Hari pertama datang ke desa, kami pergi melalui jalur terdekat untuk kegiatan survey lapangan. Jalan yang kami lalui begitu berbatu dan menegangkan karena melewati wilayah tambang yang harus berdampingan dengan truk-truk besar.
"Rani- awas." Pekik Lisa ketakutan ketika aku bonceng dan hampir jatuh mencium kerikil.
"Yah, motor matic gak bisa lewat lubang kecil dijalan tambang. Terlalu pendek rodanya."
"Ya... Aku gak mau lewat sini lagi."
"Pokoknya jangan lewat jalan ini!" seru Ana.
Ida menyaut setuju dan menambahkan kalau truk besar itu seram. Truk melaju tanpa tahu ada kami didepan atau tidak.
"Kita lewat jalan yang lain saja kalau begitu," kata ketua kelompok yang bernama Agus, "sekarang kita lanjut kemana?"
Ketua memandang, "aku gak tau lagi, kita lihat ymap dari tadi, bukan jalan yang aku kenal."
"Jadi kemana Lisa?"
"Nah kurang tau juga, tapi kata ymap lurus terus."
Melihat tidak ada jalan keluar dna kami tersesat hampir setengah jam, Ida melerai, "sudah-sudah ayo tanya warga desa saja."
Kami memutar jalan dan bertanya pada beberapa warga ditambang yang sedang nongkrong bersama.
"Maaf bapak, ibu mau bertanya arah desa Subarjo dimana, ya?"
Aku gugup, takut orang-orang tambang malah memarahi kami karena tanpa izin memasuki wilayah tambang yang bisa mengganggu kerja mereka. Tapi aku tidak menyangka, mereka begitu ramah dan menunjukkan jalan pada kami.
"Itu dek, lurus saja 200 meter nanti belok kanan."
"Nanti belok kanan itu patokannya apa, ya?"
"Jalan persimpangan disana."
Wajah kami kusut dipenuhi debu dan kelelahan, meski sudah diberitahu arah kami sering berhenti karena ragu oleh jalan tambang yang terlihat sangat mirip dan bercabang. Kemudian, seorang warga desa sekaligus orang tambang dari seragamnya menghampiri kami dengan motor.
"Kemana dek?"
"Oh, desa pak. Ini jalan ke desa Subarjo lewat sini kah, pak?"
"Ayo, saya tunjukin jalannya saja."
"Oh terimakasih, pak. Terimakasih banyak."
5 motor, 8 orang melaju menuju desa Subarjo, jalanan masih berkerikil sampai kami melihat tugu "Selamat Datang di Desa Subarjo". Kami melewati jalan kerikil besar ke jalan kecil dimana ada jembatan gantung untuk batu bara. Setelah beberapa belokan dan kubangan, kami akhirnya sampai di balai desa.
Aku membandingkan ymap yang menunjukan 1 jam 45 menit dengan perjalanan kami yang memakan waktu 2 jam 33 menit, kemungkinan dikarenakan oleh faktor tersesat dijalan.
***
Sebagian jalan telah di aspal, tapi sisanya masih berupa tanah liat yang membeku. Kebanyakan rumah dominan dengan desain panggung dan berkayu yang berada disekitar pinggir sungai. Balai desa bisa dibilang rumah berlantai yang bersih dan kosong. Sayang sekali, pikirku ketika melihat kulkas yang kosong.
Kami disambut hangat ketika sampai, tetapi kepala desa sedang keluar jadi kami hanya bisa menyapa dengan aparat desa. Tidak lama setelahnya, kami ditunjukan rumah yang akan kami huni selama 1 bulan 14 hari pada bulan juli sampai agustus nanti.
Betapa berantakan tempat itu, aku maklum karena rumahku di desa juga tidak jauh berbeda dengan tempat ini. Tapi tiba-tiba, orang yang menunjukan rumah pada kami mengatakan.
"Air disini PDAM tapi ngalirnya jam 11 malam sampai subuh. Biasanya air mati karena desa ini ada ditempat terujung jadinya lambat ngalirnya."
Kami tidak mendapatkan tempat penampungan air, ditambah 7 orang yang akan menggunakan air. Bagaimana bisa cukup?
"Jadi listrik dan airnya ini bayar sendiri kah, pak?"
"Endak. Gratis, gratis."
"Oh bagus, pak. Nanti kalau ada ini itu. bolehlah tanya sama bapak."
"Boleh. Tanya saja kalau ada apa-apa kan."
Kami tidak ingin basa-basi tapi aparat desa menjamu kami dengan gorengan panas. Jelas perut kami bertujuh bergemuruh kencang mengingat bahwa kami tidak sarapan pagi tadi. Kemudian perjalanan yang panjang membuat kami sampai ke tempat tujuan pada pukul 12.40 siang.
"Agus, pulang nanti lewat jalan penyebrangan saja."
"Boleh~"
"Ayo dah cepat, mendung ni mau hujan. Di kota sudah hujan deras."
"Ih iya kah, siap-siap kita berangkat."
Tidak hanya kami, aparat desa satu persatu pulang setelah bertemu sapa dengan kami.
***
"Ini kah kapalnya?" tanya Lisa, "Bukan kapal feri, ini kapal ketinting."
Ana bersuara, meski tadi diam karena sakit perut, "Sudahlah aku lapar, cepat naik."
Yah, aku tidak tahu bedanya kapal feri atau ketinting. Orang-orang bilang kapal yang mengangkut motor dan mobil, apapun namanya dipanggil dengan kapal feri.
Aku turun dari motor sambil memijat punggung dan duduk dipangkal kapal. Sedangkan yang lain berdiri ditepian sambil merekam pemandangan. Aku sempat diajak untuk masuk video, sayangnya aku terlalu malas untuk bergerak. Lagipula berada ditepian kapal membuatku pusing.
Pukul 4 sore, kami sampai di jalan kota dan singgah di warung untuk makan. Setelah selesai, Ana bertanya pada aku tentang jas universitas miliknya.
"Rani, dimana tas kuning tempat jas aku?"
"Bukannya kamu yang megang?" tanyaku balik, "tadi terakhir aku lihat Agus yang bawa."
"Di motor endak ada, Agus dimana kamu taruh?"
"Astaga ketinggalan di desa tetangga tadi pas kita neduh dari hujan, aku ingat tas aku gantung dipagar."
"Nah iya aku ingat itu juga."
"Ih masa ketinggalan, gimana dong. Itu jas univ aku, ada 2 lagi."
Kami berdebat karena Agus ingin berbalik mengambil jas dengan kami semua. Tapi kami terlalu lelah, belum lagi mengejar waktu untuk membeli persiapan untuk KKN nanti. Aku sendiri tidak bermotor lagi sejak perjalanan menuju kota, Lisa yang menggantikan.
Untungnya Jani angkat suara dengan wajah malas, "biar aku yang ambil jasnya."
Agus merasa tidak enak, yang lain juga dan aku benar-benar lelah. Perdebatan mereka tidak lama karena keputusan Jani bulat, para wanita juga perlu berbelanja. Mereka sepakat membiarkan Jani keluar agenda belanja agar bisq langsung pulang setelah mengambil tas yang ketinggalan. Tapi Jani bersikeras datang untuk menyediakan tempat menyimpan barang di laboratorium kampusnya.
Alhasil kami pergi untuk berbelanja, Lisa membonceng Ana dengan motorku. Aku sendiri dibonceng Agus... Agh, bensin Agus sudah berada di jarum merah?! Mengapa kau tidak mengisinya ditengah jalan tol* ini?!
*jalan panjang berkilometer, bukan jalan tol yang asli, tapi jarang ada orang yang berjualan bensin dipinggir jalan.
"Uangku habis Rani, belum tarik lagi."
"Aku yang bayar. Berhenti kalau ada yang jualan bensin!"
Tidak ada penjual bensin dan motor sudah tidak kuat naik bukit, sekitar 15 menit akhirnya kami mampir isi bensin seliter.
***
Sesampainya ditengah kota, kami menarik uang dan pergi ke ind*grosir. Ah, itu gang menuju rumahku, aku ingin pulang dan tidur!
Semua pergi ke sana tanpa Jani. Para wanita aktif memilih produk yang diperlukan dengan membandingkan harga, kecuali aku dan para lelaki yang hanya menarik keranjang.
Pulang dari belanja, aku ingin pulang tapi tetap menggeret tubuhku menuju kampus untuk menaruh barang belanjaan. Disana, Jani sudah duduk, menyapa kami dengan santai.
Sungguh cepat anak ini pulang pergi ke desa seberang...
"Sudah biasa."
Dia pasti ngebut di jalan.
Evaluasi dilakukan setelah itu yang tidak memakan waktu lama untuk kami bubar. Agus menyarankan aku mengantar salah satu wanita, aku menolak, itu berarti aku berjalan memutar dari jalan menuju rumah. Selain itu waktu menunjukkan pukul 9.30 malam, jika aku terus membebani tubuhku, tidak heran jika lusa nanti aku demam.
(ಠ_ಠ egois Rani ini...)
Setelah mengetuk pintu, nenek membukanya dan bertanya.
"Pulang lama kok sampai malam begini."
Aku lupa memberitahu nenek. Tidak salah sebenarnya, aku ke kampus untuk membuat transkip nilai tetapi bertemu dengan teman sekelompok yang ingin survey lokasi KKN. Alhasil, aku menghabiskan hari diluar seharian. Setelah menjelaskan, aku buru-buru memberi makan ikan cupang kesayangan BJ, DJ dan TJ. Kemudian makan semua makanan dimeja dengan 2 botol air dan susu coklat dingin, selang setengah jam, akupun pergi tidur.