"Yuraaa..."
Sebuah teriakan melengking memecah keheningan di taman belakang kampus. Yura Arbani Zummy, gadis mungil yang tengah menikmati waktu santainya, segera menoleh ke sumber suara. Matanya menemukan sosok sahabat karibnya, Tina, yang kini berdiri dengan napas terengah-engah dan raut wajah kesal yang sangat kentara.
"Dasar, bocah ini! Sudah tahu mau masuk kelas, masih saja di luar! Ayo cepat, sebelum dosen killer itu datang ke kelas!" Tina menghampiri Yura dengan langkah lebar, dan tanpa basa-basi, langsung menarik pergelangan tangan sahabatnya dengan gerakan tergesa-gesa.
"Aduh, Tina, santai sedikit! Aku baru saja mendapat inspirasi, tahu!" Yura nyaris terseret, namun ia hanya bisa pasrah mengikuti langkah cepat Tina menuju ruang kelas.
Mereka tiba tepat waktu dan mengambil tempat duduk di bangku belakang, larut dalam obrolan ringan dengan beberapa teman sekelas. Suasana kelas yang ramai tiba-tiba terhenti.
Brak!
Pintu kelas terbuka dengan gebrakan keras, membuat semua kepala menoleh serentak. Dhani, sang pelaku gebrakan, berdiri mematung di ambang pintu. Ia tampak kelelahan, namun raut wajahnya menyimpan sebuah berita penting.
"Astaga, Dhani! Biasa saja dong bukanya! Bikin kaget sekelas!" protes Alan dengan tangan mengelus dada.
Andira, yang sifat kepo-nya tak tertahankan, langsung menyergap. "Kenapa sih? Ekspresimu kayak habis ketemu hantu! Kayaknya penting sekali?"
Dhani mengatur napas, menyeringai lebar. "Yuhu... Hari ini, Pak Kevin tidak masuk! Karena ada rapat dosen mendadak!"
Seketika, ruang kelas terpecah oleh reaksi yang kontras. Sekelompok mahasiswa berteriak riang, mengangkat tangan, dan sebagian langsung merebahkan kepala di meja—Merdeka! Bagaikan hari libur dadakan, ini adalah kesempatan emas untuk tidur sepuasnya. Namun, di sisi lain, ada pula kelompok mahasiswa rajin yang menampilkan ekspresi kecewa. Mereka merasa rugi telah datang ke kampus dan membayar mahal, tetapi harus pulang tanpa ilmu yang berarti.
Yura Arbani Zummy, dengan mata yang sudah setengah mengantuk, jelas tergolong kelompok yang gembira. Ia segera meletakkan tasnya sebagai bantal dan mulai bersiap menunaikan ritual tidur siangnya.
"Eh, Yura! Kamu jangan tidur! Kebiasaan sekali, ya, kalau tidak ada dosen!" Tina mengguncangkan bahu Yura perlahan, berusaha membangunkannya.
Yura hanya bergumam. "Ngantuk, Tina..."
"Tidak boleh! Daripada tidur terus, mending kamu ikut kita main Truth or Dare yang lagi populer! Bangun, Yura!" Tina memaksa Yura, menarik tangannya hingga gadis itu terduduk tegak.
Dengan wajah cemberut dan setengah hati, Yura bergeser, bergabung membentuk lingkaran besar bersama teman-teman sekelasnya.
"Intinya, permainan ini cukup memutar botol ini," Bayu mengambil botol minum kosong yang diletakkan di tengah. "Botol ini akan berputar, dan ketika berhenti tepat di depan salah satu dari kalian, orang itu harus memilih antara truth artinya jujur atau dare artinya elakukan tantangan sesuai permintaan kita. Mengerti?" Bayu memberikan instruksi dengan semangat menggebu sambil mengayunkan botol itu di tangannya.
"Mengerti!" Jawab mereka kompak.
Bayu mulai memutar botolnya dengan kecepatan sedang. Semua mata mengikuti pergerakan botol itu dengan tegang. Botol itu berputar, perlahan-lahan kehilangan momentumnya, hingga akhirnya berhenti tepat di depan Tina.
"Nah, kena kau!" teriak Bayu, sambil menunjuk Tina dengan telunjuknya.
"Ish, kenapa harus aku?" Tina memajukan bibir, wajahnya menampilkan kekesalan yang menggemaskan sambil menyilangkan tangan di dada.
"Pilih Truth or Dare?"
"Hmm... Truth," jawab Tina cepat.
"Yes! Aku yang akan bertanya pada Tina!" Rudi mengangkat tangan, matanya berbinar penuh makna. Ia langsung duduk tegak, merapikan kausnya seolah ini adalah wawancara serius.
"Pertanyaan yang berbobot, Rudi! Jangan bercanda!" peringat Bayu.
Rudi menatap Tina lurus-lurus. Ia mengambil napas panjang, sengaja menciptakan jeda dramatis. "Kalau di kelas ini ada yang menyukaimu, bagaimana?" tanyanya langsung pada intinya.
"Cieee..." Ledekan pun menggema di kelas. Sinta menyikut lengan temannya, sementara yang lain tertawa menahan geli.
Tina menjawab santai, mengangkat bahu dengan ekspresi cuek. "Tidak peduli."
Ruang kelas langsung dipenuhi gelak tawa.
"Aduh, sakit yang tidak berdarah!" Alan sampai memegang dada, berakting kesakitan.
"Ditolak sebelum menyatakan!"
Rudi, berusaha menyembunyikan raut wajah kecewanya, bertanya lagi, "Kenapa?"
"Ingat! Satu pertanyaan!" Tina mengingatkan Rudi dengan tegas, sesuai perjanjian sambil menggerakkan jari telunjuknya ke depan wajah Rudi.
"Kita mulai lagi, ya!" Bayu memutar botolnya lebih kencang.
Yura menatap botol itu dengan saksama, dalam hati berharap bukan dia yang ditunjuk. Botol itu melewati Bayu, Rudi, Tina, dan perlahan... kembali berhenti tepat di depan Yura. Yura langsung menundukkan kepala, menghela napas panjang karena kekecewaan yang kentara.
"Bagus! Yura yang kena! Si misterius Yura!" seru Bayu, menatap Yura dengan gemas. Ia mencondongkan tubuh ke depan, tidak sabar.
"Aku yang akan bertanya pada Yura!" ujar Ray, matanya dipenuhi antusiasme.
"Awas saja pertanyaan yang tidak diharapkan!" ancam Yura.
"Eh, sebentar! Truth or Dare?" Bayu memberikan pilihan.
"Truth," jawab Yura, terdengar yakin.
"Baik. Pertanyaannya, siapa laki-laki yang kamu sukai di kampus ini?" tanya Ray, menatap Yura penuh rasa penasaran.
Yura terdiam, memainkan ujung bajunya dengan gugup. Ia memaksakan jawaban keluar dari bibirnya. "Tidak ada."
"Bohong, kutendang kamu, Ra!" Ray kesal dengan jawaban datar Yura. Ia pura-pura bangkit dari tempat duduknya, membuat Yura sedikit terperanjat.
"Yah, tidak seru!" keluh teman-teman yang lain.
"Kan memang benar, aku tidak bohong," Yura mencoba meyakinkan, wajahnya terlihat sedikit tegang.
Bayu kembali memutar botolnya. Putaran kali ini agak melambat, dan secara ajaib, botol itu kembali berhenti tepat di depan Yura.
"Ih, kok aku lagi sih?!" protes Yura, tidak terima. Ia menghentakkan kaki ringan ke lantai, menunjukkan kekesalannya.
"Ya namanya juga botol, Ra! Bukan salah kita!"
"Truth or Dare?" tanya Bayu.
Yura menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Ia tampak berpikir keras, menimbang risiko. "Hmm... Dare."
"Nah! Kena kau, Yura!" Bayu menepuk tangan sekali, ekspresinya puas. "Siapa nih yang mau memberikan tantangan?" Bayu menoleh ke teman-temannya.
"Aku, Bay!" ucap Raina sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi.
"Jangan macam-macam kamu, Na!" Ancam Yura.
Raina menyeringai. "Gampang, kok. Aku tahu selama ini kamu selalu bermasalah sama Pak Arsa dan tidak pernah akur di kelas. Jadi, aku ingin kamu mengatakan sesuatu sama dia."
"Apaan?" tanya Yura, nadanya terdengar cuek, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
"Kamu cukup bilang sama Pak Arsa, kalau kamu itu sayang sama dia."
Mata Yura melebar, menatap Raina terkejut. "Kamu gila, ya?!"
"Setuju!" teriak teman-teman sekelas serempak.
"Apaan kalian setuju-setuju?! Aku tidak setuju sama tantanganmu, Na! Enak saja! Bisa-bisa harga diriku jelek di mata dia!" Yura menatap semua orang dengan jengkel.
Raina menyindir, menaikkan satu alis. "Ohh, berarti kalau begitu kamu beneran suka sama dia, dong?"
"Gila! Jangan membuat kesimpulan seperti itu, dong!" Yura menampik ucapan Raina, wajahnya memerah.
"Ya sudah, lakukan!" perintah Bayu.
"Bukankah kata Dhani dosen lagi rapat?" Yura mencari celah.
"Yah, kamu bisa lakukan pas pulang kampus lah! Terus rekam percakapanmu sama Pak Arsa. Setelahnya, kirim ke grup WhatsApp kelas. Gampang kan?"
"Gampang matamu, ah?! Tidak ada pilihan lain?!" tanya Yura, memohon.
Semua menggelengkan kepala, tanda tidak ada jalan keluar. Yura menghela napas pasrah. Ia meremas buku di pangkuannya, lalu membantingnya pelan ke meja. Dengan bahu terangkat, Ia berdiri dari tempat duduknya dengan gerakan tegas.
"Ya sudah! Aku akan pergi menemui Pak Arsa sekarang!" suaranya terdengar jengkel.
Tina cepat-cepat meraih dan berusaha menahan tangan Yura. "Nanti saja! Jangan sekarang, Ra!" Tina menarik pergelangan tangan Yura, mencoba menahannya duduk kembali.
"Tidak! Aku pergi sekarang! Bye semuanya!" teriak Yura sambil menarik tangannya lepas dari genggaman Tina. Ia berlalu cepat meninggalkan kelas, tanpa menoleh lagi ke arah teman-temannya yang mulai bersorak-sorai.
Yura berjalan menjauh dari keramaian, langkahnya membawanya ke perpustakaan yang kini sepi. Ia duduk di sudut ruangan yang paling terpencil, mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja dengan gelisah. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan tentang apa yang harus ia katakan pada dosennya.
"Aku bilang sayang sama Pak Arsa? Yang benar saja! Tidak!"
"Tapi, nanti kalau tidak bilang, pasti diteror terus sama mereka..."
"Harga diriku pasti akan hancur! Mamah, tolong Yura!" Ia menggigit bibir bawahnya, frustrasi.
"Masa aku bilang, 'Pak, saya suka sama Bapak.' Ih, tidak! Nanti dosen itu malah kegeeran!"
Tiba-tiba, senyum sumringah merekah di wajah Yura. "Oh, iya! Sekalian saja bilang kalau itu cuma bohong dan lagi ada permainan sama teman sekelas! Gitu saja kali, ya? Ya sudahlah. Rumit sekali!" Ia merasa lega telah menemukan solusi, meskipun sedikit licik.
Bel pulang berbunyi nyaring.
Yura langsung melesat keluar, menuju ruang dosen di lantai satu. Di depan pintu ruang utama, ia mengetuk sopan dan meminta izin untuk bertemu Pak Arsa. Setelah diizinkan, Yura kemudian berjalan menuju ruangan Arsa yang berada di sebelah kanan, berdekatan dengan ruang rektorat.
"Assalamu'alaikum. Permisi, Pak. Saya Yura ingin bertemu dengan Bapak," ucap Yura di depan pintu, sedikit meremas ujung roknya.
"Masuk," suara bariton Arsaka Bintang, sang dosen muda, mempersilakan.
Yura membuka pintu, masuk, dan menutupnya kembali dengan hati-hati. Ia tidak ingin ada yang mendengar percakapan aneh ini. Ia berjalan perlahan menuju meja tempat Arsa duduk.
"Ada apa?" tanya Arsa tanpa mengangkat pandangannya dari berkas di tangannya. Ekspresinya fokus dan profesional.
Yura memainkan jari-jarinya dengan gugup. "Hmm, begini, Pak. Tolong Bapak dengarkan apa kata saya. Tapi, Bapak jangan langsung percaya diri! Ini... hanya sebuah permainan," ucapnya terbata-bata.
Arsa akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Yura, dan bertanya lagi, kali ini sedikit menuntut, "Ada apa?"
Yura memejamkan mata rapat-rapat. Jantungnya berdebar kencang di balik dadanya, dan ia bisa merasakan panas menjalar hingga ke pipi. Ia mengambil napas dalam-dalam, dan mengucapkan kalimat terkutuk itu secepat kilat.
"Saya suka sama Bapak!"
Arsa terdiam sesaat, lalu menatap Yura dengan tatapan yang sulit terbaca.
"Sudah! Itu saja yang mau saya katakan. Saya permisi, Pak. Selamat sore!" Yura dengan cepat membalikkan badannya, bersiap melarikan diri.
"Tunggu!"
Arsa mencegah. Ia bangkit, memutari meja kerjanya, dan mengambil remote control. Tirai di jendela tertutup, menyembunyikan ruangan itu dari pandangan luar.
Yura menelan ludah. Rasa panik memuncak saat ia menyadari privasi di ruangan itu. Tunggu. Apa yang baru saja ia katakan? Rasa terkejut atas pengungkapan pernikahan itu masih terasa begitu kuat.
"Kamu suka sama saya?" tanya Arsa langsung pada intinya, suaranya rendah dan serius.
Yura menatap sudut ruangan, gelisah. "Eh, tidak, Pak! Kan saya tadi sudah bilang, ini hanya permainan, bukan saya beneran suka sama Bapak!"
"Kemarilah," perintah Arsa dengan nada lembut dan mendominasi.
Yura berkedip beberapa kali, lalu perlahan menuruti instruksi Arsa untuk mendekat.
Arsa mendekatkan wajahnya, tersenyum kecil, dan berbisik di telinga kanan Yura. "Padahal, kalaupun kamu beneran suka sama saya, saya tidak apa-apa."
"Hmm, Pak. Tolong menjauh dari saya," Yura mendorong tubuh Arsa, wajahnya terasa panas.
Arsa menatap Yura dalam-dalam. "Kalau lagi berdua, jangan panggil saya dengan sebutan formal, Yura."
"Tapi, Pak. Eh, iya, Kak. Maaf," Yura menundukkan kepalanya, salah tingkah.
Tiba-tiba, Arsa menarik Yura, membawanya ke dalam pelukan yang erat.
"Ekh!" Yura terkejut, tubuhnya kaku dalam dekapan Arsa.
"Kapan kamu mulai menyukai saya, Yura? Kita sudah satu tahun menikah, tapi kamu masih belum membalas perasaan saya hingga detik ini." Arsa mengeratkan pelukannya, suaranya terdengar penuh harap dan kerinduan.
"Kak, dengarkan aku dulu!"
"Saya tahu pernikahan kita adalah hasil perjodohan yang tidak pernah kamu minta. Tapi, pernikahan ini murni dari hati saya. Saya sudah menyukaimu sejak lama. Saya tidak ingin perasaan ini menjadi kotor jika kita lalui dengan berpacaran. Bagiku, kamu terlalu suci untuk dinodai, walau hanya dengan ucapan semata."
"Kak..." panggil Yura, suaranya melembut.
"Jadi, kapan kamu akan mempertimbangkan perasaanmu untuk saya?" Arsa melepaskan pelukannya, menatap Yura lekat-lekat, matanya penuh pengharapan.
Yura memutar matanya dengan kesal. "Kakak tidak dengar dari tadi saya memanggil Kakak? Kak, dengarkan aku dulu! Bukannya aku tidak suka pada Kakak! Tapi, bukan hanya perasaan suka saja yang harus dibangun dalam bahtera rumah tangga. Perasaan cinta dan kasih sayang itu yang paling utama!" Jelas Yura, kembali menatap Arsa.
"Bisa Kakak lepaskan tangan Kakak dari pinggangku dulu?"
Arsa menggelengkan kepala, menolak. Senyum tipis penuh kemenangan terukir di bibirnya, menikmati momen menahan Yura.
"Aku akan mengatakan sesuatu kepada Kakak," bujuk Yura, memasang wajah memelas. Mata Yura berkedip-kedip, berusaha meyakinkan Arsa.
Arsa akhirnya melepaskan tangannya, melipatnya di dada, menatap Yura yang kini terlihat gelisah. Meskipun melepaskan, tatapannya tetap mengunci Yura, seolah takut Yura akan menghilang.
Perlahan, Yura berjalan mundur, mengambil jarak dua langkah darinya, berdiri di belakang pintu, tangannya sudah siaga di gagang pintu, bersiap-siap untuk kabur.
Yura berbalik, menatap Arsa dengan senyum lembut dan tulus. Raut wajah tegang Yura perlahan melunak digantikan pancaran mata yang hangat. "Asal Kakak tahu, aku sudah menyukai Kakak sejak kita masih kecil." Senyumnya semakin manis.
"Jadi, untuk apa aku masih mempertahankan rumah tangga ini kalau aku tidak ada perasaan sama Kakak? Aku hanya bisa mengucapkan rasa cintaku padamu lewat setiap do'a ku saja, kalau Kakak mau tahu itu."
Yura menarik napas terakhir, mengumpulkan seluruh keberaniannya. Ekspresinya berubah menjadi lebih serius. "Mungkin aku belum pernah mengatakan ini sama Kakak. Tolong dengarkan baik-baik," perintah Yura kepada suaminya, Arsaka Bintang.
"Aku mencintaimu, Arsaka!"
Yura melihat mata Arsa melebar karena terkejut sekaligus bahagia. Ia menatap Arsa, tersenyum bahagia, lalu memutar gagang pintu dengan cepat, melesat keluar dari ruangan Arsa.
"Saya pamit, ya, Pak! Bye, Pak Arsa!" teriak Yura dari luar ruangan, suaranya menggema di koridor yang sepi, lalu berlari menjauhi ruang dosen dengan langkah ringan dan senyum kemenangan.
Di dalam ruangan, Arsa masih berdiri mematung. Tiba-tiba, tawa lepas Arsa meledak, bercampur dengan haru. Air mata bahagia perlahan menetes di pipinya. Perasaan yang ia pertahankan, penantian panjangnya, akhirnya terbalas dengan cara yang tidak disangka-sangka.
Arsa menatap ke arah pintu yang barusan dilewati Yura, senyum menawan terukir di bibirnya. "Kamu memang misterius dan pandai menyimpan rahasia hati, Yura."
"Terima kasih. Aku mencintaimu juga, Yura Arbani Zummy," ucap Arsa, membalas pernyataan cinta Yura dalam bisikan penuh kelegaan dan kebahagiaan.