Disukai
0
Dilihat
17
Mereka Menyebutku 'Bodoh'
Slice of Life
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Lingkungan ini adalah lingkungan baru untukku, untuk keluarga ku. Satu tahun lalu aku pindah kesini sekeluarga berniat untuk merantau mencari peruntungan baru meninggalkan tanah kelahiran. Bukan hal mudah bagi kami untuk bisa sampai ke titik sekarang. Titik ikhlas. Menerima segala ketentuan Tuhan. Bahwa segala sesuatu sudah disuratkan takdir. Termasuk pindahnya kami ke daerah yang sama sekali tidak kami kenal sebelumnya ini.

Terkadang, aku merasa dewasa lebih cepat dalam segi pemikiran karena deretan pengalaman pahit yang kualami. Ketika itu, aku baru berusia lima belas. Cukup belia untuk dapat menerima kenyataan perubahan roda hidup yang tiba-tiba berputar begitu cepat. Membalikkan keadaan dalam satu malam. Jujur saja, bukan hal mudah untuk mampu menerima keadaan keluarga yang serba pas-pasan di tengah kehidupan remaja yang baru kutapaki. Ketika teman-teman lain bisa menikmati masa remaja dengan penuh kebahagiaan dilengkapi dengan berbagai fasilitas orang tua, aku harus berpuas diri untuk menahan berbagai keinginan. Saat teman-teman sebayaku bebas membeli berbagai makanan yang disuka, sedangkan aku harus merasa cukup dengan selembar uang lima ribu rupiah.

Bukan rahasia lagi, di lingkungan ini keluarga ku dikenal sebagai salah satu keluarga yang jauh dari kata berkecukupan. Tidak sedikit orang yang akhirnya memandang kami sekeluarga dengan sebelah mata. Banyak dari mereka yang meremehkan kemampuan orang tua ku untuk membahagiakan aku dan adik ku.

Beberapa saat setelah pindah ke lingkungan ini, mau tidak mau aku harus pindah sekolah. Karena kepindahan yang mendadak dan kurangnya informasi, aku sekeluarga tak tahu banyak tentang sekolah yang ada disini. Kami hanya berpikir, semua sekolah sama saja. Sama-sama bagus. Sehingga dari sekian banyak sekolah yang ada disini, aku memutuskan untuk memilih sekolah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Sehingga mudah dijangkau dengan ongkos yang lebih terjangkau pula. Sekolah ini bukan sekolah yang tergolong terbaik di lingkungan ini. Terdapat angka 2 di dalam nama sekolah ini mungkin menjadi salah satu sebab banyak orang yang tidak pernah melihat sekolah ini sebagai sekolah yang terbaik. Hanya karena bukan sekolah favorit, orang-orang memberi cap sekolah ini hanya pilihan kedua saja kalau ada murid yang tidak diterima di sekolah favorit yang dalam nama sekolahnya ada angka 1. Angka yang seolah menggambarkan keunggulan. Angka yang mampu menyedot minat siswa dari manapun.

"Wina tuh sekolahnya dimana?," tanya seorang tetangga suatu hari.

"Di SMP 2," jawab ku.

"Oh, kenapa ga di SMP 1? SMP 2 itu dikenal ga begitu bagus disini," timpal ia lagi. Beberapa saat aku dibuat termenung.

Pengalaman lain dialami ibu ku. Ketika itu ia ditanya salah satu temannya di tempat kerja mengenai dimana aku bersekolah. Ketika ibu ku memberi tahu bahwa aku sekolah di SMP 2, mereka kaget bukan kepalang.

"Aduh, sayang banget. Kenapa disitu sekolahnya? Sekolah itu terkenal dengan anak-anaknya yang kurang baik. Saya cuma khawatir nanti anak kamu kebawa-bawa lagi," begitu papar teman ibu ku ketika itu.

Seorang ibu dengan sedikit ilmu yang dimiliki dan rasa khawatir pada anaknya yang tak terkira besarnya, membuat ibu ku sampai berpikir untuk memindahkan ku ke sekolah lain. Namun, segera aku luruskan. Pandangan negatif itu tidak benar adanya. Buktinya, di sekolah yang katanya kurang baik ini aku bisa menemukan teman-teman yang bukan hanya baik, tapi cerdas dan yang terpenting, mengajak aku kepada kebaikan dan mengajarkan aku untuk terus berusaha lebih baik dalam hal apapun.

Aku meyakini, bahwa omongan tetangga yang mencibir tentang sekolah ku akan segera reda jika aku dan keluarga tidak menanggapi dengan serius. Benar saja. Ocehan mereka mulai reda dan hilang seiring dengan lelahnya mereka mengganggu kami tapi tak kami gubris sedikit pun. Kehidupan terasa sedikit lebih damai sejak itu. Ku jalani sisa waktu di SMP dengan tenang.

Saat menginjak kelas 3, aku mulai memikirkan akan kemana aku melanjutkan sekolah. Rata-rata teman ku berniat untuk melanjutkan ke SMA. Namun, karena dorongan keadaan keluarga, aku berpikir sebagai anak sulung, aku harus bisa segera membantu keluarga dengan cara bekerja. Untuk itu, aku memutuskan untuk lanjut ke SMK. Dengan harapan, di SMK aku bisa memiliki skill yang bisa memudahkan aku masuk ke dunia kerja dan menghasilkan uang yang pada akhirnya bisa digunakan membantu orang tua.

Mengetahui keputusan ku, respon beberapa guru cukup beragam. Ada yang mendukung saja. Tapi, ada juga yang menyayangkan.

"Nilai Wina cukup bagus, dan saya yakin Wina bisa tembus ke SMAN dengan nilai itu," begitu kata salah seorang guru.

Walaupun begitu, aku tetap pada pendirian ku. Di hati kecilku mungkin ada keinginan untuk masuk SMAN. Bisa masuk ke sekolah favorit di lingkungan ini tentu akan menjadi hal yang membahagiakan dan membanggakan. Setidaknya aku bisa membuktikan pada para tetangga ku, bahwa aku bisa masuk sekolah favorit. Akan tetapi, bagi ku, keluarga di atas segalanya. Bahkan di atas diriku sendiri. Aku lebih ingin segera bisa membantu kedua orang tua, daripada mengejar kebanggaan yang semu.

Akhirnya, sebelum aku benar-benar lulus dari SMP aku sudah mantap akan memilih dan memutuskan untuk lanjut ke SMK. Lagi-lagi aku memilih melanjutkan ke sekolah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah agar mudah dijangkau. Namun, sayangnya sekolah ini termasuk sekolah dengan kategori biaya yang mahal di lingkungan ini. Begitu tahu fakta itu, segera kuberi tahu orang tua. Alih-alih meminta ku mengurungkan niat untuk masuk kesana, yang ada ibuku bilang,

"Biar saja mahal. Kita punya Allah yang Maha Kaya. Kita minta saja pada-Nya. Yakin, pasti akan ada rezekinya," mendengar itu, aku hanya bisa terdiam dan menangis haru. Sebegitu yakin dan sungguh-sungguh orang tua ku untuk menyekolahkan anaknya di tengah keadaan yang tidak mudah.

Kukira, jika memilih sekolah yang mahal tidak akan mengundang komentar negatif dari tetangga, ternyata aku salah besar. Mereka tetap mencibir. Bahkan lebih parah. Aku ingat betul, waktu itu begitu mereka tahu aku melanjutkan ke SMK yang kupilih, mereka heran.

"Kenapa lanjut kesitu? Disitu kan dikit-dikit uang. Apa-apa harus bayar," begitu tanya salah seorang tetangga pada ibuku. Tak banyak bicara, ibuku hanya menimpal,

"Itu keinginan anak saya. Jadi masalah biaya, biar itu jadi urusan belakangan saja," ucap ibu ku dengan tenang.

"Padahal sekarang itu banyak sekolah yang gratis. Banyak SMK baru yang ngasih harga murah. Apalagi kalau di SMK yang onoh, buat siswa yang pinter, yang nilainya bagus, biaya daftarnya gratis," lanjut tetangga ku dengan ekspresi ajaibnya.

"Ah ngga, saya sih ngikutin kemauan anak saya aja. Saya percaya sama anak saya, saya percaya sama pilihan anak saya," balas ibu ku dengan senyum.

"Aduh, bodoh anak ibu itu. Bodoh memang. Ga ngeliat keadaan orang tua kayak gimana. Ini malah mau masuk sekolah mahal. Saya aja masukin anak saya ke sekolah yang biasa-biasa aja. Lagipula, sekolah itu yang penting dapet ijazah. Nanti setelah lulus bisa kerja. Gitu. Ngapain mahal-mahal. Sama aja ko, sama-sama SMK," cerocos tetangga ku yang semakin berapi-api. Namun, hebatnya ibu ku, beliau tidak emosi walau mendengar anaknya dibilang bodoh. Ibu ku hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa lagi.

Semula aku tak tahu menahu bahwa perkataan tetangga ku sekejam ini. Hingga ibu ku menceritakan semuanya pada ku. Tak banyak yang bisa kukatakan untuk menanggapi. Karena aku pun cukup kaget dengan pernyataan tetangga ku itu. Sampai ibu ku mengatakan hal yang membuatku terharu,

"Bisa-bisanya dia bilang anak mamah bodoh. Dia ga tau aja anak mamah itu pinter," begitu kurang lebih yang ibu ku katakan. Aku hanya diam dan menyembunyikan haru dibali senyuman.

"Jangan dimasukin hati ya omongan orang itu. Biarin aja. Kalau kata Alm. Aki, (sebutan Kakek dalam bahasa Sunda) hal yang kaya gitu anggap aja pupuk. Yang nantinya bisa menyuburkan kesabaran kita. Dan kalau kita terus berusaha, nanti buahnya adalah hasil kerja keras dan kesabaran kita," tambah ibu ku berusaha menenangkan ku.

"Nggak ko Mah, itu buka apa-apa buat aku. Jangan khawatir," balasku diakhiri dengan senyum.

Ibuku adalah sosok yang kuat. Bukan hanya bisa dilihat dari seberapa kemampuan beliau untuk terus bertahan dalam segala kondisi, tapi juga keahliannya dalam menguatkan orang lain, salah satunya aku. Di setiap titik rendah hidup, ibu ku selalu hadir menjadi penguat di tengah kondisi sulit dan penyejuk ketika keadaan sedang tidak baik.

Aku pernah mendengar, doa seorang ibu untuk anaknya adalah doa yang bisa langsung diijabah oleh Allah SWT. Dan Allah membuktikan itu di hidupku. Tempo hari ibu ku berkata, bahwa jika kita merasa perlu sesuatu, kita cukup meminta pada Allah yang Maha Kaya. Dan keraguan orang lain akan kemampuan orang tua ku dalam membiayai sekolah ku, ditepis begitu saja dengan kehendak Allah.

Menjelang lulus dari SMP, sekolah mengadakan acara perpisahan. Rencana di acara tersebut akan ada beberapa penampilan yang diantaranya penampilan vocal grup yang salah satu anggota terpilihnya adalah aku. Kami berlatih setiap hari demi bisa menampilkan yang terbaik di hari yang spesial nanti. Mengingat acara itu dilaksanakan di gedung, acara tersebut berbayar. Kendati demikian, aku optimis orang tua ku pasti bisa membayar sebesar 200 ribu rupiah itu.

Namun, ternyata perkiraan ku salah. Beberapa hari sebelum hari H, ibuku memastikan bahwa ia hanya memiliki uang yang jika dibayarkan baiya perpisahan, maka sisanya bahkan tidak akan cukup untuk membayar uang muka biaya pendaftaran ke SMK. Di tengah kondisi yang berat, akhirnya ibu ku memberi dua pilihan. Yakni, pilihan pertama, aku bisa ikut perpisahan tapi tidak bisa lanjut SMK, pilihan kedua, aku lanjut ke SMK tapi tidak bisa ikut perpisahan.

Kala itu, kedua pilihan ini menjadi sangat sulit. Hingga akhirnya, setelah dipikirkan berkali-kali dengan pertimbangan yang bisa dilakukan anak SMP, aku memilih pilihan kedua. Lebih baik aku kehilangan momen perpisahan SMP, daripada aku kehilangan kesempatan untuk melanjutkan sekolah.

Karena keputusannya begitu, aku memutuskan untuk membicarakan hal ini ke pelatih vokal grup yang merupakan salah satu guru di SMP. Dengan berat hati aku mengajukan untuk mengundurkan diri dari vokal grup tersebut. Kuutarakan penyebab kenapa aku tidak bisa ikut perpisahan. Alih-alih dimarahi karena aku mengundurkan diri di hari-hari menjelang acara, aku malah diberi kelonggaran untuk tidak membayar biaya perpisahan. Jadi, walau tidak membayar, aku tetap bisa ikut perpisahan. Dan uang orang tua ku bisa digunakan untuk membayar uang muka pendaftaran SMK. Sungguh suatu keajaiban yang tidak pernah terpikirkan atau bahkan terbersit di pikiran ku.

Keajaiban itu belum usai disitu. Setelah acara perpisahan, aku diajak berdiskusi dengan guru yang menjadi pelatih vokal grup. Di saat itu, karena mengetahui diriku dari keluarga yang memerlukan bantuan, aku ditawari bantuan biaya sekolah. Belakangan baru kuketahui bahwa ternyata pelatih vokal grup ku itu adalah salah satu pengurus sebuah komunitas di lingkungan ku yang dimana komunitas tersebut berfokus pada membantu anak-anak yang terkendala keuangan untuk bersekolah.

Dengan izin dan persetujuan orang tua, akhirnya aku resmi menjadi salah satu anak asuh dari komunitas tersebut. Dengan begitu, biaya sekolahku selama SMK dibiayai 100%. Orang tuaku hanya mengeluarkan biaya untuk keperluan lain saja seperti ongkos sehari-hari atau keperluan membeli buku. Tidak hanya itu, aku pun dibebaskan untuk memilih sekolah mana yang diinginkan. Meski begitu, aku tetap teguh pada pilihan pertama. Pilihan SMK yang mengundang cibiran tetangga ku tempo hari.

Usai mengetahui bahwa aku mendapat beasiswa, tidak ada satu pun dari tetangga yang dulu mencibir memberi selamat atau pun mengungkapkan rasa ikut bahagia dengan apa yang kuterima. Entah apa alasannya, yang penting saat ini aku bisa mewujudkan salah satu keinginan ku dan keinginan orang tua ku yakni melanjutkan sekolah ke SMK.

Semula kukira, jika memilih untuk melanjutkan sekolah, maka keadaan ekonomi keluarga ku akan memburuk akibat biaya yang harus dikeluarkan. Namun, ternyata tebakanku salah. Alih-alih menjadi lebih sulit, malah sebaliknya, kehidupan keluarga ku menjadi semakin membaik. Orang tua ku mendapat pekerjaan yang lebih baik, sehingga pendapatan pun menjadi lebih stabil dari sebelumnya.

Dua tahun pertama di SMK kujalani begitu saja. Waktu terasa begitu cepat dan singkat kulalui bersama sahabat-sahabat, dipenuhi kebahagiaan walau datangnya dari hal sederhana. Kehidupan baru yang menyenangkan sekaligus banyak tantangan kulalui tanpa banyak drama. Hingga aku mulai memasuki kelas 3, diriku mulai dibuat bimbang antara langsung bekerja setelah lulus nanti, atau melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Sejak awal, aku berniat untuk langsung bekerja usai lulus. Tapi, tiba-tiba terbersit pikiran untuk kuliah setelah diberi motivasi dan didorong oleh guru sewaktu SMP, orang yang sama dengan yang melatih vocal grup dulu. Beliau menyayangkan jika aku akan langsung bekerja. Di tengah tantangan dunia kerja yang semakin hari semakin ketat saja. Semula ku tolak mentah-mentah. Bagiku, kuliah tidaklah semudah itu. Kuliah hanya mimpi yang entah akan bisa tercapai atau tidak dengan keadaan ekonomi keluarga yang hanya sampai tingkat cukup.

Beberapa waktu berpikir, akhirnya aku memutuskan untuk lanjut ke bangku perguruan tinggi. Keputusan ini tidak dibuat begitu saja. Segala pertimbangan dan semua kemungkinan sudah kupikirkan matang-matang tak lupa meminta pendapat beberapa pihak termasuk kedua orang tuaku. Terlebih ada peluang bagiku untuk mendapat beasiswa dari pemerintah yang nantinya akan sangat membantu pembiayaan selama kuliah. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri melalui SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi). Beberapa bulan sebelum tes dilakukan, aku baru mempersiapkan diri dengan mempelajari banyak hal. Banyak pelajaran yang tidak ku pelajari di sekolah mengingat aku bersekolah di SMK. Yang notabene sebagian besar materi yang diajarkan adalah materi tentang kejuruan. Waktu itu aku mengambil jurusan RPL (Rekayasa Perangkat Lunak) dimana aku lebih banyak belajar mengenai pemrograman dan berbagai hal mengenai komputer.

Usai ujian nasional di pertengahan 2019, nyaris semua siswa sudah menentukan langkah selanjutnya jika lulus nanti. Termasuk aku. Nyaris semua temanku sudah tahu bahwa aku akan lanjut kuliah. Bukan hanya teman, tapi juga tetangga ku.

Ketika para tetangga tahu aku akan kuliah, mereka langsung bereaksi. Di lingkungan ku, kuliah adalah hal yang cukup langka. Orang yang bisa melakukannya hanya mereka yang berasa dari keluarga yang berkecukupan. Sisanya, atau sebagian besar dari anak-anak seusiaku lebih memilih langsung kerja usai lulus SMK. Begitulah biasanya disini. Menanggapi pilihan ku untuk lanjut kuliah, kebanyakan dari tetangga kembali meragukan kemampuan orang tua ku untuk membiayai kuliah yang sudah pasti tidak murah. Nyaris sama seperti keraguan mereka ketika aku hendak lanjut ke SMK dulu. Tapi, lagi-lagi ibuku tidak menanggapi berlebihan. Beliau hanya tersenyum dan menanggapi sekenanya saja.

"Bukannya bantuin orang tua, malah ngebebanin orang tua. Kuliah itu mahal loh," hardik salah satu tetangga ke ibu ku suatu hari.

"Saya yakin pasti ada rezekinya. Tiap anak-anak kan bawa rezekinya masing-masing," timpal ibu ku tenang.

"Ih saya kasih tau ya. Disini juga sebenernya banyak yang kuliah. Tapi, kebanyakan ga selesai," tambah wanita paruh baya itu.

"Gak selesai gimana maksudnya?," tanya ibu ku tidak mengerti.

"Ya gak selesai, ga sampe lulus. Semuanya berhenti di tengah jalan dan lebih milih kerja. Lagian kalau kerja lebih jelas untungnya, dapet uang, bisa bantu orang tua. Nah kuliah, belum tentu loh," kata wanita itu lagi semakin mengecilkan harapan ibu ku.

"Ah kalau saya berdoa aja sama Allah, biar lancar sampai nanti lulus, mbak," balas ibu ku.

Beruntung ibuku tidak mudah terpengaruh dengan apa kata orang. Sehingga mau seburuk apapun apa yang dikatakan orang lain, sekuat apapun perkataan orang untuk mempengaruhi, ibu ku tetap pada pendiriannya. Syukur yang sangat besar ku rasakan karenamemiliki ibu yang memiliki prinsip dan mengajarkan aku untuk memiliki prinsip pula.

Bukan hanya itu, banyak juga keraguan yang datang padaku. Tidak sedikit yang meragukan aku benar-benar kuliah. Bahkan ada yang dengan gamblang bilang bahwa mereka mengira setiap hari aku pergi bekerja, bukan kuliah. Sebegitunya mereka tidak percaya seorang anak dari orang tua yang sangat sederhana mampu untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Bukan satu atau dua orang yang selalu bertanya tiap pagi padaku untuk memastikan. Awalnya aku cukup risih dengan pertanyaan yang dialamatkan pada ku, yang mana pertanyaannya senada, yakni pertanyaan untuk menjawab keraguan mereka apakah aku benar-benar kuliah atau tidak.

Ada juga yang percaya aku kuliah, tapi berpikir bahwa aku kuliah sambil bekerja untuk membiayai kuliah ku sendiri. Tapi segera kutampik, karena bukan begitu adanya.

"Kuliahnya sambil kerja ya, Neng?," tanya seorang teman bapakku.

"Ngga Pak, kebetulan saya kuliahnya reguler," jawab ku seadanya.

"Oh dikira sambil kerja. Soalnya yang lain kuliahnya sambil kerja, jadi bisa biayain sendiri kuliahnya," lanjutnya.

"Hehe ngga Pak, kebetulan saya beasiswa full. Jadi semuanya gratis," balas ku.

"Gratis? Wah bisa gitu ya?," timpalnya.

Komentar buruk dan keraguan tidak hanya berhenti di awal ketika akan masuk kuliah. Komentar lebih pedas kembali terdengar ketika aku di pertengahan kuliah. Aku tidak yakin, apakah itu ketika aku semester empat atau lima. Ketika itu ada salah seorang tetangga yang bertanya pada ibu ku.

"Bu, anaknya masih kuliah?," tanya seorang wanita yang kurang lebih sebaya dengan ibu ku.

"Alhamdulillah masih, Bu," jawab ibu ku.

"Oh masih ya. Tapi ya, percuma sekolah tinggi-tinggi juga, kalau ujung-ujungnya tetep aja susah cari kerja. Banyak tuh kasus sarjana yang tetep aja jadi pengangguran," cerocos orang itu tiba-tiba.

"Iya, apalagi kalau ga sekolah tinggi Bu," balas ibu dengan sedikit kesal.

Begitulah faktanya menjadi berbeda di sauatu lingkungan. Memilih pilihan yang lain dari yang lain menciptakan keanehan. Karena masih banyak orang yang alergi dengan perbedaan. Siapapun yang berbeda, apapun bentuknya, selalu dianggap salah atau aneh. Dan bagi yang menempuh jalan yang berbeda harus siap dengan respon orang lain yang di luar dugaan. Harus siap dipandang melawan arus dan diragukan keberhasilannya. Padahal, berbeda tidak selalu salah. Tidak sama bukan berarti aneh.

Kendati demikian, tidak semua tetangga ku memandang negatif pada ku. Ada juga yang mendukung dan berharap yang terbaik untuk ku dan masa depan ku. Ingat betul, salah satu tetangga pernah bertanya mengenai kuliah ku. Setelah ku jawab, ia mengatakan kalimat yang nyaris tidak ku percaya keluar dari mulutnya.

"Semua ini perjuangan, Neng. Semoga nanti Neng bisa berhasil dan sukses. Mengangkat derajat orang tua dan keluarga," begitu kata beliau.

"Aamiin, terima kasih Pak," timpalku singkat.

Segala pilihan dalam hidup itu sepenuhnya tanggung jawab kita. Apapun resikonya, perlu dipertimbangkan dari jauh-jauh hari. Pilihlah apa yang menurut kita baik untuk hidup kita. Karena sejatinya, diri kita sendiri lebih mengetahui apa yang lebih baik dari orang lain.

Satu hal yang kupelajari dari ibu ku dan pengalaman ku diragukan oleh orang lain. Memiliki prinsip dan memegangnya erat-erat adalah satu hal yang penting dalam hidup. Jika kita memiliki prinsip dan percaya pada diri sendiri atas segala pilihan hidup, maka kita tidak akan mudah terpengaruh dengan apa pendapat orang. Tidak semua pendapat orang baik untuk diri kita. Terkadang, orang lain hanya berkomentar dan memberi saran sesuai kemauannya sendiri tanpa pikir panjang.

Betapa repotnya hidup kita jika segala hal terus mengandalkan apa kata orang. Akan sangat bingung apabila segala keputusan, disetir pendapat orang lain. Bukan tugas kita untuk terus menyenangkan orang lain. Sebab itu hal yang mustahil. Maka sangat wajar jika dalam beberapa pilihan yang kita ambil ada pihak-pihak yang kontra dengan jalan yang kita tempuh. Sekali-kali coba tidak menghiraukannya. Lalu lanjutkan pilihan mu hingga akhir. Buktikan pada mereka yang semula meragukan mu bahwa perkataan mereka salah. Keraguan mereka tidak berarti.

Biarlah aku dianggap bodoh oleh mereka, yang penting aku tahu jalan seperti apa yang mau aku tapaki. Aku tidak khawatir orang-orang meragukan ku, yang penting diriku tidak pernah meragukan diriku sendiri.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi