Disukai
1
Dilihat
5
Pelabuhan Terakhir Amaryllis
Romantis

Begitu pintu dibuka, suara lonceng perunggu berdenting nyaring. Seketika, kebisingan jalanan menghilang, berganti dengan suasana toko yang tenang dan hangat. Udara sejuk di dalam ruangan langsung terasa, membawa aroma wangi dari bunga hydrangea biru dan ungu yang mekar rimbun di sudut ruangan.

Sinar matahari pagi menembus jendela kaca yang berembun, menyinari tetesan air di kelopak mawar merah. Di rak-rak kayu, barisan lili putih dan tulip tersusun rapi, tampak segar dan megah. Di sela-selanya, butiran baby’s breath putih bergoyang lembut setiap kali angin berembus dari pintu yang terbuka.

Setiap orang yang masuk otomatis melambatkan langkah, terbuai perpaduan aroma bunga segar dan wangi manis kue yang baru matang. Di tengah ruangan, cahaya lampu kristal memberikan suasana hangat yang menenangkan. Beberapa pelanggan tampak bersantai menyesap kopi dan menikmati cemilan kue sambil menunggu buket mereka dirangkai di atas meja kayu bertuliskan "Cake & Calla".

"Selamat pagi, Rylli," sapa seorang pemuda yang baru saja muncul di depan meja kasir. Ia memutar topinya ke belakang, lalu menyandarkan satu siku di atas meja kayu cokelat dengan gaya santai.

Rylli menoleh sambil meletakkan gunting bunganya. Ia menyelipkan anak rambut yang sempat menutupi wajah ke belakang telinga, lalu tersenyum lebar begitu menyadari siapa yang datang menyapanya.

​"Good morning, Will. Selamat datang di Cake & Calla," sapa Rylli dengan senyum tulus yang terasa sehangat matahari pagi.

"Ada yang bisa kubantu, Li?" tanya Willy ramah.

Rylli tampak berpikir sejenak sambil menatap deretan tanaman rambat di dinding. "Ada. Bisakah kamu tolong kirimkan buket ke kediaman Nyonya Helena?"

Willy tersenyum semringah. "Tentu saja! Mana bunga yang harus kubawa?" Ia menadahkan kedua tangan dengan antusias.

Rylli mengangkat sebuah keranjang rotan dari balik meja. Di dalamnya, rangkaian tulip dan mawar merah muda tampak berkilau terkena cahaya lampu karena sisa air yang masih membasahi kelopaknya. Sebagai sentuhan akhir, sebuah serbet motif kotak-kotak tersampir cantik di sisi keranjang.

​"Wow, it’s beautiful, Rylli. Karya-karyamu memang tidak pernah gagal," puji Willy tulus.

Pipi Rylli merona merah. Untuk menutupi rasa malunya, ia segera mendorong pelan keranjang bunga itu ke arah Will. Will menyambutnya dengan sigap, menopang bagian bawah keranjang agar tetap seimbang. Ia kemudian berbalik dan berjalan hati-hati menuju pintu, memastikan rangkaian cantik itu tidak rusak sedikit pun.

Sepeninggal Willy, Rylli melangkah ke halaman belakang yang berbatasan langsung dengan aliran air jernih. Di sana, perahu-perahu kecil meluncur tenang di bawah jembatan kayu melengkung yang menghubungkan rumahnya dengan jalan setapak desa. Beberapa turis di atas kano melambaikan tangan, yang dibalas Rylli dengan hangat. Sesekali, ia membungkuk di tepi dermaga kecilnya untuk memberikan setangkai mawar atau tulip kepada mereka yang melintas—membagikan sepotong kebahagiaan di tengah ketenangan desa tanpa jalan raya itu.

Namun, baru saja Rylli melangkah masuk kembali ke dalam toko, langkahnya terhenti oleh suara lonceng pintu yang kembali berdenting. Seketika, suasana toko yang tadinya hangat mendadak terasa kaku. Ada sesuatu yang berbeda dari kehadiran sosok yang baru saja menginjakkan kaki di sana.

Di ambang pintu, seorang pria berdiri tegak dengan setelan jas hitam pekat yang tampak mencolok di antara warna-warni bunga. Ia melepaskan kacamata hitamnya, memperlihatkan sorot mata biru safir yang tajam dan sedingin es. Tanpa sepatah kata pun, pria itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan sebelum akhirnya mengunci tatapan tepat pada Rylli.

"Selamat datang di Cake & Calla," ucap Rylli. Ia berusaha tetap sopan, meski batinnya mendadak gelisah saat menyadari betapa kuat aura yang terpancar dari pria itu.

Laki-laki itu bergeming, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan sementara tatapannya menilai Rylli dari ujung rambut hingga ujung kaki. Detik berikutnya, ia melangkah maju. Ketukan sepatu pantofelnya di atas lantai kayu terdengar tegas dan menggema, membuat suasana toko yang hangat mendadak terasa mencekam.

​"Siapa kamu?" tanyanya dengan suara bariton yang berat dan dalam.

​Rylli mengernyitkan dahi, mencoba mencerna pertanyaan yang terasa ganjil itu. "Maksud Anda?"

Pria itu terus melangkah mendekat, membuat Rylli terpaksa mundur hingga langkahnya terhenti. Tanpa sadar, punggungnya membentur dinding di belakang meja kasir. Ia kini terpojok, tak mampu mengalihkan pandangan dari mata biru safir yang seolah mengunci seluruh keberadaannya.

​"Siapa kamu?" tanyanya lagi. Kali ini suaranya jauh lebih rendah dan penuh penekanan,seolah keberadaan Rylli di toko itu adalah sesuatu yang mencurigakan baginya.

"Aku..." Rylli tercekat, napasnya tertahan. "Amaryllis Diandra Sky."

Belum sempat pria itu bereaksi, sebuah hantaman keras dari tas tangan berbahan kulit tebal mendarat telak di punggung tegapnya. Ia tersentak, bahunya merosot saat ringisan sakit lolos dari bibirnya. Dengan gerakan refleks, ia berputar menjauhi Rylli sambil mengusap punggungnya, menunjukkan ekspresi terkejut sekaligus geram.

​"Apa Nenek pernah mengajarimu untuk menindas perempuan, Ethan Sylvan Howard?" Suara lembut dan penuh wibawa itu memecah ketegangan.

​"Nenek?" Ethan terperangah. Amarah di wajahnya seketika luntur saat melihat Nyonya Helena sudah berdiri di sana, kembali mencengkeram erat tas tangannya dengan posisi siap mengayunkannya lagi.

Ethan mendengus kesal sambil mengusap bahunya yang masih terasa panas. Dengan wajah masam, ia menarik ujung jas hitamnya agar kembali rapi, mencoba mengembalikan harga dirinya yang baru saja jatuh di depan Rylli.

"Aku cuma bertanya siapa dia, Nek," gumam Ethan membela diri.

Nyonya Helena tidak menghiraukan pembelaan itu. Ia segera menghampiri Rylli, menatap wajah gadis itu dengan cemas untuk memastikan tidak ada luka sedikit pun. Rylli hanya bisa mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan jemarinya yang masih gemetar di balik meja.

​"Benar, Nyonya Helena. Dia... dia hanya bertanya siapa saya," sahut Rylli pelan. Suaranya sedikit bergetar, dan ia sesekali melirik Ethan dengan tatapan waswas.

​"Tetap saja caramu tidak sopan!" tegur Nyonya Helena tajam. Tanpa aba-aba, ia langsung menyambar lengan jas Ethan dan menariknya dengan kuat. "Ikut aku, bocah nakal! Kamu harus belajar kembali cara bicara yang benar."

​Ethan tersentak, namun ia hanya bisa pasrah saat neneknya menyeretnya paksa menuju meja kecil di pojok ruangan. Rylli berdiri mematung di tempatnya, akhirnya bisa mengembuskan napas lega setelah aura mencekam dari pria itu menjauh.

Sudah sebulan ini Ethan hanya berdiam diri di sudut ruangan itu. Ia duduk tegak dengan kaki bersilang, mengamati setiap gerak-gerik Rylli dengan tatapan yang tetap tajam. Awalnya, Rylli merasa sangat tertekan hingga jemarinya sering gemetar saat merangkai bunga, namun lama-kelamaan ia mulai terbiasa. Rylli memilih untuk tidak peduli, menganggap pria itu tak lebih dari "hantu" yang menjadi bagian dari dekorasi tokonya—selalu ada, namun tak perlu disapa.

​Di tengah kesibukan Rylli yang sedang memangkas duri mawar, Ethan tiba-tiba berdiri. Suara decit kursi kayu di lantai terdengar nyaring sebelum pria itu melangkah mendekat. Ia berdiri tepat di depan meja kerja Rylli, terdiam beberapa detik sebelum akhirnya membuka suara.

​"Tolong buatkan buket untuk Ibuku," ucapnya dengan tajam da dingi

Rylli mengerjapkan matanya beberapa kali, sedikit terperanjat mendengar Ethan akhirnya berbicara setelah sekian lama membisu. Setelah berhasil menguasai diri, ia mulai bekerja dengan gerakan cepat dan cekatan. Rylli mengambil bunga-bunga kesukaan mendiang Nyonya Amelie—informasi yang pernah ia dapatkan secara rahasia dari Nyonya Helena.

Ia merangkai beberapa mawar merah tua yang merekah sempurna, memadukannya dengan krisan putih dan beberapa tangkai lili yang aromanya seketika memenuhi ruangan. Sebagai sentuhan akhir, Rylli mengikat buket itu dengan pita satin berwarna biru tua. Setelah memastikan semuanya sempurna, ia menyerahkan buket tersebut dengan kedua tangannya secara hati-hati.

Ethan menerima buket itu. Ia terdiam cukup lama, membiarkan keheningan kembali menyelimuti mereka. Jemarinya yang kokoh bergerak perlahan, mengusap lembut kelopak mawar di tangannya dengan lembut. Setelah beberapa saat, ia mendongak, beralih menatap lekat mata Rylli dengan sorot yang kini sulit diartikan.

​"Apakah kamu ada waktu luang hari ini?" tanya sedikit lembut

​Rylli seketika menghentikan kegiatannya. Ia mendongak, menatap Ethan dengan dahi sedikit berkerut karena heran. "Kenapa?" tanyanya balik, suaranya nyaris berupa bisikan karena ia masih berusaha mencerna perubahan sikap pria di hadapannya.

​"Bisakah kamu menemaniku ke pemakaman Begraafplaats?"

​Rylli mengernyit, rasa heran kini sepenuhnya terlihat jelas wajahnya. "Bukankah pemakaman itu cukup dekat dari sini? Hanya butuh tujuh menit berjalan kaki," sahutnya polos. "Kenapa Anda butuh ditemani?"

​Ethan menunduk sebentar, mengembuskan napas panjang. "Aku ingin ke sana menggunakan sepeda," jelasnya pelan. Ia mengangkat buket bunga itu sedikit lebih tinggi ke arah Rylli. "Kalau aku yang mengayuh, siapa yang akan menjaga bunga ini agar tidak rusak?"

Rylli terdiam lama, menimbang-nimbang sebelum akhirnya mengembuskan napas menyerah. Ia melepas celemeknya, melangkah keluar, dan mengunci pintu toko.

​Ethan berjalan menuju sepeda tua yang tersandar di dekat toko, lalu menaikinya. Ia menunggu Rylli duduk di bangku belakang sebelum mulai mengayuh pedal dengan perlahan. Rylli duduk menyamping, kedua tangannya memeluk erat buket bunga mawar dan lili itu agar tidak rusak terpaan angin. Di sepanjang jalan setapak Giethoorn, mereka hanya terdiam. Suara derit sepeda dan gesekan ban pada jalanan berbatu menjadi satu-satunya musik di antara mereka, membiarkan sapaan ramah warga desa berlalu begitu saja.

​Setibanya di pemakaman, Ethan berjalan lebih dulu, memimpin langkah di antara barisan nisan. Langkah sepatunya terhenti tepat di depan sebuah batu nisan yang terawat rapi, bertuliskan nama Amelie Howard.

​Selama beberapa saat, suasana di sekitar mereka menjadi sangat sunyi, hanya menyisakan suara gesekan daun yang tertiup angin. Ethan perlahan berlutut. Ia meletakkan buket bunga itu dengan sangat hati-hati di atas pusara, lalu jemarinya bergerak lembut mengusap permukaan nisan yang dingin—seolah-olah ia sedang membelai wajah ibunya. Rylli hanya berdiri mematung beberapa langkah di belakang, menjaga jarak dengan sopan demi memberikan ruang bagi Ethan untuk melepas rindu.

​Setelah selesai, mereka memutuskan untuk pulang. Namun, kali ini Ethan tidak lagi menaiki sepedanya. Ia memilih untuk menuntun sepeda tua itu, berjalan beriringan dengan Rylli menyusuri jalan setapak di bawah naungan pohon-pohon besar yang rimbun.

​Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Hanya suara gesekan ban sepeda pada kerikil dan deru angin tipis yang menemani langkah mereka. Keheningan itu terasa begitu berat dan canggung, seolah ada ribuan kata yang menggantung di udara namun tertahan di pangkal tenggorokan—terlalu rapuh untuk diucapkan, namun terlalu nyata untuk diabaikan.

​"Sepertinya aku pernah bertemu denganmu sebelumnya," ucap Ethan tiba-tiba, memecah kesunyian yang sejak tadi membeku.

​Rylli menghentikan langkahnya secara mendadak, membuat Ethan pun ikut terhenti. "Benarkah?" tanya Rylli, suaranya terdengar sedikit waswas sekaligus penasaran.

​Ethan mengangguk pelan, namun tatapannya tetap lurus menatap jalanan di depan, seolah sedang memutar kembali memori di kepalanya. "Tapi, aku tidak ingat di mana tepatnya," jelasnya datar, ada nada frustasi disana.

​Setibanya mereka di sana, Rylli langsung melesat ke dapur untuk mengaduk adonan kue. Sementara itu, Ethan tetap berada di ruang tengah. Ia melangkah perlahan, menyisir setiap sudut bangunan yang dulu dirancang sang ibu sebagai tempat peristirahatan impiannya. Bagi Ethan, setiap furnitur dan hiasan di sana bukan sekadar dekorasi—mereka adalah saksi bisu kebahagiaan mendiang ibunya yang kini justru membuat dadanya terasa sesak.

Langkah kaki Ethan terhenti tepat di depan sebuah bingkai besar yang menghiasi dinding ruang tengah. Di dalamnya, bukan sekadar hiasan, melainkan sebuah peta Yunani yang terbentang dengan lingkaran merah di beberapa titik—Athena, Santorini, Mykonos, dan Kreta. Di sekeliling peta itu, berjejer berbagai foto candid Rylli yang sedang tersenyum lepas ke arah kamera. Di bagian atas, sebuah tulisan tangan yang rapi merangkai judul: "Solo Traveling Amaryllis".

​Mata Ethan perlahan menelusuri deretan foto itu hingga berhenti pada satu potret di sudut kanan bawah. Foto itu memperlihatkan Rylli yang sedang berdiri di tepi pantai Santorini. Ia mengenakan gaun tipis yang melambai ditiup angin laut, dengan latar belakang ombak dan langit yang mulai menguning.

​Tiba-tiba, jantung Ethan terasa berhenti berdetak. Pemandangan di foto itu—gaun itu, suasana pantainya—seketika membuka paksa ingatan yang selama ini ia lupakan. Bagai kilatan cahaya yang mendadak muncul, potongan-potongan kejadian di pantai Santorini setahun lalu kembali berputar di kepalanya. Kini ia ingat segalanya. Ia tahu persis di mana mereka bertemu.

Flashback

Setahun yang lalu, Ethan sedang menyusuri bibir pantai Santorini. Mengenakan kaus putih santai dan kacamata hitam, ia mencoba membuang sisa-sisa penat setelah rapat bisnis yang melelahkan di Athena. Langkahnya terhenti saat ia melihat seorang wanita sedang berlari mengejar ombak sambil tertawa lepas. Suara tawa itu terdengar begitu tulus, dan cara rambutnya berkibar bebas membuat Ethan tanpa sadar menarik sudut bibirnya.

​Namun, suasana berubah dalam sekejap. Tawa jernih itu mendadak pecah menjadi isak tangis yang memilukan. Wanita itu jatuh terduduk di atas pasir, bahunya terguncang hebat. Ia meraung pelan, seolah seluruh beban dunia baru saja dijatuhkan ke pundaknya dan ia tidak lagi sanggup menahannya.

​"Aku minta maaf, Sayang... maaf karena aku tidak bisa menjagamu dengan baik," ucap wanita itu lirih. Ia memeluk perutnya yang datar dengan kedua tangan yang bergetar hebat, seolah sedang mendekap sesuatu yang telah hilang.

​Ethan berdiri mematung beberapa langkah di belakangnya. Ia bisa merasakan kepedihan yang luar biasa merambat dari suara itu, menyayat hatinya sendiri. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan tanpa niat mengusik privasi wanita yang sedang hancur itu, Ethan melangkah maju. Ia menyampirkan mantel panjang miliknya ke bahu ringkih sang wanita, memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya angin pantai, lalu beranjak pergi begitu saja tanpa menoleh lagi.

Napas Ethan memburu. Dengan gerakan cepat, ia melangkah ke dapur dan menyibakkan tirai pembatas dengan kasar. Ia langsung memegang kedua bahu Rylli dan memutar tubuh gadis itu agar menghadapnya. Rylli tersentak kaget, hingga sendok adonan di tangannya hampir terjatuh.

​"Apakah sekarang kamu sudah baik-baik saja?" tanya Ethan dengan suara serak. Tatapannya tidak lagi dingin, melainkan penuh dengan rasa khawatir yang mendalam.

​Rylli kebingungan. Ia menatap mata biru Ethan yang tampak bergetar. "Apa maksud Anda? Saya tidak mengerti," jawabnya terbata-bata.

​Tanpa penjelasan apa pun, Ethan menarik Rylli ke dalam pelukannya. Ia memeluk gadis itu dengan sangat erat dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Rylli, seolah takut gadis itu akan menghilang lagi. Rylli hanya bisa terdiam mematung. Ia bisa merasakan detak jantung Ethan yang berdetak sangat kencang dan kehangatan tubuh pria itu yang mendekapnya tiba-tiba.

Semenjak kejadian di dapur hari itu, Ethan seolah enggan menjauh. Hubungan mereka tumbuh menjadi sesuatu yang lebih hangat dan intens. Rylli sempat berulang kali mencoba membangun benteng pertahanan; ia sadar dirinya hanyalah gadis biasa dengan sejuta luka masa lalu, sementara Ethan adalah sosok yang terasa terlalu sempurna untuknya. Namun, seberapa keras pun Rylli mencoba menjauh, Ethan selalu kembali—membawa kehangatan yang perlahan-lahan meruntuhkan dinding ketakutan di hati Rylli.

​Perlahan, benih rasa itu mulai tumbuh. Rylli tak lagi menepis debaran yang muncul setiap kali Ethan berada di dekatnya. Suasana toko bunga yang dulunya sunyi, kini sering kali diwarnai oleh tawa mereka di sela-sela obrolan santai.

​Ethan pun seolah kehilangan alasan untuk pulang dan lebih memilih menghabiskan waktu di sana. Bahkan saat Rylli sedang sibuk di dapur, Ethan tak ragu untuk ikut campur. Dengan lengan kemeja yang digulung rapi, ia sengaja "merecoki" Rylli yang sedang menguleni adonan kue. Meski dalihnya adalah membantu, Rylli tahu itu hanyalah siasat Ethan agar bisa terus berada di dekatnya tanpa jeda sedikit pun.

Namun, kebahagiaan itu seketika terhenti saat tirai dapur disibak dengan kasar. Seorang pria paruh baya dengan setelan jas formal berdiri tegak di ambang pintu. Tatapannya tajam dan dingin, membawa suasana begitu dingin yang langsung membungkam tawa di ruangan itu. Kehadirannya yang sangat berwibawa menegaskan jati dirinya sebagai sosok yang tak biasa.

​"Ethan," panggilnya dengan suara berat yang menggetarkan udara.

​Ethan terpaku, wajahnya memucat seketika saat mengenali sosok itu. "Ayah," bisiknya dengan nada yang bergetar.

​Rylli yang berada di sampingnya refleks menundukkan kepala, merasakan tekanan yang luar biasa dari kehadiran pria tersebut. Tanpa membuang waktu untuk berbasa-basi, sang ayah memberikan isyarat dingin dengan kepalanya.

​"Ikuti aku," perintahnya dengan nada yang tak terbantahkan, lalu ia berbalik pergi tanpa sekali pun menoleh ke arah Rylli.

Ethan menatap Rylli dengan sorot mata panik. Namun, dengan wajah berusaha menenangkan, Rylli menganggukkan kepalanya seolah mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Melihat itu, Ethan menepuk puncak kepala Rylli dengan sayang, lalu mengikuti langkah kaki ayahnya.

Semenjak kedatangan ayahnya, sudah seminggu Ethan tidak muncul. Setiap kali lonceng pintu berdenting, Rylli menoleh cepat dengan binar harapan di matanya. Namun, harapannya pupus saat melihat Nyonya Helena yang melangkah masuk, bukan Ethan. Rylli sempat tertegun dengan raut kecewa yang tak bisa disembunyikan, sebelum akhirnya ia memaksakan sebuah senyum tipis untuk menyambut wanita tua itu.

​"Bolehkah aku bicara sebentar, Nak?" tanya Helena lembut.

​Rylli terdiam sejenak, seolah sudah tahu apa yang akan mereka bahas. Ia mengangguk pelan, lalu menyiapkan teh hangat dan beberapa potong kue keju untuk Nyonya Helena. Setelah itu, ia duduk dengan tenang di hadapan wanita itu.

​"Nak," Helena memulai, "apakah kamu mencintai cucuku, Ethan?"

​Rylli terpaku, matanya menatap uap teh yang mengepul. Sebelum ia sempat menjawab, Helena meraih tangan mungil Rylli dan menggenggamnya erat. "Jujurlah padaku. Apa kamu mencintainya?"

​Rylli menarik napas panjang, lalu mengangguk pelan.

​Helena tersenyum tipis, tapi matanya tidak bisa menyembunyikan rasa cemas. Ia menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan Rylli lebih erat, seolah ingin melindunginya dari badai yang akan datang.

​"Jika kalian memang saling mencintai, Nenek tidak akan melarang. Tapi Rylli, kamu harus tahu bahwa jalan di depanmu tidak akan mudah," ucap Helena dengan nada yang sangat serius.

​"Ethan adalah pewaris utama keluarga Howard di London. Di sana, nama Howard bukan sekadar nama keluarga, tapi simbol kekuasaan. Mereka tinggal di rumah-rumah besar yang dingin, di mana setiap gerak-gerik dipantau dan setiap keputusan harus demi menjaga kehormatan gelar. Bagi ayah Ethan dan orang-orang di lingkungannya, cinta adalah urutan kesekian. Bagi mereka, pernikahan adalah cara untuk memperkuat kekayaan dan menjaga martabat kasta mereka."

​Helena mengusap punggung tangan Rylli, tatapannya penuh rasa iba sekaligus kagum. ​"Banyak orang akan berusaha memisahkan kalian. Mereka akan memandangmu dengan sebelah mata, menganggap gadis pemilik toko bunga di desa kecil tidak akan pernah pantas bersanding dengan seorang Howard. Mereka akan menggunakan perbedaan status, kekayaan, bahkan prinsip hidupmu untuk membuatmu merasa kecil dan menyerah."

​Helena menatap Rylli dalam-dalam, memastikan gadis itu mendengar setiap katanya..​"Ayahnya menjemputnya karena ingin menarik Ethan kembali ke dunia yang kaku itu. Tapi Rylli, ingatlah satu hal: jangan pernah merasa rendah diri. Jangan biarkan kata-kata pedas mereka membuatmu goyah. Percayalah pada cucuku. Dia pergi untuk menghadapi ayahnya, untuk memperjuangkan tempatmu di sampingnya. Dia akan kembali menjemputmu, Rylli. Nenek yakin itu."

​Satu tahun berlalu tanpa kabar. Sore itu, Rylli berjalan menyusuri jalan setapak kecil yang membelah keheningan desa Giethoorn. Di sampingnya, aliran air yang jernih dan tenang memantulkan bayangan langit sore yang mulai menguning. Jalanan yang terbuat dari tatanan batu bata merah tua itu terasa lembap, dikelilingi rimbunnya pohon-pohon besar yang memberikan bayangan panjang dan dingin di atas permukaan air.

​Tidak ada suara mesin di sana, hanya suara air yang beriak pelan menabrak tepian sungai kecil itu dan gesekan dedaunan yang ditiup angin. Rylli mencoba mencari udara segar di antara rumah-rumah beratap jerami yang cantik, namun ketenangannya hancur seketika saat ponsel di sakunya berdering nyaring, memecah kesunyian desa.

​Tubuh Rylli seketika membeku saat melihat nama yang muncul di layar: Haris.

​"Mau apa kamu meneleponku lagi?" desis Rylli dengan suara bergetar karena amarah. "Jangan pernah hubungi aku! Apa kamu lupa betapa jahatnya kamu dulu? Kamu memukuliku sampai aku keguguran, Mas! Kamu bersenang-senang dengan wanita lain saat aku menderita! Dan sekarang kamu ingin kembali? Kamu gila, Haris!"

​Rylli mematikan sambungan telepon dengan tangan gemetar hebat. Ia merasa mual; amarah dan luka lama itu meledak seketika, menghancurkan kedamaian sore di pinggir aliran air itu. Tubuhnya ambruk, terduduk lemas di atas jalanan berbatu yang sepi di bawah naungan pohon tua. Tangisnya pecah meraung, dadanya terasa sesak karena trauma masa lalu yang kembali mencekik lehernya.

​Namun, di tengah isak tangisnya yang memilukan, sebuah aroma parfum maskulin—campuran kayu cendana dan kesegaran laut yang sangat ia kenali—tiba-tiba tercium. Belum sempat ia mendongak melihat siapa yang datang melintasi jembatan kayu di dekatnya, sebuah tangan kokoh tiba-tiba menarik tubuhnya ke dalam pelukan yang begitu hangat.

​"Sstt... Tidak apa-apa. Aku di sini," bisik suara berat yang sangat ia rindukan, meredam raungan tangis Rylli di balik dadanya yang bidang.

​Rylli tersentak. Ia mendongak dan menemukan wajah Ethan yang menatapnya dengan emosi yang sulit dijelaskan—tatapannya dipenuhi kerinduan yang sudah lama tertahan, sekaligus rasa iba yang sangat dalam saat melihat kerapuhan Rylli di depan matanya.

​Tanpa suara, Rylli langsung menenggelamkan wajah di dada pria itu, menumpahkan segala tangis rindu dan sisa ketakutan yang tadi sempat mencekiknya. Ethan terdiam, membiarkan kemejanya basah, sambil terus mengusap lembut kepala Rylli dan mendekapnya erat, seolah tak ingin membiarkan celah sedikit pun bagi gadis itu untuk menghilang lagi.

​Setelah Rylli sedikit tenang, Ethan menangkup wajah gadis itu dengan kedua telapak tangannya yang hangat dan kokoh. Ia menghapus sisa air mata di pipi Rylli menggunakan ibu jarinya, gerakannya begitu hati-hati seolah sedang menyentuh kelopak bunga yang paling rapuh.

​"Maafkan aku karena sudah membiarkanmu sendirian terlalu lama," ucap Ethan pelan, suaranya sarat dengan penyesalan. Ia ikut merunduk, berusaha mencari celah agar bisa melihat mata Rylli yang terus menghindar.

​"Mulai detik ini, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi, Dee. Aku tahu lukamu sangat dalam, tapi biarkan aku tetap di sini, menemanimu sampai kamu sembuh."

Rylli terdiam, bahunya masih naik-turun oleh sisa isak tangis. Ia menarik napas panjang, lalu perlahan menjauhkan tangan Ethan dari wajahnya, meski jemari mereka tetap bertautan erat.

Rylli terdiam, bahunya masih naik-turun karena sisa isak tangis yang belum sepenuhnya reda. Ia menarik napas panjang, lalu perlahan menjauhkan tangan Ethan dari wajahnya, meski ia tetap membiarkan jemari mereka bertautan erat seolah takut kehilangan.

​"Tapi Ethan..." Rylli berbisik ragu. Matanya beralih menatap riak air yang mengalir tenang, seolah mencari jawaban di sana. "Dunia kita berbeda. Status dan keyakinan ini... seperti tembok besar yang tetap berdiri tegak setinggi apa pun kita mencoba melompatinya."

​Rylli perlahan melepaskan kaitan jemari mereka, seolah sadar bahwa kehangatan itu bukan miliknya. Ia melangkah mundur, menciptakan jarak yang tiba-tiba terasa begitu dingin di antara mereka. Sambil membelakangi Ethan, Rylli mendekap tubuhnya sendiri dengan erat.

​"Kamu adalah seorang Howard dari London, Ethan. Duniamu penuh aturan dan kemewahan yang bahkan tidak pernah ada dalam mimpiku," bisik Rylli, suaranya mulai bergetar.

​Ia menunduk, menatap jemarinya yang kasar karena bekerja di toko bunga. "Sedangkan aku? Aku hanya gadis yang melarikan diri dari Indonesia dengan membawa luka. Aku jauh dari rumah, tidak punya apa-apa, dan hanya berakhir di toko bunga kecil ini."

​Rylli menarik napas berat, seolah dadanya sesak. "Bahkan cara kita berdoa pun berbeda, Ethan. Sujudku tidak sama denganmu. Bagaimana mungkin ayahmu membiarkan orang asing sepertiku merusak nama besar keluarga kalian?"

​Mendengar itu, Ethan tidak membiarkan jarak di antara mereka semakin jauh. Ia melangkah cepat, meraih lembut pinggang Rylli dan memutar tubuh gadis itu agar kembali menghadapnya. Ia merapatkan jarak hingga ujung sepatu mereka bersentuhan, menghapus ruang yang ada hingga Rylli tidak punya pilihan selain menatapnya.

​"Lihat aku, Dee," tuntut Ethan serak. Ia meraih tangan Rylli, lalu menekannya kuat-kuat ke dadanya sendiri, tepat di mana jantungnya berdetak liar. "Rasakan ini. Apakah jantung ini berdetak mengikuti protokol London? Tidak. Ia berdetak untukmu."

​​"Lihat aku, Dee," bisik Ethan serak. Ia meraih tangan Rylli dan menahannya di dada, tepat di mana jantungnya berdebar liar. "Rasakan ini. Apakah jantung ini berdetak mengikuti aturan London? Tidak. Ia berdetak untukmu."

​Ethan merunduk, menempelkan keningnya pada kening Rylli hingga napas mereka menyatu. "Memang benar ayahku hanya peduli pada kasta dan nama besar, tapi setahun tanpamu telah menyadarkanku bahwa gelar Howard tidak ada artinya jika aku harus hidup tanpa nyawa. Dan nyawaku... ada padamu."

​Jari Ethan bergerak lembut, menyelipkan anak rambut Rylli ke belakang telinga dengan gerakan protektif. "Jangan jadikan Tuhanmu sebagai alasan kita berpisah, Dee. Justru ketaatanmu pada-Nya yang menyadarkanku bahwa ada kedamaian yang tidak bisa dibeli dengan uang."

​Ethan menatap Rylli dengan ketulusan yang murni. "Aku tidak akan memintamu berubah menjadi orang lain. Aku justru ingin belajar berdiri di sampingmu—mengenal siapa Tuhan yang kau puji, memahami setiap sujudmu, dan menjaga setiap prinsip yang kau genggam erat."

​Ia merendahkan suaranya, menekankan sebuah janji. "Aku hanya ingin kita berjalan beriringan. Aku yang akan menjagamu, dan memastikan tidak ada satu orang pun yang berani memandangmu sebelah mata."

Ia meraih tangan Dee, membawanya ke dadanya agar gadis itu bisa merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang.

​"Begitupun denganmu, Sayang... belajarlah untuk berdiri tegak di sampingku. Buang jauh rasa rendah dirimu. Karena keberanianmu mempertahankan jati diri dan ketangguhanmu dalam menghadapi luka adalah alasan kenapa aku begitu bangga memilikimu. Itu sudah lebih dari cukup untuk membuatmu setara denganku."

​Ethan menatapnya dalam, seolah ingin menanamkan keyakinan itu langsung ke hati Dee. "Berhentilah menunduk, karena aku butuh pasangan yang sanggup menggenggam tanganku dengan bangga. Di mataku, tidak ada wanita lain di semesta ini yang pantas menyandang gelar Mrs. Howard, selain dirimu."

​Ethan memberikan jeda, lalu ia mengecup punggung tangan Dee dengan penuh perasaan dan lembut, seolah sedang memberikan sumpah setianya kepada wanitanya.

​"Hanya kamu, Amaryllis Diandra Sky. Sesuai namamu... kamu adalah bunga paling tangguh yang tumbuh di bawah langit mana pun. Jangan lagi merasa kecil, karena hanya kamu yang sanggup membuat duniaku yang gelap kembali bercahaya."

​Di bawah pohon rimbun dengan kelopak bunga yang berguguran, Rylli memejamkan mata dalam damai. Segala luka dan lelahnya seakan luruh saat ia menyadari bahwa sejauh apa pun ia berlari, Ethan adalah tujuannya. Ia tak perlu lagi melakukan solo traveling panjang hanya untuk mencari jati diri atau arti keberadaannya di dunia ini. Sebab kini ia sadar, Ethan bukan lagi sekadar tempat singgah, melainkan pelabuhan terakhir tempat hati Amaryllis akhirnya berhenti mencari.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi