Disukai
0
Dilihat
20
MASA DEPAN?
Misteri
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

MASA DEPAN ?

Masa depan? Sebuah pertanyaan besar bagiku. Bukan karena aku tidak bisa menjawabnya, akan tetapi karena jawabannya berasal dari kemalanganku, dari nasibku. Masa depan?... tidak ada yang bisa aku katakan selain aku tidak sedang berusaha mau pun memiliki jalan untuk mencapainya. Mencapai masa depan impian. Aku belum pernah memiliki pencapaian apapun. Hingga hari ini aku bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa. Jadi bicara tentang masa depan, aku nyaris tanpa harapan. Hari ini jawabannya adalah aku tidak tahu tentang sang masa depan?

Masa depan. Pada renungan demi renungan kucoba temukan jawabannya. Karena banyak merenung, hati kecilku yang tiba-tiba menanyakannya kepadaku. Akhh!! Masih tetap sama. Aku tidak tahu jawabannya. Mungkin hanya waktu yang memiliki jawabannya untukku. Ya, hanya waktu!

Aku pemuda miskin. Pekerjaanku serabutan. Hanya tamatan sekolah dasar dan pekerja keras yang lebih sering di pandang sebelah mata. Tatapan dunia kadang membuatku ketakutan dan merasa sedih. Tapi aku tahu, Tuhanku selalu memberi jalan untuk menuju bahagia. Dan aku berharap Tuhanku akan menghadiahiku masa depan yang indah. Aku menunggu masa depan pemberian dari Pemilik sang waktu.

Hari ini hanya ada sedikit pekerjaan untukku. Memotong rumput halaman depan milik keluarga berada sederhana yang selalu setia menggunakan jasaku. Mereka orang yang baik. Masa depan mereka pun indah. Keluarga mereka bahagia. Anak-anak mereka tumbuh sehat. Aku membayangkan masa depan yang begitu indah dan bahagia di kehidupan keluarga ini. Lalu aku?... aku tinggal di sebuah rumah tua yang atapnya penuh bocor disana sini. Lantainya pun mulai lapuk dan sebagian rusak. Namun rumah tua itulah tempat berteduh ternyaman yang aku miliki. Aku masih beruntung. Tetapi apakah masa depanku kelak juga tetap berada di rumah tua ini sampai keadaannya menjadi jauh lebih buruk lagi. Lagi-lagi aku berharap pada waktu yang menjawabnya. Tapi hingga saat ini aku masih beruntung dan baik-baik saja. Bagaimana pun buruknya keadaan hidupku, aku masih punya tempat bernaung. Masih sehat. Masih bisa makan. Masih bisa menikmati seluruh keindahan dari Tuhan Yang Maha Baik. Namun aku belum pernah berdoa dan meminta sesuatu kepada Tuhan, diluar kemampuanku. Begitu pula dengan masa depan. Aku tidak mampu mengimpikannya. Aku tidak memiliki sesuatu yang bernama pencapaian sekali pun dalam rencana saja. Aku hanya mampu menjalani hidupku seperti ini. Tidak tahu sampai kapan? Yang aku tahu aku menerima keadaan ini jauh sebelum pertanyaan tentang masa depan itu muncul.

"Dipka... apa yang kau harapkan dari sebuah masa depan?" Bintang, teman senasibku bertanya padaku. Tatapannya jauh menerawang pada impiannya. Sementara bagian dari dirinya yang lain menanyakan pertanyaaan yang teramat penting baginya itu.

"Aku tidak tahu." Jawabku lirih.

"Apa kau yakin kau tidak tahu? Kau pasti punya impian tentang masa depan!... semua orang punya impian tentang masa depan! Ayo lah Dipka!... beritahu aku!" Entah penasaran atau ngotot, Bintang memaksaku memberitahunya tentang apa sebenarnya yang aku impikan tentang masa depanku. Sulit ternyata membuat Bintang percaya bahwa aku tidak memiliki gambaran apapun tentang masa depanku sekali pun dalam khayalan semata.

"Bukannya aku tidak mau memberitahumu temanku... aku sungguh-sungguh tidak punya impian tentang masa depan! Pikiranku benar-benar kosong tentang itu!" Aku menjawab sejujur wajahku yang berbicara. Aku bingung juga malu mengakuinya pada Bintang. Tapi pada akhirnya justru kebingungan dan maluku ini yang membuat si Bintang mempercayaiku.

"Kalau begitu pikir kan lah tentang masa depanmu temanku!... impian seperti apa masa depanmu kelak. Lalu kau beritahukan aku jika kita bertemu lagi disini!" Pinta Bintang padaku dan ia memang memaksaku berjanji padanya. Dia ini benar-benar membuatku semakin bingung saja. Besok lusa pasti kami akan bertemu lagi disini. Di hutan ini untuk mencari kayu bakar dari ranting-ranting pohon yan patah di hutan. Dan sejak hari itulah aku terus menerus kepikiran tentang sang masa depan itu. Tapi sampai hari ini aku tetap tidak tahu dan tidak mampu mengimpikan apapun tentang masa depanku. Sekedar untuk berkhayal dan berandai-andai saja aku tidak bisa. Ada apa denganku? Apa sulitnya mengimpikan sesuatu yang indah lagi menyenangkan? Aku merasa tidak bisa apa-apa. Apa daya jika aku bertemu dengan temanku itu di hutan saat mencari kayu bakar, aku tidak bisa memberikannya jawaban.

Sebenarnya aku kecewa pada diriku sendiri. Untuk mengimpikan saja aku tidak bisa. Tidak ada salahnya punya impian! Ibu Rita majikanku yang selalu menggunakan jasaku memotong rumput itu, selalu bilang padaku, semua orang harus punya impian dan cita-cita agar mau berusaha lebih baik lagi. Aku hanya sedikit memahami ucapan beliau itu, selebihnya aku berpikir kalau impian dan cita-cita itu hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang beruntung. Orang kaya. Orang pandai, dan orang-orang hebat saja yang bisa memilikinya. Aku begitu yakin dan percaya kalau orang-orang istimewa itu saja yang pantas dan bisa memiliki impian masa depan. Aku sadar diri dengan sepenuhnya. Wajar saja jika orang sepertiku tidak punya impian dan cita-cita. Aku tidak perlu bingung, bersedih apalagi sampai kecewa pada diriku karena hal ini. Jadi, kalau aku bertemu Bintang temanku itu, aku akan jujur saja padanya. Kuharap ia memahami kejujuran dan pengakuanku nanti. 

Lega sekali. Akhirnya aku berhenti memikirkan tentang masa depanku. Aku kembali tenang tanpa kegelisahan. Fokus bekerja pula. Bertahan dan berusaha sekuatnya agar hidupku terus berlanjut. Aku mulai mengikuti nasehat dari ibu Rita yang sangat beliau harapkan aku menerapkannya. Aku menabungkan hasil jerih payahku setiap harinya. Cukup 500 perak. Itu pun susah payah berhasil kusisihkan untuk ku tabung. Aku menerapkan nasehat serta anjuran yang ibu Rita berikan walau pun aku tidak tahu tujuan dari tabunganku ini. Maklum saja aku bodoh dan tidak berpendidikan tinggi.

Hari untuk mencari kayu bakar telah tiba. Aku bersiap-siap untuk berterus terang kepada Bintang. Sambil mengumpulkan ranting-ranting, aku menunggu kedatangan Bintang. Tapi anak itu tak jua muncul seperti biasanya. Bahkan hingga aku selesai. Ia tetap tidak muncul. Kemana sih dia? Gumamku heran sekali. Karena setahuku, anak itu paling rajin dan paling suka mencari kayu bakar untuk dijual setiap hari. Tapi hari ini, ia tidak datang ke hutan. Ada apa dengannya?

Tidak bertemu Bintang hari ini menyisakan kegelisahan. Aku bukannya lega tapi aku lebih gelisah daripada memikirkan jawaban dari pertanyaan Bintang padaku. Aku khawatir. Tidak biasanya Bintang tidak pergi ke hutan. Benar saja ketika aku pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan ibu Rita, aku mendengar kabar kalau Bintang hilang. Tepatnya menghilang. Mendengarnya aku terasa tersambar petir. Apa yang terjadi padanya? Kenapa ia tiba-tiba menghilang?

Sejak tahu Bintang hilang, aku memikirkan banyak sekali hal yang mungkin saja adalah penyebabnya. Atau jangan-jangan dia pergi merantau. Tapi kenapa ia pergi tanpa pamit. Ia pergi begitu saja. Ia bukan seseorang yang seperti itu. Ia anak yang baik, jujur, dan pekerja keras. Ia pernah bercerita tentang impiannya jauh sebelum ia menanyakan padaku tentang masa depan. Aku ingat betul ucapannya saat itu padaku.

"Aku ingin jadi orang kaya suatu hari nanti... aku sudah bekerja keras dari pagi sampai petang tiap hari tanpa kenal lelah... semua kulakukan untuk keluarga karena aku adalah tulang punggung... aku hampir tidak mempunyai uang karena habis untuk makan dan keperluan hidup keluarga... kadang aku jenuh dengan keadaanku yang miskin ini. Satu-satunya yang menghiburku adalah mengimpikan diriku menjadi orang kaya... aku sungguh-sungguh ingin menjadi orang kaya!" Beritahunya padaku hari itu.

"Itu bagus teman! Aku yakin kelak kau akan menjadi orang kaya!" Aku mendukung impiannya itu. Aku merasa senang ia ingin menjadi orang kaya.

"Itu hanya harapan saja... karena aku tidak tahu cara mewujudkannya... bagaimana bisa menjadi orang kaya, uang saja aku tidak punya!" Katanya kecewa pada keadaannya. Ucapannya terdengar sedih.

"Kau akan temukan caranya nanti! Kau ini seseorang yang sangat pandai teman!" Hiburku sambil menepuk-nepuk pundaknya. Aku tersenyum riang untuknya. Tapi teman baikku yang penuh dengan impian itu hanya menatap haru padaku dan kemudian ia berkata

"Kau ini memang pandai sekali menghibur orang!" 

"Sudah lah.. jangan terlalu dipikirkan... kita tidak boleh bersedih karena punya impian! Impian itu dikaruniakan Tuhan pada kita untuk membuat kita bersedih, melainkan untuk membuat kita merasa dan punya lebih banyak harapan... itu kan yang selalu kau katakan padaku?" Aku mengingatkannya pada motivasi hidupnya untukku. Sampai hari itu ia tiba-tiba menanyakan masa depan padaku. Bintang temanku... kau ada dimana? Aku khawatir sekali.

Setahun berlalu sudah. Tidak ada kabar dari Bintang. Ia benar-benar hilang. Benar-benar menghilang. Aku sungguh sangat kehilangan dia. Dan aku sangat merindukan dirinya. Merindukan teman baikku itu membuatku tiba-tiba ingin pergi ke kota. Aku ingin mencarinya kesana. Entah kenapa aku selalu berpikir jika dia ada disana dan sedang mengejar impiannya menjadi orang kaya. Aku tahu itu tidak mungkin. Tapi bisa sangat mungkin jika Bintang ada disana.

Keputusan ini gila atau bodoh pun aku tak peduli. Aku memutuskan untuk pergi ke kota mencari Bintang. Aku ingin sekali menemukan dia. Bertemu dengan dia. Aku teringat uang tabunganku. Uang itu cukup untuk ongkos pergi ke kota. Dan aku melakukan hal ternekat dan gila dalam hidupku, aku yang telah sebatang kara ini benar-benar nekat pergi ke kota untuk mencari temanku itu.

Di kota suasananya terasa asing sekali. Aku bingung dan tidak tahu kemana mencari Bintang. Tapi aku terus melangkah meski pun tidak punya tujuan. Lelah dan letih, aku masih terus menyusuri jalan. Terlalu sulit untuk bisa menemukan Bintang. Tapi aku tetap mencarinya. Hanya langkahku yang paling tahu kalau ia harus terus melangkah. Meski pun dia dan aku menjadi sangat lelah. Aku berhenti sejenak untuk beristirahat. Melepas lelah dan mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan pencarianku.

Hari telah malam. Aku masih berjalan dengan perut kosong. Aku belum jua menemukan Bintang. Dan kemudian pandanganku tertuju pada seseorang yang sangat mirip bintang keluar dari mobil untuk membagi-bagikan makanan. Wajahnya sangat ramah dan dengan santun dan sopan memberikan makanan padaku. Tapi ia tidak terlihat seperti orang yang mengenaliku. Namun melihat wajahku yang penuh dengan rasa kaget dan bingung itu, ia pun bertanya padaku.

"Maaf... apakah saudara kenal dengan saya?" Ia bertanya dengan hati-hati padaku. Aku pun mengangguk membenarkan. Sekarang Bintang yang menjadi bingung.

"Kamu Bintang temanku kan?" Tanyaku sangat yakin tapi juga ragu. Kalau memang dia Bintang, dia pasti mengenaliku.

"Maaf... saya Akbar Jayataningrat!... mungkin saya sangat mirif dengan seseorang." Katanya lagi dan tetap terlihat baik dan ramah. Tidak mempermasalahkannya.

"Kalau boleh saya tahu, siapa Bintang?" Tanyanya lagi padaku. Ia begitu ingin tahu. Maka aku pun menceritakan padanya tentang Bintang.

"Jadi, dia menghilang?... sayang sekali... padahal selama ini saya sudah mencari dia kemana-mana Dipka.. dia saudara kembar saya!... kami sudah lama terpisah!" Beritahu Akbar dan sangat yakin Bintang adalah saudara kembarnya.

"Kalau kamu tidak keberatan, ikut lah dengan saya!... kita cari kakak saya Bintang sama-sama!" Akbar memintaku ikut dengannya. Malu dan ragu aku kembali kebingungan.

"Ayo lah Dipka!... kamu teman baik kakak saya... saya tahu kamu sangat peduli padanya ... karena itu kamu mencari dia dengan bersusah payah seperti ini!" Katanya padaku agar aku tidak ragu dan bingung untuk bersedia ikut dengannya. Aku pun terpaksa ikut dengan Akbar. Tinggal bersamanya di rumah mewahnya. Hidup Akbar ternyata sangat senang. Tapi ia tetap lah pekerja keras dan tidak pernah bermalas-malasan. Aku membantunya melakukan pekerjaan rumah bahkan memasak. Akbar sangat mirif dengan Bintang. Apa karena mereka kembar?... entah lah. Tapi selama tinggal di kota dan di rumah Akbar yang nyaman aku tentu merasa betah. Dan Akbar yang baik hati sama seperti Bintang. Mempekerjakanku di bengkel mobil miliknya. Aku rasa aku belum bisa disebut bekerja karena di bengkel banyak sekali karyawan yang mengajari dan menjadi guruku. Akbar... aku tidak tahu bagaimana aku bisa membalas kebaikanmu padaku. Gumamku dalam hati. Padahal kakaknya Bintang, sampai saat ini belum juga ia temukan. Dan aku masih sering gelisah memikirkan Bintang. 

Tidak mau menerima gaji buta, kutolak dengan halus gaji dari Akbar untukku.

"Nanti saja kalau aku sudah mahir dan benar-benar bekerja... aku pasti akan menerimanya!" Kataku dengan alasan jitu.

"Kau ini... terima saja lah!... itu uangmu!... kau sudah banyak membantu pekerjaan guru-gurumu... kalau kau tidak rajin aku tidak akan memberikan ini padamu!" Kata Akbar dan ngotot memberikan uang gaji itu padaku.

"Baik lah ku terima... tapi bulan depan kau tidak perlu memberiku gaji lagi!" Aku mengajukan persyaratan untuk menerima uang darinya.

"Aneh sekali kau ini... semua orang gampang menerima uang! Tapi kau ini masih saja tidak mau terima uang gajimu sendiri!... benar-benar aneh!" Omel Akbar mengomeliku dengan tampang heran.

"Bukannya begitu! Satu bulan ini aku belum benar-benar bekerja total. Malah hanya belajar saja. Jadi, mana pantas aku terima uang kalau bekerja saja tidak!" Jelasku lagi.

"Baik lah... aku capek berdebat denganmu!... bagaimana kalau kita nanti malam pergi makan saja!" Ajak Akbar.

"Kita makan di rumah saja... aku yang masak!" Kataku meminta Akbar makan malam bersamaku di rumahnya saja. Akbar setuju. Lalu kami makan malam bersama di rumah Akbar.

"Besok hari minggu... libur besok kau mau di rumah atau jalan-jalan?" Tanya Akbar santai sekaligus serius.

"Kalau kamu tidak keberatan, aku mau kau temani aku mencari Bintang." Beritahuku. Seketika Akbar menemukan kegelisahanku. Ia tercenung setelah tampak terkejut.

"Ada apa?" Aku bertanya seolah-olah perkataan itu terdengar keras dan membuatnya syok. Akbar menggeleng.

"Tentu saja aku tidak keberatan... kita memang harus mencari Bintang lagi!" Jawab Akbar menatap haru. Aku pasti mengingatkannya pada Bintang dengan tiba-tiba.

"Maafkan aku!" Ucapku merasa bersalah.

"Kau tidak salah! Aku yang salah!... karena terlalu sibuk bekerja, aku lupa mencari Bintang lagi!" Gumam Akbar sedih dan tampak menyesal.

"Tidak apa-apa! Kita hanya perlu mencari Bintang lagi!" Aku menghibur Akbar, tapi kemufian ia menjadi tertegun dan termenung. Ia pasti memikirkan saudaranya yang hilang itu. Ternyata Akbar benar-benar sangat sedih. Semoga saja Bintang cepat kami temukan.

Pagi minggu yang kunanti. Tidak seperti kemarin, hari ini Akbar sangat riang. Harapannya pasti besar sekali untuk mencari Bintang. Aku pun bersemangat sekali. Kami benar-benar habis kan waktu dan mendatangi banyak tempat untuk mencari informasi tentang Bintang. Namun hasilnya sungguh mengecewakan. Tidak ada informasi apapun yang kami dapatkan tentang Bintang. Bahkan ketika senja tiba. Kami harus mengakhiri pencarian dengan tangan kosong. Aku benar-benar kecewa.

"Sudah lah!" Kita masih punya banyak waktu untuk mencari Bintang!" Kali ini Akbar lah yang menghiburku.

"Tidak apa-apa... aku hanya sangat merindukan dia!" Kataku dan mencoba tersenyum. Tapi aku tidak bisa. Aku terus teringat dengan sosok Bintang. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya. 

"Setahun yang lalu ia pernah menanyakan padaku tentang masa depan... dan hari ini aku sudah tahu jawabannya!" Kataku bercerita pada Akbar. Menumpahkan beban hatiku selama ini karena begitu kehilangan seorang teman. Satu-satunya teman yang aku punya.

"Masa depan?" Akbar bergumam. Ia kebingungan. Tapi ia juga sangat ingin tahu jawabanku. Aku melihat matanya menatap penuh rasa ingin tahu. Walau pun ia tadi justru terkejut mendengar apa yang aku katakan. Aku mengangguk.

"Apa jawabanmu untuk Bintang?" Akbar terus bertanya dan ingin tahu. Aku ragu. Tapi tidak ada salahnya kalau aku memberitahu Akbar. Setidaknya aku akan merasa lebih baik kalau aku memberitahukan jawabanku untuk Bintang pada Akbar.

"Aku ingin punya masa depan!... benar-benar ingin sekali!... dan di masa depan yang aku impikan itu... aku ingin... aku ingin bisa bertemu lagi dengan Bintang di masa depanku!" Beritahuku sepenuh harapan dan sepenuh hati. Seketika setelah mendengar jawaban dariku Akbar menangis.

Aku menatap wajahnya juga matanya. Ia menjadi kelihatan berbeda. Ia Akbar tetapi tatapannya itu, kesedihannya dan reaksinya saat mendengarku benar-benar mengingatkanku pada Bintang. Kenapa mereka begitu sama. Bahkan secara emosi. Aku semakin bingung dan tidak mengerti.

"Ada apa?" Aku khawatir. Aku juga bingung melihat Akbar menangis. Kesedihannya yang mendalam itu pun menjadi penuh dengan penyesalan. Akbar seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi tampak sangat berat untuk melakukannya. Ada apa dengannya?... apa ini salahku? Apakah perkataanku tadi tidak sengaja mengungkit luka masa lalunya. Aku semakin risau.

"Maafkan aku... aku pasti membuatmu sangat sedih... pasti ada ucapanku yang membuat hatimu tersakiti..." terbata-bata aku meminta maaf.

"Dipka... kau memang baik sekali... kau benar-benar sangat peduli padaku! Kau benar-benar satu-satunya orang yang tidak pernah bisa melupakanku!" 

Apa aku salah dengar. Aku syok. Terpaku. Jadi Akbar sebenarnya adalah Bintang juga? Aku kaget sekali.

"Ya Tuhan Bintang... ini kau rupanya!" Aku memeluknya dengan sangat bahagia. Akhirnya aku menemukan Bintang teman baikku yang hilang setahun yang lalu. Baru saja bertemu, kami mendapatkan kabar dari Rumah Sakit kalau ayah Akbar kritis. Jadi... Bintang dan Akbar itu benar-benar kembar. Kalau begitu dimana Akbar? Jika Akbar adalah Bintang... lalu Akbar?... aku semakin kebingungan. Tiba-tiba tentang Akbar dan Bintang menjadi sangat rumit. Entah lah... mungkin ada rahasia di antara mereka. Atau Bintang lah yang memiliki rahasia besar. Yang jelas aku dan Bintang lalu pergi ke Rumah Sakit. Bintang terus menangis sambil menggenggam erat tangan ayahnya. Aku tahu ia akan membuat sebuah pengakuan dari rahasia besarnya. Sang ayah yang sekarat menatap tak suka. Ia menangis.

"Jangan menangis nak! Semua orang yang hidup pasti akan meninggal... begitu juga dengan ayah... tolong jangan bersedih di hari terakhir ayah! Buat lah ayah tersenyum!" Pinta sang ayah penuh harapan dengan kekuatan kehidupan yang masih tersisa. Mendengar ucapan ayahnya Bintang terisak. Ia begitu rapuh dan ia seperti seseorang yang hendak mengakui kesalahan terbesar dan terburuk yang ia lakukan dalam hidupnya. Bintang pun melakukannya.

"Ayah... aku sebenarnya bukan Akbar!... tapi aku adalah Bintang! Anak ayah yang lama terpisah dengan ayah!" Bintang memberitahu ayahnya. Sang ayah tampak tidak mengerti dan belum percaya sepenuhnya. Tapi Bintang tidak mau membuang waktu. Ia tahu waktu ayahnya tidak banyak lagi.

"Akbar punya tanda lahir pada jari manisnya kan ayah? Tapi aku tidak..." Bintang memperlihatkan jari manisnya yang memang sama sekali tidak memiliki tanda lahir.

"Ayah... maafkan aku!" Isak tangisnya menjadi sedu sedan yang pilu. Dan sang ayah memeluk erat dan bahagia putranya yang hilang. Lalu ia pun menghembuskan napas terakhirnya dengan bahagia.

Belum pernah aku melihat Bintang sesedih dan sehancur hari itu. Aku pun amat merasakan kesedihan yang ia rasakan saat itu. Tapi bagaimana dengan Akbar? Aku sangat ingin tahu keberadaan Akbar dan hanya Bintang yang tahu hal itu. Mungkin suatu hari nanti Bintang akan memberitahuku tentang Akbar dan keberadaannya. Aku tiba-tiba ingin sekali bertemu dengannya.

SATU BULAN KEMUDIAN

Minggu pagi yang mendung, Bintang membawaku mengunjungi sebuah makam. Aku masih tidak mengerti saat aku tiba di sebuah makam yang ia kunjungi. Tapi ketika aku melihat nama di nisannya, akhirnya terkuak sudah misteri tentang Akbar dan rahasia Bintang tentangnya.

"Jadi Akbar sudah meninggal..." aku menyadari kalau makam yang Bintang kunjungi bersamaku adalah makam saudara kembar Bintang.

"Dia meninggal karena serangan jantung!... semua salahku!" Ucap Bintang lagi. Lagi-lagi ia mengatakan dirinya adalah penyebab kematian Akbar. Bintang membuatku syok lagi. Ada rahasia apa lagi ini?

"Aku tidak sengaja melihat orang yang mirif sekali denganku... dan ia ternyata orang yang kaya raya... setiap hari ia membagi-bagikan makanan kepada orang-orang miskin di jalan... suatu hari aku mengikutinya. Ia baru saja selesai membagi-bagi kan makanan... lalu aku memukulnya sampai dia pingsan! Aku bermaksud menyekap dia dan menggantikan dia karena kami sangat mirif... saat itu aku benar-benar kehilangan akal sehatku. Aku ingin sekali merasakan jadi orang kaya..." Bintang menarik napas. Hatinya sesak dipenuhi jutaan penyesalan yang menyakitkan.

"Aku bilang padanya, hanya sebentar saja!... aku pasti akan melepaskanmu!" Aku berjanji akan segera melepaskannya. Tapi ternyata ia mendadak kena serangan jantung. Aku pun sempat membawanya ke Rumah Sakit. Disisa napasnya ia masih bisa menyerahkan semua miliknya untukku melalui bantuan pengacaranya. Rupanya ia tahu aku adalah saudara kembarnya!" Bintang mengakhiri ceritanya dengan wajah berdosa yang dipenuhi kepedihan.

"Dia sangat baik... tapi aku sangat bodoh dan jahat!" Sesalnya dengan penyesalan yang tidak pernah bisa ia hapuskan dari hidupnya.

"Akbar sudah memaafkanmu Bintang... sekarang sudah waktunya kau juga bisa memaafkan dirimu sendiri!" Aku memeluk haru teman baikku. Berusaha menguatkannya dan mengurangi beban penyesalannya yang teramat berat. Aku tahu ia belum bisa memaafkan dirinya sendiri sehingga ia sangat tersiksa dan dihantui penyesalan.

"Aku tahu... tapi seandainya aku tidak punya impian, ini semua tidak akan terjadi!" Sesalnya pilu.

"Seharusnya aku tidak punya impian saja!... karena dengan begitu aku sekarang pasti masih bisa bersama Akbar dan ayah..." sesal Bintang sejadi-jadinya. Ia gemetar karena begitu sedih dan juga karena menangis.

"Kau tidak salah karena memiliki impian dan cita-cita masa depan... hanya caramu saja yang pernah keliru... tapi kau sudah pernah berusaha memperbaikinya... maafkan lah dirimu sendiri!" Akbar sudah tenang. Akbar memaafkanmu karena ia begitu menyayangimu!" Kataku terus meyakinkan Bintang pada sebuah kebenaran yang aku lihat. Aku tahu Bintang tidak sejahat yang ia persalahkan pada dirinya sendiri. Ia tidak berniat seburuk yang terjadi. Semuanya adalah takdir.

Pelukan menenangkan dan ucapan-ucapan yang meyakinkannya terus kuutarakan agar Bintang benar-benar bisa memaafkan dirinya sendiri. Perlahan-lahan membuat Bintang menatap padaku penuh harapan. Masa depan? Gumamnya,

"Aku masih belum tahu masa depanku meski pun sekarang aku adalah orang yang kaya raya... tapi setelah tiada nanti, aku ingin bersama Akbar dan ayah lagi... kami belum pernah berkumpul bertiga bersama..." kembali Bintang bergumam penuh harap.

"Iya teman. Semoga Tuhan merestui impianmu!" Doaku setulus senyuman yang kuberikan padanya. Akhirnya aku memahami apa itu masa depan! Tetapi masa depan itu adalah rahasianya. Sekali pun kita mengimpikannys, tapi Dia lah yang Maha kuasa yang merancang Nya dan memberikan masa depan hasil rancangan Nya itu pada kita. Masa depan?... mohon lah selalu pada Nya untuk kebahagiaan sejatimu. Kebahagiaanmu selamanya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Misteri
Rekomendasi