Disukai
0
Dilihat
1055
Durakim
Slice of Life

Durakim

Sudah kuduga, Sam menelponku hanya untuk menanyakan kematian Durakim. Jujur dari hati yang terdalam, aku malas menceritakannya. Lagipula, sudah banyak koran yang memberitakan kasus kematian Durakim. Kenapa tidak kamu baca saja, Sam? Apa susahnya membaca? Apa kamu bilang? Malas? Dasar culas!!!

Baiklah, daripada buang-buang waktu untuk memarahimu lebih baik aku mulai saja cerita ini. Seperti yang sudah kita ketahui, Durakim adalah lurah di kampungku. Sebelum menjadi lurah, ia dikenal sebagai orang yang dermawan. Banyak warga yang mengagung-agungkan dirinya berkat kebaikannya. Menyantuni fakir miskin, yatim piatu, hingga janda-janda tua. Selain itu, ia juga bersedekah ke masjid-masjid, menjenguk warga yang sedang sakit, dan membantu para petani dengan membelikan pupuk terbaik. Intinya, Durakim sangat merakyat, Sam. Tapi apakah kamu pernah berpikir, Sam? Bahwa itu hanyalah modus menjelang pilkades?

Menjelang Pilkades, Durakim memberikan janji-janji kepada warga seperti air PDAM yang akan di gratiskan selama 3 bulan begitu juga dengan listrik, jika mengurus surat-menyurat akan ia permudah (tidak seperti lurah sebelumnya), dan apabila ada warga yang mendukung dirinya akan diberi uang sebesar dua ratus ribu. Apa kamu bilang? Aku tidak akan tergiur? Oh, tidak. Tentu saja aku tergiur, Sam. Mustahil jika tidak tergiur dengan iming-iming bebas listrik dan air selama tiga bulan ditambah uang dua ratus ribu. Anggap saja itu rezeki, Sam. Rezeki tidak boleh ditolak.

Menjelang perhitungan suara, warga berlomba-lomba ke balai desa. Sebagian menyaksikan saja, sebagian yang lain berjudi. Asal kamu tahu, Sam. Ada yang mempertaruhkan mobil bahkan rumah. Apa katamu? Gila? Memang, Sam. Orang-orang itu tidak waras. Jika jagoannya kalah, mereka akan marah dan mengobrak-abrik tempat itu. 

Ya, cerita ini pasti sudah bisa kamu tebak, Sam. Durakim-lah pemenangnya. Warga yang mendukung Durakim bersorak ramai. "Hidup Durakim! Hidup Durakim! Hidup Durakim!", suara warga bersaut-sautan. Durakim diarak keliling kampung menaiki kuda yang dihias. Dengan senyuman merekah di bibirnya, Durakim menyapa warga.

Tiga minggu setelah arak-arakan, Durakim mengingkari janjinya. Ia tidak lagi membayar tagihan air dan listrik seperti yang dijanjikan sebelumnya. Warga menunjukkan berbagai respon. Ada yang biasa saja, ada yang kecewa, sebagian juga ada yang marah. Warga yang tidak terima berencana protes ke rumah Durakim. Namun, salah satu pendukung Durakim menjelaskan pada warga untuk memaklumi keputusan Durakim. Mengingat, di kampung ini terdapat 333 kepala keluarga, jumlah yang begitu banyak sehingga Durakim tidak bisa menempati janjinya. Dengan berat hati, warga memaklumi. Tapi Sam, seharusnya kan sebelum menjanjikan berbagai hal harus melihat kemampuan diri. Jika tidak mampu, seharusnya tidak usah berjanji. Karena janji adalah hutang. Benar kan, Sam?

Ada juga permasalahan lain yang muncul di kampungku, Sam. Pernah suatu kali Durakim mengadakan rapat. Dalam pertemuan itu, Durakim mengatakan akan diadakan sistem jam malam dimana ada satpam yang menjaga di tiap gang. Jujur, warga kampung senang mendengar kabar ini. Mengingat, sering terjadi kecolongan baik perhiasan maupun kendaraan bermotor. Tapi, setiap KK harus membayar lima puluh ribu per bulan untuk uang keamanan. Menurutmu bagaimana, Sam? Apakah itu tidak termasuk pungli? Sedangkan tiap kampung tentu saja memiliki dana desa.

Apa kamu tahu, Sam? Pernah suatu kali tetanggaku, Sri Astuti, menghampiri satpam sambil membawakan gorengan.

"Mas, tak bawakan ote-ote"

"Maturnuwun, buk. Kok ya repot-repot"

"Wis rapopo, makan saja mumpung masih hangat"

"Maturnuwun, buk"

"Omong-omong, mas-mas yang satunya kok tidak pernah kelihatan"

"Oalah mas Tejo nggih, buk? Mas Tejo keluar, buk"

"Lho, kenapa?"

"Gajinya dikit buk, tpi kerjanya dominan lembur", sambil memelankan suara.

"Piro?"

"Sewu limangatus"

Sekarang kamu mengerti kan, Sam? Gaji 1,5 juta dengan jam kerja yang tidak manusiawi. Di kampungku ada sembilan satpam, berarti total uang keamanan 13,5 juta. Tapi, uang urunan per KK jika ditotal mencapai 16,5 juta. Kira-kira 3 jutanya kemana ya, Sam?

Baiklah-baiklah, aku tidak mengajakmu berhitung lagi. Apa katamu? Aku bertele-tele? Kurang ajar! Dirimu sendiri yang menyuruhku cerita secara mendetail. Marah? Tentu saja! Kalau begitu baca saja yang ada di koran. Apa? Mau lanjut? Males! Baca saja sendiri. Di koran kan sudah jelas kronologinya! Apa? Kamu memaksaku bercerita? Hadeh. Tarik napas, buang. Oke, kalau begitu aku lanjut lagi.

Pernah suatu kali sekretaris Durakim duduk di warung kopiku. Ia bercakap-cakap dengan Cak Ji dan Mang Kamim.

"Lurah asu, aku ngurus surat tanah dipersulit", ucap Cak Ji.

"Sabar, Cak. Wong aku minta tanda tangan SKTM untuk sekolahnya anakku saja tidak bisa", keluh Mang Kamim.

"Sebenarnya bisa Mang, cuma harus bayar dulu seratus ribu", ucap sekretaris Durakim sambil menyeruput kopi.

"Kenapa harus bayar dulu? Bukankah itu merupakan pekerjaan lurah?"

"Kamu masih mending, Mang. Aku ngurus surat tanah dimintai uang enam juta. Uang dari mana aku, Mang?"

"Memang lurahmu itu mata duitan, Cak! Aku memang sekretarisnya, tapi aku tidak setuju dengan sistem kerjanya."

"Aku kasih tau ya, Mang. Lurahmu mau bekerja jika ada uang. Bahkan, di ruang kerjanya banyak surat-surat yang menumpuk. Sengaja tidak ia kerjakan. Karena apa? Ya tentu saja karena tidak ada ceperannya", sambungnya.

Dari sini kamu mengerti kan, Sam? Ternyata Durakim tidak jauh beda dengan lurah sebelumnya. Bahkan, ini lurah terburuk selama aku hidup di kampung ini. Hampir semua yang ia janjikan tidak ditepati.

Tahun ini adalah tahun ketiga Durakim menjabat sebagai lurah di kampungku. Di tahun ini, Durakim berhasil mencairkan dana dari pemerintah untuk pembangunan desa. Entahlah, Sam. Aku tidak tahu nominal pastinya. Intinya, dana itu ia gunakan untuk merenovasi balai desa. Tidak perlu aku jelaskan keadaan tempatnya seperti apa kan, Sam? Kau pasti sudah tahu jika tempat itu dalam keadaan stabil. Masih bagus. Hanya saja bangunanya tidak bersusun. 

Pembangunan balai desa sudah berjalan satu bulan. Pernah suatu ketika pekerja bangunan itu datang ke warung kopiku. Tidak sedikit dari mereka yang mengeluh upah kerjanya. Bahkan ada yang bercerita kepadaku bahwa kerja dengan Durakim amat tidak manusiawi.

“Lah nggih, mas. Tiap hari bekerja dari jam 7 pagi hingga jam 9 malam. Diberi upah seratus ribu. Sedangkan, kami tidak diberi makan”, keluh salah satu kuli bangunan. 

“Bahkan mas Budi, teman SMA-nya wak lurah, melarikan diri saking tidak betahnya nguli disini mas”, ucap kuli lainnya.

“Rasa-rasanya kami ingin berhenti nguli dan kembali saja ke kampung halaman”, dengan muka putus asa.

Saking sambatnya mereka kepadaku, Sam. Aku beri tahu juga keburukan Durakim pada mereka. Bukan ingin menjelek-jelekan Durakim, Sam. Hanya saja aku mengungkapkan sifat aslinya.

Tidak lama setelah para kuli sambat padaku. Mereka dikabarkan melarikan diri sedangkan proyek belum selesai. Durakim berusaha menelfon para kuli tetapi tidak ada satupun yang mengangkatnya. Pada akhirnya, sekretaris lurah yang berhasil menghubungi salah satu di antaranya. Kok aku tahu katamu? Lho ya iya loh, Sam. Hidup di kampung ini seperti lumut di musim hujan. Gelis tukule. Segala informasi gampang di dapat. Yah meskipun hanya dua mata yang melihat banyak bibir yang berbicara.

Durakim menjadi buah bibir warga kampung. Bagaimana tidak, Sam? Warga banyak yang kasihan dengan nasib para kuli. Mereka pulang kampung tanpa mendapatkan upah yang layak. Di sisi lain, warga juga geram dengan kelakuan Durakim yang sedikit-sedikit harus bayar. Apa-apa pakai uang. Itu jelas-jelas pungli, Sam. Warga juga geram mendengar keluhan kuli dengan upah seratus ribu. Sedangkan di proposal pembangunan desa, kuli diberi upah seratus delapan puluh ribu. “Durakim korupsi!”, teriak salah satu warga. Dan dari sinilah awal mula kematian Durakim.

Keesokan harinya, di siang yang terik, warga memenuhi jalanan menuju rumah Durakim. Mereka berdemo. Spanduk-spanduk besar terpampang nyata. Stop Korupsi. “Jangan ada korupsi di kampung kami”. Durakim Pungli. “Lengserkan Durakim!”. Penjarakan Durakim! Dan spanduk-spanduk mengerikan lainnya.

Malam sebelum warga berdemo. Durakim dilanda kecemasan. Ia panik. Ia tidak bisa mengelak lagi. Bukti-bukti pungli dan korupsinya sudah dimiliki warga. Bahkan, ada polisi yang menghubungi Durakim. Durakim merasa terpojok. Ia ketakutan. 

Warga berjalan beramai-ramai menuju rumah Durakim. Di sepanjang jalan, warga meneriaki “Lengserkan Durakim! Stop korupsi! Stop korupsi! Stop korupsi!”, suara itu saling bersahutan. Tepat di depan rumah Durakim, warga berteriak “Keluar koruptor! Keluar! Keluar kamu! Dasar pengecut!”, suara warga membuat Durakim ketakutan. Ia semakin takut mendengar suara sirine polisi. Pada akhirnya, sekretarisnya keluar. Ia memberitahukan kepada warga dan polisi bahwa Durakim sudah tidak bernyawa. Ia bunuh diri dengan cara memutus urat nadinya.

Begitu, Sam, ceritanya. Sam? Sam? Halo? Ohhh… Kurang ajar! telfone malah dipateni. Asuuuuu!

TAMAT.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Saya suka cerpen sampeyan.
Rekomendasi