Disukai
1
Dilihat
1191
99.99% Headshot
Slice of Life

Apa pendapat lo saat lo baca judul cerita pendek ini?

Sebelum lo bertanya-tanya, gue sudah survey dengan otak gue sendiri. Yah kali gue harus sebar selebaran atau sebar kuesioner ke orang-orang. Mending yang sebar survey penulis terkenal, ini belum jadi penulis aja udah songong.

“Eh, kok gue malah curhat ya!”

Kembali lagi nih, gue sudah rangkum beberapa pertanyaan yang kemungkinan kalian tanyakan ke gue.

“Kenapa harus 99,99%?”

“Kok judulnya seram amat! Headshot. Emang cerita pendek lo seseram itu? Atau cuman lebay?”

“Itu judulnya sok pakai bahasa Inggris!”

“Daripada pakai bahasa inggris, mending judulnya diganti jadi tertembak di kepala. Kan biar lokal.”

“Apaan sih ini? Kok pada ramai?”

Dan ini kemungkinan yang akan kamu katakan setelah kamu membaca cerita cerpen ini.

“Sok asik ah cerita lo, padahal mah flat aja!

“Kisah lo menarik banget nih. Kalau diangkat jadi film pasti booming nih, tapi kasihan lo punya bos yang ngeselin banget!”

Hahaha...

Eksklusif untuk pertanyaan pertama adalah karena yang sempurna hanya Sang Empunya Maha Kuasa. Jadi, gue tak mungkin pakai 100% dong. Pertanyaan lain semoga bisa terjawab setelah kalian nikmatin cerita pendek ini sampai selesai.

Ingat! Harus baca sampai selesai. Awas, kalau sampai nggak selesai.

“Woi, emang kenapa kalau kami nggak baca cerita lo sampai selesai. Elo ngancam?”

“Ng-nggak. Nggak ngancam. Beneran deh. Suer. Salam dua jari.”

“Eh, apa-apaan salam dua jari. Lo kira kampanye.”

“Nggak. Nggak berani. Bukan. Silakan saja kalau nggak baca selesai. Cuman mau kasih tahu, kalau kalian nggak baca sampai selesai, kalian akan menyesal.”

Kabur.

Khusus untuk pertanyaan terakhir ekspektasi dulu ya. Hehehe...

Oke, sekarang gue sudah siap memulai cerita pendek ini.

“Ehem .. uhuk .. bentar gue tarik napas dulu. Sebelum gue benar-benar mulai cerita ini, gue-“

“Woi, banyak benar kalimat opening lo, kapan mulainya nih?”

“Sebentar-sebentar. Gue mau pengakuan dulu nih. Sebenarnya, kisah ini gue bawa dari temanku. Jujur aja, gue yang dengar aja kesal banget pas dengar cerita dia. Apalagi kalau dia sendiri yang ngalamin. Aduh, benar-benar headshot. Semoga kalian bisa mengambil hikmah dari kisah ini. Sekian opening dari gue!”

Kabur.

***

Kisah ini dimulai dari gue lulus bangku Sekolah Menengah Kejuruan atau lebih dikenal dengan sebutan SMK. Gue sangat menikmati momen indahnya dunia tanpa mate-mati-ka. Di saat gue benar-benar terjun ke dunia masyarakat, yang semuanya tak perlu diatur dengan keseimbangan neraca lajur atau harus seakurat hitungan algoritma. Bahkan gue nggak perlu dengar omelan Emak yang memberikan wejangan dan cipratan air lokal tiap hari.

Senangnya terasa seperti dapat harta warisan. Gue dan teman-teman lainnya hampir tiap hari aja ada keluarnya. Jalan ke mall, makan di restoran ternama, sampai main di arena permainan.

Ada kalanya saking kangen lingkungan sekolah. Kangen karena kantin dan toiletnya ya. Hehehe...

Sore-sore kami main kesana atau pas hari sabtu kami rela antre berlama-lama demi makan disana. Gabung sama adik kelas kami yang tentunya wajib berseragam rapi dan lengkap. Kalau kami, tentu tidak dong. Baju bebas. Sebebas-bebasnya, tetapi tetap harus sopan juga.

Namun, saat gue dengan isengnya menerima tawaran kerja dari temanku. Di sanalah awal mulanya. Karena gue harus kembali ke realita setelah berbulan-bulan gue tidak ngapa-ngapain.

Maklum, gue bukan berasal dari keluarga crazy rich. Mau nggak mau gue harus kembali ke dunia realita. Mencari pengalaman sekaligus mengumpulkan pundi-pundi uang.

Saat itu kami sedang makan berdua di pangkalan mamang bakso.

“Cia, lo belum dapat kerjaan kan?”

Dengan lugu gue menjawab, “Belum. Kenapa emang?”

“Lo masih ingat Rara kan?”

“Rara Winanda Lestari?”

“Iya, benar. Kantor tempat dia bekerja, lagi cari orang nih, lo mau nggak?”

“Kerja jadi apa?”

“Jadi admin.”

“Kalau boleh tahu, job desc gue apaan?”

“Kerjaan lo itu paling urusin penjualan yang masuk dari sales.”

“Perusahaan apa sih?”

“Perusahaan agen makanan, tisu juga ada, bahkan produk bayi juga ada. Jadi perusahaan ini tuh adalah satu-satunya agen resmi untuk mendistribusikan barang-barang itu ke supermarket, mini market, dan tempat eceran lainnya. Kurang lebih begitu lah. Jadi, lo mau nggak?”

“Boleh deh kalau gajinya lumayan,”

“Oke. Besok gue kabarin setelah gue tanyain ke Rara ya! Setelah itu kalian saling kontak aja. Gue cukup jadi mak comblang aja buat lu,”

“Mak comblang? Emang kira lo cariin pacar untuk gue?”

“Yah mana tahu lo bisa ketemu juga jodoh lo disana! Jadi beneran mak comblang kan gue?”

“Bisa aja lo. By the way, terima kasih ya!”

Terima kasih apa? Seandainya dari awal gue tahu, kalau bos-bos gue itu alien jalur evakuasi dengan tujuan ke bumi. Gue nggak akan bilang terima kasih. Bos-bos gue itu unik. Kalau oksigen bisa dijual, mereka pasti juga akan cari untung dari sana. Aduh, bisa amsyong1!”

“Ciana, besok lo disuruh bos antar berkas lamaran ke kantor. Kayaknya langsung wawancara juga deh,” Rara menelepon.

“Oke beres.” jawab gue dengan santainya pagi itu.

Dengan semangat yang menggebu-gebu, gue rela pergi ke warung internet di siang bolong yang teriknya membelah benak. Karena gue belum ahli kayak Valentino Rossi, gue naik angkot.

“Ko, aku sudah selesai pakai komputernya,” seruku dari balik bilik komputer.

Seruanku ini ditujukan pada pemilik warung internet. Eitts, kalian jangan berpikir dia masih available ya. Beliau adalah bapak beranak satu. Beliau ini masih muda, berusia dua puluhan. Berkulit putih dan berbadan jangkung. Overall, dia seperti bapak normal, tetapi terkadang gue terganggu dengan kumis tipisnya. Hanya ada di sisi kiri dan sisi kanan. Tengah-tengahnya nggak ada kumis sama sekali.

Kadang gue berpikir apa kumis tengahnya dipinjam sama Jojon, salah satu tokoh legendaris Indonesia buat dipakai sebagai properti syuting?

Terkadang saat bapak yang kupanggil dengan sebutan Koko2 ini ngomong, kumisnya itu juga seakan ikut menyapa. Goyang kiri dan kanan, semacam kumis lele.

Bercanda ya, ko.

“Sekalian aku mau cetak ini ko.” Gue memberikan flashdisk jadul tahan banting. Kenapa gue bisa bilang tahan banting? Karena flashdisk gue benar-benar sakti. Pernah suatu kali teman gue yang rese pakai flashdisk gue sebagai ganjalan mejanya yang tak seimbang.

Coba kalian bayangkan!

“Siap, dek. Wah, ada yang mau lamar kerja nih!” oloknya.

“Iya, ko. Bosan juga malas nganggur.”

“Sukses ya!”

“Terima kasih, ko!”

***

Akhirnya, hari Senin telah tiba. Gue minta Koko kandung gue antar ke calon kantor kerja gue. Saking antusiasnya, di saat gue tiba disana, jam masih menunjukkan pukul 07:30. Kantor dibuka jam 08:00. Kantor masih tutup.

Alhasil gue nunggu berdiri sambil menenteng map coklat.

“Tahu gitu gue sarapan dulu tadi.”

Gue minta Koko gue langsung pulang saja daripada Koko gue ikutan nunggu.

“Cia, awal benar lo datangnya!” seruan itu terdengar di telinga gue saat gue sudah hampir mengering kayak ikan asin.

Panasnya cuaca di pagi hari sungguh membuatku jengkel. Bukan karena gue tidak suka disinari matahari, tapi masa nanti calon bos mau nyium bau gosong dari badan gue? Ya, kali!

“Ini udah jam berapa wahai Rara Winanda Lestari?”

“Sekarang udah jam 08:15 wahai Ciana Clarissa Tankyla!”

Gue tak menjawab. Gue udah terlanjur kesal.

“Kenapa lo? Kesambet? Ini juga kenapa lo nggak masuk?”

“Yah, gimana mau masuk? Lah, pintunya terkunci.”

“Yah, astaga. Maaf, gue lupa infoin kalau lantai pertama memang bukan kantor gue. Itu kantor lain. Kantor kita ada di lantai dua. Jadi, masuk lewat tangga ini. Maaf.”

“Astaga, Rara!”

***

“Kamu teman sekolah Rara?” Tanpa basa-basi, seorang pria paruh baya bertanya. Gue sudah duduk di depan calon bos gue.

“Iya, pak!”

“Bisa bahasa Tionghoa?”

“Bisa, pak.”

“Oke. Saya kasih kesempatan kamu kerja. Oh ya, barusan saya bukan rasis loh ya! Saya tanya biar saya enak ngomong pakai bahasa apa sama kamu!”

“Iya, pak!”

“Jam kerja disini dari jam 08:00 sampai 17:00. Mungkin terkadang kamu lembur, tapi kalau kamu kerjanya bisa cepat. Saya jamin kamu bisa pulang tepat waktu.”

“Baik, pak!”

“Sekarang kamu isi data ini. Besok sudah bisa bekerja disini!”

“Baik, pak!”

Gue menerima sebuah lembar kertas HVS yang berisikan pertanyaan data diri sampai dengan ekspektasi gaji yang diharapkan.

Wawancara dan isi data telah selesai. Gue benar-benar meninggalkan kantor sesaat setelah gue pamit dengan teman gue.

Trrt.

Gue dibangunin dengan bunyi alarm yang sudah lama tak terdengar. Terakhir kali gue nyalakan alarm saat pengambilan surat kelulusan.

Hari pertama gue bekerja telah dimulai. Lagi-lagi gue minta Koko gue untuk antar jemput gue. Sampai berbulan-bulan Koko gue tetap setia untuk antar-jemput.

Coba aja gue ada pacar.

Gue duduk di salah satu meja kayu dari antara lima meja yang tersedia. Setiap meja ada komputer, kecuali meja kelima yang sengaja tak ditaruh komputer. Katanya itu bisa digunakan sebagai meja serba guna.

“Entar nanti kamu juga tahu apa kegunaannya.” Salah satu karyawan menjawab saat aku bertanya.

Di dalam kantor ternyata tidak seramai yang kukira. Ada Dini, si kasir. Bu Amey, admin senior. Rara, admin. Gue, admin baru. Jadi, kami bertotal 4 orang.

Kenapa bisa perusahaan besar seperti ini hanya ada 4 pekerja kantor?

Itulah salah satu pertanyaan lugu gue yang pertama.

Ada juga orang gudang, supir, kernet, sales, dan supervisor. Tetapi mereka tugasnya di luar. Hanya orang gudang yang tetap stand by di gudang.

“Saya harus panggil kamu dengan sebutan apa, Ciana?”

“Biasa teman-teman saya panggil saya dengan sebutan Cia, pak!”

“Cia3? Masa saya panggil kamu tawar. Saya panggil Ana saja ya!”

“Iya, pak!”

Terserah bapak deh. Beneran. Ganti jadi santapan dinosaurus juga boleh pak.

***

“Cia, kerjaanmu hari ini rekap orderan dari pembeli kita. Tadi si Andre, sales kita udah nerima orderan mereka. Sekarang kamu buka rekapan barangnya. Lalu, entar kalau udah buka, kasih tahu gue. Nanti kita sama-sama ke gudang.”

“Oke.”

Gini mah enteng lah. Setidaknya nggak perlu pusing dengan kekurangan angka saat menjawab soal ma-te-mati-ka.

Di kantor ini, untuk mencetak laporan masih pakai cetakan yang ada programnya tersendiri di komputer. Lalu dicetak dengan pencetak yang bunyinya bisa terdengar memenuhi ruangan. Printer Dot Matrix.

Ternyata orderan di hari itu yang masuk banyak juga. Setelah jam makan siang, gue masih harus memasukkan orderan ke program dan mencetak beberapa lembar lagi.

Kalian masih ingat dengan satu meja yang tidak ada komputer sama sekali?

Ternyata salah satu fungsinya adalah digunakan sebagai meja makan siang. Terasa seperti keluarga yang saling memperhatikan lauk apa yang dibawa setiap harinya.

“Cia, udah selesai input belum?” Bu Amey mampir ke mejaku saat jam makan telah usai.

“Belum nih!”

“Kira-kira masih lama nggak? Soalnya orderan hari ini biasanya paling telat besok pagi sudah harus diantar ke toko. Kita kan belum turun ke gudang,”

“Oke deh. Ini tinggal beberapa aja. Bentar lagi selesai kok,”

“Oke. Cepetan ya. Nanti bosmu bisa marah.”

Waktu Bu Amey ngomong begitu, otak gue belum mikir sampai sejauh itu. Tetapi setelah melewati 1 minggu, ternyata perusahaanku ini berbentuk CV (Commanditaire Vennotschap), yang terdiri dari beberapa pemilik. Di kantor ini, 2 perusahaan digabung jadi 1 kantor. Bosnya Rara ternyata beda sama gue.

Bos langsung di atas gue terdiri dari dua orang laki-laki bersaudara.

Bos yang pertama kali gue temuin adalah salah satu bos yang memerintahi gue secara langsung dan satunya lagi yang lebih jangkung juga adalah bos gue.

Gue sebut aja Bos Berisi dan Bos Jangkung. Karena setiap kali mereka berjalan berdampingan, akan terlihat seperti angka 10.

Nah, bos yang menaungi Rara secara langsung adalah bos cowok juga. Ternyata adalah teman dari dua orang bos gue.

Kalau bosnya Rara gue nggak pusing, soalnya gue nggak pernah ngomong sama beliau. Paling angguk aja kayak ayam lagi patok jagung saat bertemu dengan beliau.

Kalian bisa bayangkan, karyawan 4 orang berkerja di dua perusahaan yang berada dalam satu ruangan, satu lantai, dan satu napas.

Pengap, guys!

Bahkan terkadang dokumen gue aja bisa tiba-tiba nyasar ada di meja Rara. Padahal baru aja sepuluh menit yang lalu gue baru selesai ngerjainnya.

Rara adalah admin yang khusus memegang produk bayi aja. Tapi kalau aku, amsyong. Nih, gue sebutin satu-satu dari mulut si bos.

“Ana, kamu tahu kan produk apa aja yang kamu pegang?”

“Selama saya input barang ada produk makanan ringan, minuman, tisu, dan beberapa produk bayi, pak!

Walaupun Rara udah pegang produk bayi. Tapi, gue juga harus pegang beberapa produk bayi lainnya yang barangnya juga tak kalah banyaknya. Unik kan bos gue? Udah tahu temannya jual produk bayi, tapi dia juga ikutan.

“Bagus. Menurutmu itu produknya masih kurang nggak?”

“Pak, menurut saya sudah nggak kurang, pak. Produk kita sudah banyak.”

“Lah, jangan jadi otak tempe dong ah. Itu sedikit kok. Seharusnya kamu kerjanya yang konsen dong! Saya dapat komplain kalau kamu kerjanya nggak benar. Nggak pernah ngecek barang. Mai si bue lau la4!”

“Maaf pak, saya selalu ngecek barang setelah saya rekap orderan pak dan itu sudah benar!”

“Tapi barang toko ada yang kurang diantar. Salah siapa kalau itu? Salah saya? Salah teman-teman saya?”

“Pak, mohon maaf pak. Saya jelaskan kembali, saya selalu mengecek orderan dengan stok barang. Lalu, rekapan itu saya berikan ke Pak Amar, tukang packing. Saya sudah ngecek semuanya. Bahkan saya yang siapkan barang-barang yang perlu di-packing Pak Amar. Jika ada salah pun, seharusnya bukan saya lagi. Karena yang packing itu bukan saya pak!”

“Yah, tetap salah kamu!”

“Kenapa, pak?”

“Kamunya ada lihat Amar saat packing nggak?”

“Nggak. Kan itu tugas Pak Amar,”

“Nah itu, dilihat dong.”

Yah pak. Kerjaan gue yang lain masih banyak kali pak. Ya kali, lihatin orang packing.

***

Semakin lama gue disini, kerjaan gue semakin banyak dan semakin kompleks. Sering gue berpikir, bos-bos gue ini pernah merasa jadi karyawan nggak sih?

Dikira karyawan robot apa? Atau bos-bos gue ini belajar kelola bisnis dari permainan daring di gawai? Soalnya kan kalau dari permainan, karyawan rajin terus, nggak pernah lelah, apalagi ngerasain makan hati.

Suatu hari gue dapat telepon dari salah satu toko. Mereka bilang nggak pernah order barang, tapi kok malah kirim ke tempat mereka.

“Pak, gawat pak!” Di saat yang tepat Bos Jangkung melewati meja kerjaku.

“Cu ni5?”

“Ada toko yang komplain karena kita kirim barang ke tempatnya, padahal mereka tidak pesan sama sekali,”

“Eh, kenapa bisa? Kamu dapat orderan mereka sebelumnya dari mana?”

“Dari Andre, pak!”

“Cepat panggilkan dia!”

“Baik, pak!”

Setidaknya gue bersyukur masih memiliki bos yang mau membantu memikirkan jalan keluar. Karena selidik punya selidik, dari tokonya lupa konfirmasi kalau mereka memang tidak ingin pesan dulu, tetapi tidak disampaikan ke karyawan mereka.

“Bisa lah Ko? Kan kita udah teman lama!”

Bos Jangkung terima kalau barang diretur, tetapi tidak bisa semuanya, karena sebenarnya kesalahan bukan dari perusahaannya. Melainkan dari pihak toko yang tidak melakukan konfirmasi.

“Ana, kamu urus barang returan mereka itu. Tapi ingat, hanya boleh 30 persen.”

“Baik, pak!”

“Diurusnya cepat ya! Sore ini udah harus kelar!”

“Baik, pak!”

Gue bisa iya-in aja. Ada untungnya juga punya 2 bos. Satunya nggak mau tahu, satunya bisa kasih solusi. Terpaksa gue nggak makan siang hari ini. Demi menyelesaikan barang returan ini, gue rela lewatin jam makan siang gue yang berharga.

Sering gue mau mengutuk, kenapa jam sibuk selalu datang saat mendekati jam makan siang dan jam pulang?

Gue dengan cepat-cepat ingin menyelesaikannya, tapi ada aja masalah yang datang. Telepon yang berdering tanpa henti. Orderan barang yang selalu berdatangan. Pak Amar yang bilang stok sabun bayi di gudang habis, padahal kemarin baru aja datang 1 ton.

“Boleh nggak sih gue minta Tuhan kasih gue kekuatan untuk membelah diri?”

“Ana, barang rusak udah diurus belum?” Tanpa diundang, tanpa dijemput Bos Jangkung datang mendekat.

Apa lagi ini?

“Belum, pak!”

“Aduh, jangan jadi siput dong. Sore ini harus selesai ya!”

“Saya masih urus barang returan, pak!”

“Dari tadi belum selesai? Aduh, amsyong1 saya gaji kamu!” Si Bos Berisi datang-datang main nyambung aja kayak burung beo.

Siapa berminat tembak kepala bos pakai pistol air? Biar otaknya dicuci bersih sampai kinclong. Soalnya otaknya penuh lumut. Hijau mulu.

Karena Bos nggak mau tahu alias masa bodoh. Gue juga berlagak masa bodoh. Koko gue udah tunggu di bawah dari dua jam yang lalu. Padahal gue udah suruh dia pulang dulu, kalau kerjaan sudah selesai baru gue akan telepon dia. Dia tetap nggak mau. Gue merasa bersalah dong! Jadinya, cepat-cepat gue matikan komputer gue.

Bodoh amat!

Pagi-pagi gue ditagih sama Bos Jangkung.

“Ana, jumlah barang rusak berapa?”

“Maaf pak, saya baru ngecek separuh,”

“Astaga, Ana. Dikasih kerjaan gini aja susah amat. Dari kemarin loh saya kasihnya!”

Tapi Bapak kasihkan tugas itu pas sore menjelang pulang pak!

“Maaf pak. Kemarin saya juga masih ngurus orderan dan buat rekapan penjualan. Telepon juga kemarin berdering terus. Hari ini saya selesaikan, pak!”

“Ya udah cepetan!”

Lutut gue terasa lemas sesaat. Gue hempaskan pantat gue ke kursi kerja gue dengan cepat.

Mesin cetak gue bunyi terus, tapi terkadang berhenti lagi. Komputer dengan kecepatan siput seperti ini makin nambah gue pusing. Merekap barang-barang yang ada di gudang saja yang seharusnya bisa cepat, malah terasa melelahkan.

“Udah selesai belum?” Bos Jangkung bertanya kembali.

“Belum, pak. Ini saya baru buka datanya pak. Loading terus pak dari tadi!”

“Kamunya kerjanya lambat sih! Semangat dong!”

Pak, komputernya lemot. Buka satu data aja lamanya minta ampun. Bukankah seharusnya komputer ini dimuseumkan aja? Atau jangan-jangan komputer-komputer di kantor ini hasil rongsokan dari planet asal mereka. Kan bos-bosku ini alien. Tak berperikemanusiaan.

“Udah selesai belum?” Bos Jangkung berteriak dari dalam kantornya.

“Belum, pak.” jawabku membalas teriakannya.

***

Akhirnya akhir bulan telah tiba. Gue terima gaji pertama gue.

“Senang nggak lo?” Rara menyenggol lengan gue setelah gue keluar dari ruangan bos.

“Senang juga. Biasanya cuman bisa dapat uang jajan yang dipatok, sekarang sudah pegang uang sendiri. Ternyata gini toh rasanya kalau udah kerja,”

“Yah, begitulah!”

***

Bulan kedua. Aku sudah mulai terbiasa dengan pekerjaan yang super kompleks ini. Bahkan ditambah dengan piket. Bisa nggak lo bayangin? Piket!

Biasanya piket hanya terdengar di bangku sekolah, tetapi di dunia kantor gue ada hal seperti itu.

“Ayo, kita buat jadwal piket. Kantor kita bentar lagi jadi sarang kecoa kalau nggak dibersihkan!”

Pagi-pagi Bu Amey mengumpulkan kami bertiga. Astaga, dunia kerja apa ini? Di rumah aja gue sapunya uring-uringan. Disini gue harus berlagak rajin bersih-bersih.

Pengen nangis. Tembak aja deh gue!

Sudah ditetapkan dari saat itu, kami bergantian membersihkan kantor. Kami harus sapu dan ngepel paling minimal seminggu dua kali.

Ruangan admin dan juga ruangan bos harus dibersihkan. Kalau gudang biarlah urusan orang gudang. Satu hari jatahnya untuk satu orang yang sapu sekaligus ngepel.

Ini gue kerja atau lagi numpang hidup di rumah orang sih?

“Ciana, kok lantai udah cepat kotor hari ini?”

“Maaf gue belum sempat sapu dan ngepel tadi pagi. Bos udah nagih kerjaan pagi-pagi. Nanti siang deh gue bersihinnya ya!” jawabku tanpa melepas pandangan dari komputer. Kayak udah jatuh cinta aja gue sama komputer, dipandang terus.

“Ana, toko Asua bilang barangnya belum diantar ke tokonya nih!” Bos Berisi tiba-tiba menyembulkan kepalanya.

Muncul dari mana lagi nih si bos!

“Toko Asua? Seharusnya supir dan kernet udah berangkat dari tadi pagi sih pak! Mungkin lagi di perjalanan,”

“Kok mungkin sih? Telepon dong supirnya. Minta cepetin anterin kesana. Nanti kalau uang saya lari gimana? Kamu mau tanggung jawab?”

“Iya, iya pak”

Boleh sekalian gue telepon tukang urut untuk gue sendiri nggak sih? Pegal urat gue soalnya!”

“Pak, bapak udah sampai mana ya? Kata bos, barang toko Asua belum diantar ya?”

“Apa, moy6? Toko Asua? Lah belum lah. Kan dia orang minta antar sabun bayi sama minuman UHT. Pan sabun lagi habis. Tadaklah di-packing sama Amar. Tadak antar lah kami hari ini,”

“Apa? Kan baru datang sabun bayi 1 ton kemarin pak!”

“Emang iya? Nggak tahu lah, moy. Amoy lah yang ngurus. Kami antar barang lok lah.”

Telepon terputus.

“Aduh, apa masalah dengan Pak Amar nih!” Gue cepat-cepat turun ke gudang. Lokasi gudang ada di lantai satu bagian belakang. Jadi, tak mengganggu dengan kegiatan kantor lain yang cuman ambil bagian depan.

“Pak Amar!”

“Iya, moy6?”

“Pak, kata supir, bapak nggak packing barang punya toko Asua?”

“Toko Asua pesan sabun bayi bukan?”

“Iya. Sama minuman UHT.”

“Nah, itu lah masalahnya. Sabun bayi udah habis! Bos belum pesan dari kemarin,”

“Belum datang? Coba saya ke izin ke dalam gudang dulu pak,” Gue masuk ke dalam. Gue perhatikan sekeliling. “Pak, ini apa pak?” Gue tunjuk ke kardus besar yang tertindih dengan tangga. Agak pojok memang.

“Oh iya, moy. Itu kotak sabun ya. Saya kira dah kosong!”

“Jadi, gimana nih pak? Bisa diantar hari ini?”

“Wah, saya tak berani jamin. Supir marah nih pasti. Kan jalur mereka udah diatur tadi,”

Terpaksa gue cerita ke si Bos Berisi.

Ia tak ada jawaban, hanya geleng-geleng kepala dan mengeluarkan kata-kata jitunya.

“Saya nggak mau tahu. Barang toko Asua harus dikirim hari ini. Kalau uang saya pergi, kamu yang harus ganti rugi,”

“Loh kok saya?”

“Kan kamu yang buat rekapan barang. Kamunya nggak ikut packing sama si Amar sih tadi,”

“Kan Bapak nyuruh saya untuk rekap penjualan dari toko Abud, pak. Toko Abud juga diminta kirim hari ini kata Bapak tadi pagi.”

“Yah, kamu atur dong waktu kamu. Urus 2 toko aja susah banget sih!”

Barang yang diantar kan nggak hanya 2 toko pak. Sini cepetan, gue butuh relawan untuk tembak otak dia pakai pistol air.

Dengan muka tebal, gue minta maaf ke toko Asua. Nama gue buruk gue jabanin dah. Suer.

Siangnya setelah gue selesai makan, gue bersihkan lantai kantor. Gue udah mulai risih dengan kotoran yang banyaknya minta ampun. Nggak tahu deh debu-debu ini bisa datang dari mana. Heran gue.

“Pak, permisi. Saya mau ngepel kantor Bapak!”

Bos Berisi melirik ke arah gue dengan tampang tak berdosa.

“Pel aja sana! Gue masih mau disini. Anggap aja gue nggak disini,”

“Oke pak, singkirin dulu kakinya. Mau dipel juga kakinya?”

***

Setelah berbulan-bulan gue sudah mulai terbiasa dengar omelan bos. Bahkan kalau bisa, telinga gue udah turn off tiap kali suaranya yang keras menggema memenuhi satu ruangan.

Dari mulai gue sampai supir saja pernah dimarahi oleh dia.

“Kalian kerjanya gimana sih? Kok semua pada lelet begini?” Suatu hari para bos marahin Pak Amar, supir, dan kernet.

Alasannya klasik. Banyak barang yang terlambat diantar.

“Ana, kesini cepat!”

Gue masuk ke kantor bos.

“Lo ngatur kerjaan mereka gimana? Orderan kenapa bisa kalang kabut begini? Banyak toko marah sama saya!” Si Bos Berisi menodong gue langsung ketika gue masuk ke dalam kantornya.

Gue berusaha untuk menekan emosi gue dengan cara gigit bibir gue.

“Pak, seharusnya jalur antar sudah seperti biasa pak. Tetapi toko-toko semakin banyak yang order karena sales kejar target dari yang Bapak kasih. Kita hanya punya 2 supir dan 2 kernet. Masing-masing sudah punya jalur. Dalam kota dan luar kota. Apalagi tukang packing cuman ada 2 orang pak!”

“Apa tadi? Cuman? Itu udah ramai begitu kok. Kalau kalian saya gabungin kalian udah bisa jadi tim sepak bola. Kamu tidak mengerti Ana!”

Lah, silakan pikir aja sendiri pak. Gue emang nggak mengerti dengan cara pikir alien. Kan gue manusia.

“Amar, kenapa lo dan tim bisa kalang kabut begitu?” Si Bos Berisi berkoar lagi.

Gue perhatiin dari tadi Bos Berisi mulu yang ngomong. Apa peran si Bos Jangkung? Duduk di pojokan kayak stik sapu lagi naik ke kursi.

“Kami tak mampu packing lah bos. Tiap hari ada aja barang datang dan barang keluar. Jadinya, isi gudang bertimpak-timpak. Orderan juga banyak.”

“Udah-udah. Barang banyak salah, barang dikit juga salah. Gudang sudah sebesar itu masa masih nggak muat? Kalian pokoknya mulai besok minimal urus orderan ke 6 toko. Cuman kalian yang susah diatur. Sales dan supervisor baik-baik aja kok. Sudah sana kalian kembali bekerja,” Bos Jangkung akhirnya angkat bicara.

Satu per satu keluar dari kantor. Gue yang paling terakhir, tapi sebelum gue benar-benar keluar, si Bos Berisi bersua, “Ana, lai cek hwe7!”

“Iya, bos!” Gue balik badan.

“Kalau mereka kurang orang untuk packing, kamu turun tangan ya! Saya lebih percaya kamu yang packing. Walaupun, kadang sangsut. Tapi masih bisa diterima!”

What?

Siapa dong relawan, saya butuh satu aja untuk tembak kepala dia sekarang juga! Biar bersih!

***

“Bu Amey, stok biskuit kacang, minuman UHT, tisu wajah, sabun bayi, dan beberapa merek ini semuanya hampir habis,”

“Oke. Rekapannya sudah kuterima kemarin. Gue bakal bilang ke bos,”

Untuk stok dari pusat itu sudah menjadi urusan si Bos Jangkung, tetapi kalau barangnya datang, gue lagi yang susah.

“Ana, ada barang datang di gudang! Kamu segera periksa,”

“Baik, bu Amey!”

Setiap kali barang baru datang, gue juga wajib ikutan hitung. Padahal job desc gue nggak ada sama sekali tentang itu.

Sekalian aja, setelah barang masuk udah gue hitung bareng Pak Amar. Gue menunaikan tugas lainnya, mengecek barang rusak.

Laporan gue telat bulan ini, yah mau gimana lagi. Kerjanya banyak minta ampun.

“Pak, ini laporan barang rusak yang sudah saya buat,”

“Ooh, oke. Tinggalin di meja.”

Si Bos Berisi hampir tiap saat bilang gitu. Dan tiap saat juga, laporan gue selalu berada di posisi yang sama. Gue heran, laporan gue ada dibaca nggak sih?

***

Gue sempat mikir, kenapa kerjaan gue nggak kelar-kelar. Akhirnya, gue mulai telaah satu-satu.

Tiap pagi, gue akan turun ke gudang. Cek barang yang sudah mau di-packing. Setiap hari kira-kira ada 10 toko yang perlu diantar, tapi kalau nggak sempat supir dan kernet akan antar lagi keesokan harinya.

Andre, si sales dalam kota akan kasih gue orderan tiap siang.

“Cia, ini orderan dari toko-toko ya. Seperti biasa mereka nitip pesan jangan lama diantarnya.”

“Cia, ini orderan dari Sanggau dan Singkawang. Kali ini orderan mereka gue suka nih. Bonus gue gede nih bulan ini!”

Bonus lo yang gede, gue yang tepar.

Oke. Orderan dari sales sudah masuk. Gue mulai otak-atik pacar gue. Komputer super lelet dan mesin cetak yang ribut mulai beraksi. Kadang gue harus sampai makan di atas meja kerja gue. Gue memilih untuk seperti itu, dibandingkan harus lembur yang tak berbayar.

Telat aja dipotong, lembur tetap tak dibayar.

“Cia, ada barang masuk nih!” Pak Amat masuk ke kantor. Gue ikut turun ke gudang.

Gue akan balik ke kantor kalau matahari sudah mulai tak terlalu panas. Sekitar jam dua siang, paling cepat jam satu siang.

“Toko Akit ada returan ya!” Si sales dengan tampang tak berdosa langsung kasih gue selembaran kertas putih yang tulisannya kayak ceker ayam.

Gue skip urus ini dulu, karena bos lagi-lagi manggil gue ke ruangannya.

“Ana, gue kecewa sama lo!” Si Bos Berisi buka mulut dengan tampang muka alim.

Apa lagi ini? Tanpa ada embel-embel kata pembukaan langsung mengeluarkan pernyataan yang tidak menarik.

“Ada apa ya pak?”

“Stok di gudang dan stok di laporan kenapa selisihnya banyak banget? Selama ini kamu kerja yang benar nggak sih?”

“Saya benar-benar kerja, pak. Setiap barang datang, setiap barang keluar saya akan cek satu-satu. Tapi selisih produk ini saya juga tidak mengerti, kenapa bisa terjadi seperti ini,”

“Kamu salah! Memang benar kamu nggak ngecek barangnya,”

“Bapak dengar dari siapa? Bapak pernah lihat saya nggak ngecek? Saya selalu ngecek, pak!”

“Kalau selalu ngecek, kenapa ini barang banyak selisih? Saya bisa rugi puluhan juta karena ini loh!”

“Mohon maaf, pak. Kenapa hanya saya yang disalahkan? Kami bekerja tim disini,”

“Lalu, kamu salahkan mereka?”

Stop tanya seperti itu pak. Kan bapak yang bos. Terus aja salahin gue. Kerjaan sebanyak itu gue yang kerja sendiri.

“Lah, kok malah nggak jawab saya! Kamu segera cari tahu kenapa bisa selisih. Kalau nggak ketemu kamu harus ganti rugi.”

Gue keluar dari kantor bos tanpa berkata-kata. Gue sendiri aja bingung kenapa bisa selisih. Apa ada hantu disini? Paling hanya dua kemungkinan, hantu tak kasat mata dan hantu yang kasat mata.

Gue cari selisih itu seharian bahkan sampai berminggu-minggu. Semua faktur penjualan, nota retur penjualan, sampai laporan barang rusak gue bongkar semuanya. Tetap gue bingung, antara stok dan pencacatan jauh berbeda.

“Udah ketemu belum?”

“Belum, pak.”

“Awas loh ya! Kamu nggak ketemu, gaji kamu jadi taruhannya ya. Ganti rugi!”

Kenapa hanya gue yang salah? Bos alien gue bijak sekali ya? Bijak kalau lihat dari lubang pembuangan air limbah.

Setelah berbulan-bulan, stok selisih tetap tak ketemu. Teman-teman admin lain juga bantu cariin. Gue bolak-balik cek stok fisik terus-menerus. Apalagi, karena sering ditinggal karena kerjaan lain, beberapa kali gue harus hitung ulang.

“Ganti rugi, Ana!” Bos Berisi selalu menghantui gue dengan kata-kata sakti itu.

Oke. Gue kasih yang dia inginkan. Gue kasih dia tamparan secara batin dengan surat pengunduran diri gue.

“Kenapa malah ngundurkan diri? Saya masih butuh kamu loh! Kamu itu orangnya gesit.”

Bodoh amat!

Akhirnya gue benar-benar pergi. Sebenarnya sungguh disayangkan, tapi gue lebih memilih ketenangan dalam hidup gue.

Suatu hari, si Bos Berisi telepon gue.

“Ciana, gaji lo belum lo ambil. Gue tunggu lo di kantor.”

Maaf pak, gajinya untuk nutup ganti rugi aja tuh pak. Gue udah malas ketemu bapak di kantor.


THE END

Catatan Kaki:

1Amsyong, kata serapan dari bahasa Hakka yang berarti luka dalam. Namun, dengan seiring waktu penggunaannya yang dipopulerkan oleh orang Tionghoa di Indonesia menjadi arti yang lebih berbeda, lebih merujuk ke arti sedang sial, tertimpa musibah, kaget, dan apes.

2Koko, panggilan kepada saudara/orang laki-laki yang lebih tua dalam bahasa Tionghoa.

3Cia, dalam bahasa Tionghoa artinya ‘rasa tawar’.

4Kamu kerjanya jangan lambat dong! (Bahasa Tionghoa).

5Kenapa? (Bahasa Tionghoa).

6Singkatan dari panggilan Amoy, panggilan kepada gadis keturunan Tionghoa.

7Ana, kamu kesini sebentar! (Bahasa Tionghoa).

 

 

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Semangat, Kak Veronika 🙌🙌
@arinirifatia : Terima kasih kak. Komentar kakak membuatku semakin semangat :)
Huaa... makasih, Kak... jadi belajar sedikit tentang bahasa Tionghoa... dan belajar tentang distribusi mak-min dan barang lain yang ribet bener 🤓
Rekomendasi