Disukai
1
Dilihat
1,076
Mama Mia
Slice of Life

Suara teriakan milik Mama Mia terdengar begitu jelas dari kamarku. Suaranya bahkan dapat mengalahkan lagu Justin Bieber yang sedang aku setel melalui laptop.

Mau heran, tapi ini mamaku. Pagi-pagi tanpa adanya drama sepertinya terasa kurang afdol.

“Nafi! Lo dipanggil bukannya nyaut malah diem aja! Budeg Lo?” 

Kan? Memang seperti ini nih kegiatan rutinku di pagi hari. Kena omel terus. Dari pagi sampai malam. Persis seperti minum obat tiga kali sehari.

“Apa sih Ma? Nafi lagi kerja juga,” jawabku.

Mama berjalan ke arahku. Kedua tangannya sudah ia lipat di depan dada. Raut wajah andalan sudah keluar membuatku harus siap-siap kabur dari hadapannya.

“Mau kemana lo? Gak perlu nyari alasan! Kerja apa lo sampai-sampai jam segini masih di kamar? Jajan aja masih minta lo sama gue,” omel Mama membuatku meringis.

Si Mama gak tahu aja kalau aku ini sudah bisa nyari uang sendiri. Terbukti dengan adanya laptop yang sudah siap sedia digunakan di meja belajar.

“Aku kerja nih, nulis artikel dan tuh ....” tunjukku ke arah laptop dan rak buku yang sudah dipenuhi oleh novel hasil karyaku dari aku masih SMK sampai saat ini.

“Kerja tuh yang kaya si Kiki tuh, jadi guru TK atau kaya adiknya Kiki si Kia kerja di kantoran. Bukan kaya gini. Kalau lo emang gak mau kerja, gue masih sanggup buat kuliahin Lo kaya si anaknya Mak Inul.”

Sudah hapal betul aku, hingga ujung-ujungnya aku berakhir di sini. Di toko milik Mama yang harus berakting ramah meski mental sedang tidak baik-baik saja.

“Mbak gue mau beli kertas asturo satu ya, warna hitam mbak,” ujar pelanggan yang baru saja datang tadi. Dengan segera aku pun meraih kertas asturo yang ada di etalase.

“Kak, aku mau print,” ujar pelanggan lain yang baru saja datang.

Aku melihat Dimas yang baru saja dari toilet pun langsung berujar, “Mas, ada yang mau print file tuh.”

Dimas salah satu pegawai Mama pun mengangguk dan menghampiri pelanggan lain yang akan print.

Toko Rame ini sudah berdiri sejak aku kecil. Awalnya hanya toko ATK biasa yang sederhana, hingga lambat laun menjadi sebesar sekarang.

Jika dulu hanya terdapat kipas angin kecil, sekarang sudah tersedia AC yang siap menyejukkan hati yang sedang panas, seperti saat ini. Tidak sengaja aku melihat postingan yang baru saja diunggah oleh Nusa—mantan pacar yang sudah pernah membuatku hancur.

Terlihat di sana, sepasang sejoli yang sedang tersenyum bahagia menghadap kamera. Captionnya pun bikin sebel. Masa captionnya seperti ini; Enggak bisa tanpa mu my love.

Halah, bulshit! Tahun lalu dia juga bilangnya gitu ke aku. Tapi, nyatanya? Orang itu bisa tuh hidup tanpa aku. Malah dia sekarang sudah memiliki kekasih. Berbeda denganku yang masih jomlo.

Tapi, bodohnya malah aku masih menyimpan rasa kepada pria itu.

Ya, gimana ya. Kadang cinta memang bisa buat orang menjadi sebodoh itu.

“Nafi! Kerja!” teriak Mama dari ruang CCTV yang suaranya terdengar di seluruh penjuru toko melalui speaker. 

Aku yang mendengarnya hanya bisa tersenyum canggung kepada pelanggan yang sedang memilih berbagai peralatan sekolah.

Demi apa aku malu banget! “Ya, ampun Mama!” desisku sembari melirik CCTV yang ada di pojok atas.

