Disukai
5
Dilihat
638
Ban Kempes
Slice of Life

Roda ban mobil SUV hitam mengilap berputar kencang, di atas aspal hitam panjang sepanjang jalan tol Cikampek yang sepi. Sepi, sangat sepi, aku bahkan berpikir jika tiba-tiba saja gajah besar jatuh dari langit menabrak kaca depan mobilku.

Ahh Thanks God! It’s Friday! Jumat pagi yang cerah dan diberkati.

Pagi ini aku sedang menyetir, membawa keluarga kecilku dalam perjalanan menuju Kota Paris Van Java untuk liburan. Aku melihat istriku di samping akhirnya bisa tertidur nyenyak, setelah semalaman ia tidak tidur untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Sedangkan aku sudah dipaksa tidur sedari habis salat isya olehnya. Katanya sih supaya segar dan tidak mengantuk keesokan harinya saat menyetir mobil.

Sementara di kursi tengah, anakku Alfa yang masih SD kelas empat masih tertidur sejak kami berangkat sehabis subuh tadi, ditemani dengan ibuku yang juga tertidur. Aku lihat dari kaca spion tengah mobil sepertinya Alfa dan neneknya sudah bermimpi sampai di Kota Bandung. Hmm semuanya tertidur kecuali aku, sang supir seorang yang tidak bisa tidur karena harus menyetir.

Untungnya Alfa sudah diberi izin satu hari oleh pihak sekolah sehingga kami sekarang bisa berlibur bersama. Kalau aku sih tidak perlu izin karena aku memang bukan pekerja kantoran yang harus masuk Senin sampai Jumat.

 Arya mengelus-elus kamera DSLR mahalnya yang ia taruh di bagian antara kursi supir dan kursi penumpang depan. Ya, Aku hanyalah seorang fotografer profesional yang bekerja tiap kali ada projekan. Jadi cuma weekend ini saja jadwalku lagi kosong.

 Sang surya sudah mulai beranjak naik ke langit biru. Silau cahayanya yang menembus kaca depan mobilku jatuh ke pelupuk mata istri tercintaku, hingga membangunkannya dari tidurnya.

 “Huahhh!” ucap istriku sambil meluruskan tubuhnya dengan kedua tangannya meregang ke atas sama persis seperti kucingku Axel yang kami titipkan ke tetangga di rumah ketika ia juga baru bangun tidur.

 Bersamaan dengan istriku Amel yang terbangun, perutku pun terbangun dari tidurnya. Bedanya kalau Amel terbangun dengan menguap, sementara perutku terbangun dengan suara keroncongan yang sampai terdengar ke telinga Amel.

 “Mas sudah lapar? Oiya tadi subuh Mas belum sempat sarapan ya.”

 Amel merogoh tas hitam di bawah kursinya dan menemukan sebungkus roti kasur. Ia langsung membukanya dan menyuapiku yang sedang menyetir.

 “Ini Mas ganjal pakai roti dulu ya hehehe,” ucapnya masih dengan muka bantalnya.

 Aku membalas dengan senyum melihat kembali ke arahnya dan kemudian tertawa, “Ahaha!”

 Amel heran dengan tawaku. Aku tertawa karena putri tidur cantik di sampingku ini baru bangun dengan muka bantalnya dan kemudian menyuapiku dengan roti kasur. Bantal, kasur, ahahaha, aku tertawa receh hanya dengan hubungan kata bantal dan kasur saja. Barulahku sadari aku memang sudah hampir menyentuh kepala empat dan mulai cocok dengan jokes bapak-bapak seperti itu.

 Tak lama karena suara gelak tawaku tadi, ibuku dan Alfa ikut terbangun di kursi tengah.

 Alfa langsung bertanya, “Sudah mau sampai Ayah?”

 “Sudah setengah jalan,” jawabku. Karena kondisi jalan yang sepi dan sangat lancar dengan kecepatan sekitar seratus kilometer, mungkin sekitar sejam lagi insya Allah kami akan sampai di Kota Bandung. “Sejam lagi insya Allah sampai!”

 Mobilku terus melaju dengan kecepatan konstan melewati lika-liku jalan tol Cikampek.

 Alfa yang sudah mulai bosan dengan perjalanan akhirnya mengeluh juga, “Hmmm kapan sampainya. Sudah mulai pusing!”

