, aku pun heran. Sebenarnya kenapa kalian semua tidak ada yang berani menghadapi Sagara? Seolah-olah kalian takut akan sesuatu jika berurusan dengannya," tanya Embun, menatap Aksa dengan penuh rasa penasaran.
Aksa seketika terdiam. Ia menunduk, pura-pura sibuk merapikan sudut kertas yang sudah rapi, seolah menghindari pertanyaan itu.
"Oh iya, Embun," panggil Aksa tiba-tiba, berusaha mengalihkan pembicaraan. "Hari Sabtu nanti kamu ada waktu luang?"
Embun mengerutkan dahi. "Memang kenapa?"
Aksa berdehem pelan, wajahnya tampak sedikit tegang. "Aku... mau mengajakmu nonton. Ada film bagus yang baru rilis," ucap Aksa gugup sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Embun tertegun. Ia menatap Aksa dengan sorot mata yang sulit diartikan—ada rasa bersalah di sana. "Maaf, Aksa. Sepertinya aku tidak bisa. Aku... ada acara keluarga," ucapnya pelan. Suaranya sedikit bergetar, memberikan kesan bahwa alasan itu hanyalah sebuah kebohongan yang dipaksakan.
Aksa hanya mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan rasa kecewanya dengan senyum tipis. Tanpa sepatah kata lagi, ia kembali membantu Embun menyelesaikan sisa pekerjaan mereka. Setelah ruangan rapi, keduanya berjalan keluar dan berpisah di gerbang sekolah untuk pulang ke rumah masing-masing.
***
Embun berdiri tegak di depan cermin, merapikan hijab hitamnya lalu melilitkannya di leher dengan cekatan. Ia membetulkan kerah seragam putihnya yang kaku, lalu mengencangkan sabuk hitam yang melingkar di pinggang. Di dadanya, tersemat logo taekwondo yang tampak gagah.
Inilah alasan sebenarnya ia menolak Aksa; setiap Sabtu, Embun selalu menghabiskan waktunya untuk berlatih dan mengajar taekwondo bagi anak-anak di taman dekat rumahnya.
Begitu sampai di taman, Embun langsung menyapa teman-teman taekwondonya yang sudah lebih dulu berkumpul. Sebelum mulai mengajar, ia menyempatkan diri untuk melakukan pemanasan dan latihan fisik singkat. Setelah peluhnya mulai bercucuran, barulah ia menghampiri barisan anak-anak kecil yang sudah tidak sabar menantinya. Dengan sigap, Embun langsung mengambil posisi di depan mereka, siap memimpin latihan sore itu.
Bersama Kak Rangga—pelatih seniornya—Embun memandu gerakan dasar para muridnya. Di tengah latihan yang serius, sesekali tawa renyah Embun pecah saat melihat tingkah lucu anak-anak itu. Suasana taman sore itu terasa hangat dan penuh energi. Begitu matahari mulai turun, Embun pun berpamitan pada Kak Rangga untuk pulang lebih dulu.
Saat Embun berjalan melewati deretan bangku taman yang memanjang, sebuah suara tiba-tiba menghentikan langkahnya.
"Ternyata sekretaris yang biasanya kalem ini jago bela diri juga," ucap seseorang dengan nada suara yang sangat familier di telinga Embun.
Embun menoleh cepat ke sumber suara. Matanya membelalak tak percaya mendapati Elang sedang duduk santai di sana. Laki-laki itu tampak sibuk menatap ponsel di tangannya, bahkan tanpa melirik Embun sedikit pun saat bicara.
Jantung Embun berdegup kencang karena terkejut. Pasalnya, selama ini tidak ada satu pun teman sekolah yang tahu bahwa ia menekuni taekwondo. Baginya, ini adalah satu-satunya pelarian untuk melepas penat di tengah jadwal les pelajaran yang padat dan menguras otak.
"Loh, kok kamu di sini?" tanya Embun spontan sambil menunjuk Elang.
Elang mengangkat kepalanya, lalu menoleh ke arah Embun dengan senyum simpul yang sulit diartikan. "Memangnya kenapa? Enggak boleh?"
Embun tergugup. Ia mendadak salah tingkah dan tidak tahu harus merespons seperti apa. "Ya... enggak apa-apa, sih," jawabnya sambil membuang muka ke arah lain. Namun, rasa penasaran tetap menang. Ia kembali menatap Elang. "Tapi, kenapa kamu bisa ada di sini?"
Elang bangkit dari duduknya, lalu berjalan perlahan menghampiri Embun. Ia berhenti tepat di depannya. Laki-laki itu menatap lekat-lekat wajah Embun yang tampak terkejut, sekaligus menyadari ada guratan lelah yang terselip di sana. Elang kemudian mundur satu langkah, tangannya menopang dagu sambil memperhatikan penampilan Embun dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Sepertinya, aku harus mengajukan ekskul Taekwondo ke sekolah," ucap Elang seolah sedang menimang sesuatu yang besar. "Dan pelatihnya... harus kamu."
Embun membelalakkan mata, benar-benar terkejut dengan ucapan itu. "Enggak boleh!" teriak Embun panik.
Elang menatap Embun sambil berpura-pura heran. "Kenapa? Bukankah itu bagus? Biar sekolah semakin banyak kegiatan, dan kamu juga makin sibuk, kan?" Elang menunjuk Embun dengan dagunya, sengaja memancing emosi gadis itu.
Embun mengentakkan kakinya kesal. "Enggak mau! Sudah cukup aku terpilih secara paksa olehmu jadi sekretaris OSIS. Aku ingin hari-hariku tenang tanpa gangguan apa pun!" jelas Embun sambil menatap Elang dengan pandangan memelas, berharap laki-laki itu luluh.
Elang terdiam sesaat melihat tingkah Embun. Ia segera mengalihkan pandangan, mencoba menetralkan degup jantungnya yang tiba-tiba berdebar tidak keruan. "Hmm," Elang berdehem sejenak untuk menguasai diri. "Akan aku pertimbangkan," ucapnya singkat.
Tanpa menunggu balasan, Elang langsung berlalu pergi. Ia meninggalkan Embun yang berteriak memanggil nama "Sagara" berkali-kali dengan lantang. Di sepanjang jalan, senyum tipis tak lepas dari bibir Elang. Ia merasa lucu sekaligus senang mendengar namanya terus-menerus dipanggil oleh gadis itu.
***
Suara derap langkah kaki menggema di koridor sekolah. Embun berlari kencang setelah seorang teman memberitahunya bahwa Elang sedang berada di ruang Kepala Sekolah. Kabarnya, laki-laki itu benar-benar ingin mengusulkan kegiatan baru agar siswa jadi lebih produktif.
"Begitu, Bu. Kira-kira rencana detailnya..." ucapan Elang terputus.
BRAK!
Suara pintu yang dibuka paksa hingga membentur dinding itu terdengar sangat kencang.
"Sagara!" teriak Embun yang berdiri terengah-engah di ambang pintu.
Sagara dengan cepat menoleh. Ia menatap Embun dengan raut wajah yang berpura-pura heran, meski sebenarnya ia sudah menduga hal ini akan terjadi.
"Astaghfirullah, Embun! Yang sopan kalau masuk ruangan saya!" tegur Bu Yuni dengan nada bicara yang meninggi, menatap Embun dengan saksama karena terkejut.
Embun melangkah masuk ke dalam ruangan dengan sisa-sisa tenaga. Ia membungkuk, menumpukan tangan pada kedua lutut untuk mengatur napas yang memburu dan jantung yang berdebar kencang.
"Maaf... Bu," ucap Embun setelah napasnya mulai stabil. Ia membungkukkan badan sebagai tanda hormat sekaligus permintaan maaf atas sikap tidak sopannya tadi.
"Ada apa, Embun?" tanya Bu Yuni dengan nada bicara yang masih tajam.
Embun berjalan mendekat, lalu berdiri tepat di samping Elang yang sedang duduk santai. "Saya ada keperluan mendesak dengan Sagara, Bu," ucap Embun tegas.
Elang mengernyitkan dahi, memasang wajah polos yang menyebalkan. "Keperluan apa? Perasaan aku tidak ada janji atau keperluan apa pun sama kamu," ucapnya pura-pura bingung. Tanpa disadari Bu Yuni, terselip senyum tipis di bibir Elang yang hanya ditujukan—dan diketahui—oleh Embun. Senyum yang seolah berkata—Kena kau.
Tanpa memedulikan akting Elang, Embun langsung menyambar tangan kanan laki-laki itu. "Saya bawa Sagara sebentar ya, Bu. Permisi!"
Tanpa menunggu izin lebih lanjut, Embun menarik Elang keluar dari ruang Kepala Sekolah. Ia setengah menyeret laki-laki itu menuju ujung koridor yang sepi agar pembicaraan mereka tidak terdengar siapa pun.
Setelah sampai di ujung koridor, Embun mengempaskan tangan Elang. Ia berdiri tegak di depan laki-laki itu sambil berkacak pinggang, menatapnya dengan tatapan tajam dan penuh kekesalan.
"Kamu ngomong apa sama Bu Yuni tadi?!" tanya Embun dengan nada menuntut.
"Hah? Aku enggak ngomong apa-apa, kok. Cuma mengobrolkan masalah PPDB nanti," jawab Elang santai, seolah tak punya dosa.
Embun menyipitkan mata, berusaha mencari celah kebohongan di kedua mata laki-laki itu. "Beneran?"
Elang mengangguk mantap. Melihat keyakinan di wajah Elang, ketegangan di bahu Embun perlahan luntur. Ia mengembuskan napas lega. Namun, kelegaan itu hanya bertahan sedetik.
"Tapi... mungkin nanti aku akan bilang ke Bu Yuni lain kali," ucap Elang dengan nada menggoda yang menyebalkan.
"Sagara!" teriak Embun tertahan, wajahnya kembali memerah karena kesal.
Elang tertawa singkat melihat reaksi itu. Namun, tiba-tiba tawanya mereda. Ia memajukan tubuhnya, menatap Embun dengan sorot mata yang tajam dan serius. "Ada satu syarat kalau kamu tidak mau aku membocorkan rahasiamu ke Bu Yuni dan seluruh sekolah."
Embun menelan ludah, firasatnya mulai tidak enak. "Apa?" tanyanya singkat.
Elang terdiam sejenak. Sebuah ide licik tiba-tiba melintas di benaknya. Ia menatap Embun dengan senyum jahil yang semakin lebar. "Kamu harus jadi babuku selama setahun penuh, sampai kelulusan nanti."
Embun membelalakkan matanya. "Gila!" teriaknya spontan. "Aku enggak mau!"
Elang hanya mengedikkan bahu dengan santai, lalu berbalik dan mulai berjalan meninggalkan Embun. Melihat itu, kepanikan Embun kembali memuncak. Dengan cepat, ia meraih lengan Elang dan menatapnya dengan raut wajah memelas yang sangat jarang ia tunjukkan.
"Tapi... janji tidak akan memberitahu siapa pun, kan?" tanya Embun memastikan dengan suara yang mengecil.
Elang menghentikan langkah dan mengangguk mantap.
Embun terdiam sejenak, menimbang-nimbang antara harga diri atau rahasianya yang terbongkar. Akhirnya, ia melepaskan pegangannya di lengan Elang sambil mengembuskan napas pasrah.
"Baiklah. Tapi ada syaratnya! Perjanjian ini hanya berlaku selama di sekolah. Di luar sekolah, tidak ada perintah apa pun darimu yang akan aku turuti," tegasnya mencoba melakukan negosiasi terakhir.
Elang berbalik sepenuhnya, menatap Embun dengan binar kemenangan di matanya. "Deal!" ucap Elang sambil tersenyum penuh kemenangan.g tersenyum dengan penuh kemenangan.
***
Setahun terakhir, hidup Embun seolah terkunci dalam rutinitas yang aneh: memenuhi segala keinginan Elang. Mulai dari menyiapkan sarapan hingga membawakan tas laki-laki itu ke mana-mana. Teman-teman mereka sering menatap heran, bahkan kasihan melihat Embun yang seolah "tunduk" begitu saja. Namun, tidak ada yang tahu bahwa di balik status "babu" yang menyebalkan itu, Embun justru menemukan kebahagiaan kecil yang tak ingin ia lepaskan.
Entah kenapa, pagi ini terasa begitu berat bagi Embun. Kelulusan tinggal dua hari lagi, dan itu artinya, tidak ada lagi alasan baginya untuk terus berada di dekat Elang.
Embun masih berbaring di kasurnya, menatap langit-langit kamar yang masih temaram. Dengan gerakan malas, ia meraih ponsel di nakas dan mulai membuka galeri foto. Jemarinya mengusap layar perlahan, melihat kembali momen-momen selama masa SMA dengan raut sendu. Hingga akhirnya, gerakannya terhenti tepat pada sebuah foto—Elang yang sedang berdiri tegak di tengah lapangan sekolah.
Di detik itulah, Embun tidak bisa lagi membohongi dirinya sendiri. Selama setahun menjadi asisten pribadi Elang, ada sebuah rasa yang pelan-pelan bersemi tanpa izin. Rasa yang ia jaga rapat-rapat agar tidak terendus oleh siapa pun—terutama oleh pemilik nama itu sendiri.
Ya, Embun menyukai Sagara.
Awalnya ia menolak keras. Ia denial, merasa tak mungkin jatuh cinta pada orang yang menjadikannya pelayan. Namun, kebersamaan yang intens setiap hari ternyata perlahan meruntuhkan pertahanannya. Kini, di ambang perpisahan, Embun baru menyadari bahwa ia bukan hanya takut kehilangan masa sekolahnya, tapi ia takut kehilangan dunianya yang selama ini berpusat pada Elang.
Di tengah lamunannya, ponsel Embun bergetar di atas nakas, memecah kesunyian kamarnya. Nama 'Sagara' yang muncul di layar seketika membuat Embun tersentak. Jantungnya berdetak kencang. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menyambar ponsel itu dan menempelkannya ke telinga.
"Halo, Senja," suara berat di seberang sana menyapa.
Embun spontan memejamkan mata rapat-rapat, meremas pinggiran bantalnya. Senja. Hanya Elang yang memanggilnya begitu. Panggilan itu selalu berhasil membuat pertahanannya runtuh dan jantungnya berdegup tak keruan.
"Iya, kenapa?" tanya Embun. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, berusaha menstabilkan suaranya agar tidak terdengar gugup.
"Ada waktu hari ini?" tanya Elang langsung.
Embun terdiam sejenak, melirik kalender di dinding yang sudah ditandai sebagai hari-hari terakhir sekolah. "Hmm, enggak ada acara, sih," jawabnya, berpura-pura tenang padahal tangannya kini sibuk memilin ujung sprei.
"Terus sekarang lagi apa?"
"Lagi rebahan saja," sahut Embun kembali merebahkan punggungnya, menatap langit-langit kamar dengan perasaan tidak menentu.
Keheningan sempat menyelimuti sambungan telepon itu selama beberapa detik, membuat Embun menahan napas. Sampai akhirnya, Elang kembali bersuara dengan nada yang lebih rendah. "Mau kamu jalan-jalan denganku hari ini?"
Embun tertegun. Tubuhnya kaku seketika. "Ke mana?"
"Hmmm... kamu maunya ke mana?"
Bukannya menjawab, Embun justru berguling dan menelungkupkan wajahnya di bantal, menyembunyikan senyum yang tiba-tiba terbit. "Enggak tahu. Aku kan enggak pernah ke mana-mana," gumamnya tak jelas karena terhalang bantal.
"Kalau begitu, mau ke Trans Studio Bandung?" tanya Elang. Kali ini suaranya terdengar begitu lembut, berbeda dari nada perintah yang biasa ia gunakan sebagai 'majikan'.
Mata Embun membelalak. Ia langsung bangkit duduk, melempar bantalnya ke ujung kasur. "Benarkah?" pekiknya kecil, tak mampu lagi menyembunyikan binar antusias di wajahnya.
Terdengar tawa renyah dari seberang telepon, seolah Elang bisa membayangkan wajah kaget Embun saat ini. "Iya, Senja. Aku jemput satu jam lagi. Cepat siap-siap, pakai baju yang paling cantik, ya?" goda Elang sebelum memutus sambungan sepihak.
Sambungan telepon terputus. Embun segera beranjak dari tempat tidur dan bersiap dengan penuh semangat. Di depan cermin, ia menatap lekat pantulan dirinya. Sebuah dress berwarna merah muda dengan detail lengan bergelombang putih tampak sangat pas di tubuhnya. Ia menyampirkan tas kecil di bahu, serta mengenakan kerudung putih yang ditata rapi. Sebagai sentuhan akhir, ia mengenakan sepatu boot hitam yang memberikan kesan elegan dan cantik.
Saat melangkah keluar rumah, Embun mendapati Elang sudah berdiri menunggunya di depan mobil. Laki-laki itu tampil gagah dengan jaket merah, celana jeans hitam, dan sepatu senada. Rambutnya tertata rapi, mempertegas wajah tampannya yang kini tengah menatap Embun tanpa berkedip.
Embun berjalan perlahan menghampiri Elang dengan malu-malu. Tak lama kemudian, mereka sudah berada di dalam mobil, menikmati perjalanan menuju lokasi dengan canda tawa yang menghidupkan suasana.
Siang itu, udara dingin Bandung sama sekali tidak terasa di dalam gedung Trans Studio yang megah. Elang dan Embun berdiri di tengah hiruk-pikuk pengunjung. Suasana terasa begitu riuh oleh teriakan orang-orang yang menguji nyali di wahana ekstrem, berpadu dengan dentuman musik dari parade yang tengah melintas.
"Mau naik apa dulu?" Elang menoleh, menatap Embun yang tampak antusais sekaligus ngeri melihat rel roller coaster yang meliuk tajam di langit-langit gedung.
"Yamaha Racing Coaster!" tunjuk Embun dengan semangat berapi-api.
Elang menaikkan sebelah alisnya, sedikit sangsi. "Yakin? Itu kecepatannya bisa sampai 120 km per jam dalam hitungan detik, Senja."
"Siapa takut?" tantang Embun. Ia langsung menarik lengan jaket Elang menuju antrean, tak ingin memberikan waktu bagi dirinya sendiri untuk berubah pikiran.
Namun, saat giliran mereka tiba, Embun mulai merasakan lututnya sedikit lemas. Ia duduk di kursi wahana, menarik tuas pengaman hingga mengunci rapat di dadanya. Elang, yang duduk di sampingnya, menyadari tangan Embun mencengkeram erat pegangan besi hingga kuku-kuku jarinya memutih.
Tanpa berkata apa-apa, Elang mengulurkan tangan. Ia menangkup tangan Embun dengan telapak tangannya yang besar dan hangat. "Jangan merem. Kalau takut, teriak saja," bisiknya tepat di telinga Embun. Bisikan itu sukses membuat bulu kuduk Embun meremang—bukan karena takut, tapi karena jarak mereka yang begitu dekat.
Wush!
Kereta itu melesat secepat kilat, mengempaskan tubuh mereka hingga menempel erat pada sandaran kursi. Embun berteriak sekencang-kencangnya saat kereta meluncur mundur dan berputar di lintasan yang vertikal. Di tengah kegilaan itu, ia merasakan genggaman tangan Elang semakin menguat, seolah memastikan Embun akan tetap aman dalam penjagaannya.
Setelah turun dari wahana, kaki Embun terasa lemas. Ia hampir saja limbung jika Elang tidak dengan sigap merangkul bahunya.
"Katanya tidak takut," goda Elang sambil tertawa renyah. Ia menatap wajah Embun yang sedikit pucat, namun matanya memancarkan binar bahagia yang tulus.
"Lagi! Aku mau naik yang lain!" seru Embun, mengabaikan rasa pusingnya demi menghabiskan waktu lebih lama dengan Elang.
Mereka menghabiskan sisa sore itu dengan mencoba hampir semua wahana. Tawa lepas pecah saat mereka menaiki Jelajah, membuat baju keduanya sedikit basah terkena cipratan air ketika perahu meluncur tajam ke kolam. Elang, dengan perhatian yang tak terduga, menyeka sisa air di kacamata Embun menggunakan ujung kaosnya. Gerakan itu begitu sederhana, namun sukses membuat napas Embun tertahan sejenak karena jarak wajah mereka yang hanya terpaut beberapa senti.
Tak ketinggalan, mereka juga memasuki Dunia Lain. Di dalam kegelapan yang mencekam, Embun refleks menyembunyikan wajahnya di balik lengan jaket Elang setiap kali ada sosok menyeramkan yang muncul tiba-tiba. Elang hanya terkekeh pelan, membiarkan Embun terus menempel padanya. Sesekali, ia bahkan sengaja menggoda dengan menakuti Embun agar gadis itu semakin erat mendekap lengannya.
Lelah namun dipenuhi rasa bahagia, mereka akhirnya berjalan menuju area teras luar restoran. Di sana, langit Bandung mulai berubah warna menjadi jingga keunguan saat matahari tergelincir di ufuk barat. Suasana yang tadinya penuh tawa kini perlahan berubah menjadi tenang, seolah alam sedang menyiapkan panggung untuk sebuah momen yang akan mengubah segalanya.
"Senja," panggil Elang dengan suara yang mendadak rendah dan lembut.
Embun mendongak, mendapati Elang tengah menatapnya dengan sorot mata dalam yang seolah mengunci pergerakannya. Merasa tertangkap basah oleh tajamnya tatapan itu, Embun menjadi salah tingkah. Ia buru-buru meraih minumannya dan menyesapnya dalam-dalam, berusaha keras meredakan kegugupan yang mulai membakar pipinya.
"Kalau aku suka sama kamu, gimana?"
Tring!
Sendok di tangan Embun terlepas begitu saja, berdenting saat menghantam pinggiran gelas lalu jatuh ke meja. Embun terpaku, menatap Elang dengan mata membulat sempurna. "Hah?" pekiknya, seolah indra pendengarannya baru saja mengalami gangguan.
Melihat reaksi Embun yang tampak begitu syok, Elang tertawa tipis. Sebuah tawa tulus yang belum pernah Embun lihat sebelumnya, membuat wajah laki-laki itu berkali-kali lipat terlihat lebih tampan.
"Jadi... gimana?" tanya Elang lagi, kali ini dengan senyum lembut yang belum lepas dari bibirnya.
"Eh? Gimana apanya?" tanya Embun bingung, otaknya mendadak buntu karena serangan jantung mendadak.
Elang gemas. Ia memajukan tubuhnya sedikit dan menyentil dahi Embun pelan. "Aww!" Embun meringis sambil mengusap dahinya, tapi perhatiannya kembali tersedot saat Elang mencondongkan tubuh ke arahnya.
"Aku mau tahu bagaimana perasaanmu. Apa kamu punya rasa yang sama denganku, Senja?" tanya Elang, kali ini dengan nada yang menuntut jawaban jujur.
Embun seketika menundukkan kepala. Ia tidak berani membalas tatapan Elang yang seolah bisa menembus seluruh rahasianya. Jemarinya saling bertaut dengan gelisah di bawah meja. Ia sempat melirik Elang sekilas—mencoba mencari tanda-tanda apakah laki-laki itu sedang bercanda—namun yang ia temukan hanyalah kesungguhan.
Dengan wajah yang sudah merah padam menahan malu, Embun akhirnya mengangguk pelan. Sangat pelan, namun cukup untuk memberikan jawaban yang selama setahun ini ia sembunyikan rapat-rapat di balik status "babu"-nya.
Melihat reaksi itu, Elang tersenyum lebar. Ia menautkan kedua tangannya di atas meja, menatap Embun dengan binar bahagia. "Jadi, Senja... apa kamu mau jadi pacarku?"
Embun terdiam sejenak. Ia menatap Elang dalam-dalam, lalu perlahan menggelengkan kepalanya.
"Kenapa?" tanya Elang, gurat terkejut jelas terbaca di wajahnya.
Dengan sisa keberanian yang ia miliki, Embun membalas tatapan itu. "Aku ingin fokus pada studiku. Aku bermimpi masuk ke University College London jurusan Psikologi. Aku tidak ingin berpacaran dulu karena itu fokus utamaku saat ini. Aku ingin meraih cita-citaku lebih dulu, Sagara," jelas Embun dengan nada suara yang lembut dan tegas.
Elang terdiam sejenak, mengembuskan napas panjang. Ada sedikit gurat kecewa yang melintas, namun dengan cepat digantikan oleh binar kekaguman. Ia menatap Embun, lalu tersenyum sangat tulus—sebuah senyum yang seolah mengatakan bahwa ia rida pada apa pun keputusan gadis itu.
Elang meraih jemari Embun, menyentuhnya dengan ujung telunjuknya, menyalurkan kehangatan yang merambat hingga ke hati.
"Aku mengerti, Senja. Dan kejujuranmu justru membuatku semakin yakin bahwa kamu memang istimewa," ucap Elang dengan suara rendah yang menggetarkan. "Kejarlah mimpimu. Terbanglah setinggi yang kamu mau, tembuslah langit London yang kamu impikan itu. Aku tidak akan memintamu berhenti, justru aku yang akan menjadi angin di bawah sayapmu agar kamu sampai di sana lebih cepat."
Ia menjeda sejenak, menatap lekat kedua mata Embun.
"Aku siap menunggumu. Tak peduli berapa musim yang harus berganti, aku akan selalu ada di sini, menantimu dengan sabar seperti aku yang selalu setia menunggu senja menyapa kala sore tiba. Bagiku, kamu bukan sekadar persinggahan. Kamu adalah tempatku pulang. Semua beban yang kupikul selama ini, semua lelah yang kutanggung sendiri, seolah sirna tanpa sisa hanya dengan melihat senyum menawanmu."
Elang mengeratkan sentuhannya pada jemari Embun. "Pergilah raih duniamu, tapi jangan lupa bahwa di sini ada hati yang selalu menyediakan ruang paling nyaman untukmu kembali. Jika nanti semua mimpimu sudah digenggam, izinkan aku yang menggenggam tanganmu selamanya di hadapan Tuhan."
Malam semakin larut, ditemani kerlap-kerlip lampu kota Bandung yang terlihat dari kejauhan. Di teras restoran itu, suasana yang tadinya penuh tawa berubah menjadi sangat tenang dan tulus. Mereka akhirnya saling mengerti bahwa cinta tidak selamanya harus tentang "memiliki" saat itu juga.
Meskipun tanpa status pacaran, mereka berjanji untuk tetap saling mendukung. Embun akan mengejar mimpinya ke London, dan Elang akan menempuh jalannya di sini. Mereka yakin bahwa kelulusan sekolah bukanlah akhir, melainkan awal dari perjuangan mereka yang sebenarnya.
Tidak ada ikatan yang mengikat kebebasan mereka. Namun ada satu janji yang mereka pegang teguh—mereka akan fokus meraih impian masing-masing lebih dulu. Mereka percaya bahwa jika memang sudah takdirnya, waktu akan membawa mereka kembali bertemu. Saat itu, mereka bukan lagi remaja sekolah dengan status "babu" dan "majikan", melainkan dua orang sukses yang siap menyatukan janji suci di hadapan Tuhan.