***

“Sumpah kenapa hidup lo sengenes itu sih?” Tawa Ica terdengar begitu menyebalkan di telingaku.

Aku menyuapkan eskrim rasa Taro yang baru saja aku pesan tadi ke mulut. Setelah berhasil kabur dari toko, aku segera menuju tempat favoritku ini.

Kedai yang menyediakan berbagai macam es krim. Nama kedainya ialah kedai Curhat.

Sedikit aneh dan unik. Namun, entah mengapa rasanya nyaman berada di sini. Kedai es krim ini juga menyediakan setumpuk kertas note beserta bolpoin guna sebagai alat untuk mencurahkan isi hati yang tidak bisa diungkapkan kepada siapapun yang nantinya akan dikumpulkan di dalam kotak besar yang sudah disediakan.

Aku sudah sering melakukannya, bahkan sudah menjadi hal wajib untuk datang ke sini jika sedang ada masalah.

Meraih note bewarna ungu muda yang ada di meja, aku menulis apa yang sedang aku rasakan saat ini. Mungkin akan kutulis sebagian atau mungkin semuanya.

Gue gak tahu apa yang salah dengan profesi gue sebagai penulis. Apa karena gue gak punya seragam kaya si Kiki atau tidak sekeren profesi Kia yang menjadi salah satu karyawan kantoran?

Kenapa Mama selalu saja menyuruhku menjadi orang lain?

Aku menyudahi tulisanku. Lalu dengan rapih aku lipat. “Apapun yang udah Lo tulis semoga bisa bikin lo lega,” tutur Ica.

Aku mengangguk. Tersenyum ke arah Ica. “Terimakasih ya Ca.”

“Terus lo masih mau lanjut nulis apa mau nyari lowongan pekerjaan yang lebih keliatan kerjanya?” Ica bertanya, lalu melanjutkan ucapannya kembali. “Atau lo mau gantiin nyokap lo jadi bos di Toko Rame?”

“Opsi terakhir nggak akan gue ambil, gue terlalu males buat ramah ke orang asing. Gak bisa gue kaya gitu. Males,” ujarku yang menjadi penutup pembicaraan kita.

Setelah itu aku dan Ica berpisah. Ica harus berangkat kerja, sedangkan aku harus stay di sini. Mau pulang pun aku masih terlalu malas. Sudah pasti aku disuruh untuk menjaga toko.

Tidak lama ponselku berbunyi, menampilkan nama Mama Mia di sana. Diam-diam aku mendengus kesal.

Panggilan pertama tidak aku angkat. Lalu masih disusul dengan panggilan yang kedua dan aku masih enggan untuk mengangkat panggilan.

Tepat pada panggilan ketiga berbunyi, tiba-tiba saja ada seseorang pria yang mengangkat panggilan tersebut.

“Nafi lama bener lo angkat telepon! Ngangkat telepon udah kaya ngangkat rumah aja Lo! Di mana sekarang? Pulang! Disuruh jaga toko malah kabur!” 

Dari seberang sana aku dapat mendengar ucapan Mama yang sedang mengomel. Seketika aku meringis.

“Assalamualaikum tante,” ujar pria itu. Membuat Mama seketika terdiam.

Aku yang baru sadar akan situasi, dengan cepat aku meraih ponselku dari tangannya.

“Halo Ma, nanti Nafi pulang kok. Tenang aja,” ujarku lalu kumatikan sambungan telepon yang tersambung tadi.

Tatapan nyalang aku tampilkan ke arah laki-laki yang kini sudah duduk di bangku depanku yang sempat diduduki oleh Ica tadi.

“Lo siapa sih? Dateng-dateng pegang hape orang! Lo kira itu sopan?” cibirku kesal.

“Gue Omi.”

***

Sesampainya di dalam rumah. Aku sudah dihadang terlebih dahulu oleh Mama.

Mata mama memicing seperti sedang menilaiku. “Tadi yang ngangkat telepon kenapa bukan kamu?”

Sudah aku duga, pasti masalah itu akan ditanyakan oleh Mama. “Gak tahu Ma, orang tiba-tiba dia ngangkat teleponnya. Gak sopan banget, kan?”

“Pacar kamu?” tanya Mama.

“Bukan! Amit-amit aku pacaran sama dia Ma. Gak kuat aku kalau punya mertua kayak Mak inul.” Aku bergidik negeri membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi. 

“Loh? Jadi tuh cowok anaknya si Menul?” 

Aku mengangguk. “Iya, Mas Omi si anak Emak,” kataku.

Tomi Gagah. Nama itu sedari dulu tidak pernah lepas dari Indra pendengaranku. Meski belum sempat pernah bertemu.

Mak Inul pemilik lapak sebelah yang kerjaannya cuman membanggakan anak semata wayangnya itu selalu saja menyebut nama itu.

Membuatku lama kelamaan jadi hapal karena saking bosannya.

Seperti tahun lalu saat aku baru saja putus dengan Nusa. Dengan gencarnya beliau memanas-manasi suasana yang mendadak membuatku ingin terjun ke selokan.

“Itu pacar kamu yang sering jemput antar kamu sekarang dia di mana? Udah putus, ya? Makannya naik ojek?” ujarnya sembari menyomot keripik pisang hasil produknya.

Niatnya pulang ke rumah itu ingin menghilangkan kesedihan yang melanda. Tapi ini malah ketemu Mak Inul yang pakaiannya kaya orang kampung. Baju serba terang, dengan rambut digelung.

Pakai keluar dari toko segala lagi. Aku tersenyum lebar ke arah Mak Inul. “Aku kan bukan anak manja. Lagian pacar aku bukan ojek,” kataku sopan.

“Nih, Mak kasih tahu, pacar yang baik itu gak mungkin biarin pacarnya pulang sendiri. Tuh, kayak Omi anak Mak yang sekarang lagi di Jogja. Udah cakep, perhatian, mapan, lulusan UGM lagi.”

Ya, terus urusannya sama aku apa! Heran banget buset!

“Nggak kaya pacar kamu itu. Tampangnya aja kaya orang susah. Tapi, ya sepadan sih sama kamu yang cuman ... sorry nih ya bukannya gimana-gimana tapi toh ini fakta. Cowok kamu miskin dan kamu cuman lulusan SMK yang pengangguran.”

“Jadi cocok.”

Kata-katanya itu loh bikin aku pengen menghilang dari bumi ini. Heran banget, semoga suatu saat nanti aku nggak dapat Mama mertua kaya Mak Inul bisa terganggu mentalku nanti.

Seperti sekarang ini, gegara omongan Mak Inul yang ceplas-ceplos di perkumpulan para ibu bisnis. Aku menjadi kena semprot.

Padahal lagi enak-enaknya tidur. Semalam aku baru saja lembur untuk revisi naskah novel yang sebentar lagi akan terbit.

Jam 2 pagi aku baru bisa tidur dan di pagi hari sudah melihat drama menyebalkan hasil karya Mama.

“Ampun deh gue dapet anak cewek kok males banget, buset! Woy, Nafi bangun gak Lo! Udah jam berapa ini!”

Kedua kelopak mataku masih ingin terpejam. Tapi, suara cempreng mama sudah membuatku harus menahan kantuk.

“Apa sih Ma, Nafi masih ngantuk,” kataku berharap mama dapat mengerti.

“Lo tahu? Si Inul kampungan itu tadi udah pamer ke temen arisan gue katanya anaknya baru aja buka cabang baru.”

“Terus Nafi harus apa? Salto gitu?” Dengan mata masih terpejam, aku menjawab demikian.

“Pokoknya Lo mulai besok harus udah kerja. Titik!” titah Mama membuatku malas.

“Ya, ampun Mama, tanpa disuruh aku juga udah kerja. Mama kira aku begadang karena apa kalau nggak kerja,” ucapku yang kini sudah duduk di atas ranjang.

“Itu bukan termasuk kategori kerja. Pokoknya Mama gak setuju kalau kamu kerja nulis-nulis nggak jelas kaya gitu,” ujar Mama setelahnya pergi begitu saja.

Aku mendesah kesal. Sudah terlalu nyaman untuk aku menjadi penulis. Bisa kerja di mana saja. Interaksi antar manusia juga terbatas serta menulis bisa menjadi media curahan hati buat aku.

***

Aku mengerang frustasi ketika ditanya soal sudah mendapatkan pekerjaan atau belum. Mencari pekerjaan di jaman sekarang sangatlah sulit. Terlebih lagi aku hanya memiliki ijazah SMK.

Semua lowongan pekerjaan sudah aku hubungi hanya berakhir di tolak. Mereka rata-rata mencari lulusan yang minimal S1.

Aku mendesah frustasi. Memang sudah paling tepat jika aku menjadi seorang penulis saja.

Cukup menuangkan ide dan bakat, seketika uang ngalir. Sesimpel itu jika dibayangkan. Namun, pada dasarnya tidak ada sebuah pekerjaan yang tidak membutuhkan kerja keras dan usaha.

Intinya tidak ada pekerjaan yang gampang. 

Gegara aku tidak kunjung mendapatkan pekerjaan, Mama dengan titah yang tidak bisa dibantahkan itu menyuruhku untuk bekerja sebagai pegawai Mama di Toko Rame selama satu bulan karena kebetulan salah satu pegawai Mama mengundurkan diri karena akan menikah.

Hingga akhirnya aku berakhir di sini. Di toko ATK yang menyediakan berbagai macam barang yang dibutuhkan oleh anak sekolah.

Serta menerima jasa print, scan, dan fotocopy.

Kaos bertulis Toko Rame yang terpampang di belakang kaosku sudah menjadi seragam kerjaku sekarang.

Tidak ada seragam PNS ataupun seragam kantoran. Menjadi anak pemilik toko pun tidak bisa membuat aku mendapatkan jabatan tinggi.

Bahkan Dimas salah satu pegawai Mama yang paling lama itu pun terlihat seperti anak bos di sini karena sudah berani memerintahku ini itu.

Menjaga toko memang bukan yang kali pertama bagiku, untuk sekedar tahu tempat di mana barang yang diinginkan pun aku sudah hapal.

Nah, yang menjadi permasalahannya adalah jika biasanya Dimas harus nurut kepadaku ini justru kebalikannya.

Pegawai yang lain juga harus menganggapku sama. Tidak ada nama anak bos dan pegawai di sini. Kita sama.

“Napi, tolong ambilin topi baret Pramuka sama talinya ya. Dua dua,” titahnya yang sedang menghitung barang belanjaan pelanggan lain.

“Nama gue Nafi bukan Napi! Lo pikir gue penjahat!” 

Tolong! Aku sudah lebih nyaman menjadi penulis, ini kenapa justru aku disuruh cosplay jadi pegawai toko! runtukku kesal.

“Terimakasih,” ucapku Ramah sembari tersenyum dengan lebar hingga menampilkan sebuah behel yang terpasang di gigi. Satu persatu pelanggan sudah mulai berkurang.

Diam-diam aku meraih ponselku yang ada di saku celana. Membuka room chat ku bersama Ica.

Namun, sebelum aku mengetik sesuatu. Aku lebih dulu menyembunyikannya di belakang tubuh ketika suara Mama terdengar begitu mengerikan.

“Hari ini kita tutup sampai jam sekarang aja. Kita briefing mengenai toko sekarang,” titahnya mutlak.

Semua pintu ditutup kecuali pintu belakang, pintu keluar untuk para pegawai yang langsung menuju tempat parkir khusus pegawai dan pemilik toko.

Aku melirik jam tangan yang melingkar, ternyata sudah pukul sembilan malam. Huh! Pantas saja rasanya aku lelah sekali. Dari pagi sampai malam begini aku kerja non stop.

Mama gak adil banget, masa anak sendiri harus kerja full time sedangkan pegawai yang lain mendapatkan kerja paruh waktu.

Jika aku tanya mengapa demikian pasti dijawab seperti ini. “Mereka, kan kuliah dan ada yang sudah berkeluarga. Berbeda dengan kamu,” katanya.

Lagi-lagi dibahas tentang Kuliah. Sebenarnya bukan aku tidak ingin kuliah. Jika ditanya pasti aku ingin. Namun, masalahnya Mama tidak akan membiayai aku Kuliah kalau bukan di jurusan bisnis. Padahal aku ingin sekali masuk jurusan Sastra Indonesia atau Ilmu komunikasi.

Mau tidak mau aku harus menabung jika ingin Kuliah di jurusan tersebut.

Kembali pada saat ini. Semua pegawai yang mendapatkan shift malam berkumpul. Mama memiliki pegawai tidak begitu banyak. Hanya ada lima pegawai dan itu pun mendapatkan shift.

Dimas dan Mela si pegawai Mama sudah ada di samping aku. Aku sedikit melirik Mama yang sedang fokus pada komputer.

Kami sekarang sedang berkumpul di ruangan Mama. Beliau melepaskan kacamata miliknya dan menatap kami satu persatu.

“Gimana kuliah kamu Dim?” tanya Mama pada Dimas. Dimas tampak tersenyum. Dia menjawab, “Baik Bu Bos.”

“Kalau kamu Mela?” Mama melemparkan pandangannya ke arah Mela.

Perempuan itu tampak tersenyum. Aku melihatnya sedikit iri karena Mela ini terkenal dengan pegawai paling cantik. Apa-apaan gelar itu? Awal aku dengar juga agak kurang terima. Namun, emang kenyataannya demikian.

“Baik juga Bu Bos,” jawab Mela dengan suara dilembut-lembutkan. Idih! Suaranya gak usah digituin juga kali!

Setelah Mela yang ditanya kini aku sedang menunggu Mama menanyakan keadaanku. 

“Oke, kalau begitu kalian bisa pulang. Oh, iya. Si lapak sebelah masih suka koar-koar gak jelas di toko kita?” 

Bahkan mama tidak menanyakan keadaan aku bagaimana. Lebih mementingkan toko Ayo jajan milik Mak Inul ketimbang anaknya yang hampir menangis ini.

Dimas langsung menjawab pertanyaan Mama. “Bu Inul terkadang masih ke toko Bu untuk sekedar julid.” 

Lapak Sebelah memang hobinya sedikit aneh. Semua saja dikomentari termasuk ingusnya si Ono aja dia komentarin. 

Julid nomor satu. Mak Inul yang keliatan ibu-ibu baik itu tidak ada yang menyangka kalau akhlaknya sangat minim.

Cocok untuk yang emosian.

Kini aku sudah berada di dalam kamar, merebahkan tubuhku yang terasa pegal ini.

Suara dentingan notifikasi pada ponselku berbunyi. Menampilkan sederet kalimat yang menyuruhku untuk segera menyelesaikan naskah novelku agar cepat-cepat untuk terbit. Pesan itu dikirim oleh editorku bernama Mas Aga.

Editor baru dan belum sempat untuk bertemu karena kita sama-sama sibuk. Dari kemarin ingin bertemu selalu saja tidak jadi karena kendala.

Segera aku balas dengan balasan, 'oke'

***

Hari ini aku berniat bolos. Sekali-kali tidak apa-apa, kan? Semalam dengan niat begitu besar dan tenaga begitu lemah. Dengan berani aku menyelesaikan hasil revisianku yang sudah aku kirim melalui email.

Untuk pertama kalinya hari ini bertemu dengan editor yang sudah hampir sebulan menjadi editorku.

Entah mengapa perasaanku sangat semangat ketika tahu jika pertemuan kita nanti di kedai Curhat. Es krim Taro beserta kertas note i'm coming!

Wajah cerah masih terpasang di wajah cantik ini tiba-tiba harus mendung ketika wajah milik Mak Inul si bos lapak sebelah itu ada di depanku sekarang.

“Nafi? Oh, ya ampun! Dunia ini ternyata begitu sempit ya?” ujarnya. Ingin sekali aku menghindar tapi aku tidak ada celah untuk menghindari ibu ibu julid seperti Mak Inul ini.

“Tumben banget gak di toko? Biasanya bantuin Mama kamu jaga toko. Oh, atau kamu udah dapet kerjaan ya di sini?” Mak Inul tampak menatap belakang ke arah kedai Curhat berada.

Lalu tatapannya seperti sedang menilaiku. Menatapku dari bawah sampai atas. “Pendidikan itu memang penting sih. Kaya anak Mak sih Omi itu ya sekarang dia udah jadi bos kaya mamanya. Udah punya bisnis sendiri. Tapi, ya gak heran sih orang dia lulusan UGM. Kampus ternama.”

“Bukan kaya kamu yang cuman lulusan SMK. Memang Mama kamu gak sanggup biayain kamu kuliah?”

Mendengar perkataannya jelas aku sakit hati. Pantas saja Mama selalu menyebut jika lapak sebelah ingin sekali dia gusur tokonya. 

Terkadang aku kasian kepada pegawai lapak sebelah ini. Kira-kira mentalnya masih aman nggak ya?

“Kerjaanku freelance Tante. Ini mau ketemu sama ....” 

“Mak kok belum pulang? Katanya tadi mau pulang.” 

Ucapanku harus berhenti ketika tiba-tiba saja ada laki-laki yang kemarin dengan tidak sopannya meraih ponselku.

“Ini Mak lagi ngobrol sama anaknya Mama Mia. Katanya mau lamar kerja di tempat kamu,” ujar Mak Inul dengan asal.

Aku yang mendengarnya langsung merasa kesal. Mana ada seperti itu! 

“Maaf, si emak jangan sok tahu. Orang saya ke sini mau bertemu seseorang untuk membahas pekerjaan,” ralatku sedikit kesal.

“Kerja apa emang kamu? Palingan bantuin Mama kamu di toko,” sahut Mak Inul membuatku mendengus kesal.

“Mak gak boleh gitu,” tegur Mas Omi lalu laki-laki itu menoleh ke arahku, “mau Konsul soal naskahkan?”

Loh? Kok dia bisa tahu! Mengetahui bahwa aku heran, Mas Omi sepertinya berusaha untuk menjelaskan hingga akhirnya berujar, “Saya Aga, editor kamu.”

***

Mau heran tapi ini takdir! Entah bumi yang sempit atau Mas Omi yang kelewat kurang kerjaan jadi di mana-mana pasti ada.

Sungguh plot twist kisah hidupku ini. Entah bagaimana ceritanya selama kurang lebih satu bulan sudah aku saling berhubungan dengan Mas Omi yang sering aku sebut Mas Aga ketika melalui aplikasi chatting.

Semenjak pertemuan kita yang terakhir dua hari yang lalu, aku sedikit menjaga jarak dengan Mas Omi.

Soal revisi langsung aku kirim melalui via surel. Pesan yang dikirim melalui aplikasi chatting hanya berakhir aku baca.

Sedikit kecewa saat tahu bahwa mas Aga ternyata mas Omi si anak kebanggaan Mak Inul.

Menyebalkan! Padahal selama ini aku sudah merasa nyaman kepada sosok mas Aga yang terlihat asik dan perhatian dan sangat berbeda sekali dengan Mas Omi yang baru aku ketahu mukannya kemarin.

Mas Omi yang menurutku anak Emak yang manja dan sombong. Serta memiliki sikap yang kurang sopan.

Sedang asyik-asyiknya melamun tiba-tiba saja aku merasakan sebuah tarikan pada telinga di sebelah kiriku.

“Aduh ... aduh! Woy! Siapa lu datang-datang jewer telinga gue!” Aku berteriak kencang karena saking sakitnya telingaku.

“Bagus lu ya! Di suruh kerja malah keluyuran!” omel Mama Mia membuatku mendengus kesal.

“Orang Nafi cuman mau beli jajan ke depan.” Aku berusaha beralibi agar tidak di marahin Mama Mia lagi.

“Loh, bukannya tadi mau ketemu anak Mak ya? Katanya apa tuh? Mau bahas naskah novel yang mau terbit itu, kan?” timbrung Mak Inul. Entah bagaimana caranya tiba-tiba beliau sudah ada di sini dengan satu kantung makanan ringan dari tokonya. 

Anak sama Mak emang sebelas dua belas. Di mana-mana ada! Heran!

“Naskah apa tadi?” tanya Mama. 

Aku memandang Emak bermulut lemes ini dengan was-was takut beliau Cepu.

“Novel, emang Mama Mia gak tahu? Anak Mama Mia, kan salah satu penulis anak saya. Itu loh, si Omi yang paling gagah. Aduh! Emang anak saya itu paling bisa dibanggakan. Sudah lulusan UGM, punya bisnis sendiri, terus jadi editor di salah satu penerbitan ternama lagi.” Mak Inul tersenyum pongah. Mengangkat dagunya dan tatapannya sangat ingin aku colok saking kesalnya.

Kini aku memandang Mama. Tatapan Mama kepadaku sepertinya menunjukkan bahwa beliau benar-benar sangat marah dan kecewa. Sampai-sampai Mama pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata apa pun.

Sebegitu kecewanya kah? Sampai-sampai Mama yang selalu membuat drama di pagi hari kini sudah tidak melakukan hal itu.

Pagi-pagi seperti ini terasa begitu sepi. Mama bahkan sudah tidak lagi ke toko. Wanita paruh baya itu mengurungkan diri di dalam kamarnya.

“Bu Bos gak ke toko lagi, mbak?” tanya Dimas.

Aku menggeleng. Membuat wajahku semakin murung.

Hanya ada dua pilihan. Keluarga atau cita-cita.

***

Enam tahun lalu aku sudah menguburkan segala mimpiku untuk menjadi penulis. Semenjak hari itu, hari di mana Mama terlihat begitu kecewa kepadaku yang sudah berbohong kepadanya.

Aku memutuskan untuk keluar dari dunia kepenulisan. Biarlah karya-karyaku yang sudah aku buat menjadi saksi bisu bahwa seorang Nafisa Ayu Cahya pernah melakukan kerja keras dan menjadi orang yang ambisius.

Soal naskah yang sempat akan terbit, tetap aku lanjutkan. Mau bagaimana pun karya satu ini akan menjadi sebuah kenang-kenangan terakhirku sebelum aku memutuskan berhenti.

Meski Mas Omi sering membujukku untuk kembali untuk menulis aku tetap enggan. Walaupun Novel yang terkahir itu ternyata sangat booming sekalipun.

Mama yang mendengar bahwa anaknya ini akan berkuliah di jurusan Bisnis yang beliau inginkan pun tampak senang.

Semua berlalu begitu cepat, meski masih sangat terasa bahwa ada beberapa hal yang hilang dalam jiwaku.

Meski terpaksa. Aku sama sekali tidak menyesalinya. Mama Mia adalah paling utama. 

Mama Mia adalah tokoh utama dalam hidupku. Tanpanya aku tidak akan seperti ini.

Menjadi seorang atasan yang mempunyai banyak tanggung jawab. Menjalankan bisnis sendiri, cukup membuatku tidak menyangka bahwa aku bisa.

“Kak,” panggil seseorang membuatku menoleh. Ada dua orang di sana. Satu laki-laki dan perempuan yang sedang memakai seragam sekolah SMA.

Eh, kayak kenal. Tapi siapa ya? Aku berusaha mengingat namun malah berakhir pusing sendiri.

“Ya? Ada yang bisa saya banting?” Eh? Kok banting? Dengan segera aku meralatnya. “Maksudnya bantu,” ujarku dengan memasang senyum pasta gigi.

“Maaf Kak, di sini emang ada jualan novel milik Kak Pisa?” tanya cewek berseragam SMA itu dengan malu-malu.

Mendengar itu sontak membuatku senang bukan main. Dengan wajah cerah tidak dibuat-buat ini aku menuntun cewek tadi ke arah rak yang berisi berbagai novel. 

Ada satu rak khusus yang aku pajang untuk menyimpan berbagai hasil karyaku yang di atasnya tersedia sebuah tulisan ‘Area Pisa’

“Kamu bisa pilih loh, mau novel judul apa. Bukan hanya itu saja, akan ada hadiah tambahan bagi orang yang membeli hasil karya Kak Pisa sebanyak lima buah buku,” tuturku dengan bangga. 

“Tapi, Kak. Semua novelnya asli semua, kan? Bukan bajakan?” tanya perempuan itu.

Aku mengangguk mantap. Jelas lah ini semua ori, ya, kali gak ori. Orang aku penulisnya. 

“Semua buku yang ada di sini di jamin ori. Ada tanda tangan penulisnya juga loh,” ujarku.

“Masa sih?” Aku mengangguk sembari tersenyum dan membuktikan bahwa aku tidak berbohong.

Perempuan itu tampak melongo. Mungkin dia tidak menyangka bahwa toko buku yang terbilang kecil ini ternyata memiliki sebuah buku Novel ORI ditambah dengan tanda tangan penulisnya juga.

“Wah! Beneran dong! Harus viral nih toko buku. Mana lengkap banget lagi novel punya kak Pisa!” 

Aku tertawa kecil merasa gemas dengan tingkah perempuan itu.

Tidak heran sih, toko buku yang baru saja aku buka ini memang di bilang cukup kecil. Tidak sebesar toko milik Mama.

Nama Tokonya adalah Toko Mama Mia. Letaknya tidak jauh dari rumah dan Toko Rame milik Mama.

“Aku tunggu karya selanjutnya,” ucap laki-laki yang berada di sampingku, sedikit membuatku terkejut.

“Kak! Kok bisa dapet Novel milik Kak Pisa sih? Sama tanda tangannya juga lagi. Padahal kan di akun penerbitnya aja sudah gak ada stoknya.” Perempuan itu bertanya kepadaku.

“Jeni, kamu katanya ngefans sama kak Pisa. Tapi, kok gak ngenalin Kak Pisa?” ujar laki-laki itu. Seperti mengenaliku dengan baik.

Jeni si anak SMA itu menoleh ke arah laki-laki tersebut dan mengalihkan pandangannya ke arahku untuk memastikan bahwa dugaannya benar.

Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Seketika tubuhku langsung di peluk oleh Jeni.

“Jeni suka banget loh sama semua novel kakak,” katanya.

“Terimakasih sudah mau membaca karya saya,” ucapku sopan sembari memeluk tubuh Jeni dan tatapanku bertubrukan dengan laki-laki tersebut. Kini aku dapat mengingatnya siapa laki-laki dengan hodie hitam beserta masker bewarna putih itu. Dia adalah Dimas. 

Salah satu mantan pegawai Mama yang dulu sering aku marahi karena sudah berani memberi tahu mama bahwa aku kabur dari toko.

Sekarang laki-laki itu sudah menjadi lebih sukses. Dia Sekarang sudah memiliki bisnis sendiri. Membuka studio foto.

Dimas tampak meraih sebuah Novel milikku. Novel terakhir yang aku buat sebelum aku benar-benar memutuskan untuk tidak lagi memperjuangkan mimpiku.

Judul novelnya adalah Mama Mia. Nyatanya tidak ada yang lebih berharga dari Mama Mia. Mama Mia adalah satu-satunya orang yang aku punya di dunia ini.

Untuk Mama Mia, jangan pernah merasa bersalah atas keputusanku. Mungkin benar, tidak ada orang tua yang mau anaknya menderita. Seperti mama, yang tidak ingin anaknya di hina terus menerus.

Menjadi penulis memang bukan lah kesalahan, namun membantah orang tua juga bukanlah suatu kebenaran.

Mungkin cukup sampai di sini saja aku berkarya. Tidak apa-apa, setidaknya aku pernah merasakan apa itu arti perjuangan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi