Dengan frustasi aku memukul-mukul permukaan cermin berukuran satu dinding penuh di hadapanku ini. Bodoh, bodoh, bodoooh! Hanya karena merasa tertantang untuk membuktikan cerita yang beredar di sekolah, aku jadi terjebak di dalam sini. Sekarang aku benar-benar menyesal karena cerita itu benar-benar terjadi padaku.
Awalnya semua kuanggap omong kosong. Desas-desus soal cermin terkutuk di gudang bawah tanah sekolah ‘Ketuk cermin dua kali, tepat jam dua siang. Maka bayanganmu akan melayang. Dan keberadaanmu akan tertukar.’
“Aaaakh, aku mau kembali! Aku mau kembali!!!”
Kubenturkan tubuhku ke cermin dengan harapan aku akan kembali ke sisi cermin lainnya. Sia-sia saja. Seluruh tubuhku malah nyeri. Aku kembali memukul-mukul cermin sambil berteriak histeris. Aku tidak mau terjebak di dalam sini selamanya!!! Dadaku terasa sesak dengan jantung yang berdegup kencang. Sekujur tubuh rasanya seperti panas dingin dan mataku pun mulai basah.
“Sudah cukup!” tiba-tiba seseorang mencengkeram kedua tanganku dan menarikku menjauh dari cermin.
Dengan terkejut aku menatap pemilik tangan tersebut. Cowok itu memakai seragam yang sama denganku. Rambutnya jabrik dengan kacamata berbingkai hitam. Wajahnya terlihat angkuh, pandangan matanya sinis dan tajam. Sekilas kulihat dia mirip Fang di serial Boboiboy yang sering kutonton.
“Si-siapa kamu?!” kusentakkan tanganku dari genggamannya. Aku beringsut mundur agar leherku tak perlu pegal gara-gara harus mendongak ketika menatapnya.
“Sudah berapa lama kamu di sini? Heh… bukan begitu cara bertukar dengan bayanganmu,” suara beratnya terdengar mencela. Ia memasukkan kedua tangan ke kantung celana dan bersandar di dinding.
Aku mendengus kesal sambil menyipitkan mata. Huh, dia ini! Ditanya malah bertanya balik. Ingin kujitak saja keningnya sampai benjol.
“Aku Raendi. Kelas 2-5. Sudah sejak kemarin siang aku di sini,” sambung cowok itu cepat. Sepertinya ia membaca gelagatku yang hendak menyemburkan omelan.
“Aku… aku Rinka, kelas 1-3. Baru sekitar satu atau dua jam yang lalu di sini. Tadi aku melihat bayanganku pergi meninggalkan gudang. Aku mau keluar tapi takut, tidak tahu ada apa dan bagaimana di luar sana,” suaraku sedikit serak.
Cowok itu hanya diam menatapku sesaat, lalu menghela napas pendek. “Ayo ikut,” ajak Raendi memberi isyarat dengan gerakan kepala. Kemudian ia berjalan keluar gudang.
Aku bimbang sejenak. Tapi daripada sendirian di sini dan tak bisa apa-apa, lebih baik aku mengikutinya.
“Aku sudah berkeliling ke sekitar sekolah dan rumahku. Di dalam sini sama saja, semuanya adalah refleksi dari dunia kita yang asli. Bukan cuma kita yang terjebak di sini. Ada anak-anak lain yang juga pernah melakukan hal yang sama. Ada yang masih di sekolah, ada juga yang berjalan-jalan di luar tak tentu arah. Semakin lama mereka di dalam sini, kondisi tubuh mereka akan semakin lemah dan kemudian menghilang. Hanya itu yang baru aku ketahui di sini,” Raendi menjelaskan sambil terus menapaki anak tangga ke atas.
“Bayangan kita pasti akan melakukan hal yang sama dengan yang biasa kita lakukan. Yang penting adalah menemukannya di tempat yang ada cermin. Ingatan kita dengan bayangan juga masih dan akan terus terhubung. Coba kau ingat apa saja yang biasa kau lakukan setiap hari,” lanjut Raendi.
Aku yang masih bingung, merasa kesulitan untuk mencerna penjelasan Raendi. “Hah? Gimana? Kok kamu bisa tahu hal-hal kayak gitu?” tanyaku linglung.
“Aku tahu cara-cara ini dari desas desus yang beredar. Sebelumnya, aku sudah kumpulkan dan catat semua detail dari orang-orang yang tahu dan pernah dengar tentang cermin ini,” jawab Raendi tanpa melihatku.
Kami sampai di lantai dasar sekolah. Aku terkesiap dan sedikit mengigil melihat dua orang murid yang juga berseragam sama denganku di lobi sekolah. Mereka berjalan sangat pelan seolah menyeret kaki sambil menunduk. Aku tersadar dan segera menyusul Raendi yang sudah menaiki tangga ke lantai satu.
“Lalu, kenapa kamu belum bertukar dengan bayanganmu?” aku terengah berusaha menjajari langkah kaki Raendi. Ia berhenti melangkah dan berbalik kaku menghadapku.
“Sepertinya bayanganku tidak ingin bertukar lagi. Entah bagaimana cermin saku yang kubawa hancur menjadi serpihan. Akan sulit untuk bertukar kembali dari dalam sini jika cerminku pecah. Karena hanya cermin yang kita bawa dari dunia kita yang bisa membuat pertukaran kembali,” jawab Raendi murung, ia menatap kosong ke lantai. “Cara lain yang kutahu adalah menghadapkan si bayangan di dunia sana ke cermin secara bersamaan dengan posisiku di sini,” sambungnya.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Bagaimana jika bayanganku juga berpikir seperti itu?! Secara reflek tanganku meraba saku kemeja. Fiuuuh, cermin saku yang kubawa masih ada dan utuh. Aku melirik Raendi yang masih termangu.
“Hei, bagaimana jika kita saling bantu? Kau bantu aku bertukar dengan bayanganku dulu. Setelah itu aku akan mencari bayanganmu di dunia asli dan menghadapkan cermin kepadanya,” aku menatap cowok itu dengan penuh harap.
Raendi balas menatap ragu, tapi akhirnya ia menghela napas pelan dan mengangguk samar. “Hati-hati jika nanti bertemu dengan bayanganku. Aku pernah dengar kalau bayangan kita akan bersifat lebih jahat daripada diri kita atau bisa juga kebalikannya,” tatapan Raendi berubah cemas.
Keningku berkerut mendengar kata-katanya barusan. Kami melanjutkan naik ke lantai satu dan menyusuri lorong sekolah menuju ruang kelasku. Lalu berhenti di depan pintu dengan papan kecil bertuliskan nomor kelas.
“Kalau aku buka pintunya, apa di dunia nyata pintu ini akan terbuka dengan sendirinya?” tanyaku sembari menatap pintu dengan ragu.
Tiba-tiba tanpa sepatah kata pun, Raendi menggeser pintu kelas hingga terbuka lebar. Aku hanya bisa terlonjak dan melotot kaget. Iiish, apa anak ini tidak pernah berpikir dulu sedikit sebelum melakukan sesuatu?
“Kemarikan cerminnya,” Raendi mengulurkan telapak tangan padaku.
Kukeluarkan cermin dari dalam saku dan memberikannya ke cowok di sampingku ini. Kepalaku melongok ke dalam ruang kelas yang kosong dan tampak suram.
Raendi masuk dan berdiri di depan kelas menghadap papan tulis. Kemudian ia mengangkat cerminku dan mengarahkannya ke sekeliling kelas. Pandangan matanya terfokus ke permukaan cermin.
“Kamu duduk di kursi paling belakang dekat jendela?” Raendi menoleh kepadaku. Begitu aku mengangguk cepat, ia berjalan menuju kursi yang biasa aku tempati.
“Aku tunggu di cermin toilet laki-laki lantai dua,” ujar Raendi kepadaku sebelum ia mengarahkan cermin di tangannya ke kursi tersebut.
Seketika tubuhku terasa seperti tersentak ke belakang dengan cepat hingga mataku terpejam dan napasku tertahan beberapa detik. Ketika aku membuka mata, yang kulihat adalah situasi yang aku kenal di dalam kelas. Ada Guru yang sedang menerangkan dan murid-murid yang memperhatikan ke depan.
Aku kembali… aku kembali!!!! Kukatupkan gigi kuat-kuat dan meremat tepi meja dengan jemariku, berusaha agar tidak bersorak atau melakukan tindakan aneh apapun. Tubuhku gemetar sampai napas terasa sesak karena senang telah kembali ke dunia semula. Aku melirik ke pintu, masih tertutup. Raendi! Aku harus cepat menemukan bayangannya!
Beruntunglah bel pelajaran terakhir tiba-tiba berbunyi. Tergesa kumasukkan buku ke dalam ransel dan berlari keluar. Kelas dua berada satu lantai di atasku. Aku menunggu di dekat tangga sampai sepi. Semua murid sudah turun dari lantai atas, tapi si Bayangan Raendi belum nampak. Dengan gelisah aku terus berdiri dan mengawasi. Tak lama terlihat seorang murid cowok dengan wajah yang kukenal menjejakkan kaki ke anak tangga. Itu dia!
Aku sedikit gemetar, tidak tahu bagaimana sebenarnya sifat Raendi dan cara menghadapinya. Tapi biar bagaimana pun aku harus menolongnya. Tiba-tiba saja bayangan Raendi berhenti melangkah dan menatapku tajam. Senyum dingin dan aneh terlukis di wajahnya. Tanpa diduga ia malah berbalik lari kembali ke atas. Aku pun mengejarnya.
Hah? Lari kemana dia? Cepat sekali menghilang dari pandangan. Aku berjalan perlahan ke arah ruang-ruang kelas sambil berusaha tetap waspada. Tepat ketika aku melewati kelas pertama, ada seseorang yang membekap mulut dan mengunci tubuhku dari belakang. Aku meronta, sikuku berhasil mengenai rusuknya. Ia mengerang marah. Aku mendorongnya hingga jatuh ke belakang dan berhasil membebaskan diriku.
“Kamu… kamu harus bertukar kembali! Tempatmu bukan di sini!” bentakku gugup. Tapi bayangan Raendi malah bangkit dan hendak menangkapku lagi. Pikiranku langsung teringat dengan toilet laki-laki. Aku berlari ke ujung lorong sekuat tenaga. Semoga saja toilet itu kosong saat ini.
Tepat ketika aku masuk ke dalam toilet, bayangan Raendi menangkapku dan mendorongku ke dinding. Aku mencengkeram lengannya dan berbalik mendorongnya ke arah wastafel dengan cermin besar. Sepertinya ia tidak menyadari bahwa aku memancingnya ke toilet supaya ia berhadapan dengan cermin. Seketika ia seperti tersedot ke dalam permukaan cermin. Sedetik kemudian terlihat juga seseorang terlempar keluar dari cermin sampai terhempas ke lantai.
“Raendi?” panggilku dengan hati-hati sembari menatapi cowok itu mengerang tertahan. Aku tidak tahu apakah cowok di hadapanku ini benar-benar Raendi asli atau bukan.
“Oy. Rinka,” sahut Raendi lirih sembari berusaha bangkit.
Entah kenapa mendengarnya menyebut namaku jadi meyakinkan bahwa ini adalah Raendi yang kukenal beberapa saat yang lalu. Aku menghampiri cowok itu dengan sedikit kalut, lalu membantunya duduk. Ia masih terengah dan tubuhnya gemetar. Aku menatap cermin sejenak, hanya ada pantulan seisi toilet. Setelah lebih tenang, kami pergi keluar dengan perasaan campur aduk antara tidak percaya dan lega.