Disukai
1
Dilihat
1149
Lost In Translation (Karena kamus saja tidak cukup)
Slice of Life

Lost in Translate

(ternyata kamus saja tidak cukup)

 

 

Aku tinggal di sebuah kota, sebut saja namanya Kota Ini. Lingkungan tempat tinggalku di Kota Ini tadinya sunyi dan sepi sehingga aman dan nyaman untuk ditinggali. Kami pun hidup bertetangga dengan baik. Kami memegang prinsip sederhana, bertingkah laku sopan dan santun. Dengan prinsip itu, kehidupan pertetanggaan kami berlangsung harmonis selama kurang lebih tujuh puluh tahunan.

Rumah-rumah kami bergaya kolonial lengkap dengan halaman rumah yang luas memisahkan satu rumah dengan rumah lainnya membuat konflik antar tetangga jarang terjadi. Tidak ada masalah talang air, parkir, corat-corat anak-anak atau hewan peliharaan nyasar ke halaman tetangga.

Seiring semakin menuanya para pemilik rumah, kehidupan bertetangga juga berubah. Ada pemilik yang pindah, ada rumah yang dijual atau disewa, dan ada rumah yang kosong terbengkalai.

Lingkungan yang tadinya adalah lingkungan hunian, lengkap dengan banyak sekolah, berubah menjadi kafe, restoran dan hotel. Lingkungan kami dan juga Kota Ini berubah wajah dari kota yang banyak sekolah menjadi kota yang banyak kafenya.

Mengapa bisa berubah seperti itu?

Iya, dulu Kota Ini menjadi pusat sekolah-sekolah berkualitas andalan pelajar se-Indonesia. Banyaknya sekolah membuat warga Kota Ini membuka bisnis yang berhubungan dengan kebutuhan para siswa, seperti toko buku dan alat tulis, toko seragam, asrama siswa dan kos, serta warung makanan murah. Pabrik yang dibangun pun masih berhubungan dengan kebutuhan sekolah seperti pabrik kertas dan pabrik benang.

Pendidikan yang baik membuat anak-anak muda asli Kota Ini laris dipekerjakan di kota-kota besar. Mereka mampu bekerja di berbagai bidang. Bahkan, mereka sanggup membeli rumah di kota. Mereka mengajak orangtuanya untuk tinggal di kota agar dapat menemani cucu maupun agar orangtuanya tidak sendirian di rumahnya di desa. Kota Ini pun lama-kelamaan kehabisan penghuni. Kota Ini seperti berhenti mengikuti zaman.

Di samping itu, kebijakan pertanahan di Kota Ini membuat kaum mudanya berpikir dua kali sebelum memutuskan tinggal di sini.

Pada prinsipnya, hukum pertanahan di Kota Ini secara garis besar mengakui bahwa seluruh tanah dan bangunan adalah milik pemimpin kota, dan warganya hanya dipinjamkan. Dalam konteks ini, tidak semua tanah dan bangunan di sini berhak mendapat SHM. Itulah sebabnya status rumah di Kota Ini banyak yang masih HGB bukan SHM. HGB harus diperpanjang dan membayar jumlah tertentu. Bahkan, khusus bagi warga Tionghoa, rumah dan tanah mereka hanya bisa berstatus HGB. Tidak bermaksud rasis, tapi itulah hukum yang berlaku dan legal. Aku tidak tahu kenapa Kota Ini berbeda aturan dari saudara-saudaranya se-Indonesia.

Status HGB sangat menguntungkan pebisnis. Sebaliknya, bagi rumah tinggal status HGB bikin was-was. Kami harus mencadangkan uang dalam jumlah tertentu agar saat jatuh tempo perpanjangan, kami bisa melunasi. Kalau lupa mengurusnya, proses perpanjangan HGB harus dimulai lagi dari awal yakni mengajukan permohonan serta pengukuran tanah dan bangunan. Bagi generasi muda Kota Ini, status HGB terasa membebani sehingga banyak yang memilih merantau. Akibatnya, banyak rumah dibiarkan kosong tak terawat, terutama di kawasan kuno dan pecinan.

Para pemilik rumah ada pula yang lebih memilih menjual rumahnya ketimbang pusing mengurus status rumah. Karena harga rumahnya rata-rata di atas sepuluh milar, pembelinya pun kebanyakan dari kalangan pengusaha hotel.

Pemilik rumah yang masih ingin tinggal di rumahnya pun harus memutar otak. Bagaimana caranya mendapat uang untuk hidup, merawat rumah, dan perpanjangan HGB. Maka jalan satu-satunya adalah dengan menyewakan kepada siapa pun tanpa pandang jenis usahanya. Penyewa yang sanggup membayar uang sewa sekitar 200 juta per tahun, sebagian besar pengusaha kafe atau restoran. Lambat laun, kafe, restoran dan hotel tumbuh di tengah-tengah hunian.

Kalau kalian bertanya-tanya mengapa ada kafe, restoran, dan hotel di tengah-tengah perumahan, itu karena Kota Ini tidak memberlakukan sistem zonasi seperti halnya Jakarta. Ada sisi baiknya sih. Rumah-rumah kuno yang kosong bisa berpenghuni kembali. Konon katanya pengusaha lebih menyukai banguan ber-HGB ketimbang SHM.

Sisi buruknya, lingkungan perumahan tidak bisa setenang dulu lagi. Suara alat berat dari proses renovasi yang berlangsung 24 jam, dan suara mesin bus rombongan mendinginkan AC sebelum penumpang naik, menjadi masalah sehari-hari.

Yang paling menggelikan adalah ketika ada wisatawan yang berpose di depan rumah. Kalau pagar tidak digembok, mereka bisa foto-foto di teras dari gaya biasa sampai gaya romantis. Mungkin mereka tidak mengira rumah kuno juga masih ada manusia penghuninya. Lalu bisa juga saat kamu sedang di kebun, tiba-tiba ada yang memotret rumahmu beserta dirimu. Saat seperti itu, aku merasa seperti mammoth langka yang tertangkap kamera. Haha! Ada-ada sajalah kelakuan wisatawan itu. 

Selain itu, karena halaman rumahmu luas, kamu harus bersedia merelakan bagian depan (luar pagar) untuk parkir; dari mobil, taksi, truk ekspedisi, bus rombongan sampai tongkrongan anak sekolah. Uniknya, warga Kota Ini gemar sekali parkir tepat di depan gerbang. Biarpun rumah kami rumah kuno ala rumah di film-film horor tapi kami kan manusia bukan hantu yang bepergian dengan melayang ke sana kemari.

Makin apes kalau kamu tidak punya mobil karena kamu tidak punya alasan menggunakan pintu gerbangmu. Aku termasuk si apes itu. Aku tidak punya mobil karena merasa belum membutuhkan mobil. Pekerjaanku freelance editor, dan tidak butuh ke kantor setiap hari. Kalaupun bepergian, tinggal mencari di aplikasi. Makanan dan kebutuhan sehari-hari juga lebih menarik lewat aplikasi karena diskon. Repotnya kalau paket datang berbarengan dengan orang parkir atau anak nongkrong, aku yang punya rumah malah dipelototi orang parkir seolah-olah aku yang mengganggu. Aneh banget!

Itulah kehidupanku sehari-hari dengan para tetangga. Dulu masalah-masalah seperti itu sudah membuatku sangat jengel. Namun, ternyata hadir hal lain yang lebih menjengkelkan.

Pada suatu hari, datanglah seorang pengusaha menyewa rumah tepat di belakang rumahku. Sebut saja dia Pak 30, karena rumah yang disewa itu rumah bernomor 30.

Pak 30 mengunjungi rumahku untuk bertemu tanteku, yang menjadi RT dan tinggal bersama kami karena putri tunggalnya tinggal di luar pulau. Tanteku itu umurnya sudah 60-an tahun. Lho kok masih jadi RT? Di sini, tidak ada batasan usia untuk menjadi RT.

Pak 30 itu menemui tanteku dan memberitahu bahwa dia menyewa Rumah 30 untuk dijadikan social house. Di daerah kami memang tidak butuh izin tertulis dengan materai dan cap untuk izin usaha, hanya memperkenalkan diri saja. Tante pada saat itu langsung mengiyakan dan tidak bertanya-tanya lagi. Dalam benaknya, social house itu adalah rumah sosial. Tante pikir social house sama artinya dengan panti sosial.

Usai kunjungan Pak 30, tanteku memberitahuku kalau Rumah 30 akan menjadi panti sosial, dan dengan bodohnya aku berasumsi sendiri kalau mungkin saja itu panti asuhan. Tante tidak bilang kalau akan menjadi social house. Terjemahan yang sudah salah pun menjadi semakin salah. Huh!

Aku dan Tante bahkan berdebat panjang tentang harga sewa Rumah 30 yang 200 juta per tahun, dengan luas tanah dan bangunan 800 m2 dan cuma punya tiga kamar saja. Pak 30 menyewa selama 5 tahun. Menurutku, ketimbang memboroskan uang satu miliar untuk menyewa rumah, mending uangnya dibelikan rumah di pinggiran kota.

Kami, aku dan tante, juga bingung masak sih di lingkungan wisata bule, yang artinya segalanya serba mahal, ada orang hendak membentuk panti asuhan? Karena lingkungan bule, sekolah-sekolah di sini pun sekolah internasional (multicultural), tidak ada sekolah berbasis agama. Padahal panti asuhan biasanya dibawah naungan yayasan keagamaan.

Di seberang Rumah 30 ada deretan wisma mahasiswa dari berbagai daerah. Kota Ini punya kampus ternama. Jadi wajarlah kalau ada wisma mahasiwanya. Tapi panti asuhan anak-anak? Hendak bersekolah di mana anak-anak itu?

Hari demi hari Rumah 30 tidak ada tanda-tanda orang pindahan. Tidak ada truk besar ke tempat itu. Setidaknya, panti asuhan pasti punya lemari, meja, dan tempat tidur. Tapi ini kok sepi-sepi saja. Sampai suatu hari, datang tukang bangunan. Mereka baru mulai bekerja pukul delapan malam sampai menjelang pagi.

Aku masih mengira bahwa Rumah 30 bakal menjadi panti asuhan. Oleh karena itu, kupikir proyek renovasi dilakukan malam hari karena di siang hari donatur mengerjakan proyek utamanya.

 Setiap malam, para tukang bangunan menyetel suara musik keras-keras. Menyebalkan sih, tapi aku mencoba bertahan dengan alasan, mungkin pak tukang lelah habis bekerja di proyek lain.

Sekitar tiga bulan lamanya aku biarkan mereka dengan musiknya yang kencang. Sampai suatu malam, mereka menyalakan speaker. Suaranya tidak hanya keras tapi juga berdebum-debum. Ah… itu mungkin lagi tes suara dalam rangka memasang peredam di ruang musik atau ruang bermain anak-anak panti asuhan, begitu pikirku.

Eh, tapi keesokan malamnya suara menggelegar lagi, dan malam berikutnya juga. Sampai semingguan mereka masih bermusik dengan menggelegar. Lagi-lagi aku masih berpikiran, karena ini juga dari donasi, mungkin menunggu teknisi audio (sound engineering) selesai dari proyek utama baru mengerjakan proyek amal.

Malam minggu, mereka bermusik kencang sekali. Bahkan terdengar musik ala DJ night club sampai jam empat pagi. Namun, aku masih berpikiran, mungkin pak tukang ikutan demam musik EDM yang memang sedang mewabah di kota kami; dari kafe sampai pengamen di perempatan semua ber-EDM ria lengkap dengan DJ controller dan speakernya.

Saking kolotnya aku, aku malah ngeri mendengar musik EDM mengentak-entak dari balik tembok rumahku. Jangan-jangan para pekerja itu mabuk-mabukkan di sana. Tembok batas rumahku dan Rumah 30 hanya setinggi lima meter, tidak bisa lebih ditinggikan lagi. Ada tower air milik Rumah 30 yang sangat mepet dengan tembok kami.

Warga Kota Ini biasa membangun sesuatu menempel pada tembok batas tetangganya agar ada lahan untuk taman tengah. Misalnya begini: mereka membangun dapur, gudang, kamar mandi yang terpisah dari rumah utama. Jadi, antara rumah utama dan bangunan utama ada lahan hijau untuk taman dan sirkulasi udara. Selain itu, membangun bangunan tambahan melekat di tembok tetangga hemat bahan bangunan. Kamu bisa berhemat satu sisi tembok (seharusnya bangunan itu kan setidaknya terdiri dari empat sisi tembok), dan cukup membangun separuh atap saja. Meskipun akibatnya kamu bisa mendengar suara kamar mandi atau suara dapur, yang penting hemat dulu. Sialnya kalau rumah tempelan itu direnovasi. Suara gempuran godam pak tukang bisa menggetarkan seluruh raga. Ibuku pernah sampai harus opname gara-gara sakit kepala hebat ketika tetangga sebelah menggempur bak mandi yang posisinya persis di kamarnya.

Jadi, tidak heran kalau Rumah 30 membangun toren sangat mepet ke tembok rumahku. Mungkin empat puluh tahun lalu sang pemilik tidak membayangkan kalau tetangganya butuh tembok pembatas tinggi sebab hubungan pertetanggaan kami selama ini memang baik-baik saja. Sampai pemilik Rumah 30 pindah ke rumah anaknya dan rumah itu disewakan. Penyewa Rumah 30 itulah yang akan membuka ‘panti asuhan’.

Ternyata suara musik EDM tidak hanya malam minggu itu saja. Keesokan harinya, mereka memainkan musik EDM lagi. Kali ini malah mulai jam lima sore. Aku penasaran. Kenapa tes suara tidak selesai-selesai juga. Yah, minimal ada kemajuanlah, semakin hari semakin pelan suaranya. Ini malah semakin keras.

Demi menuntaskan rasa penasaranku, aku mendatangi panti asuhan itu. Kupikir, siapa tahu mereka ada kesulitan mengatasi kebocoran suara. Ayahku arsitek, jadi kupikir kalau benar mereka kesulitan, ayahku bisa membantu. Akhirnya, aku mendatangi Rumah 30.

Aku terkejut saat melihat hasil renovasi Rumah 30 yang sangat tidak panti asuhan banget. Rumah itu awalnya berpagar hitam. Tapi pagarnya justru dicopot. Apa anak-anak nggak bakalan tidak sengaja lari ke jalan ya? Jalanan depan Rumah 30 meskipun tampaknya sepi, bisa tiba-tiba ramai kalau ada jalan utama yang ditutup atau macet.

Halaman Rumah 30 yang bersemen rata diubah menjadi hamparan kerikil putih. Apa anak-anak tidak akan sangat kesakitan kalau terjatuh? Kataku membatin. Aku juga tidak melihat mainan ayunan, jungkat-jungkit atau perosotan. Ah, mungkin halaman ini nanti difungsikan sebagai tempat parkir tamu, begitu pikirku.

Meskipun Rumah 30 tidak seperti gambaran panti asuhan dalam benakku, aku masih saja berpikiran mungkin ini panti asuhan remaja. Toh, beberapa meter dari Rumah 30 terdapat kawasan sekolah kejuruan dari SMU sampai sekolah vokasi (D3) bagian dari universitas ternama. Mungkin Rumah 30 panti asuhan remaja yang anak-anaknya akan bersekolah di sekolah menengah kejuruan, begitu perkiraanku.

Aku akui, pemikiranku sempit dan kuno sekali. Di benakku, anak-anak panti asuhan diarahkan ke sekolah kejuruan agar mereka bisa lekas mandiri. Padahal kan anak-anak panti asuhan masa kini punya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan sesuai minat dan kemampuannya.

Gara-gara pikiran yang sempit itulah, aku masih berusaha menjejalkan stigma panti asuhan ke Rumah 30. Andaikan pikiranku lebih terbuka, aku mungkin bisa lebih cepat menyadari kalau Rumah 30 bukanlah panti asuhan.

Aku melangkah masuk ke teras Rumah 30. Dari jendela aku melihat bagian dalamnya masih dipenuhi peralatan pertukangan. Belum ada kursi tamu atau perabotan lainnya. Aku mengetuk pintu. Namun, tidak ada yang membukakan. Pintunya tidak dikunci sih, tapi kurasa tidak sopan langsung nyelonong masuk. Aku ketuk sekali lagi. Masih tidak terdengar jawaban, hanya suara musik berdentam keras.

Aku melongok ke kanan dan ke kiri. Di sisi kanan dan kiri ada pintu bambu yang memisahkan halaman depan dan halaman belakang. Tadinya, pintu-pintu itu tidak ada. Dari halaman belakang kita bisa bebas melihat ke halaman depan. Mungkin halaman belakang disekat agar bisa digunakan untuk taman bermain atau tempat bersantai?

Aku berjalan ke sisi kiri, dan mencoba mendorong pintu di sana. Pintu bambu itu tidak bisa dibuka. Dari celah-celah bambu aku melihat rantai besar dan gembok mengunci pintu itu. Aku beralih ke sisi kanan lalu mendorong pintu di sana. Terbuka. Aku pun masuk. Dan… voila!

Aku serasa masuk ke bar di pantai. Taman belakang Rumah 30 ditutup atap rumbia yang ujung-ujungnya menjulur-julur. Aku mulai curiga ini bar, tapi lagi-lagi aku masih berpikiran ini taman yang didekorasi ala hutan rimba dan atap rumbia seakan-akan rumah pohon raksasa tempat anak-anak bermain. Sungguh pikiran yang naif!

Aku mengerjap-ngerjapkan mata menyesuaikan pandangan dari tempat terang ke tempat gelap. Atap rumbia dan lampu kuning redupnya membuat halaman belakang lebih gelap dari halaman depan.

Setelah mataku berhasil menyesuaikan diri, aku melihat meja DJ controller dan di belakangnya ada lemari berisi deretan miras. Seketika itu juga kakiku terasa lemas. Ini bukan panti asuhan, ini bar. Kulangkahkan kakiku mundur, ingin melarikan diri tapi rasa jengkel atas musik berdebam tiba-tiba lebih menguasaiku. Dengan emosi aku mendatangi dua laki-laki yang duduk di sana, yang satu berambut kribo dan satunya berkacamata. Mereka duduk membelakangi pintu tempatku masuk dan keduanya juga sedang sibuk dengan ponsel masing-masing sehingga sedari tadi mereka tidak menyadari kedatanganku.

“Selamat malam, Pak,” sapaku.

Mereka berdua terkesiap kaget. “ Eeh, malam Bu. Ada apa ya? Laki-laki berambut kribo menyapa salamku. Temannya si kacamata masih sibuk berkutat dengan ponsel.

“Maaf, Pak. Musiknya bisa dilirihkan? Terdengar keras sekali dari rumah saya,”

“Oh itu mungkin dari bengkel seberang, Bu. Bukan dari kami,” sahut Si Kribo.

“Bengkel sepi, Pak. Mereka kadang-kadang cuma nyanyi bareng kalau sore saat pergantian shift pagi dan malam. Dan ini sudah malam, jadi tidak mungkin mereka. Kami sudah lama bertetangga sehingga sudah hafal kebiasaan masing-masing,” jelasku panjang lebar.

“Oiya ya? Kalau begitu, nanti saya kecilkan volumenya,” sahat Si Kribo.

“Baik, Pak. Terima kasih,” kataku lagi. Mataku melirik melihat ke sudut-sudut halaman dan menemukan ada enam speaker terpasang di tembok batas. Dua speaker di tembok belakang yang berbatasan dengan rumahku, dua di tembok batas kanan yang berbatasan dengan rumah tetangga, dan dua speaker di tembok batas kiri yang berbatasan dengan rumah tetangga sekaligus kos putra.

Karena melihat enam speaker itu aku merasakan ada bahaya polusi suara mengancam. Aku memberanikan diri bertanya lagi, pertanyaan yang setelah kupikir-pikir di kemudian hari terasa bodoh. “Itu… speaker sebanyak itu buat apa, Pak?”

“Ya buat musik, Bu. Live music,” kata Si Kribo.

“Sekeras ini? Tapi nanti pakai peredam, kan?” cecarku.

“Tidak, Bu. Tidak pakai peredam, kan ini konsepnya garden bar jadi outdoor gitu, Bu. Nggak bisa diperedam.”

“Lha, terus saya mendengar suara keras begitu setiap hari, Pak?” Aku mulai jengkel.

Si Kacamata tersenyum sinis, dan menjawab, “Kami sudah izin Bu RT lho, Bu.”

Dalam hati aku masih kebingungan izin apa yang mereka bicarakan, sebab Tante bilang Rumah 30 disewa untuk panti asuhan, tapi ini kok…. Selama perdebatan itu aku masih mencari-cari hubungan Si Kribo dan Si Kacamata dengan panti asuhan. Walaupun demikian, aku tetap sok galak.

“Sudah bilang kalau pakai musik sekeras ini?” cetusku makin sengit.

“Kami sudah bilang ada live music.” Sahut si kribo.

Aku diam sejenak mencerna kata-kata Si Kribo. Aku makin tidak mengerti. Apa ini panti asuhan khusus anak-anak yang berbakat musik?

“Tapi kan kerasnya seberapa tidak dijelaskan kan?” ujarku tak mau kalah.

Si Kacamata mulai naik pitam. “Pokoknya kami sudah permisi ke RT!” hardiknya kesal.

Di Kota Ini, pebisnis yang hendak membuka usaha tidak perlu melampirkan dokumen izin usaha yang harus ditandatangani atau dibubuhi cap RT/RW. Di satu sisi, mencegah korupsi RT/RW. Di sisi lain, ketiadaan dokumen izin RT/RW membuat warga tidak punya payung hukum yang jelas saat ada perbedaan persepsi si RT/RW dengan kenyataan tingkah laku pengusaha di lapangan.

Ketika perselisihan warga dan pengusaha berujung pada pertengkaran, yang tampak kepermukaan adalah warga menghalang-halangi kemajuan ekonomi. Warga tidak bisa membuktikan bahwa si pengusahalah yang mempermainkan warga. Sudahlah warga menjadi korban taktik pengusaha masih pula dipersalahkan karena dianggap menghambat kemajuan ekonomi rakyat.

Si Kribo menengahi pembicaraan kami, “Nanti kami mengenalkan diri kembali ke Bu RT dan warga. Nanti seluruh warga juga kami undang saat pembukaan.”

“Setelah pembukaan, tidak akan ada musik sekencang ini lagi, kan?” tegasku lagi.

“Kami ada event khusus setiap Jumat dan Sabtu dan musiknya akan sekeras ini.” sahut Si Kacamata. “Namanya juga bar, ya musiknya jedag-jedug, Bu.”

Aku mendelik. Sungguhan bar? Bukan panti asuhan? Aku terkesiap.

 “Nanti akan kami kurangi suaranya,” sahut Si kribo buru-buru menetralkan suasana.

Pembicaraan itu pun berakhir, dan aku pulang. Di teras, aku melihat plang nama yang belum digantung, BlaBla Social House & Bar. Astaga! Saat itulah aku menyadari sumber masalah ini. Tanteku salah mengartikan social house sebagai rumah sosial!

Sungguh kesalahan penerjemahan yang berakibat fatal.

Sesampainya di rumah, aku berdebat panjang dengan Tante. Beliau juga tidak menyangka kalau social house itu artinya bar. Aku mencari arti social house di kamus, ternyata tidak ada. Satu-satunya hanya ditampilkan oleh urban dictionary, yang mengartikan social house sebagai bar dan itu pun penulisannya digabung, socialhouse. Selebihnya aku tidak menemukan arti lain dari kamus mana pun. Jadi sebenarnya wajar saja Tante tidak tahu apa itu social house. Menumpahkan kekesalan kepadanya pun juga tidak adil.

Sebagian besar hasil pencarianku tentang social house mengarah kepada nama-nama bar terkenal. Apa kota kami mulai latah mengunakan kata itu agar terkesan seperti kota besar? Atau si pengusaha tidak mengira ada orang yang tidak tahu arti social house? Entahlah.

Malam itu aku hanya berharap malam minggu cepat datang agar setelah pembukaan, lingkungan kami kembali tenang sebab sejak hari itu DJ BlaBla Bar rajin sekali berlatih menggunakan turntable-nya mengeluarkan suara-suara yang memekakkan telinga.

Malam Minggu yang kunanti-nantikan itu pun tiba. Suasana pembukaan BlaBla Bar benar-benar gegap gempita, ‘pecah’ kalau kata netizen. Dan yeah, kepalaku nyaris pecah mendengar suara yang berdebam-debam sepanjang malam pembukaan hingga menjelang fajar.

Keesokkan harinya, kepalaku terasa sakit. Minum obat sakit kepala dan tempelan koyo, aku lalui jalani hari itu seperti biasa; bebersih rumah dan membersihkan kandang kucing.

Sore hari, kudengar suara musik lagi. Astaga! Ada party part 2 kah? Ya benar! Malam Senin itu musik EDM kembali menggelegar tanpa henti, lagi-lagi sampai menjelang pagi. Dengan bersenjata sumbat telinga, aku lanjutkan editan yang berhari-hari sempat tersendat. Tadinya, mau aku mulai hari Senin saja, saat suasana tenang. Tapi kalau mereka ramai lagi dan siangnya aku sakit kepala lagi, bisa makin tertunda pekerjaanku.

Diam-diam aku merasa iri pada anak-anak muda itu. Di tengah-tengah isu tentang UMR yang konon katanya kelewat rendah, anak-anak muda itu nyatanya masih ada uang untuk membeli miras dan makanan bar demi jejingkrakkan bersama teman-temannya sampai pagi di malam Senin. Di saat yang sama, ada orang yang butuh istirahat agar siap menyambut Senin dengan sekolah atau kerja.

Senin sore, musik kembali bergaung dari Rumah 30. Party lagi? Jeritku tak terima. Sore itu, aku datangi Rumah 30. Pembukaan bar dua hari menurutku sudah cukup. Apa iya mau 7 hari 7 malam?

Ternyata bukan hanya 7 hari 7 malam lagi, tapi bermalam-malam sampai detik ini, bar itu masih bedubrakan tanpa belas kasihan.

Hari Senin sore itu aku datangi kembali pemilik bar. Tidak kusangka, pertemuan itu menjadi awal mula serentetan adu mulut berhari-hari. Saat itu, kami bertukar nomor WA, kalau suaranya terlalu keras aku akan mengirim WA dan suara akan dikecilkan. Baru saja aku sampai di rumah, sudah terdengar musik EDM keras lagi. Sesuai perjanjian, aku mengirim WA. Suara dikecilkan sejenak. Begitu ganti lagu, malah semakin keras. Aku ingatkan lagi. Dilirihkan. Eh, ganti lagu ya dikeraskan lagi. Begitu seterusnya. Padahal bar buka dari jam tiga sore sampai tiga pagi. Kalau sudah larut malam, mereka malahan menyetel musik dengan irama bass yang dalam. Suaranya seperti orang menggempur tembok!

Aku cuma sanggup bertahan tiga hari dalam suasana: ditegur-dilirihkan-digeber habis saat tengah malam. Hari keempat, aku ke Rumah 30 lagi. Ternyata, mereka bertingkah seperti itu karena tidak percaya suara bar bocor ke mana-mana. Mereka menganggapku hanya perempuan tua cerewet dan menjengkelkan. Akhirnya, demi menghentikan debat tanpa arah, aku mengundang mereka ke rumahku. Betapa terkejutnya si Kribo dan si Kacamata mendapati suara bar mereka kencang sekali dan gaung bass-nya sangat menghunjam jantung.

Aku sedikit berlega hati, karena mereka mempercayai perkataanku. Mereka bahkan bertelepon dengan teman mereka di bar yang ditugasi memainkan DJ controller, untuk mencari tingkat suara yang bisa kami toleransi.

Sore itu, ayahku membantu mereka mengatur ulang tata letak speaker. Ayah juga memberikan nomor ponsel kenalannya seorang teknisi audio agar Pak 30 bisa memasang peredam. Ayah juga menyarankan mereka untuk meninggikan tembok, bahkan menawarkan untuk patungan membayarnya.

Rumah nomor 30 sudah meninggikan temboknya tapi tidak tinggi benar, hanya setinggi atap. Itu pun malah digunakan untuk menaruh kabel-kabel. Sungguh pemandangan yang kelak di kemudian hari sangat mengoda kewarasan untuk memutusnya demi mendapatkan kembali keheningan yang telah mereka hancurkan.

Hari itu kami berkali-kali mengetes tingkat suara dan bas yang nyaman untuk kami dan DJ bar. Kami pun akhirnya mencapai kata sepakat. Aku lega masalah selesai. Si Kacamata dan Si Kribo pun kembali ke bar.

Tebak apa yang selanjutnya terjadi? Musik pelan? Oh, tidak kawan! Mereka justru menyetel volume keras dan memainkan bass ala-ala gempur tembok lagi. Kali ini kaca rumahku sampai bergetar. Aku mengirim WA tidak dibalas, dan telepon tidak diangkat. Aku merasa dipermainkan.

Suara musik nyaring masih bisa diatasi dengan memakai headset. Tapi gaung alias suara berdebam-debam yang dihasilkan dari speaker saat DJ controller dimainkan, tidak bisa diatasi dengan apa pun kecuali bar dipasangi peredam.

Efek gaung speaker itu terasa menggulung-gulung perutmu dan membuatmu mual. Kalau kamu sedang tiduran, rasanya seperti kamu duduk di kursi bioskop dan orang menendangi kursimu dari belakang. Terasa bergetar bikin mual dan pusing gimana gitu kan? Atau kalian masih ingat rasanya naik metromini era sebelum Transjakarta? Biasanya orang tidak sengaja menendang kursimu dari belakang karena kakinya yang panjang atau badannya gemuk, karena jarak antar kursinya itu sempit sekali. Seperti itu rasanya gaung dari speaker live music yang tidak diatur dengan baik.

Keesokkan harinya, speaker bar masih nyaring. Bahkan, pola ditegur-dilirihkan-digeber habis saat tengah malam, masih mereka terapkan. Aku mencoba bertahan semingguan. Pelan-pelan aku menyadari bahwa masalah ini tidak bisa diatasi sendirian, butuh keterlibatan pemimpin setempat.

Kalau kalian bertanya-tanya kenapa hanya aku yang protes suara speaker dan tetangga lainnya tidak, itu disebabkan banyak hal. Ada yang takut berkonflik dengan tetangga. Ada yang pura-pura tidak dengar atau pura-pura bisa mengatasi kebisingan. Ada juga yang sudah repot mengurusi keluarganya yang sakit dan ini alasan yang paling banyak. Sisanya karena sudah lanjut usia dan tinggal sendirian, takut kalau ada apa-apa. Nanti, kalian akan tahu, mengapa kami sangat takut mengemukakan ketidaksukaan dan memilih diam.

Setelah bertahan selama seminggu, kesabaranku makin setipis benang. Kami sekeluarga memutuskan untuk melaporkan persoalan ini kepada Pak RW. Kami ingin mencegah agar tidak terjadi lagi suara bising saat party malam minggu. Kami memutuskan bertemu di hari Selasa. Pemilik bar datang bersama empat pemuda setempat yang diperkerjakan sebagai penjaga malam.

Pak RW menyarakan agar kami dan bar bisa bersinergi dengan baik. Bagaimanapun, bar meningkatkan perekonomian rakyat. Dalam pertemuan itu, pemilik bar juga menyatakan bahwa mereka tidak bisa memasang peredam karena konsep mereka garden bar.

Seusai pertemuan, malam harinya, bar kembali buka dan menyetel musik keras lagi. Persis seperti dugaanku, mereka kembali ke pola ditegur-dilirihkan-digeber habis saat tengah malam. Pertemuan tadi jadi berasa sia-sia. Aku malas mem-WA mereka. Jengkel sekali rasanya dipermainkan terus menerus.

Di tengah-tengah rasa putus asa itu, iseng-iseng aku membuka aplikasi pengaduan. Kota Ini punya aplikasi pengaduan masyarakat. Aku scroll isi pengaduan itu (sebenarnya kasihan si pelapor nggak sih kalau keluhannya dilihat banyak orang? Amankah si pelapor?) ternyata ada banyak keluhan tentang speaker di kafe, restoran, atau bar ber-live music. Tim aplikasi mengirimkan tim pemantau tapi dari hasil pantauan, kafe atau bar itu sepi tidak ada pengunjung atau tidak ada suara musik.

Inilah repotnya memeriksa laporan tentang kebisingan live music. Di Kota Ini sedang tren live music di kebun belakang. Jadinya kalau mau membuktikan kebocoran suara, petugas harus bertamu ke tetangga belakang kafe, atau tetangga di kanan atau di kiri kafe. Pengunjung sepi bukan berarti mereka tidak menggelar live music. Pemusiknya kan sudah digaji per bulan, mereka tentu harus bermusik ada atau tidak pengunjung kafe.

Melihat betapa banyaknya masalah gaung speaker di aplikasi membuatku patah semangat sebelum mem-posting laporanku. Apalagi ada warga yang merasakan gangguan gaung speaker itu selama tiga tahun. Warga itu disarankan untuk mengirim surat keberatan kepada pemilik kafe atau bar dan juga dinas terkait.

Membaca aduan di aplikasi itu membuatku berpikir; aku yang hanya melaporkan kepada RW saja sudah didatangi banyak penjaga malam bar. Bagaimana kalau aku melaporkan ke dinas ini dan dinas itu? Akhirnya, aku tidak jadi mem-posting di aplikasi.

Aku hanya bisa menahan semua kejengkelan itu dalam hati. Berhari-hari kemudian, entah aku kesambet setan pohon apa. Hari itu, kami sekeluarga bersengkongkol jahat di hari party. Setelah berhari-hari dipermainkan BlaBla Bar dengan pola ditegur-dilirihkan-digeber habis saat tengah malam, kami bertekad balas mempermainkan mereka. Suatu balas dendam yang belakangan harus kami bayar mahal. 

Jadi, hari itu kami sekeluarga bersepakat membuat pesta asap. Ayahku membakar sampah. Sebetulnya membakar sampah di halaman adalah hal biasa di Kota Ini. Dan sudah biasa pula membakar sampah mepet tembok tetangga agar asapnya tidak masuk ke rumahnya sendiri. Tukang kebun Rumah 30 juga begitu. Setiap bebersih, selalu membakar sampah mepet tembok rumahku. Pernah dia membakar sampah dan rupanya ada pembalut. Serpihan-serpihan pembalut beterbang ke atas jemuranku. Huek! Saat itu kudiamkan saja sih, malas berurusan sama kepala batu.

Hari itu, Ayah yang biasanya membakar dedaunan di sisi kanan kebun (yang berbatasan dengan kebun tetangga) pindah ke kiri tepat di belakang tempat duduk pengunjung bar. Ayah membakar banyak rumput dan daun. Asapnya mengepul tinggi.

Adikku membakar sate ayam. Arangnya disirami dengan minyak lemak ayam banyak-banyak. Harum baunya sih, tapi itu bau bakal menempel di benda-benda.

Ibuku membuat sayur daun adas. Biasanya Ibu memasak pakai kompor gas, kali ini sengaja memakai tungku. Akibatnya, bau adas rebus yang serupa bau minyak telon itu lama mengendap di udara.

Dan kamu tahu, apa yang aku lakukan? Aku membakar kelembak (gaharu) dan kemenyan. Ini juga biasa kulakukan, hanya kali ini arah asapnya bukan ke kebun. Biasanya, aku membakar kelembak dan kemenyan untuk menghalau lebah. Rumah kami dikelilingi pohon buah-buahan yang juga disukai lebah. Bau wangi-wangian itu akan mengendap lama di ruangan dan kebun sehingga lebah enggan bersarang.

Semua bebakaran yang kami buat akan meninggalkan jejak bau yang sulit dihilangkan dan akan menempel di benda-benda bar. Selain itu, siapa tahu, pemilik bar takut dan enyah dari Rumah 30. Wuahahaha....

Tindakan kekananakan kami tentu saja menuai protes. Lima pemuda datang ke rumah, meminta kami mematikan segala asap-asapan itu karena party sebentar lagi mulai. Kedatangan gerombolan pemuda itu menyadarkan kami bahwa yang kami lakukan itu berbahaya. Kami matikan semua asap-asapan itu.

Masalahnya, dari asap-asapan itu sudah telanjur keluar hantu hutan yang jahat nan menakutkan. Hantu jahat itu merasukiku. Begitu gerombolan pemuda itu pulang, hantu hutan mengangkat tanganku dan menuntunku mengambil selang air dan serta-merta menyiramkan air ke Rumah 30. Byur!

Kepala penjaga malam spontan berteriak marah. Dengan cekatan dia naik ke toren dan berteriak marah, “Woi! Di sini ada orang. Kenapa siram-siram segala?”

Masih dengan jiwa yang kerasukan, aku menjawab garang, “Salah siapa menyetel musik keras-keras. Kan sudah dibilang jangan keras-keras!”

“Kamu nggak sopan sama orangtua! KTP mana kamu?”

“KTP Sini”

“Mana lihat! Di sini orangnya bertetangga baik-baik nggak main siram-siram begitu. Nggak kayak di Jakarta”

“Saya penduduk sini, Pak,” kataku sambil mengacung-acungkan KTP. “Lagian Jakarta mana ada musik jedag-jedug terdengar sampai mana-mana begitu!”

Aku memang penduduk Kota Ini, tapi bekerja di Jakarta. Pandemi memaksaku pulang ke Kota Ini, jelasku dalam hati.

“Kamu kenapa siram-siram air? Tadi bakar sampah, terus sekarang siram air. Jangan gitu sama orang yang lagi usaha.”

“Saya kan sudah bilang, musiknya terlalu keras.”

“Keras apanya? Kafe biasanya juga ada musiknya. Kamu saja yang mainnya kurang jauh.”

“Coba saja Bapak-Bapak dengerin dari sini,”

“Ya kami ke sana,”

“Baik, saya bukakan pintunya,” kataku sambil berjalan masuk ke rumah hendak mengambil kunci.

“Eh… eh… malah masuk itu gimana?”

“Ya saya ambil kunci, Pak,” kataku kesal. “Lagian bapak juga turun dulu dari toren itu. Masak ke sini mau loncat tembok? Nanti keseleo nyalahin saya lagi.”

“Ya sudah, kami ke sana lho. Jangan sembunyi!”

“Siapa yang sembunyi, Pak? Tanya yang punya kafe itu lho, kami sudah mondar-mandir ke sana membantu menyetel speaker. Sembunyi apanya,”

“Nggak usah nyari yang punya kafe. Kafe ini saya yang jaga!”

“Lhaaa… kan tadi bapak bilang jangan sembunyi, ya saya bilang kalau saya sudah sering bertemu pemilik kafenya. Buat apa sembunyi, Pakkkk.” Aku semakin jengkel. “Sudah deh, Bapak-Bapak ke sini dulu, apa iya mau ngomong teriak-teriak dari atas sana.”

“Kamu mau makan dulu nggak? Minum? Gratis lho,”

“Saya nggak cari gratisan!” kataku sewot lalu masuk ke rumah.

Tak lama kemudian, kepala penjaga malam itu datang ke rumahku bersama sepuluh orang anak buahnya. Mereka mendengarkan musik dari halaman belakang rumahku. Semakin lama berurusan dengan Rumah 30, aku makin hafal tabiat mereka. Saat kami protes dan minta tes suara, musik akan dikecilkan. Lalu saat sudah selesai diskusi, malamnya mereka akan menggempur bass habis-habisan.

Benar dugaanku, musik dikecilkan dalam batasan masih terdengar dari belakang tapi tidak mengganggu banget. Bapak-bapak penjaga malam itu pun mengakui, musiknya terdengar berdebam. Mereka berjanji akan mengecilkan suaranya. Tapi seperti yang sudah-sudah, setelah ditegur, BlaBla Bar malah makin menggila. Malam itu, DJ memainkan musiknya super kencang. Suara bass bahkan lebih digeber lagi. Mereka bagai kerasukan hantu DJ yang mati overdosis miras.

Seakan-akan itu belum cukup, setelah pukul 12 (daerah kami berlaku jam malam, setelah pukul 12 tidak boleh ada keramaian kecuali berizin khusus), musik DJ berdebum-debum itu berhenti. Musik digantikan karoke. Suara-suara penyanyi dadakan meramaikan malamku. Suara melengking atau merendah, semua sesuka hati penyanyinya saja.

Melihat kelakuan mereka yang suka mempermainkan orang lain, sejak malam itu, aku dan keluargaku bertekad tidak lagi mempermasalahkan suara BlaBla Bar. Kami tidak pernah lagi protes tentang suara karena kami tahu semua sia-sia. Kami hanya akan didatangi para penjaga malam dan malam harinya akan digempur habis-habisan dengan DJ controller. Malah makin celaka bolak-balik. Inilah yang membuat warga Kota Ini malas memprotes sesuatu.

Padahal, warga sekitar rumah kami banyak yang sudah tua dan sakit. Mereka juga mengeluh mual dan pusing mendengar gaung speaker. Penduduk kampung sekitar pun juga merasakan dampaknya, apalagi mereka mempunyai kebiasaan tidur di kasur di lantai (tanpa bed). Suara getarannya sungguh bikin sakit kepala.

Pernah pada suatu malam minggu, BlaBala Bar menggadakan party, heboh sekali. Kebetulan yang menyakitkan pun terjadi. Lima orang tetangga kami meninggal dunia dalam sehari, hanya jamnya saja yang berbeda. Kebetulan semuanya tidur di lantai. Mereka mengeluh tidak mau makan, tapi karena sudah lama sakit jadi dianggap tidak mau makan itu karena penyakitnya bukan karena gaung musik. Kami pun menganggap semua itu hanya kebetulan belaka. Ditambah lagi, kesemuanya memang sudah tua dan sakit-sakitan.

Di lain waktu, ada warga yang mengeluhkan sakit perut dan diare. Aku dan keluargaku pun juga sama, malahan kesepuluh kucing peliharaanku juga diare dan ada yang mogok makan. Tiga kucing harus ke dokter hewan karena diare parah dan satu kucing muntah-muntah. Keempatnya diperiksa dan tidak ada masalah. Makanan dan minumannya juga diperiksa dan tidak ada masalah. Kemungkinan karena stres.

Karena itulah, aku dan keluargaku memasang busa peredam di langit-langit, pintu dan jendela seluruh rumah. Hasilnya getaran gaung sedikit teratasi. Kucing-kucing kami pun lama-lama mulai sembuh. Walaupun makannya masih belum sebanyak biasanya, tapi sudah tidak diare dan muntah.

Aku menyesali tindakanku yang gegabah dengan menyerang Rumah 30 karena tidak tahan dipermainkan terus-menerus. Semoga kelak tidak terulang lagi sebab efeknya mengerikan. Setiap ada laporan di aplikasi, atau comment di medsos Blabla Bar, pasti ada pemuda-pemuda yang mengklakson-klakson mobil keras-keras atau menggeber-geberkan knalpot racing jadi-jadian motor mereka, di depan rumah kami.

Sampai sekarang, Blabala Bar masih bermusik dengan keras dari sore sampai menjelang pagi. Jelang tengah malam, entakkan musik EDM berganti karaoke. Laki-laki dan perempuan bernyanyi-nyanyi sepanjang pagi bersuka ria bersama-sama.

Di balik tembok, aku hanya bisa pasrah. Kupasang sumbat telinga dan membatin, nikmatilah masa mudamu, wahai adik-adikku, sebelum usia 40 menghampirimu. Sebab saat itu tiba yang kau butuhkan hanya bisa tidur malam dalam keheningan agar esok pagi bisa segar bekerja demi melunasi tagihan-tagihan.

Sejak malam asap-asapan itu sampai sekarang, aku tidak pernah lagi protes BlaBla Bar mau melakukan apa pun. Aku mencoba tidak peduli.

Apalagi setelah ada acara perayaan kota kami yang digelar dengan sebuah mobil berspeaker yang berkeliling kota menyetel lagu mars kota kami. Saat mobil itu lewat, getarannya seperti mengebor sumur. Bahkan, marak di pinggir-pinggir jalan DJ performance lengkap dengan turntable-nya dan speakernya. Pedagang makanan pun ikutan memasang speaker untuk menarik pembeli. Warga di desa-desa pun ikutan tren speaker. Kota Ini sedang hobi speaker. Dan kami merayakannya dengan gembira, kami lupa bahwa ada warga yang butuh istirahat.

Kalau kalian saat ini sedang membantu warga menyelesaikan masalah speaker, cobalah berdiri di sisi pelapor. Bertamu ke rumahnya diam-diam dan dengarkan dari halaman belakangnya, karena live music biasanya diadakan di kebun belakang dengan speaker di lantai atau di tembok bersama. Tidak ada pengunjung bukan berarti tidak ada musik. Oiya, jangan lupa gunakan alat decibel meter agar tidak debat kusir. Dan pastikan pelapor aman dari serbuan penjaga malam.

Untuk para korban speaker, pilihan kita cuma bertahan atau pindah. Ingat semboyan Kota Ini, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung; di mana bumi dipijak, di situ Kota Ini dijunjung.

Terakhir, tulisan ini kubuat sebagai sebagai catatan penutup atas segala kejengkelan yang aku alami selama kurang lebih enam bulan. Memang, yang aku rasakan ini belum seberapa, kalau dibandingkan warga lain yang sudah terganggu gaung speaker selama bertahun-tahun. Aku akan berusaha menjadikan tulisan ini sebagai tulisan terakhir tentang speaker nirguna itu. Untuk kedepannya, aku ingin membuka lembaran baru dengan tulisan dan tema baru.


 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Aku sukaaaaaaaaaaaaaaa
Rekomendasi