Disukai
1
Dilihat
2,973
Suara Butala
Slice of Life

“Hitam mengajarkan aku bahwa sendirian tidak selalu kelam, embusan angin yang menunjukkanku arah tidak lagi membuatku kedinginan, serta dentingan lonceng yang membuatku gemetar ingin membuka mata. Jika seandainya boleh memaksa, tidak bisakah Tuhan mengizinkan aku menatap jumantara?”

Ucapan selamat pagi yang sama akhirnya berhasil membangunkan Pelita, terlebih lagi saat aroma harum masakan karya ibunya itu menelisik masuk melalui hidungnya. Ia beranjak, berusaha cepat dengan tangan merayap menuju meja makan, masih mengenakan piamanya. “Ibu masak apa hari ini? Enak banget baunya… Tata suka!” Ucap gadis kecil bernama Pelita Anastasia atau yang lebih kerap disapa Tata itu. Berusia delapan tahun, berambut panjang sebahu. Pelita adalah seorang difabel, matanya buta sejak lahir, tapi siapa sangka jika gadis itu ternyata seorang pemberani?

“Ayam bumbu spesiallll bangetttt buat Tata seorang!” Seru Sarah, diikuti tawa riang Pelita. Ia mulai melahap habis makanan yang sudah disajikan ibunya itu, dengan gembira. Entah bagaimana bisa ayam bumbu kunyit itu menyihir Pelita yang rewel, dan sering tidak mau makan.

Pelita mengerjap walaupun tetap gelap, hatinya hancur mengingat kenangan itu. Saat usianya genap menginjak delapan tahun, di saat itulah akhirnya Pelita merasakan makna sesungguhnya dari sebuah kehilangan. Pagi manis terakhirnya ditemani dengan lezatnya ayam bumbu kesukaan gadis itu, lengkap dengan canda tawa bersama sosok bernama ayah. Berbeda dengan paginya sekarang, yang hanya berbalut kenangan.

Tepat sepuluh tahun lalu kedua orang tuanya itu mengembuskan napas terakhirnya. Yang mau tidak mau memaksa Pelita menghabiskan masa kecilnya di panti asuhan. Berbekal sebuah rekaman audio berisikan suara canda tawa keduanya. Setiap kali ia mendengar itu, hatinya teriris tipis, ingin menepis. Ingin sekali ia membuang rekaman itu, menyakitkan tapi tak terelakkan. Keinginannya untuk mengenang terlalu kejam, karena pada saat itu Pelita akan merasakan dua hal. Satu sisi Pelita bisa mendengar suara indah itu untuk berulang kalinya, tapi kematian itu membunuhnya lebih dalam dari sebuah luka dari kenangan. Pelita bahkan tidak pernah mengenali wajah orang tua yang telah merawatnya itu, tapi dengan tega Tuhan melalui sebuah kecelakaan merebutnya tanpa membiarkan Pelita untuk menatap wajah keduanya bahkan di saat terakhir.

Pelita tahu ini adalah sebuah takdir, ia juga tidak bisa menyalahkan siapapun di sini, apalagi Tuhan. Pelita hanya benci, bahwa pada dasarnya ia tidak akan bisa melupakan kenangan itu. “Tata kan, anak Ibu yang paling berani? Masa gitu aja nangis sih?”

“Sini! Tata mau denger dongengnya Ayah, gak?”

“Mereka itu gak ngejekin kamu sayang… semua pemberian Tuhan itu baik, Tata gak boleh salahin siapa-siapa, apalagi marah sama Tuhan. Di luar sana masih banyak yang lebih dari Tata, ada yang punya mata bagus tapi gak bisa denger, ada yang gak bisa denger atau liat sama sekali, ada yang punya dua-duanya tapi…”

“Tapi apa, Bu?”

“Mereka gak sekuat Tata, jadi jangan pernah bandingin kamu sama orang lain, ya sayang?”

Kala itu Pelita kecil tengah menangis karena ejekan teman-temannya, lain halnya dengan kali ini Pelita menangis karena tidak bisa mendengar nasehat itu lagi, tidak bisa duduk di pangkuan ayahnya sambil mendengarkan dongeng, ataupun bercengkrama dengan keduanya. Setelah begitu lamanya, Pelita berusaha bangkit dengan segenap kekuatan yang diberikan Tuhan untuknya. Ia mencoba memulai kembali hidupnya, tanpa dukungan siapapun. Selain karena merasa usianya cukup dewasa untuk mencoba bertahan. Pelita memilih untuk keluar dari panti asuhannya pada usia delapan belas tahun. Itu pun setelah ia sendiri menyelesaikan pendidikannya di sekolah difabel. Walaupun besar keinginannya untuk melanjutkan, Pelita lebih memilih pulang daripada merepotkan. Pikirnya.

Pelita kembali menempati rumah lamanya, yang sejak dulu tidak pernah ia setujui untuk dijual. Bukan karena ia tidak membutuhkan uang, tapi hanya itu kenangan masa kecilnya. Pelita melangkah pelan setelah berpamitan pada Ketua Panti Asuhan yang telah mengantarnya. Ia bisa merasakan dengan jelas angin yang berembus melalui pepohonan rumahnya itu menerbangkan rambutnya, untuk sejenak Pelita berdiri di depan pintu pagar dekat ayunan. Menggunakan tongkatnya ia meraba-raba, mengingat di mana letak jelas dari ayunan itu. Tempat ia dan ibunya bermain dahulu. Kakinya melangkah lebih jauh lagi, membuka pintu rumah yang aroma hangatnya masa lalu tercium dari sana.

Hampir seluruh isi rumah itu tertutup kain, Pelita berjalan masuk dengan arah angin sebagai penunjuk. Lima langkah ke barat, itu adalah arah pertama yang diingat gadis itu. Kamar ibu, ingatnya. Tangannya tergerak menarik kain besar yang menutupi sebuah piano. Jemarinya bergerak lembut melantunkan sebuah lagu dengan air mata menetes. Pelita ingat jelas kalau dulu ia duduk di kursi ini bersama ayahnya. Sosok yang mengajarkan Pelita kecil bermain musik.

“Tata mau jadi apa nanti?”

“Tata mau jadi… pianis! Tata juga mau belajar nyanyi! Nanti ya, kalo Tata udah gede, terus konser kalian bakalan duduk di kursi paling depan! Tata janji, ayah pasti bangga banget nanti! Hehehe…”

Angin menggerakkan rambutnya, tanda sebuah pintu terbuka. Pelita melirik, tapi tetap bergeming. Takut, tentu saja. Terlebih lagi saat suara langkah kaki itu mendekatinya. “Pelita?”

Jemarinya berhenti, “Siapa?”

“Bu Indri, sayang…” ucap wanita itu maju, mengambil tempat duduk bersebelahan dengan Pelita. “Kenapa berhenti? Lagunya bagus, kok!”

“Bu Indri apa kabar?” sapa Pelita ramah, mengingat dulu tetangga sekaligus teman ibunya inilah yang dulu menenangkannya saat menangis keras ataupun sering menanyakan kabarnya ke panti asuhan.

“Baik, kamu sendiri gimana? Maaf Ibu waktu itu gak bisa temuin kamu ke panti lagi…”

“Oh iya gapapa kok, Bu! Makasih malah dulu Ibu udah sempet-sempetin jenguk Tata…” Bagaimana pun juga, hampir setengah kehidupan panti Pelita ditemani semangat yang sering Bu Indri beri.

“Kamu jago main piano sekarang, sama kaya ayah kamu dulu Ta,” ucap Bu Indri membuat Pelita tersenyum manis.

“Tata masih belajar kok! Belum sehebat ayah, Tata cuma sering jadi pianis teater kecil gitu Bu… belum dikenal banyak orang kaya ayah, hehehe. Itu juga teaternya jejaring sekolah Tata dulu…” Meski mahir bermain piano dan memiliki bakat tarik suara, Pelita tidak pernah bisa menunjukkan itu pada orang tuanya. Pelita merasa ia belum cukup hebat untuk membanggakan kemampuannya itu. Karena janji yang telah ia buat pada ayahnya itu, ia masih ingin bekerja keras dan berusaha menjadi pianis terbaik yang bisa membuat kedua orang tuanya bangga meski di alam berbeda. Bukan semampunya, tapi sekuatnya Pelita akan terus menggerakkan jemarinya di atas not. Meski tanpa siapapun, ia tahu doa keduanya selalu mendukungnya. Bahkan meski hanya suara butala, Pelita akan terus berjalan sampai nabastala sendiri membimbingnya untuk terbang lebih tinggi.

***

Dentingan lonceng angin membangunkan Pelita yang tertidur lelap setelah semalam mengenang masa lalunya bersama Bu Indri. Jemarinya bergerak memegangi jam tangan khusus tunanetra yang selalu dipakainya. Pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Jika dulu Pelita kecil masih bergantung pada ibunya untuk pergi sekolah, kini telah berubah menjadi sosok Pelita yang berbeda. Sosok yang mandiri, penuh semangat, dan selalu bekerja keras tanpa memikirkan kekurangannya. Ia meyakini bahwa dirinya mampu melakukan semuanya, mungkin dalam beberapa hal ia merasakan kesulitan tapi Pelita mengerti sebuah makna dari belajar dan juga proses dari kesulitan yang ia alami.

Pelita menyisir rambut tanpa bercermin, bahkan mungkin seumur hidup ia tidak akan mengenal kaca pemantul itu. Ia hanya bisa merasakan apakah dirinya sudah cukup rapi seperti yang diajarkan ibunya dulu, atau belum. Juga satu kata pujian yang sering ibunya ucapkan, cantik. Entah sebenarnya apa itu definisi cantik, Pelita dengar itu adalah sebuah pujian yang diucapkan ketika bertemu dengan seorang gadis. Tapi tidak dengannya, ia sendiri tidak tahu apakah dirinya berparas cantik seperti yang orang lain katakan pada gadis lainnya, karena tidak pernah ada yang mengucapkan itu selain ibunya ssendiri. Ia menuju tempat latihan piano dengan berjalan kaki, setelah beberapa hari lalu mencoba untuk bisa menghafal jalan. Iri, tentu saja ada. Pada mereka yang diantar orang tuanya, atau mungkin bisa berkendara. Tapi apakah rasa iri itu bisa membantunya? Tidak, karena itulah Pelita tidak pernah berkecil hati. Akan lebih baik jika ia menggunakan waktunya untuk belajar dan belajar, daripada memikirkan perasaan iri pada orang lain yang hanya akan berujung sia-sia. Pikir Pelita.

“Oh, hai! Kamu udah dateng, Ta.” sapa seorang guru begitu melihat kedatangan Pelita.

“Pagi, maaf Tata telat ya, Bu?” tanya Pelita merasa bersalah karena sempat lupa arah saat di perjalanan.

“Enggak, kok. Eh iya, kamu telat satu menit,” ucap guru Pelita yang membuatnya hampir saja ketakutan tapi berakhir dengan napas lega, karena tahu kalau gurunya itu hanya bercanda. “Gimana? Susah jalan ke sini? Kamu beneran gapapa tinggal sendirian? Kata saya juga mending kamu masuk yayasan aja, biar ada yang bantuin sehari-harinya…”

Pelita terkekeh, entah bagaimana bisa gurunya itu sangat perhatian pada siswanya. “Tata gapapa Bu Sandra… Tata kan harus belajar mandiri, gak boleh bergantung terus sama orang lain, Bu. Makasih loh, udah peduli sama Tata sebegitunya.”

“Seenggaknya kamu mau saya antar jemput, ya? Saya khawatir, kalo kamu jalan sendirian terus…”

“Ssstt! Bu Sandra gimana, sih? Kalo Tata masih diantar jemput, Tata tinggal di panti aja selamanyaaaa atau masuk yayasan aja, kan? Kapan Tata mandirinya coba?” ucap Pelita kekeh menolak tawaran untuk tetap di panti asuhan, masuk yayasan difabel, ataupun diantar jemput oleh Bu Sandra guru pianonya sejak ia masih tinggal di panti asuhan. “Udah ah! Nanti sampe malem kita terus aja bahas ini, gak main piano hehehhe…” ucap gadis itu lagi duduk dan membuka penutup not piano diikuti Bu Sandra yang tersenyum bangga pada Pelita.

Sekeras apapun hidupnya, Pelita selalu berusaha agar tak menyerah. Satu yang ia yakini, semakin lelah dirinya maka semakin berharga pula hidupnya. Pelita tidak ingin seperti orang lain yang tidak bisa atau mungkin terlambat memaknai hidup yang sebenarnya, menyesali kekurangan dan ketidakberhasilan. Ia sangat menghargai setiap detik hidup yang telah diberikan Tuhan untuknya. Pelita senantiasa berjuang setiap harinya dengan melatih vokal dan kemampuannya dalam bermain piano. Bukan tidak ada harapan, jika ada jalan dan sebuah tujuan. Dan tujuannya adalah menjadi seorang pianis hebat, ia percaya tidak ada usaha yang sia-sia, Pelita kecil yang ditinggalkan sendirian penuh ketakutan itu, kini telah berubah menjadi sosok hebat, percaya diri, berani, dan mandiri. Seseorang terlahir dalam bentuk seperti apapun, itu permainan takdir. Tak bisa diubah, tapi bisa diperbaiki. Seperti halnya Pelita, bunga yang bermekaran tanpa cahaya matahari pun akan tetap cantik. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Cerpen ini sudah rilis sejak 2020 yaa temen2 di platform lain penulis, dan kini juga sudah masuk buku kumpulan cerpen dengan judul Melankolia oleh Ellunar Publisher bulan Mei lalu:)
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi