Disukai
0
Dilihat
2,729
Dua Jendela
Slice of Life

“Huuh...” jantungku mulai berdegup kencang bersamaan dengan badan yang gemetar. Tak perlu khawatir, hanya belum makan malam, seperti biasa. “Oke, mungkin aku bisa makan sambil mengerjakan semua ini?” pikirku.

Kutengok ke arah jam, jarumnya menunjuk angka satu. Kau tahu? Bahkan malam pun mengutukku dengan segudang kesibukkan ini. “Okay, it’s time to go to bed! You have to wake up early tomorrow!” gumamku.

“Kring.. kring.. kring...” alarm mulai mengomeliku, seakan tak rela jika tubuh ini hanyut dalam kenyamanan. Belum pula beranjak dari tempat tidur, mama menelepon. Kutahu itu pasti hanya sekedar pertanyaan seputar kabar yang diakhiri dengan pertikaian kecil tuk memintaku pulang. Wajar, diri ini hanya putri semata wayang.

“Halo, Ma?” sapaku dengan mata yang masih tertutup. “Masih tidur ya, Nak? Maaf mama ganggu.” “Semalam tidur jam berapa? Gimana kerjaannya?” “Jangan terlalu maksain, ya! Kesehatan tetap nomor satu!” pesan mama.

“Maa.. I’m good, okay!” jawabku dengan yakin. “Ma, jangan mulai deh!” terdengar suara pria sedang menyahut. “Pa! Mama nih mulai lagi!” gerutuku. Dan ya, mereka mulai berdebat satu sama lain. Sebelum keadaan memburuk dan merusak pagiku, lebih baik kututup saja, “Emm.. halo?? Ma, Pa, aku mau persiapan berangkat dulu ya! Bye-bye!”

Seperti itulah pagiku setiap harinya. Kadang hal ini membuatku tertawa dan mulai merindukan kehadiran keduanya di sampingku. Tapi ya, begitulah hidup. Ada fase di mana kita harus berjuang sendiri tanpa ada seorang yang menemani, and here I am.

Selamat pagi Bandung! Pelarian terdekat dari panasnya Jakarta. Senyum merekah karena sejuknya udara. “Oh iya, belum beli sarapan!” kataku.

“Bu Dedeh, seperti biasa ya! Tiga bungkus.” “Siap, Neng!” tanggap Bu Dedeh.

Tenang, semua itu bukan untukku seorang, kok! Hanya ingin berbagi sesuai kemampuan.

“Amang, ini tadi nggak sengaja lihat di jalan,” ucapku pada penjaga gerbang kampus. “Ih, si eneng mah aya-aya wae. Nuhun nyak!” ucap Mang Asep.

Mahasiswa di sini memang cukup akrab dengan bapak ini, orangnya humoris dan ramah. Kadang aku suka heran, kok bisa sih diterima kerja sebagai satpam? Nggak ada garang-garangnya sama sekali, haha.

Satu misi telah terselesaikan. Sebenarnya aku nggak yakin dengan misi kedua ini, tapi akan kuusahakan bertemu dengannya. Ia adalah seorang paruh baya yang bekerja sebagai office girl. Sangat sulit untuk menemukan keberadaannya.

“Ibu, di sini rupanya?!” “Saya muter-muter dari tadi,” “Ini sarapan dulu!” kataku sambil terengah-engah. “Eh eneng, kenapa repot segala?!” “Repot apa atuh ibu? Ini juga nggak sengaja lihat di jalan, tanya aja ke Mang Asep!” “Luas pisan atuh rezeki si eneng, teh. Tiap hari teu sengaja lihat makanan di jalan?” gurau kami.

Setelah mengisi kebahagiaan untuk hati, kini waktunya perut yang terisi. Di tempat teduh ini aku melahap sarapan sembari menatap monitor yang penuh dengan kata yang coba kupahami setiap detailnya. Berharap semua akan berjalan seperti yang direncanakan, sekedar meraih mimpi yang telah lama didambakan.

“Yore!!” 

Kumenoleh, terlihat seorang kawan berlari menghampiri.

“Gue udah coba hubungi mereka dan sejauh yang gue lihat sih... responnya bakalan positif,” ungkapnya. 

Dia Nara, sahabatku. Kami bertemu saat OSPEK tiga tahun yang lalu dan hubungan kami semakin dekat karena perasaan senasib sebagai anak ibu kota yang merantau di Kota Paris Van Java. Usianya tiga tahun lebih muda dariku, namun tingkah lakunya banyak menampar dan "mengguruiku". Aku banyak belajar darinya.

“Serius?!” tanyaku kegirangan. “Ya nggak lah, sepuluh ribu 'rius' malah, haha!” Nara coba menggoda.

Perasaanku saat itu sungguh tak karuan. Entah harus tersenyum, menangis, atau berbangga akan semua yang telah kuraih hingga detik ini. Aku hanya bertanya-tanya, situasi macam apa yang akan menghalau nantinya. Semoga mereka tidak merasa kecewa, apalagi sampai membenci.

“Heh! Malah ngelamun! Yuk ah, masuk kelas! dosennya 'killer' nih!” “Oh iya, mampus gue! Ganti sama Mang Asep aja bisa gak sih?” “Mau belajar apa lu sama Mang Asep? Bela negara?!” canda kami.

Oh iya, hampir lupa. Aku adalah mahasiswa tahun ketiga di salah satu kampus ternama di Bandung. Anak psikologi. Kenapa pilih psikologi? Ya.. karena kupikir keren aja, haha. Biasalah, anak zaman sekarang maunya kelihatan yang paling cool dibanding yang lain. Tapi setidaknya, itu keputusanku sendiri.

Mama sih maunya aku masuk manajemen. Tapi enggak ah, aku anaknya nggak-enakan. Takut jadi atasan yang nggak tegas. Padahal cuma ngeles aja sih. Sedangkan papa, orangnya santai saja. Mau jadi apa saja yang penting tahu konsekuensi kedepannya seperti apa. Dia sohibku kalau lagi adu argumen dengan mama, haha.

Selain aktif sebagai mahasiswa, aku juga meluangkan waktu selama tiga jam dalam sehari untuk bekerja sebagai guru les privat bagi anak SD, SMP dan SMA. Alasan untuk bekerja bukanlah sebab perekonomian keluarga. Orang tuaku memberikan uang saku yang cukup setiap bulannya, tak jarang bahkan lebih. Semua ini karena aku butuh dekat dengan mereka, para generasi penerus bangsa.

Pukul 9:15 malam. Kubuka semua data yang telah kupersiapan sejak awal masuk dunia perkuliahan. Sebuah proyek yang akan membawa diri selangkah lebih dekat dengan mimpi besar dalam petualangan hidup. Jatuh bangunnya sangat melekat dalam memori. Tak jarang, menyerah di tengah jalan menjadi opsi yang ingin kucentang. Tapi seisi kepala bergemuruh akan dua insan yang sedang kuperjuangkan lengkung senyumnya. Aku bergelut dalam diam.

Esok adalah hari penting, aku tak mau mengacaukannya. Setelah tiga kali pemeriksaan materi presentasi dan puluhan kontak yang telah kumintai restu dan bantunya, izinkan raga ini menerima haknya untuk menghilang sejenak dari kesibukan dunia. It’s time to go to bed.

“Huuff...” “Aaa.. I’m so excited today!” “Hello world! Oh, thank you Mr. Sun for shining brightly today.” “Oh Goodness! Why am I so nervous?” kicauanku sepanjang pagi ini. 

Aku bahkan bangun lebih awal sebelum alarm berdering, mengirim pesan cinta kepada mama-papa, dan tak lupa mengirim dua bungkus nasi dengan tambahan seutas pesan singkat, memohon tuk memakiku dengan berjuta kebaikan.

“Break a leg, Yore!” Nara bersorak.

Tatap matanya sungguh tulus. Takkan pernah kuhapus dari ingatan, Nara!

Setelah hampir dua jam lamanya, semua orang meninggalkan ruangan, kecuali aku dan linang mata. Isaknya tak dapat dibendung. Emosiku meledak sejadi-jadinya. Nara mendekap dengan ribuan petuahnya agar aku tak merasa semakin jatuh.

“I did, Nara! I did!” ucapku sambil terisak kencang. Peluknya terasa lebih hangat setalah kata itu keluar dari mulut.

Selama ini aku menguras tenaga, uang, pikiran dan waktuku untuk menciptakan sebuah platform pendidikan seksual bagi semua kalangan, untuk pertama kalinya di Indonesia. Tak peduli latar belakang usia, gender, bahkan finansial. Kuharap platform ini akan sangat membantu mereka.

Selama proses berjalan, aku belajar banyak hal. Terutama mengenai kehidupan. Bertukar pikiran, saling menumbuhkan empati dan menasihati adalah bagian ter-favorite. Kami adalah relawan. Rela memberikan segala yang kami miliki demi mereka yang membutuhkan pertolongan. Namun ada hal lain yang kami sangat tidak rela. Yaitu jika yang lain merasa “aman” hanya karena hal buruk belum menimpa mereka.

Proyek kami kedepannya adalah mengedukasi masyarakat akan pentingnya pendidikan seksual dan menghilangkan kesan tabu yang bergema di dalamnya.

Memasuki bulan kedelapan sejak peluncuran sebuah platform yang bernama Camaraderie.id, kami mendapat kesempatan mempromosikan kepada khalayak melalui salah satu program televisi nasional.

Anggota tim mempercayaiku sebagai perwakilan mereka, sekaligus membiarkanku berlagak di depan kamera bak aktris Hollywood yang menawan.

“Kita sambut bintang tamu kita kali ini, Yore...”

Terdengar suara tepuk tangan meriah yang menyambut kehadiranku. Kupaksa untuk melengkungkan bibir ini se-natural mungkin. Aku tak ingin terlihat berlebihan.

“Sudah cantik, pintar, peduli sesama lagi. Paket lengkap banget sih?” “Ini mana sih orang tuanya?” ucap pembawa acara berusaha mencairkan suasana. Kutatap kedua orang tua yang sedang melambai ke kamera dengan wajah girangnya.

“Nama kamu Yore siapa sih? Kedengarannya bukan nama Indonesia deh! Ada keturunan luar, ya?” tanya pembawa acara.

“Umm.. mama ada keturunan Jepang sih. Kalau tentang nama, it's Yore Hiraeth,” jawabku sedikit malu-malu.

“Ooh.. cantik sekali namanya!” pembawa acara menyanjung.

Setelah proses syuting berakhir, aku pulang dengan mama dan papa. Menyempatkan makan malam bersama anggota yang lengkap setelah sekian lamanya. Di tengah kehangatan bincang keluarga, aku menyela, “Pa, Ma, aku malam ini pulang ke kos aja deh, sekalian bersih-bersih sebelum pulang ke Jakarta. Ada beberapa barang yang perlu dibawa juga.”

Masa studiku telah usai tepat waktu. Jadi, kini harus kembali ke realita sesaknya kondisi Jakarta. Tapi sebelum itu, biarkan aku meratapi sebuah kamar yang menjadi saksi dari semua perjuanganku selama beberapa tahun ini. Kurapikan semua detail kamar itu.

Saat hendak menutup jendela kamar dan pergi tuk menghanyutkan jiwa dalam heningnya malam, kepalaku menengadah sembari terpesona akan semburat bintang di kanvas biru yang bentangnya tak terbatas.

“Tess..” tetes demi tetes air bermunculan dari dalam mataku. Mengutuk diri akan semua sandiwara yang kuperankan sendirian. Menertawai semua omong kosong yang kubicarakan selama syuting hari ini. Dasar pembohong!

Yore Hiraeth? Nama yang kupilih sendiri setelah mama dan papa mengadopsiku. Aku hanya ingin mengubah identitas dan melarikan diri. 

Yore, artinya dahulu kala. Aku akan selalu menjadi masa lalu bagi orang tua kandungku. Fakta hidup yang takkan pernah bisa kuubah.

Sedang, hiraeth adalah sebuah kata untuk mengungkapkan perasaan akan ingatan pahit kehilangan seseorang, sambil bersyukur atas keberadaan mereka. Kupilihnya sebagai angan kosong tuk menghibur diri. Berharap, setidaknya mereka pernah tersenyum atas kehadiran kami. Atau mungkin, sekedar bahagia atas hilangnya kami dari kehidupan mereka.

Sejak usia empat bulan, aku sudah tinggal di sebuah panti asuhan. Maaf, seharusnya redaksinya menggunakan “kami”. Aku memiliki saudara kandung yang tak pernah lagi kulihat parasnya sejak empat belas tahun silam. Kami kembar. Nama kami adalah Inara dan Inaya. 

Inaya adalah sosok gadis cantik dan berhati lembut. Dia seperti pelindung bagiku. Salahku, sampai bisa kehilangannya. Gadis lugu berusia sepuluh tahun, yang diperlakukan tak senonoh oleh insan berwatak hewan. Sedang aku, bak patung bernyawa yang bersembunyi pada balik papan tanpa melakukan perlawanan sedikitpun. Ia tewas di tangan para tuan tak berakal.

Saat usia tiga belas tahun, mama dan papa mengadopsiku. Tak mudah bagiku membuka diri pada awalnya. Namun mereka tetap sabar menghadapiku.

Satu tahun kemudian, aku memutuskan mengganti nama dan memulai hidup yang baru. Aku ingin berubah. Mereka mengizinkanku untuk melakukan homeschooling hingga aku tamat SMA.

Melanjutkan studi di Bandung, bukan karena panasnya ibu kota. Namun tuk mencari sosok ibu yang seharusnya kucinta. Alih-alih membuatku merasa semakin benci, mengapa malah membuatku mengasihi?

Kenapa kau buang darah dagingmu jika kini kau pun tak hidup lebih layak dariku? Kenapa aku harus bertemu denganmu di tempat kumuh ini? Lihatlah pakaianmu yang berhiaskan lusuh!

Tapi mengapa pula aku tetap membawakanmu sarapan setiap harinya?

Aku bahkan enggan menyebut namamu. Tidak lagi karena benci, mungkin hanya setitik rasa syukur dalam hati karena sempat memanggilmu dengan sebutan ibu.

Terlepas dari semua itu, aku sayang pada kalian, sungguh. Kupersembahkan Camaraderie.id atas nama ketidakadilan bagi marwahmu. Semoga ini cukup untuk berbagi rahasia kelam. 

Jika bukan karena trauma yang kuhadapi, sungguh mungkin aku takkan pernah memilih psikologi. Namun aku harus. Harus membuatnya terlihat sempurna hingga akhir cerita.

Motivasiku terlahir bersama trauma. Kedua hal yang tak seharusnya dapat bersanding dalam satu tahta. Menyeretku tuk bisa bangkit sekaligus terperosok dalam waktu yang sama. Ibu, Inaya, kalian adalah jendela yang memberiku udara dan sinar indah setiap detiknya. Namun kalian pula tempat mula aku jatuh, sedalam-dalamnya.

And the worst part about all of this; there will be a hole in my heart that will never heal. A place where memories of you will get to live on, and always be a part of me.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar