Disukai
3
Dilihat
1187
Buruk Cermin Muka Dibelah
Slice of Life

TAK bisa kubiarkan lagi. Aku harus melawan rasa sakit di dalam tubuh ini. Tapi bagaimana aku bisa mengobatinya kalau aku sendiri tidak bisa mendefinisikan rasa sakit yang sedang kuderita. Benar-benar aneh. Kadang merasa pusing tapi aku rasakan sumbernya di perut, atau sebaliknya mual-mual tapi seperti sumber sakitnya di kepala. Kadang muncul gatal-gatal bercampur perih, tapi aku tidak bisa menggaruknya karena tidak tahu di bagian mana rasa sakit itu menyerang.

Sungguh membingungkan.

Kutanggalkan seluruh pakaian yang melekat di tubuh lalu memberanikan diri untuk berdiri di depan cermin. Kupindai diriku dengan teliti. Rambut masih lebat, kulit muka bersih dan halus. Dada, perut, alat kelamin, sampai jari kakiku, semua sempurna. Tak ada cacat sekecil apa pun. Sayang aku tidak bisa melihat bagian dalam tubuhku melalui cermin ini.

Siang itu juga aku periksakan diri ke Puskesmas yang selalu penuh dengan pasien bersandal jepit dan ibu-ibu menggendong bayi.

“Selamat pagi. Silakan duduk dan sebutkan keluhan Anda,” sambut dokter di depanku dengan wajah datar memandangi sebuah catatan di atas mejanya. Sepertinya dokter ini sudah bosan mengucapkan kalimat template itu setiap kali berhadapan dengan pasiennya, karena sesungguhnya…

“Ini sudah siang, Dok. Dan saya juga sudah duduk dari tadi,” aku meralat.

Dia hanya melirik ke arahku, lalu kembali lagi melihat catatan.

“Ah, itu tidak penting,” katanya. “Coba katakan keluhan Anda, Pak...” dia membaca kartu berobatku. “Masdi?”

“Mardi,” aku membetulkannya.

“Ah, tidak penting. Jadi, apa yang Pak Masri rasakan saat ini?”

Dokter itu tidak juga mengalihkan pandangannya. Emosiku memuncak. “Tidak penting dan selamat siang!” kataku dan langsung keluar dari ruang dokter arogan itu. Kalau mengenal pasiennya saja tidak mau, bagaimana mau mengobati penyakitnya? Selama menjabat Ketua RT, baru sekali ini aku dianggap tidak penting.

Kusempatkan menengok ke belakang. Alih-alih menahan kepergianku, dokter ‘sakit’ itu lalu berteriak, “Pasien berikutnya, Anak Nur Asikin!”

Dan yang masuk adalah seorang lelaki berusia 70-an….

 

***

 

Aku sedang dalam perjalanan pulang ketika seseorang berlari ke arahku. Seorang pemuda belasan tahun—aku tidak ingat namanya—yang belakangan ini terus mendekatiku agar aku mengakuinya sebagai pacar anakku. Oh, dan aku masih belum bisa menyimpulkan apakah yang kurasakan ini gatal atau mulas.

“Om Mardi, nuwun sewu kalau saya mengganggu,” katanya.

“Ada apa?”

“Sebenarnya tidak penting, tapi…”

“Jangan basa-basi. Apa maumu? Cepat katakan.” Aku jadi trauma dengan frasa ‘tidak penting’ itu.

“Saya dengar Om lagi sakit, karena itu saya mau…”

Aku cepat-cepat menyahut sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. “Karena itu kamu mau menawarkan diri untuk menyembuhkanku dengan obat ramuanmu sendiri yang diberi sedikit racun mematikan, lalu kamu dengan bebas mengencani anakku sampai larut malam?”

 Duh, aku tidak tahu apakah ucapkanku itu aku tujukan pada anak muda di depanku atau orang lain, karena saat itu aku sedang merasakan pusing yang amat sangat di kepalaku.

Atau di leher?

Anak itu tampak kebingungan saat kutinggalkan begitu saja. Itulah hak dan kewajiban ketua RT dan warganya, bukan? Ketua RT berhak membuat bingung warganya dan warga wajib dibikin bingung.

“Loh, Pak RT?” seorang pria tiba-tiba yang memanggilku saat kami berpapasan. “Dari Puskesmas ya?”

Ah, aku kenal dia. Pak Samsu, pedagang terkaya di kampung. Aku dan dia sangat akrab. Dia merasa akrab denganku dan aku sangat akrab dengan duitnya.

“Iya, Pak Sam. Tapi saya nggak jadi periksa, sebab dokternya sendiri perlu diperiksa,” jawabku.

“Nah, saya sarankan Pak RT pergi ke Kampung Tegalsari. Di sana sedang ada seorang tabib dari Arab yang buka praktik gratis. Dia sanggup menyembuhkan segala macam penyakit. Ini saya baru pulang dari sana.”

“Pak Samsu sakit juga?”

“Mirip-mirip seperti Bapak. Bedanya, saya tidak bisa membedakan warna hijau, merah, biru, dan yang lain. Semuanya tampak kuning di mata saya.”

  “Lalu apa kata tabib itu?”

“Dia hanya memberikan ini,” Pak Samsu menunjukkan sebuah cermin kepadaku. Cermin? Mendadak dadaku terasa sesak. Atau nyeri?

***

Aku mengikuti saran Pak Samsu. Dengan naik ojek sampailah aku ke Tegalsari, langsung ke lokasi tabib itu buka praktik. Di lapangan sepak bola.

 Luar biasa betul tabib ini, sanggup mendatangkan calon pasien sebanyak itu. Melimpah ruah. Sedangkan pertunjukan musik dangdut sekelas Rhoma Irama pun tak semembludak itu penontonnya. Dari Arab katanya? Seperti apa orangnya? Ah, tidak pent… maksudku tidak masalah. Yang penting bagiku saat ini adalah tamba teka, lara lunga. Obat datang, penyakit hilang.

Aku mencoba menerobos kerumunan mendesak maju menuju ke tenda pengobatan sang tabib.

“Oh, Pak RT to, silakan duluan, Pak,” kata seorang warga memberiku jalan.

“Mari, Pak RT. Saya belakangan saja,” kata warga lainnya.

“Bu, tolong beri jalan buat Pak RT. Kita nanti saja.” 

Dan, satu per satu calon pasien yang mengenaliku memberi jalan untuk ambil antrean di depan. Ah, ternyata wargaku baik-baik hatinya. Sejenak aku merasa tidak enak hati karena selalu meremehkan mereka selama ini dan memanfaatkan kekuasaan untuk kepentinganku di lingkungan RT.

Tiba-tiba seorang perempuan menarik tanganku ketika aku mencoba melewati antreannya.

“Hei, Pak. Antre, dong! Kita sudah sejak pagi di sini,” teriaknya.

“Iya, nih. Tahu aturan dikit, dong!” timpal yang lainnya.

Ups, aku pikir mereka adalah wargaku juga. Aku pun terpaksa menurut, daripada bikin ribut. 

Akhirnya tiba juga giliranku. Aku sudah duduk di depan sang penyembuh yang berhasil membuatku ragu pada gambaranku tentang seorang tabib dari Tanah Arab. Kulit sawo matang, hidung pesek, tidak berjenggot, dan tingginya—atau tepatnya pendeknya—tidak labih dari 160 cm. Semoga saja dia tidak ‘sakit’ seperti dokter puskesmas tadi.

“Bapak Mardi, usia 54 tahun, Ketua RT 02 RW 013 Desa Krajan, satu istri, anak tiga, yang sulung perempuan dan punya pacar yang tidak disetujui oleh bapaknya, rumah menghadap utara.” Yang bicara ini sang tabib yang katanya dari Tanah Arab itu. Aku merasa dia sedang mencoba memamerkan sekelumit kesaktiannya.

“Silakan duduk dan ceritakan semua keluhan Bapak.”

Aku rasa hanya dia satu-satunya orang yang tidak bisa aku remehkan untuk sekarang ini.

“Terima kasih karena Anda telah menghargai saya. Bapak tidak perlu ragu akan kemampuan saya,” katanya.

Wah dia bisa membaca pikiranku. Aku harus berhati-hati.

 Sang tabib tersenyum. “Bapak tidak perlu takut untuk berpikir atau berbicara. Di sini ada jaminan segala keluhan Bapak langsung ditanggapi tanpa ditampung terlebih dahulu. Saya tidak bisa melarang orang untuk diam kalau dia sendiri ternyata belum bicara. Sama seperti saya tidak bisa mengusir Bapak meskipun saya curiga apa yang Bapak ungkapkan itu nantinya merugikan atau menyinggung diri saya.”

Tiba-tiba kepalaku (kali ini benar-benar di kepala) terasa pusing. Pun mata berkunang-kunang, dan dada terasa tertusuk duri. Tubuhku kaku seakan terikat kuat di kursi, lidah kelu, bahkan mulut tak dapat dibuka. Sementara sang tabib mengamat-amati mukaku sambil sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya.

Oh, tolong aku wahai tabib yang mulia. Ambil saja hatiku agar aku tak dapat merasakan apa pun. Sakitnya sungguh melaknat tubuh dan jiwaku.

 Sang tabib berhenti mengamati dan mulai menyampaikan diagnosanya.

“Penyakit yang singgah di tubuh Bapak ini belum ada namanya. Belum pernah saya temui sejauh ini. Tapi yang jelas gejala-gejala yang timbul itu terjadi karena otak dan hati Bapak tidak selaras. Bahkan kalau boleh saya bilang, mereka berseteru. Akibatnya, logika Bapak jadi berantakan. Merasa pusing, tapi kok rasanya di punggung, sementara punggung bukanlah tempat yang seharusnya untuk merasa pusing. Sebaliknya, Bapak bisa merasa mual tapi rasanya di kepala. Dan akan begitu seterusnya sebelum otak dan hati Bapak kembali selaras.”

Mendengar diagnosa sang tabib justru memicu sakit-sakit itu kembali bermunculan di seluruh tubuhku. Rasanya tak terperi dan—seperti juga yang sudah-sudah—tidak pada tempatnya. Beginikah rasanya berada di neraka?

Aku menahan rasa sakit sambil sesekali melirik sang tabib, berharap solusi atas deritaku keluar dari mulutnya.

“Sabar ya, Pak. Saya sedang mencari solusinya,” kata sang tabib. Aku lupa dia bisa membaca pikiranku.

Sesaat kemudian sang tabib memegang kepalaku dengan kedua tangannya. Matanya terpejam dan bibirnya komat-kamit membaca mantra. Tak berapa lama kemudian tubuhku dapat kugerakkan. Rasa kakunya mulai hilang. Tapi tidak sakitnya.

“Ini obat untuk Bapak,” sang tabib menyerahkan sebuah cermin sebesar buku tulis kepadaku. Belum sempat aku menanyakan kegunaannya, tabib itu berpesan, “Gunakan sebagaimana fungsinya.”

  Hanya itu pesannya. Dia tidak membuka ruang tanya jawab untukku.

Aku keluar dari ruang periksa sang tabib dan menyadari ternyata semua pasien yang selesai berobat di tabib itu membawa sebuah cermin yang sama seperti milikku. Seperti juga Pak Samsu tadi. Ah, tabib macam apa ini?

***

Sesampai di rumah, aku memandangi cermin pemberian sang tabib. Biasa saja, malah jauh lebih bagus cermin rias milik istriku.

Fungsi cermin tentu saja untuk bercermin. Berkaca. Melihat diri kita sendiri.

Merasa penasaran, aku mencoba melihat wajahku di cermin itu. Dan benda itu berhasil membuatku tersentak. Terlihat kulit wajahku berkeriput. Juga ada benjolan kecil di pipi dan dahi. Bahkan di leher ada sebuah luka kecil menganga. Lalu aku mulai merasakan perih yang teramat sangat dan berpindah-pindah menjelajah seluruh tubuh.

 Kulepaskan satu per satu pakaianku dan berkaca di cermin yang lebih besar di dalam kamar. Tapi aku tidak melihat satu pun keanehan. Keriput, benjolan, maupun luka sama sekali tiada. Tubuhku mulus dan tampak segar bugar. Normal.

 Aku pandangi lagi wajahku di cermin sang tabib, dan keriput itu makin meluas. Kulitku mulai menggelambir di beberapa tempat. Pun benjolan dan bercak-bercak luka makin banyak.

 Aku telusuri tubuhku dengan cermin itu. Sebuah luka besar menganga di bagian perut dan memperlihatkan organ hatiku yang tampak penuh borok. Sakitku tak kunjung berhenti dan malah makin menghebat. Hanya, kali ini ada yang berbeda. Aku bisa merasakan perbedaan rasanya dan tahu di mana sumber sakit itu berada.

 Entahlah, apakah aku harus mensyukuri hal itu atau sebaliknya. Karena meski sakit yang kurasakan makin menghebat, berkat cermin itu kini aku tahu sumber permasalahannya: Hatiku yang sekarat.

 Muncul sebuah pemikiran di benakku. Mungkin jika aku tidak memiliki hati, ribuan rasa sakit itu akan menghilang dan otak tidak bisa lagi berseteru dengan hati. Dengan begitu otak akan mengembalikan logika. Lalu penyakitku pun akan lenyap. Tentu, hidupku pun akan kembali normal.

  Aku letakkan cermin sang tabib, lalu beranjak menuju dapur. Aku tahu kini apa yang harus aku cari.

Pisau pengiris daging.

  *** 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
hyu
@darmalooooo : hehehe, coba-coba bikin dark satire barb...
Wah😱 sumpah ini ngeri2 sedap kisahnya. Betul, hati adalah tempat menampung masalah, ibarat pepatah (Rambut sama Hitam, hati mana ada yang tahu)
🍻🖐️
hyu
@mahmud96 : toss @mahmud96
Joss@hyu
Joo,......@hyu
hyu
@heyaddie22 : siaap... makasih sudah mampir dan komen. 🥰
Keren. Semangat mas!
Rekomendasi