 Padahal sejak bangun dari tidurnya tadi, kulihat Alfa hanya sibuk bermain game dengan gadgetnya.

 “Gimana nggak mau pusing, dari tadi kerjaannya cuma main game terus. Coba matiin dulu gamenya itu dan lihat-lihat sekeliling pemandangan gunung-gunung dan sawah-sawah yang hijau,” omel ibuku pada cucunya itu.

 Istriku hanya sekilas menengok ke kursi tengah. Alfa memang tidak pernah mabuk ketika dalam perjalanan panjang. Namun, ia hanya rewel dan cepat bosanan saja.

 Aku melihat plang hijau tol di atas bertuliskan Bandung dengan angka +- 40 KM di sampingnya. Kami sudah mulai memasuki tol daerah Padalarang.

 “Bentar lagi sampai paling insya Allah setengah jam lagi,” balasku mencoba menenangkan Alfa yang mulai grasak grusuk di kursi tengah hingga membuat mobilku yang sedang melaju kencang tidak stabil.

 Beberapa saat kemudian Alfa pun mulai tenang setelah dibujuk oleh istriku dengan diberi cemilan kesukaannya berupa satu potong slice keju yang sering ia gado saja tanpa tambahan apapun.

 Akan tetapi aku merasakan mobilku masih bergoyang tidak stabil meskipun Alfa sudah tenang di belakang. Aku mulai memelankan laju mobilku dan mengambil bahu jalan di sebelah jalan tol paling kiri. Kemudian kami turun dari mobil untuk mengecek ban mobilku terlebih dahulu.

 Ternyata ban mobilku kempes. Alfa langsung mengeluh, “Aduhhh padahal bentar lagi sampai! Kenapa pakai kempes segala sih!”

 Istriku Amel hanya tersenyum melihat anaknya itu sudah habis kesabarannya. Sementara ibuku menasehati Alfa kembali sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, “Haduhhh Alfa - Alfa …. Lanjutin saja sana main gamenya daripada marah-marah nggak jelas kayak begitu.”

 Alfa yang memasang muka cemberut langsung saja mengeluarkan gadgetnya lagi. Ibuku menatapku dengan muka lesuh juga, “Anak-anak zaman sekarang memang kesabarannya setipis tisu.”

 Entah mengapa aku menjadi mengingat kembali suatu momen penting yang mungkin bisa dibilang mengubah hidupku seratus delapan puluh derajat menjadi seperti sekarang ini. Momen di mana saat itu aku masih muda, bodoh, dan hanya berusaha bertahan hidup sebisa mungkin di tengah-tengah hiruk pikuk kehidupan metropolitan Kota Jakarta. Satu hal mengenai ban kempes yang membawaku sampai ke garis waktu saat ini.

...

Belasan tahun yang lalu, aku masih bekerja sebagai pekerja kantoran di salah satu perusahan jurnal kecil yang tiap harinya selalu memaksa semua karyawannya untuk bekerja melebihi batas.

 Bangun pukul lima, perjalanan ke kantor dua jam lebih dengan segala kemacetan di semua jalan Ibu Kota Jakarta. Sampai kantor langsung diberikan setumpuk berkas, file, dan pekerjaan yang harus diselesaikan saat itu juga.

 Jam makan siang pun tidak teratur. Bahkan lebih sering aku merapel makan siangku dengan makan malam. Jam pulang kantor yang sejatinya hanya sampai pukul lima sore, hanyalah imajinasi belaka dalam keseharianku.

 Sementara itu karyawan senior dan para atasan sudah lebih dahulu pulang pukul empat sore. Karyawan junior dan kelas bawah sepertiku menjadi tumbal mengerjakan pekerjaan mereka semua yang menumpuk.

 Biasanya aku pulang sekitar pukul delapan malam ketika semua pekerjaan sudah tinggal dirapihkan saja. Walaupun aku tahu pastinya esok hari berbagai macam pekerjaan-pekerjaan ini tidak akan ada ujungnya dan harus direvisi lagi sampai titik sempurna. Padahalkan tidak ada yang namanya sempurna di dunia ini, tapi apa boleh buat karena itu adalah permintaan atasan.

 Selain itu di atas pukul delapan malam, rute transjakarta yang kunaiki juga mulai renggang. Itulah mengapa aku lebih suka sekalian saja pulang malam dan melembur meskipun tidak ada uang bayaran tambahan daripada harus berdesak-desakan dengan bau ketek karyawan-karyawan yang habis pulang kerja juga.

 Lain halnya dengan perjalanan berangkat kantor yang pastinya bus transjakarta terisi penuh dengan pekerja lainnya bagaikan pepes yang dijemur, dalam perjalanan pulang ini, adalah satu-satunya kesempatanku mengistirahatkan kembali jiwa, raga, dan tubuhku di dalam bus transjakarta yang dingin, renggang, apalagi jika dapat tempat duduk.

 Tempat duduk favoritku adalah bagian kanan bus dekat jendela. Dari situ selama perjalanan aku bisa memandangi wajah orang-orang lainnya yang bekerja lesuh seharian penuh demi keluarga mereka di rumah. Hal itu kadang menjadi penyemangatku juga mengingat orang tuaku di kampung yang sudah membesarkanku sampai saat ini.

 Begitu juga pemandang-pemandangan gedung-gedung tinggi Ibu Kota, lalu lintas jalan, dan patung selamat datang bundaran Hotel Indonesia yang amat megah tiap harinya selalu menjadi suatu hal spesial untuk mengisi energi kehidupanku. 

 Omong-omong karena terdapat perhentian halte transjakarta baru nan modern di bundaran Hotel Indonesia, sesekali pikiranku mengide berhenti di halte tersebut untuk sekedar makan malam karena banyak juga jajanan atau pun tempat makan yang juga buka di halte tersebut. Ahhh, tapi itu hanyalah khayalanku saja. Buang-buang waktu saja.

 Setelah perjalanan pulang yang merelaksasikan itu, aku pun sampai di rumah pukul sepuluh lewat dan langsung tidur membanting tubuhku di kasur mengingat esok rutinitas membosankan ini harus terpaksa kujalani lagi dengan ikhlas dan sabar.

 Rasanya baru saja aku memejamkan mataku untuk tidur, mendadak terdengar suara paling horor yang berbunyi di pagi hari. Ya, apalagi kalau bukan bunyi alarm? Suara itu sangat menyiksaku karena aku sebenarnya kekurangan tidur dan masih butuh jam untuk tidur lagi.

 Tiap pagi aku berdoa pada yang Maha Kuasa, kapan ya …, aku bisa bangun dari tidur tanpa harus dibangunkan alarm? Maksudku adalah diriku yang bebas menentukan kapan waktunya harus bangun, bukan alarm berisik itu.

 Lagi-lagi suara alarm yang kedua kalinya berbunyi kembali, tanda kalau waktu untuk bermalas-malasan dengan kasur di pagi hari sudah habis. Pasti setiap orang di muka bumi ini memasang alarm paling tidak lebih dari tiga, entah itu selang lima menit, sepuluh menit, atau lima belas menit dan lain sebagainya.

 Aku harus bangun dari tarikan gravitasi tempat tidurku ini sebelum alarm ketiga berbunyi karena itu adalah tanda bahwa aku sudah telat. Akhirnya mataku terbuka menatap mentari pagi yang biasa-biasa saja seperti itu tiap harinya. Huft! Bayangkan saja harus terpaksa bangun di pagi hari seperti ini selama belasan tahun atau berpuluh-puluh tahun ke depan? Aku pun beranjak dari kasurku dan menuju kamar mandi. Setelahnya aku bergegas menuju kantor untuk menjalankan pekerjaan yang membosankan ini.

Di kantor, waktu berjalan sangat, sangat, sangatlah lambat. Di sela-sela menunggu beban kerja lainnya yang akan segera ditimpakan kepadaku, aku selalu melamun sejenak memikirkan hal random apa pun itu.

 Misalkan saat ini aku sedang memikirkan Einstein. Ya, Albert Einstein sang fisikawan jenius itu. Ia benar masalah relativitas waktu. Satu hari di kantor bagaikan seribu tahun lamanya. Waktu akan berjalan lambat ketika kita menjalani sesuatu yang tidak kita sukai. Sebaliknya, waktu akan terasa cepat jika kita menyukai dan menikmatinya. Meskipun sebenarnya sih bukan itu poin penting yang Einstein maksud. Itu hanyalah metafora belaka, untuk masalah relativitas waktu yang sebenarnya tanyakan saja sama anak fisika.

 Omong-omong tentang fisika, yang aku ingat ketika pelajaran fisika di SMA adalah hukum kekekalan energi. Energi tidak bisa diciptakan atau pun dimusnahkan, energi hanya bisa beralih dari energi satu ke energi yang lainnya. Nah itu sama halnya seperti pekerjaanku yang tidak ada selesainya ini. Pekerjaanku tidak bisa diciptakan maupun dimusnahkan, ia hanya bisa beralih dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya sehingga tidak ada kunjung habisnya.

 Tak terasa matahari sudah kembali terbenam di tempatnya. Kondisi kantor yang mulai sepi, hanya tinggal aku seorang merapihkan beberapa berkas presentasi untuk esok hari, ditemani dengan suara tik! tak! tik! tak! dari jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Akhirnya hari yang panjang pun selesai dan waktunya pulang. Seperti biasa aku pulang dengan rute transjakarta yang sama, di depan sudah terlihat patung selamat datang bundaran Hotel Indonesia yang mengarah padaku dengan wajah gembira mereka.

 “TUSSSSSSS!!!!!!!” Tiba-tiba saja bis ini bergoyang kencang, ternyata bannya kempes. Untung saja pas sekali bis ini sedang berhenti di halte bundaran Hotel Indonesia. Akhirnya terpaksa kami penumpang semua diturunkan di halte ini. Bus dengan ban kempes itu langsung buru-buru di derek agar tidak menghalangi jalan bus yang lainnya. Sehingga kami pun siap-siap untuk menaiki bus lainnya tersebut.

 Akan tetapi rasanya ada yang kurang, aku lupa belum sempat makan malam di kantor tadi. Maklum saja memang, aku terbiasa lupa makan malam karena tidak ada yang mengingatkan. Kalau sudah lupa seperti ini, aku terkadang makan seadanya di kosanku. Namun, untuk malam ini rasa lapar di perutku lain dari biasanya, sepertinya tidak bisa tertahan sampai kosan nanti.

 Bis pengganti sudah tiba, aku hendak melangkahkan kakiku untuk naik tetapi tidak jadi. Pikirku kali ini ada baiknya langsung makan saja dan mencoba jajanan di halte ini, sekaligus memenuhi khayalanku di hari-hari kemarin untuk sekedar mampir melepas lapar.

 Yap!, aku melangkahkan kakiku mundur dan memutuskan untuk bermain-main sejenak di halte transjakarta bundaran Hotel Indonesia. Terima kasih berkat ban kempes transjakarta tadi, aku bisa sejenak mampir di halte modern ini.

 Tak butuh waktu lama, aroma roti panggang langsung tercium oleh indera penciumanku yang sekarang ini menjadi setajam kucing karena rasa lapar yang menggerogoti. Aku pun langsung mengikuti sumber dari bau harum yang asalnya dari toko roti berwarna kuning di ujung halte.

 Aroma itu semakin kuat dan menuntun batang hidungku kepadanya sampai-sampai membuat tubuhku melayang tidak menapaki tanah layaknya di film-film kartun, ahahah tapi itu sih rasanya mustahil ya.

 Mungkin gara-gara rasa lapar ini aku menjadi kebanyakan berhalusinasi, bahkan ketika sudah sampai di depan toko roti ini! Aku melihat sesosok bidadari manis cantik yang menyamar menjadi penjual roti.

 Senyumannya yang menenangkan jiwa, rambut panjang hitamnya yang tergerai bebas dengan ujungnya yang meliuk manja, kemudian menanyakan sesuatu kepada makhluk bumi biasa ini, “Malam Kak, mau roti rasa apa?”

 Aku terdiam sunyi tidak percaya, bidadari ini berbicara padaku! Sontak seorang makhluk bumi kecil lainnya di belakangku menyadarkanku dari lamunanku itu.

 “Om cepetan dong ngantri nih!” seru anak kecil rese itu.

 “Oiya!” sahutku. Aku mencoba mengumpulkan kesadaranku kembali bahwasanya di depanku ini ternyata adalah juga makhluk bumi sama sepertiku.

 “Mmm rasa manis ada?” tanyaku spontan.

 “Rasa …, manis?” herannya. Aku hanya membalas dengan anggukan pelan masih menatapi keanggunannya.

 “Rasa coklat, rasa keju, manis juga Kak.” responnya dengan lembut.

 “Iya manis …,” jawabku lagi.

 “Baik Kak roti rasa coklat dan kejunya masing-masing satu ya Kak?”

 Beberapa saat aku kembali ke dalam lautan lamunan memandangi makhluk bumi tercantik yang pernah aku lihat semasa hidupku ini. Kali ini bukan anak kecil di belakangku yang membangunkanku dari lamunanku yang sekarang melainkan bunyi dari perutku yang dari setadi sudah lapar.

 “Ohhh iya Kak.”

 “Semuanya jadi dua puluh ribu,” ucapnya sembari memberikan dua bungkus roti coklat dan keju yang aku sendiri juga bingung mengapa aku memesan dua roti.

 Aku lalu memberikan selembar uang hijau kepadanya masih dengan pandanganku yang terpaku menuju matanya. Semoga saja ia tidak terganggu dengan tatapanku ini. Kami bertatapan beberapa saat. Ia lalu tersenyum tersipu malu kemudian mengodekanku dengan anggukannya seolah bertanya kembali, ada yang bisa dibantunya lagi?

 “Ohhh maaf uangnya pas ya. Hehehe terimakasih.”

 Aku perlahan beranjak dari toko roti tersebut dengan masih memperhatikan sesekali dirinya yang lanjut melayani pelanggan lainnya. Hmmm, rasanya aku akan lebih sering bermain ke halte transjakarta bundaran Hotel Indonesia ini untuk bertemu dengannya kalau-kalau memang ia mendapat penempatan permanen di gerai bagian halte transjakarta bundaran Hotel Indonesia ini.

 Tak ingin rasanya waktu berlalu dengan cepat. Dari kejauhan sambil memakan rotiku, aku mencuri-curi pandang ke arah tempat di mana perempuan manis yang belum kukenal namanya masih sibuk menjaga toko rotinya itu.

 Ge-ernya aku sempat mengira jika ia menyadari bahwa aku terus memperhatikannya dan lalu menatapku juga dari tokonya. Aku takut nanti ia menyangka kalau aku adalah stalkernya ahaha. Jadi agar jaga-jaga hal itu tidak terjadi, kualihkan pandanganku ke arah lain meskipun sulit.

 Satu-satunya yang menarik pandanganku di halte keren ini selain makhluk bumi setengah bidadari tadi adalah patung selamat datang bundaran Hotel Indonesia. Dalam gemerlapnya malam yang di selimuti cahaya-cahaya gedung pencakar langit Ibu Kota dengan kilap lampu-lampu kendaraan yang sibuk berlalu-lalang di jalanannya, pandanganku tertuju pada seorang lelaki yang berpose setengah jongkok, sedang mengarahkan kameranya ke sepasang patung batu yang sedang dikelilingi air mancur warna-warni.

 Gelagatnya menunjukkan keseriusannya mengambil foto tersebut dengan kamera mahalnya. Lelaki itu mengingatkanku dengan hobi lamaku yang terpendam yakni fotografi. Sejak sekolah dasar aku memang suka menggambar, apalagi gambar-gambar alam seperti pantai, gambar matahari yang muncul di antara dua gunung dengan sawah kotak-kotak melengkapinya yang semua orang pasti tahu dengan gambar template lagendaris itu.

 Sampai SMP, rasanya keahlian menggambarku menurun drastis. Aku rasa diriku menginginkan sesuatu yang lebih daripada hanya sekedar menuangkan imanjinasi ataupun visualisasiku sendiri dari pemandangan-pemandangan alam maupun yang lainnya ke dalam seutas gambar saja di atas kertas. Aku ingin langsung mengambil pemandangan itu, secara realistis. Jadi ketika memasuki SMA, aku menekuni fotografi. Untungnya di SMAku terdapat ekskul fotografi yang memfasilitasi para siswanya dengan kamera-kamera pinjaman. Aku sangat bersyukur saat itu karena aku pasti tidak akan mampu membeli kamera-kamera mahal tersebut.

 Singkat cerita semasa kuliah, aku berhasil membeli kameraku sendiri dari hasil uang jeri payahku menabung. Selama kuliah sampai semester akhir di sela-sela sibuknya perkuliahan jurnalistik, terkadang aku menyalurkan hobiku melalu kamera itu. Namun, sudah terhitung dua tahun lamanya sejak terakhir kali aku hunting foto dengan teman lamaku yang bernama kamera karena sibuknya pekerjaan yang tiada habisnya. 

 Jadi aku mendekati lelaki tersebut setelah ia selesai mengambil beberapa foto patung selamat datang. Kami berkenalan, untungnya ia adalah orang yang ramah. Aku pun terbuka menceritakan mengenai hobiku fotografi juga. Ia kemudian memperlihatkan foto-foto hasil huntingnya dari kameranya langsung kepadaku.

 Jiwa fotografiku merasa terpanggil kembali dan kemudian, “Teet teeet teeeet!” bunyi jam tanganku menandakan pukul sepuluh malam. Aku harus buru-buru kembali ke halte karena bis terakhir menuju kosanku adalah pukul 10:15.

 Aku merasa berterimakasih pada lelaki tadi yang sudah mengingatkanku akan mimpi lamaku lagi, aku pernah bermimpi ingin menjadi fotografer. Ketika aku sudah berpamitan dengannya tiba-tiba saja ia menawariku untuk bertukar kontak dan mengajakku untuk hunting foto bersama di lain waktu. Sepersekian detik dalam hatiku hendak mengatakan tidak bisa karena pasti tidak ada waktu untuk hal tersebut. Namun, secercah kepingan hati kecilku yang lain tiba-tiba saja berbisik.

 Kenapa tidak coba terima saja? Ada waktu tidak ada waktunya itu dipikirkan belakangan saja! Benar juga kata hati kecilku ini. Akhirnya kami pun bertukar kontak. Lelaki itu berkata biasanya ia lebih sering hunting di jam malam karena suasana hening malam yang lebih syahdu membuat energi pengambilan fotonya lebih bagus. Di samping itu sebenarnya ia juga pekerja kantoran sepertiku. Jadi kami pun berpisah, aku menuju ke daerah halte setelah berpamitan mata juga pada bidadari cantik di toko roti ujung halte.

 Sesampainya di halte, aku menunggu kedatangan bus yang sepertinya akan menjadi bus terakhir menuju tujuanku di hari ini. Tak lama yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Pintu bus terbuka, orang-orang di depanku yang mengantri lalu memberikan jalan pada penumpang lainnya yang baru keluar dari bus tersebut.

 Sampai pada dua penumpang terakhir yang turun, para penumpang yang akan naik masih belum juga cepat-cepat berdesakan untuk masuk. Aku heran sejenak. Ternyata sepasang penumpang terakhir yang turun adalah seorang lelaki muda yang sedang menggandeng pelan nenek tua. Dengan lambat, nenek tua itu melangkahkan kakinya secara sangat hati-hati bersama dengan lelaki muda di sampingnya yang tulus menemaninya. Sepertinya lelaki itu adalah anak dari nenek tua tersebut.

 Aku beranjak dari posisi berdiriku dan loncat memasuki bus, sementara itu nenek tua dengan anaknya tadi malah mengingatkanku lagi pada kedua orang tuaku di kampung. Kalau dipikir-pikir, kapan ya terakhir kali aku menghubungi orang tuaku?

 Mmm, sebulan yang lalu mungkin ketika adik bungsuku sedang membutuhkan uang tambahan untuk kuliahnya. Ya benar, sebulan yang lalu tidak terasa. Bisa dibilang itu adalah waktu yang cukup lama bagi seorang anak tidak mendengar kabar apa pun dari orang tuanya. Dari dulu aku memang cukup mandiri untuk segala sesuatunya sehingga aku pun tumbuh menjadi seorang yang tidak terlalu dekat dengan orang tuaku.

 Tapi di dalam bus yang terus berjalan pulang ini, aku membayangkan lagi kedua wajah orang tuaku yang sudah menua, seperti seorang nenek tua tadi yang di antar oleh anaknya. Aku lekas membuka handphoneku dan memencet nomor ibuku. Rasa rindu mendadak hinggap sampai ke ulu hatiku kepada orang tuaku di kampung.

 Saat menunggu telepon tersebut dijawab, rasa sesal di dalam dada juga ikut menghampiri. Mengapa selama ini aku jarang sekali berkomunikasi dengan mereka. Jadi, selagi masih ada waktu, selagi mereka masih ada di dunia ini, aku tersadarkan untuk memanfaatkan waktu yang Tuhan masih berikan padaku dan kedua orang tuaku ini.

 Teleponku lalu terangkat, aku langsung menjawabnya, “Assalamualaikum Bu, Halo?”

 ...

Sekelibat memori di saat aku pertama kali merehatkan diriku sejenak dari rutinitas harianku di halte modern transjakarta teringat lewat dengan cepat. Tak terasa hal itu sudah terlewat belasan tahun yang lalu.

 Alfa terus meracau gara-gara ban kempes ini, perjalanan menuju liburan tertunda sampai beberapa jam lamanya. Akhirnya setelah mobilku dibenahi, kami melanjutkan perjalanan. Saat di mobil, Alfa masih memasang muka cemberutnya. Aku lalu mencoba merayunya.

 “Sudah-sudah, jangan cemberut lagi. Nanti pas sampai Bandung insya Allah Ayah belikan es krim langsung!”

 “Beneran Yah?” tanyanya antusias.

 Aku mengangguk. Ia lantas membuang muka cemberutnya tadi dan langsung diganti dengan wajah senang tersenyum penuh. Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk memberikan beberapa petuah atau nasihat padanya sebagai seorang ayah.

 “Kalau ada musibah, itu kita harus sabar. Pasti segala sesuatunya sudah di atur sama Allah untuk kebaikan kita juga,” ucapku sembari sekilas menengok Alfa ke belakang yang mengangguk-anggukkan kepalanya menandakan ia menerima nasihatku tadi.

 “Nah kalau dapat nikmat juga harus kita syukuri dengan mengucapkan alhamdu?” tanyaku terputus sengaja agar anakku merespon dan melanjutkan kata tersebut untuk mencairkan suasana lagi.

 “Lillah …!” serunya dengan semangat. Kini Alfa sudah ceria kembali.

 Neneknya di sampingnya yang merasa bangga mempunyai cucu seperti Alfa mengelus-elus kepala serta rambut Alda dengan penuh kasih sayang. Sementara itu Istriku di depan melemparkan senyuman manisnya juga kepadaku dan kepada ibuku serta anak kita di kursi belakang.

 Namun, tiba-tiba di depan terjadi kemacetan parah. Sepertinya perjalanan ke Kota Bandung kali ini benar-benar penuh rintangan. Dari arah luar samping kiri mobilku terdapat tukang asongan penjual makanan yang biasa muncul entah darimana di tol jika terdapat situasi macet di tol seperti ini. Seperti biasa mereka menjajakan makanan-makanan tidak berat seperti tahu sumedang, potongan mangga, telur puyuh, dan lain sebagainya yang dibungkus plastik dijual seharga lima ribuan.

 Istriku dengan cepat membuka jendela mobilnya. Ia memanggil pedagang makanan asongan tersebut bermaksud untuk bertanya ada kemacetan apa di depan sembari basa-basi untuk menglariskan dagangan pedagang asongan makanan tersebut juga.

 Istriku mengambil tiga bungkus makanan tahu sumedang, telur puyuh, dan potongan mangga masing-masing sekaligus lalu bertanya, “Di depan ada macet apa ya Pak?”

 Pedagang asongan itu menjawab, “Ohhh beberapa jam yang lalu ada kecelakaan beruntun Bu yang memakan lumayan banyak korban jiwa. Maklum daerah rawan kecelakaan.”

Mendengar hal tersebut, di dalam mobil kami semua terdiam. Untung saja lagi-lagi peristiwa ban kempes yang diberikan Tuhan padaku, semenjak dahulu juga sempat membawa jalan takdirku menuju keberuntungan menjadi seperti ini, sekarang menghampiriku lagi. Bagaimana jikalau tadi kami terus melaju dan tidak ada peristiwa ban kempes? Mungkin bisa jadi kami menjadi salah satu korban dari ketabrakan beruntun di depan.

END

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
lanjutkan🥰
@foggy81 : Heheh terimakasih, lagi rehat sejenak dari dunia pertulisan nih 😁
Ada tiga unsur yang saya suka di cerpen ini: Bandung, Kamera, dan Fisika hehehe... bagus, Kak!
Terimakasih hehehe
Menarik❤
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi