Disukai
3
Dilihat
1,157
Disowned
Slice of Life

Disowned (Tak Diakui)

Distraksi

Putri Andini-

Dear, Customer. Tak terasa, akhirnya tiba juga hari-hari terakhir kami membuka toko. Buat kamu yang ingin untuk terakhir kalinya membeli bun, kopi atau bahkan toko kami, silakan datang! Terima kasih.

Satu hal yang Putri ingat kala terbangun di atas ranjang empuk dengan tubuh bergelung dalam selimut tebal adalah ia berada di kamar hotel yang asing. Rasanya, Putri baru saja merebahkan kepala di bantal untuk merehatkan tubuh dan pikiran dari penat, tetapi tidur malah mengantarkannya pada mimpi buruk semalam suntuk. Menjelang pagi, barulah mimpi itu berakhir, tetapi sebuah kesadaran berkumpul selagi ia mengerjap menatap langit-langit, lantas menghantamnya lewat sebuah fakta: ini hari besar. 

Matahari baru terbit manakala ia beranjak ke kamar mandi hotel. Tidak ada orang lain di kamar, tetapi Putri tetap menurunkan kerai penutup dinding kaca. Satu jam kemudian, ia telah hampir selesai berkutat di depan cermin. Tangannya bergerak luwes menyapukan kuas make up di sana sini bagai melukis kontur di atas kanvas. Riasan akhir wajah Putri agaknya kelewat mentereng karena tadi ia membubuhkan terlalu banyak lapisan alas bedak dan menggunakan warna perona mencolok untuk kulitnya yang cerah. Namun, Putri enggan menghiraukan dosa tersebut. Bagi Putri, riasan tebal mampu menyamarkan, bahkan menutupi kerut-kerut yang timbul akibat retak dalam dirinya. 

Usia 25 dan berada di puncak baik dari segi fisik maupun kehidupan, Putri tetaplah perempuan biasa. Ia butuh seseorang yang akan bilang betapa cantiknya perempuan ini dalam kebaya putih anggun model cape atau memuji penampilan berani Putri sebagai perlambang percaya diri yang melekat pada sosoknya. Namun, tidak hari ini, di saat ia sedang berjuang berdiri tegak mengenakan sepatu hak tinggi lantas melangkah keluar kamar. Kesan terpukau dari sorot mata orang-orang yang berpapasan dengannya di lorong hotel malah membuat Putri mati rasa.

Karena Putri tahu: di sudut lain hotel ini, Putra mungkin tengah berjalan menuju lokasi perhelatan yang sama dengannya. 

Memasuki ballroom, tatapan Putri langsung tertuju pada panggung di area depan. Putra telah berdiri di atas sana dan sesuai keinginan Putri, usahanya untuk berdandan habis-habisan telah terbayar. Semua demi menarik perhatian Putra dan lelaki itu bahkan gagal berkedip tatkala Putri melangkah dengan anggun menaiki tangga panggung dari sisi kanan, lantas mendekat hingga nyaris tiada menyisakan ruang di antara mereka. Sementara itu di latar belakang, terdengar suara MC memanggil kaum kerabat dan orang-orang terdekat untuk berfoto bersama kedua mempelai sebelum prosesi acara berlangsung. 

Putri menghela napas. Ia bisa menyaksikan bayangan dirinya dalam sepasang pupil mata Putra, tetapi urat-urat wajah lelaki itu berkedut. Putra bersikap seolah  tidak rela terjebak di tempat itu bersamanya, hingga sang fotografer menyela, “Siap-siap, ya. Standby. Mbaknya geser dikit. Kasih ruang. Tolong.” Asisten tersebut menegur Putri yang berdiri terlalu dekat di sisi Putra. 

Putri menggeser posisi berdirinya dengan tatapan nanar. Pikiran perempuan itu sedang mencerna kedahsyatan kata-kata sang fotografer yang bagaikan tinju di kepala. Sosok perempuan lain lantas muncul mengisi ruang di antara Putri dan Putra. Sosok itu adalah Gadis Maharani, perempuan yang baru saja dinikahi oleh Putra.

Mereka bertiga kini diapit oleh kaum kerabat dan mungkin hanya Putri satu-satunya kategori mantan orang terdekat yang bergabung dalam sesi foto bersama. Sekali lagi, sang fotografer memberikan arahan, “Siap, ya …. Satu, dua, tiga!” 

Putri memandang lurus ke depan dengan senyum mengembang tak rela, tepat sebelum lampu rana kamera menyala. 

Inilah kisah Putri Andini di hari bahagia Putra Anugerah.

***

Putri memandangi layar gawai dengan serius, jemarinya sedang mengetik takarir foto di Instagram yang berbunyi, “Andai hidup ini apa adanya seperti bubur tanpa diaduk–” Di meja hadapannya, terdapat semangkuk bubur yang ditata cantik dalam mangkuk dan belum diaduk. Namun, belum selesai Putri mengetik, ada panggilan masuk ke gawai, hingga ia tidak punya pilihan selain menjawab. 

“Halo?” Putri pun mengernyitkan kening karena disambut bunyi berisik menganggu di seberang. Ia segera beranjak dari kursi dan bergerak secara intuisi ke sisi jendela untuk mencari sinyal lebih bagus. “Oh … iya, Bu. Betul. Maaf, sinyalnya putus-putus tadi kayak mantan–” Tanpa sadar, Putri nyaris melontarkan umpat kekesalan, hingga ia lekas merapatkan bibir sebelum keterusan. 

“Iya, Bu. Mesin press cup dua ratus lima puluh ribu udah murah banget, itu.” Putri berusaha meyakinkan si penelepon yang ternyata adalah calon pembeli.

“Seratus ribu?” Putri terpaku dengan sepasang mata membulat. “Saya titip, deh, Bu, kalo dapat!” ujarnya memendam kesal. Ada-ada saja, pembeli ini menawar tak kira-kira. Untunglah, sindiran Putri tadi rupanya berhasil mencubit nurani si ibu, hingga suara Putri lantas melunak, “Iya. Siang nanti bisa diambil di toko, ya, Bu. Makasiiih.”

Putri menutup telepon dan berniat melanjutkan sarapan, tetapi ia terkejut mendapati kursinya telah diduduki oleh Dinda, kakaknya. Tampak Dinda sedang asyik mengaduk bubur di mangkuk dengan serampangan, lalu menyuap cepat ke mulut. Terdengar  bunyi seruputan penuh kenikmatan dari bibirnya. Dinda baru bersuara ketika menyadari Putri sedang bergeming seraya menatap tajam ke arahnya. 

“Ini bubur buat aku, 'kan? Lapar nian, kulihat ado di meja, kumakan bae (saja),” ujar Dinda dengan mulut penuh tanpa rasa bersalah. 

“Eh, bukan buat aku?” Dinda mulai merasa tidak enak ketika Putri menggeleng. 

“Ambillah, Kak. Galonyo (semuanya),” sahut Putri sambil menahan ekspresi jijik melihat penampilan bubur yang sudah berantakan. Selera makannya langsung turun drastis.

“Kito bagi bae (saja), makan berduo.”

Putri kembali menggeleng. “Sudah Kakak aduk bubur tuh.”

“Bedanyo apo, la?” Dinda terus mengunyah sambil sesekali mengaduk bubur.

“Berantakan, itu, Kak. Kayak makanan Bleki,” sebut Putri untuk anjing piaraan pemilik kontrakan.

“Jadi, aku sama Bleki, gitu?” Intonasi bicara Dinda meninggi.

Akhirnya, diiringi oleh gonggongan si Bleki dari balik gerbang, Putri pun berangkat ke toko dalam kondisi perut kosong. Ia menyetop angkot pertama yang lewat di depan mata. Angkutan rakyat itu mulai kosong karena Putri memilih pergi selepas jam sibuk orang-orang pergi ke kantor atau sekolah. Jika tidak, kondisi dalam angkot pasti berjejal. 

Putri sedang bersandar di tepi jendela angkot yang terbuka sambil mengingat-ingat hal penting yang harus ia kerjakan di toko hari ini, lalu terdengar dering gawai memecah konsentrasinya. Putri lekas menutup kaca jendela agar tidak terganggu oleh berisik angin kala berbicara. “Halo?”

“Assalamu’alaikum, Anak Mamak.”

Putri tidak memeriksa siapa yang menelepon tadi, napasnya langsung tersekat karena belum siap untuk berbincang dengan ibunya. Namun, ia tidak bisa mengelak jika ibunya ingin menelepon sekarang. Semoga saja Mamak tidak bertanya macam-macam, harapnya. “Wa’alaikumussalam, Mamak apo kabar?”

“Alhamdulillah, sehat. Lagi di mano, nih, Nak?”

“Lagi jalan ke toko, Mak.”

“Baguslah, jangan buka siang-siang. Nanti pelanggan males ke tokomu. Toko lancar?” Belum sarapan lantas ditanya demikian, wajah Putri memucat.

“I-iyo, lancar. Lumayan,” jawabnya serbasalah.

“Kalo samo Putra cak mano (bagaimana)? Lancar?”

Bola mata Putri berputar tatkala ia mencari akal. “I-iyoo, begitulah, Mak. M-mamak lagi dibolehin nelpon?” Putri berusaha mengalihkan perhatian.

“Iyo, besok Mama balek. Ajak la sekalian Putra tu makan malem. Mau tanggal berapo, pake adat mano. Semua kan harus mulai diomongin. Skripsi jugo udah mau selesai kan?”

“Yo, mak. Putri coba omongin dulu, yo. Mak, Putri udah deket nih. Udah dulu yo.” Putri berbohong agar ibunya sudi mengakhiri pembicaraan mereka

“Hati-hati yo, Nak. Assalamu’alaiku–”

Putri tidak menjawab salam dan mematikan gawai. Tidak hanya pucat, tetapi ia sekarang berkeringat seperti usai bekerja berat lantaran mengetahui rencana kedatangan ibunya dengan membawa misi yang Putri takut-takutkan. Demi apa, ibunya ingin bertemu Putra, sementara pacarnya itu sudah berstatus mantan dan diambil orang. 

Kukuruyuk. 

Putri terkekeh miris. Tadi ia sok-sokan tidak mau berbagi bubur dengan sang kakak, maka inilah akibatnya. Perutnya kini berkokok nyaring. Untunglah angkot kosong. Jika tidak, mau ditaruh di mana mukanya. Apalagi mengingat fakta bahwa ia adalah pemilik toko roti. Hidup ini memang pedih seperti perut kosong yang diaduk-aduk, pikir Putri. Kabar baiknya, alamat tujuannya kini sudah di depan mata. Ia menunggu waktu yang tepat untuk menyetop angkot agar berhenti persis di depan toko pinggir jalan yang gerbang besinya terlihat dibuka sedikit, muat untuk meloloskan satu orang.

“Kiri, Pak!” teriak Putri lantang.

Setelah turun dari angkot yang kembali melaju seraya memuntahkan asap knalpot, Putri segera menyisip ke balik gerbang, lalu membuka pintu toko. Di dalam sudah ada Doni, karyawan satu-satunya sedang mengelap meja. Doni segera mengangkat kepala mendengar bunyi langkah Putri.

“Pagi, Mbak,” sapa Doni dengan senyum tersimpul ramah. Senyum inilah yang membuat Putri langsung menerima aplikasi kerja Doni dulu. Pelanggan pasti banyak yang suka dengan pelayan seramah ini.

“Pagi. Lho, kok, masih di sini?” tanya Putri heran karena seingat dia, toko mereka sudah akan tutup hari ini. Doni mengelap meja, pula, seakan bersiap menyambut pelanggan terakhir yang akan datang hari itu.

“Ya, masih banyak yang mau diberesin, ‘kan? Saya bikinin americano, Mbak?”

Doni langsung peka dengan sorot mata Putri yang suntuk.

“Boleh. Dua, ya? Sekalian mau cek stok bahan baku. Kalo masih ada stok, tolong bikinin saya menu … OK Bun. Saya laper.” Air liur Putri menetes deras dalam mulut saat membayangkan bakpao bundar hangat menari-nari di benaknya. Toko mereka pun dinamai serupa: Yeorobun, artinya “roti manis untuk semua”–tidak hanya menyajikan roti manis, tetapi juga variasi bakpao dan minuman pelengkap yang cocok untuk dinikmati sepanjang hari. 

“Ok, Bun!” Doni tersenyum usil.

Putri mengerjap sekali memandang Doni. Sudut bibirnya berkedut sebelah. “Kamu ngejek saya, Don? Saya nggak jadi punya suami ….” Nada bicara Putri mendadak dingin hingga Doni disergap rasa canggung. 

“Maaf, ya, Mbak. Saya nggak ada maksud.”

Putri memutuskan untuk mengabaikan agar Doni cepat membuatkan bakpao dan kopi pesanannya, lalu ia terus berjalan membuka kunci pintu gudang yang ada di belakang meja kasir. Setelah masuk dan menutup pintu, Putri bersandar sejenak di sana untuk meredakan emosi sambil menatap tumpukan barang dan bahan yang memenuhi sudut gudang tidak terlalu besar itu. Hanya tersisa sedikit ruang di bagian tengah bagi mereka untuk bekerja.

Dari luar, terdengar sayup-sayup lagu lawas Nidji berjudul Sang Mantan. Putri mendesah, ia enggan keluar sekarang untuk menegur kebiasaan Doni yang senang memutar lagu-lagu merana dan patah hati di toko. Pelanggan perempuan yang sedang emosional cenderung makan lebih banyak sebagai pelampiasan, jadi mereka akan memesan lebih banyak, dan artinya juga penghasilan lebih banyak untuk toko mereka, argumen Doni kala itu yang kini terasa bagai lelucon tidak lucu bagi Putri. Ia sedang merana dan patah hati. Jika ia menampakkan diri di hadapan Doni saat ini, semua perasaan itu akan terlihat jelas dan pastinya sungguh tidak elok untuk dilihat–majikan yang sedang hancur luar dalam di saat kondisi toko tengah kritis.

***

Putri sedang sibuk mencatat sekaligus merapikan barang saat pemilik gedung paruh baya bernama Mariyanto membuat keriuhan di luar.

“Mana bos kamu?” Mariyanto setengah membentak Doni. Lelaki itu bercekak pinggang seraya mengamati ruang depan Yeorobun dengan awas. Namun, Doni tidak gentar. “Mbak Putri belum dateng, Pak,” jawabnya tenang.

“Trus …, itu kopi item sama OK bun punya siapa?” Mariyanto hafal betul menu andalan Yeorobun yang kerap dipesan oleh pelanggan. Mendapati fakta camilan kukus yang gurih itu tersaji di saat toko belum buka, tentu saja membuatnya curiga.

“Ya … itu punya saya!” kilah Doni cepat.

Tanpa izin, Mariyanto menjangkau satu cangkir kopi berwarna hitam lalu menyeruputnya diiringi tatapan tidak rela dari Doni. “Oh, ya?”

Sementara itu di dalam gudang, keributan di luar berhasil menarik perhatian Putri. Ia mengenali suara sumbang Mariyanto di antara lengking merdu Nidji yang sudah berganti lagu menjadi Hapus Aku. Putri berusaha membuka pintu beberapa kali, tetapi terkunci.

Celaka, Mariyanto melihat gerakan knop pintu turun berkali-kali seolah ada seseorang sedang berusaha keluar.

“Ini punya kamu?” Mariyanto menunjukkan cangkir americano tersebut ke arah Doni. Dengan tegas, Doni mengangguk.

Mariyanto tidak kehabisan akal. Ia sengaja mengeraskan suara ke arah gudang di seberang. 

“Put, ini karyawanmu curang, lho.”

Doni spontan menyanggah sembari menoleh ke arah belakang. “Enggak, Mbak! Bohong! Jangan didengerin!”

Mariyanto tersenyum licik dan Doni pucat pasi. Tidak lama kemudian, terdengar ketukan pintu dari dalam yang terdengar menuntut.

“Don, buka! Saya mau keluar,” teriak Putri panik.

Doni pun tidak punya alasan lagi ketika dagu Mariyanto membuat isyarat dengan menunjuk ke arah gudang. Alis lelaki itu terangkat menyebalkan, sengaja mengejek Doni yang kemudian langsung menghampiri pintu dan memutar knop pintu hingga terbuka. Wajah Putri muncul dengan penuh ragam pertanyaan. Namun, tanpa perlu dijawab pun, ia langsung paham begitu mendapati sosok Mariyanto yang berdiri tegak di sisi meja dengan cangkir americano pesanan Putri di tangannya.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” selidik Putri sopan.

“Duit sewa?” tagih Mariyanto tanpa basa basi.

“Sudah jatuh tempo, Pak? Bukannya Rabu besok?” tanya Putri bingung.

“Rabu tahun kemarin? Trus, ini hari apa?” Mariyanto terkekeh sinis.

Putri memicingkan mata saat mencari tahu dengan melihat kalender di atas meja kasir. Ia lantas menggigit bibir bawah. “Duh, sorry, Pak. Tanggalan saya keliru. Saya minta waktu ya, Pak.”

“Urusan kamu keliru bukan urusanku. Sekalian sewa tahun lalu juga?” sindir Mariyanto dengan tatapan tajam. 

“Saya sudah titip ke Putra, lho, yang itu buat bayar ke Bapak,” kecam Putri lebih ditujukan kepada Putra. Mariyanto menyipitkan sebelah mata sebagai reaksi dari pembelaan situasi Putri. Lelaki itu mengambil satu OK bun lagi dari piring. “Enggak ada.”

“Tapi, bener, lho, Pak. Duitnya sudah dipegang sama Putra.” Putri bersikeras.

“Kalau belum masuk rekeningku, artinya aku belum terima.” Kata-kata Mariyanto berdecak karena mulutnya mengunyah bakpao. Ia kemudian mengajukan solusi sekaligus ancaman, “Gini. Tiga hari lagi, kamu lunasi semuanya. Kalau enggak, semua barang yang ada di sini saya sita–termasuk kamu!”

Doni gelagapan dan mengerjap tak percaya tatkala telunjuk Mariyanto terarah ke wajahnya. Lelaki paruh baya itu tidak menunggu jawaban dan langsung mengambil satu OK bun lagi dari piring sebelum keluar. Di depan pintu Yeorobun, ia membalik badan sembari mengacungkan tiga jari ke arah Putri. Mariyanto menggigit dan mengunyah bun dalam mulut sebelum cabut.

***

Benda berukuran cukup besar dari baja stainless itu terlihat menjulang hingga mampu menghalangi pandangan jika diletakkan pada meja kasir, tetapi mesin press cup yang sedang diratapi oleh Putri, kini teronggok di lantai dekat kaki seorang perempuan berumur. Putri sedang melakukan serah terima benda tersebut dengan calon pembeli yang meneleponnya pagi tadi. Berada tepat di seberangnya, Doni turut serta membantu mengecek kelengkapan mesin. 

Putri mencuri waktu untuk membuka laman media sosial Yeorobun. Ia mengetik cerita di Instagram:

Dear, customer. Tak terasa, akhirnya tiba juga hari terakhir kami membuka toko. Buat kamu yang ingin untuk terakhir kalinya, membeli bun, kopi atau bahkan toko kami, silakan datang! Terima kasih.

Postingan Putri tadi benar-benar berhasil menarik pelanggan. Siang hari, sebuah angkot berhenti di depan toko. Dinda turun dari angkot tersebut lantas kaget bukan kepalang ketika melihat antrean di luar Yeorobun sudah mengular. Dinda berusaha menembus barikade ular naga tersebut, tetapi tindakannya justru mengundang kemarahan pengantre lain, hingga usahanya terhenti di pintu depan.

Dari sekat kaca di pintu depan, Dinda melongok ke dalam. Ia melihat Putri sedang berbicara serius dengan seorang perempuan dalam setelan jas yang tampak perlente. Dinda menempelkan wajahnya ke kaca untuk mengamati lebih lekat karena khawatir toko adiknya sedang disambangi oleh mafia jika dilihat dari pakaian perempuan tersebut. 

Akan tetapi, Putri kelihatannya baik-baik saja. Adiknya bahkan tersenyum saat berbicara dengan perempuan di hadapannya yang mengangguk-angguk. Sementara itu di meja, ada sebuah buku map terbuka yang sedari tadi menjadi perhatian keduanya. 

Setelah tangan Putri bergerak menutup buku tersebut saat Doni datang menyuguhkan kopi dan satu potong bun. Sang tamu tersenyum lebar kala mencicipi, bola matanya berbinar antusias, dan perempuan itu kembali terangguk. Tak lama kemudian, ia berdiri untuk menyalami Putri, lalu beranjak menuju pintu depan. Perempuan itu keluar dengan cara menggusah antrean ke samping, hingga Dinda punya celah untuk masuk dan langsung menghampiri Putri.

“Siapo tadi, Put? Penampakannyo kek mafia itu.” 

Putri tidak menduga kedatangan Dinda, ia terkejut sebentar karena langsung diberondong oleh pertanyaan kritis sang kakak, tetapi Putri hanya menggeleng seraya melontarkan tatapan malas melayani kecurigaan tidak beralasan Dinda. Apa-apa dibilang mafia. Mana ada mafia di Kota Jambi? 

Pertanyaannya tidak digubris oleh Putri, Dinda kembali pada rencana awal kedatangannya. “Ayok, makan siang. Udah jam berapo, nih?” ajak Dinda sambil menunjuk jam dinding. Namun, lagi-lagi keinginannya hanya ditanggapi sekenanya oleh Putri dengan mengangkat telapak tangan, lantas masuk ke dapur toko. Dinda menggaruk kepala karena itu artinya, Putri sedang dilanda jam sibuk. 

Dinda pun menoleh ke belakang, ke arah sekat kaca di jendela yang memperlihatkan wajah marah pengantre lain karena telah ia serobot. Tahu apa, lah, mereka. Aku ini kakak yang punya toko, keluh Dinda gusar dalam hati. Ia pun kembali keluar, gerah dengan hawa panas dari tatapan-tatapan sengit pelanggan itu.

Dinda menunggu Putri sambil mengunyah permen rujak pedas yang selalu ia simpan dalam saku. Saking pedasnya, telinga Dinda sampai berdenging. Mungkin, pilihan Dinda untuk mengganjal perut sementara dengan permen tersebut mulai berefek negatif. Samar-samar, ia mendengar tiga anak muda sedang berbisik-bisik dengan sikap mencurigakan di depan toko. 

“Biso makan gratis, nih. Kakak tadi udah dak ado,” kata anak muda pertama. Mata Dinda langsung melirik menyasar mereka.

“Kagek (nanti) kalo ketahuan gimano?” Anak muda kedua kelihatan ragu.

“Idak, lah. Ngapoin takut. Bilang bae minat mau beli tokonyo. Nah cicip dulu menu testernyo.” Fixed. Anak muda pertama ini pasti pemimpinnya, sementara satu lagi teman mereka hanya mem-beo. Tidak beres, ini.

Merasa niat jahat ketiganya tidak boleh dibiarkan, Dinda pun mendekati mereka, lalu mencengkram kerah baju si pemimpin trio dan menariknya keluar antrean. “Kalian ngapoin di sini? Nak maling, yo?” hardik Dinda.

“Apo, nih? Kami dak ngomong sama Mbak. Lepasin, dak?” Anak muda pertama memberontak dan menepis tangan Dinda. Ditambah gerutuan pengantre lain yang merasa terganggu oleh sikap koboi Dinda, perempuan itu pun akhirnya mengalah dan melepaskan anak muda tersebut. Dinda kembali memelipir ke tepi antrean, menunggu Putri sambil mengunyah sebungkus lagi permen rujak pedas yang kian menambah rasa lapar.

“Aku anggap dio cewek bae (saja). Kalau idak, udah kuhajar tuh.”

Akan tetapi, omongan tak kalah pedas anak muda itu memerahkan telinga Dinda. Perutnya kian bergolak. Dinda pun meludahkan permen di mulutnya kesal, lalu menggulung lengan baju. “Cubo, jangan anggep aku betino!”

Melihat Dinda maju ke arahnya, anak muda tadi menggemeretakkan jemari dalam kepalan tangan. Dinda pun melemaskan lehernya ke kiri dan ke kanan. Mereka bersitatap sengit.

Putri yang baru keluar dari dapur, langsung menjerit panik mengetahui ada keributan dari balik sekat kaca. Suara teriakan orang-orang dan bunyi sempritan satpam terdengar hingga ke dalam. “Doniii! Ada kerusuhan!” 

***

Akuisisi

“Sakit, Sus. Sakiiit.”

Si pemimpin trio merengek kesakitan saat lebam-lebamnya diperiksa oleh perawat IGD–belum juga kena sentuh–hingga sang perawat berdecak gemas. Sementara itu, dua orang temannya ikut babak belur dan ditangani oleh perawat lain. Ada Dinda bersama mereka–mulus tanpa lecet sedikit pun.

“Udah kau telepon bapak budak tu?” 

“Aduh, Kak. Udah, Kak. Sakit, Kak.” Anak muda kedua memelas ketika Dinda bertanya dengan menyenggol lengannya yang terluka.

"Apo yang udah? Idak jelas," omel Dinda. Anak muda malang itu meringis.

"Telepon bapaknyo."

Nak (mau) ngadu bapak jugo dak?”

Idak, Kak. Kami dak punyo bapak, Kak.”

“Kalo aku bilang aku punyo duo bapak, kau iri, dak?”

Di depan meja jaga IGD, Putri menggeleng menyaksikan tingkah Dinda yang kekanakan. Sudah cukup memalukan baginya ketika tahu Dinda terlibat dalam perkelahian yang terjadi di depan Yeorobun. Di hari terakhir buka toko, pula.

Satpam menyela perhatian Putri. Ada seorang lelaki bersamanya. Setelah mengobrol sebentar, Putri mengajak lelaki tersebut menemui Dinda. Wajah anak muda pertama yang berada dua ranjang dari sana, langsung pias.

“Ini, Pak, kakak saya,” ujar Putri dengan wajah memerah saat mengenalkan lelaki itu pada Dinda. 

Dinda menaruh kedua telapak tangan di depan dada dengan ekspresi bingung ketika lelaki itu ingin bersalaman dengannya. Lelaki itu pun akhirnya membalas serupa.

"Ini Pak Frans, bapak yang anaknya dihajar sama Kak Dinda!" semprot Putri.

“Iya. Kenalkan, saya Frans Winarta. Maafin anak saya, ya, Dik. Emang petakilan itu bocah.” Lelaki itu malah  tampak menyesal dan membuat Putri tidak nyaman. Sebaliknya, Dinda makin berlagak. 

“Sayo dak ada sentuh kepalanya, yo, Pak. Kalo dak, udah gegar otak tu budak.”

“Iya, saya paham, Dik. Kelihatannya aman, kok.” Frans menoleh pada putranya yang memalingkan muka ke arah lain seraya menunduk.

“Ado yang sayo perlu ganti rugi, Pak?” 

“Nggak perlu, tidak apa-apa,” sahut Frans kalem.

“Serius, Pak? Sayo biso jual anting emas sayo. Ada empat, Pak. Kanan kiri.” Putri memelotot tatkala sang kakak memamerkan tindikan di daun telinganya, masing-masing sepasang. “Kalo dak cukup jugo, sayo punyo gigi emas duo, Pak.”

Frans terkekeh. “Wah, ndak perlu repot-repot, toh,” ujarnya dengan logat jawa kental. “Oh, ya, tadi anak saya cerita. Dik Putri mau mau jual usaha bun, ya?” Ia kembali bicara normal dan membuat Dinda terperanjat.

“Ya, Pak. Bapak berminat?”

“Put, ada apo, ini?” 

Putri menggusah lengan kakaknya agar diam, sementara Frans menyodorkan pulpen dan notes kecil. Mendadak suasana di salah satu ruang IGD itu menjadi serius.

“Ya. Tolong tulis nomor rekening sama nomor telepon Dik Putri di sini.”

Putri melakukan yang diminta oleh lelaki itu. “Prospektusnya mau diliat dulu barangkali, Pak?” tanya Putri bingung. “Sebelum Bapak, juga ada orang yang ke toko saya. Udah icip-icip dan liat prospektus, tapi keliatannya nggak jadi. Supaya kita sama-sama enak. Kesannya saya nggak jual kucing dalam karung.”

Frans terkekeh lagi seraya mengambil kembali notesnya, lalu menyodorkan kartu nama. Di sana tertera nama lengkap pria itu beserta induk perusahaannya. Mata Putri pun melebar, diikuti oleh Dinda yang melongok penasaran di belakangnya. Dinda tidak tahu apa yang tengah berlangsung, tetapi ia langsung terdiam seribu bahasa begitu mengetahui siapa sesungguhnya lelaki di hadapan mereka. Lelaki ini jelas tidak butuh anting dan gigi emasnya.

“Yang tadi itu asisten saya. Semua bagus, Saya suka laporannya.” Frans menjelaskan dengan sikap rendah hati.

“Ah!” Putri menutup mulut, nyaris ia menjerit lantaran mengetahui fakta mencengangkan tersebut. Tidak jauh-jauh, semua kejadian hari ini ternyata saling berhubungan. “Nanti saya transfer, ya.” Frans langsung melakukan closing pembelian Yeorobun. 

“Serius, Pak? Nanti sore saya kabarin, deh.” Putri masih berusaha menguasai ledakan rasa yang membuncah dalam dirinya. Tawaran dari lelaki ini jujur menggiurkan, tetapi harus secepat ini melepaskan tokonya ternyata cukup menyakitkan. Entah Putri siap atau tidak.

“Ya sudah. Jangan lupa dikabari, ya?”

Putri mengangguk cepat seraya menggamit lengan kakaknya. “Baik. Kami pamit dulu, Pak. Semoga cepet sembuh putranya. Mari.”

"Budak sikok ini. Bapak kau kayo tapi masih maling jugo? YAILAH." 

Putri lekas menarik Dinda pergi dari sana.

***

Putri membalik tanda “Close” yang tergantung di pintu Yeorobun, lalu bergegas ke dalam dan disusul oleh Dinda. Doni sedang berdiri di belakang mesin kopi ketika melihat kedatangan mereka. Dinda bermaksud mengajak Putri bicara perihal akuisisi Yeorobun, tetapi Putri malah memanggil Doni, memintanya mengajari Dinda cara membuat latte art untuk menyibukkan sang kakak. Ia masih punya beban kerja yang belum selesai di penghujung hari, yakni menghitung transaksi penjualan, termasuk gaji terakhir Doni–sepertinya Putri perlu mengajukan permintaan tambahan pada Bapak Frans agar Doni tetap dipekerjakan di tempat itu. 

Tidak lama kemudian, terdengar pintu depan terbuka. Seorang perempuan berpenampilan anggun lagi menarik masuk. Putri yang berada di meja kasir otomatis menengadah, tetapi ia langsung bergeming. Doni segera keluar dari balik meja layanan untuk turun tangan.

“Kami udah tutup, Mbak.” Perempuan itu tidak peduli dan melewati Doni begitu saja. Ia berjalan lurus ke meja Putri yang kini berpura-pura sibuk merapikan nota-nota penjualan di atas meja dan menyusunnya bersama segepok rupiah dalam safety box di laci. 

Perempuan itu menarik kursi, lalu duduk di depan Putri. Alamat Putri tidak bisa menghindar lagi. Doni menghela napas menghampiri, bermaksud meminta ia keluar secara baik-baik.

“Hai,” sapa perempuan itu.

Putri menoleh ke arah Doni dengan gelengan di kepala. “Nggak pa-pa, Don. Tolong bikinin satu latte less sugar, sama satu americano, ya.”

Doni mematung sesaat bagai tak percaya dengan reaksi Putri, tetapi pemuda itu kemudian hanya bisa tersenyum garing dan mengangguk satu kali. “OK, Mbak Bos Putri–Saya permisi bentar, Bunda Gadis.”

Putri berdeham mendengar kata-kata Doni sebelum pemuda itu berlalu. Kentara sekali caranya meledek status mereka sekarang–ia dan perempuan ini.

“Masih inget aja menu favorit aku di sini?” Gadis tidak memasukkan sindiran Doni tadi ke hati.

“Jangan basa-basi. Ada apa?” seloroh Putri tanpa berpura-pura ramah atau memasang topeng “baik-baik saja” di depan Gadis.

“Denger-denger, besok kalian mau tutup. Aku pikir, nggak ada salahnya beli latte terakhir kalinya.”

“Udah? Itu aja?”

Doni muncul dengan satu nampan berisi dua cangkir kopi. Ia meletakkan latte dengan mantap ke hadapan Gadis, lalu tak lupa menggeser cangkir americano ke hadapan Putri dengan sikap lebih hormat, nyaris menjura. 

“Silakan dinikmati, Mbak Bos, Bunda. Mau diputarkan lagu apa?”

Gadis terkekeh kecil menerima perlakuan sarkastis Doni, sementara Putri segera melayangkan tatapan terganggu pada karyawannya yang sok tahu dan suka ikut campur. Meskipun Putri sadar bahwa Doni sedang membela dirinya, tetapi ia ingin menghadapi Gadis sendiri saja sekarang. Doni pun undur diri dengan wajah tertekuk.

“Tokonya beneran mau dijual? Sayang banget. Padahal, ‘kan, udah banyak pelanggan?” Gadis kembali mencerocos tanpa henti saat kepala Putri mendadak pusing dan yang terdengar di telinganya kemudian hanya denging. Suara Gadis mengecil seakan berasal dari tempat yang jauh. Ia gagal mencerna barang sekata.

“Aku nggak ada maksud apa-apa selain bantu kamu.” Ketika kalimat yang keluar dari bibir Gadis kembali terdengar jelas, Putri seakan ditonjok dan lantas terbatuk. Gelagat Gadis bahkan mulai aneh. Perempuan itu mengangkat tangan seolah ingin menggapai tangannya. Namun, Gadis malah menyenggol cangkir americano hingga terguling tumpah mengenai lengan baju Putri. Spontan, Gadis mengambil tisu, ia bermaksud mengelap noda tersebut. 

“Jangan sentuh aku!” Putri menggebrak meja seraya berdiri, hingga seisi Yeorobun kaget mendengarnya.

“Maaf, Put. Aku cuma pengen bantu.”

“Kau? Kau biso bantu aku? Ha! Kek mano (bagaimana)?!” Putri mulai berkata kasar dan membentak perempuan itu.

“Ya. Aku bisa kasih lebih dari harga yang ditawarkan. Atau dari kamu maunya berapa, deh?”

Putri pun tertawa geli karena Gadis malah memohon. Ia kembali memuntahkan unek-unek yang selama ini hanya dipendam dalam kepala. “Cowo aku kau ambek (ambil). Sekarang toko aku pulak nak (juga ingin) kau ambek (ambil). Gitu caronyo bantu? Mantan aku tu dak cukup yo sampe kau nak telan semuanyo. Kau ado masalah apo, sih, samo aku, ha?!” Putri benar-benar kehilangan kendali. Sekujur tubuhnya gemetar. Doni hendak menyongsong untuk menenangkan sekaligus melerai, tetapi ditahan oleh Dinda.  

“Put, aku paham kalo kamu masih marah. Aku ngerti kalo-”

“Ssstt. Kau ngerti apo? Jangan sok ngerti lah!”

Mata dan hidung Putri kini memerah, tetapi ia tidak mengendurkan posisinya sedikit pun di hadapan Gadis dan langsung menolak Gadis yang berusaha mendekat untuk merangkulnya.

“Stop. Aku bilang stop! Kutampar jugo gek (nanti) kau.”

“Tapi, Put–”

Putri mengambil cangkir latte yang masih penuh dan mengacungkannya ke depan wajah Gadis sebagai ancaman jika Gadis masih nekat berniat menyentuhnya. Sampai kapan pun, luka yang telah Gadis buat bersama Putra akan terus berbekas dalam hati Putri, dan luka itu akan bertambah sakit bagai sinyal darurat jika Gadis berusaha memupus jarak di antara mereka. Tidak ada lagi pertemanan yang tulus sejak hari di kala Putri berdiri di atas panggung, tetapi bukan sebagai pengantin karena ia malah menghadiri pernikahan sang mantan bersama perempuan ini. Inilah jadinya jika Putri bersikap lembek seperti bun. Ia justru dimangsa pelanggannya sendiri. Bersikap keras pun, ia dibuang oleh sang mantan. 

Sudah cacat Putra dan Gadis di mata Putri. 

“Pergi! Dak tu (tidak begitu), kubikin punah kau di sini!”

Gadis menyeka air mata syok. “Maafin aku, ya, Put. Aku cuma mau nebus salah aku.” Perempuan itu pun meninggalkan Yeorobun beserta sepucuk kartu nama di atas meja, tetapi Putri langsung mencabik-cabik benda itu ganas dengan disaksikan oleh Dinda dan Doni. Kemudian, Putri gelap mata mengambil gawainya, lalu menghubungi sebuah nomor yang sudah ia simpan selepas kepulangan dari IGD.

“Halo, Pak Frans? Ini saya, Putri Andini yang punya Yeorobun.”

***

Doni merapikan workstation. Ia mengambil alih tugas Putri yang kini sedang dibujuk oleh Dinda. Bosnya tiba-tiba mogok bicara dan lebih memilih bersembunyi dalam gudang.

“Apo ni?” tanya Dinda heran pada tumpukan peralatan yang memenuhi gudang. Ketika menatap Putri untuk meminta penjelasan, mata adiknya tengah berkaca-kaca. Dari cara Putri berteriak dan memaki perempuan yang datang ke toko barusan, Dinda jadi tahu kalau masalah yang dihadapi Putri serius. Belum pernah ia menyaksikan Putri kehilangan emosi seperi tadi, bahkan sampai berbicara kasar. Putri biasanya selalu sopan, terutama kepada pelanggan. Bleki saja tidak pernah Putri umpat. 

Putri bergeming, hanya tangannya yang tidak berhenti memilah barang untuk dikemas. Dinda pun membantu Putri memasukkan beberapa barang ke kardus selagi terus membujuk Putri.

“Yo, kalo mau, cerito bae. Idak, jugo dak apo,” ujar Dinda pelan.

“Jadi dulu, toko ini tu rame ….” Putri akhirnya membuka diri. Dinda menoleh sebentar, lantas menyimak. 

“Kami punyo rencana buat ekspansi. Outlet keduo. Hampir semua modal awal ni duit tabunganku. Dio cumo modal biso masak sama punya banyak kenalan selebgram lokal. Yo, makonya kami biso rame.” 

Tanpa mereka sadari, pintu gudang terbuka dan sedari tadi Doni ikut mendengarkan. Kepala pemuda itu melongok dari balik pintu. Seperti kebiasaan Doni, pemuda itu tidak tahan untuk tidak ikut campur dan Doni sama sekali tidak merasa sungkan. Gudang yang tidak terlalu luas kian terasa sempit tatkala Doni menimbrung ke dalam. 

“Mbak Putri, saya minta maaf. Waktu di acara nikahan, saya denger sesuatu.”

Putri dan Dinda mengerjap akibat kemunculan Doni yang tidak diundang, bahkan bisa dikatakan lancang ikut serta dalam pembicaraan pribadi sang bos. Namun, tak urung Putri jadi penasaran. “Apo? Jangan kaubikin aku mati penasaran. Mano belum kawin pulak aku ni.”

Sebaris cerita pun mengalir dari mulut Doni–lugas tanpa sensor. Saat itu, Doni sedang berada di bilik kloset. Perutnya mulas, tetapi ia susah buang air besar, sementara di area peturasan dan wastafel, ia mendengar suara Putra sedang berbincang santai dengan seseorang.

“Congrats, ya, Bro. Dak nyangko aku. Tapi, jujur nih, yo, aku lebih seneng nengok kau samo yang sekarang.”

“Pasti. Lebih mau ngertiin. Bukan usaha, usaha, usaha terus.”

“Tapi, keknyo Putri kerjo keras nian lah. Sampe lupo pacar.”

“Samo kok. Imbang. Bukan cuma dio bae, aku jugo kerjo keras. Promosi sano sini. Bantu masak jugo. Aku gawe jugo. Cuma karena di belakang layar, jadi kurang nampak be gitu na. Masih mikirin dio. Dio yang dak mikirin aku. Mikirin kami.”

“Nah, terus kalian putus ini, gimano kalian ngebaginyo?”

“Modal kami samo besaknyo (besarnya). Cuma karena aku pikir, aku ketemu istri aku yang sekarang di toko itu jugo, yo … aku kasi dio cuma-cuma bae (saja) lah saham aku. Itung-itung tando terimo kasih. Hehehe.”

Putri langsung meledak setelah mendengar penuturan Doni. Bahu Doni jadi sasaran pelampiasan amarah yang ia guncang-guncang dengan keras. 

“Don! Binatang sikok (satu) itu dak ado nyingok (menengok) peralatan cak (seperti) ini tiap hari, dak ado mikir barang-barang ni nak dikemanoin.” Napas tersengal Putri menerpa wajah Doni. “Kau kiro mudah ado di sini, dipakso nyingok  (melihat) siso-siso kejayaan masa lalu kau?” 

Tangan Putri di bahu Doni kini bergetar hebat. “Proposal untuk suntik pendanaan la (sudah) kubikin, kukasi ke dio, tinggal diajuin bae, dak digaweinnyo, malah pelanggan yang digaweinnyo. Itu yang namonyo setara?”

Air mata Putri berderai jatuh tidak tertahan. Dinda melepaskan tangan Putri dari bahu Doni perlahan, lalu menatap tajam pada Doni sebagai kode untuk segera menyingkir dari situasi tersebut. Tanpa disuruh pun, Doni keluar dan mengusap bahunya yang terasa berdenyut. Dinda lantas mendekat dan mendekap Putri hingga pertahanan sang adik runtuh. Putri menangis lirih di bahu kakaknya. 

“Putri dak minta dikaya giniin kak …. Putri dak minta, Kak …. Dak mintaaa ….”

***

“Ya, taro di sana aja, Don,” kata Dinda serak dengan sisa-sisa tenaganya hari itu. Doni pun menaruh tumpukan kardus ke area kosong di ruang depan kontrakan yang masih bisa digunakan sebagai gudang sementara.

“Ada lagi, Mbak?” tanya Doni. Dinda menatap mantan karyawan Yeorobun itu dengan rasa terima kasih. Sudah menjadi pelampiasan kemarahan Putri, Doni masih bersedia membantu mereka memindahkan sisa barang dari gudang toko ke rumah kontrakan mereka. Doni juga yang sigap mencarikan angkot sewaan yang mau dicarter lewat petang. Doni memang karyawan setia.

“Jemput Mamak kali, ya?” gumam Dinda putus asa karena baru ingat jadwal kedatangan ibunya di terminal bus petang ini. Ibu sudah bilang sejak pagi tadi, tetapi ia lupa. 

“Oh, ibunya Mbak mau datang?”

Dinda mengangguk. Setelah memberi tahu nomor bus dan jam kedatangan Mamak pada Doni, Dinda segera pergi memeriksa Putri di kamar, bertepatan dengan notifikasi gawai adiknya berbunyi. Putri kelihatan tidak peduli dengan gawai yang teronggok begitu saja di lantai. Adiknya terbaring lunglai. Isak tangisnya masih terdengar sesekali. Ketika sadar sedang diperhatikan oleh sang kakak, Putri membalikkan badan ke arah tembok.

“Put, ini Pak Frans udah transfer. Urusan berkas jual beli menyusul agek bae (nanti saja) katonyo.” Dinda memberi tahu Putri. Ia iseng memeriksa sendiri gawai adiknya yang tidak terkunci tadi.

Putri bergeming. 

“Seratus lima puluh juta rupiah, lho.”

“Bodo. Emang sedihku ada hargonyo, apo?” tukas Putri hambar.

“Wah, kacau nih anak. Jadi, bahagianyo kau berapo hargonyo?”

Putri bangun dari posisi berbaringnya. “Apo, sih, kak? Dak biso apo aku nangis dulu sekarang, senengnyo gek bae (nanti saja)?”

“Yo, serah la. Cuma ngasih tau, kok.”

“Kak, tolong pesenin Mamak makan, yo.” Putri sepertinya terlalu malas untuk bergerak, apalagi beranjak dari tempat tidur dan pergi ke dapur. Tidak sanggup rasanya Putri memasak dalam kondisi hati tertekan begini. Dinda pun berdeham singkat, mengiakan, karena ia sendiri tidak bisa memasak. 

“Kamar Mamak udah dirapihin, Kak?” cecar Putri lagi.

Dinda ingin protes karena ia juga tidak pandai menata barang-barang. Segala urusan di rumah kontrakan ini dikerjakan oleh Putri. Namun, Dinda kembali berdeham karena tidak punya pilihan.

“Kak, jangan kasi tau Mamak kalo aku putus samo Putra, yo?”

Ngapo (kenapa)?” Permintaan Putri mulai tidak masuk akal. 

Gek (nanti). Tapi dak sekarang waktunyo.”

Dinda pun menghela napas. Pasrah. Orang patah hati baiknya tidak usah diajak ribut. Masih untung Putri sudah terbuka pada dirinya. Jika tidak, meledak isi kepala Putri dipendam lama-lama. 

“Pak Frans udah transfer. Bayar, lah, sewo tempat kau tu. Apo kato Mamak gek nyingok (nanti melihat) barang toko ado di sini. Bayar ekstra jugo gaji Doni, karyawan setia kau tu.”

Perkataan Dinda sukses membuat Putri tercenung. Meskipun sudah menjual usahanya pada Frans Winarta, ia lupa masih punya utang sewa tahun lalu pada pemilik gedung. Gaji dan pesangon Doni juga belum dibayar. Buru-buru Putri mengambil gawai, lalu mencari nomor rekening Doni, tetapi ia belum menghitung bonus insentif Doni bulan ini. Jadilah Putri berlari keluar kamar, lalu mengaduk-aduk barang untuk mencari safety box berisi kumpulan nota penjualan dan uang tunai. Ia harus menyelesaikannya sebelum ibu mereka tiba di kontrakan.

Dinda menggeleng seolah memahami bahwa Putri sebenarnya tidak punya waktu berleha-leha berkubang dalam kesedihan. Dengan sisa modal nanti, Putri pasti bisa sukses lagi memulai usaha baru, pikir Dinda. Ia pun duduk santai di sisi Putri. Menemani adiknya bekerja sambil bermain media sosial adalah keahliannya. Jemari Dinda bergerak lincah menggulir linimasa Instagram, lalu berhenti di satu video yang langsung menarik perhatiannya.

Dalam video, tampak Frans, Putra, dan Gadis berada pada satu panggung. Terlihat juga beberapa orang berjas dan berdasi dalam video. Frans dan Putra berjabat tangan dengan orang-orang itu.

“Yeorobun, usaha fenomenal yang berasal dari Jambi mendapat suntikan dana satu milyar rupiah dari perusahaan pendanaan Huruf Capital untuk pengembangan usaha tahap awal.” Dinda melirik Putri cepat, sang adik sepertinya tidak mendengar siaran ulang tersebut karena tampak asyik menekuni hitung-hitungan di kalkukator.

“Usaha ini kami mulai dengan jatuh bangun di awal, tapi kami terus berinovasi hingga Yeorobun bisa menjadi sebuah brand yang dikenal seperti sekarang. Kami terus berusaha memajukan Yeorobun dan hari ini sudah bisa terlihat hasilnya. Proses memang tidak pernah mengkhianati hasil.” Sambutan dari Frans tampak bersemangat bagai kilatan matanya yang berapi-api ke arah layar.

Frans Winarta menimpali. “Ya, saya harap dengan suntikan dana awal ke kongsi dagang kami, Yeorobun bisa menambah lima titik baru di lima kota besar.”

“Cibay! Anak anjeng!” Dinda sontak mengumpat dengan kata paling kasar. Putri lekas mengangkat kepala. 

“Apo, Kak? Kenapo pulak samo Bleki? Dendam apo, sih, Kak Dinda samo dio?” tanya Putri heran. Dinda pun ragu untuk memberi tahu Putri jika adiknya memang sama sekali tidak mendengar kabar barusan sekalipun Yeorobun disebut berkali-kali. Putri lebih menaruh perhatian pada cacian yang telanjur keluar dari mulutnya.

“Ah, idak. Ini Kakak main game,” sahut Dinda serbasalah. Ia tidak tahu mesti bilang apa ke Putri, hingga sang adik tampak sangsi mendengar jawaban Dinda. 

Akan tetapi, perhatian Putri segera dialihkan oleh panggilan telepon yang masuk ke gawai. Setelah tahu itu dari dosennya, Putri beranjak menjauh dari Dinda.

“Halo. Selamat sore, Pak. Ada apa, Pak?” sapa Putri gelagapan.

“Saya baru periksa skripsi kamu dan sudah saya ACC. Nanti kamu ambil buat direvisi sambil jalan daftar siang, ya?”

“Beneran, Pak? Syukurlah. Baik, Pak. Makasih banyak ya, Pak.” Meskipun bingung karena sang dosen tiba-tiba berbaik hati menghubunginya untuk memberi tahu hal itu dan agak berlebihan bagi Putri, ia tetap dibanjiri oleh rasa senang karena menerima kabar bagus tersebut. Setidaknya, ia punya satu kabar baik buat ibunya malam ini.

“Oh, ya. Selamat, ya. Bapak denger, toko kamu dapet pendanaan, ya, dari Huruf Capital?”

“Gimano maksudnyo, Pak?” Kecurigaan Putri mulai beralasan, tetapi ia tidak paham sama sekali maksud ucapan sang dosen. Selamat untuk apa? Sekonyong-konyong dapat pendanaan, pula.

“Usaha kamu namanya Yeorobun, ‘kan?”

“I-iya?”

“Putri, Putri. Kamu tidak usah sok merendah begitu, pura-pura tidak tau begitu. Sekali lagi, selamat, ya.”

Bibir Putri terbuka lebar. Mustahil baginya memercayai kabar dari dosen pembimbing barusan. Namun, Dinda menghampirinya seraya memperlihatkan tayangan ulang sebuah video. Daratan yang Putri injak seolah berguncang. Ia serasa mau pingsan didera kejutan bertubi-tubi.

“Hari ini tuh ngapo, sih, kak? Salah apo, sih, aku? Kurang apo cubo, aku, Kak? Pacar, usaha, sekarang cita-cita aku jugo dirampas sama orang!” Putri tersungkur, tetapi Dinda sigap memeluk adiknya. “Dak punyo apo-apo lagi aku, Kak! Idak utuh lagi, aku ….”

***

Inversi 

Ngapo dak bilang? Ngapo dak bilang kalo Putri udah dak pacaran samo Putra?”

Putri menunduk, sementara Dinda di sebelahnya langsung terdiam tatkala nada bicara Mamak mulai meninggi. Putri tidak berani mengangkat kepala karena Mamak duduk tepat di seberang sembari menatap ia tajam. 

Awalnya, obrolan tiga beranak di meja makan berlangsung hangat karena didominasi oleh rasa rindu. Sudah lama mereka tidak berjumpa sejak Mamak menjadi terpidana. Ketika Putri menyampaikan kabar baik tentang skripsinya, bertambah lengkaplah kebahagiaan mereka malam itu. 

Untuk sementara, sebelum kilau di wajah Mamak memudar tatkala mendengar Putri mengaku bahwa ia ditinggal kawin oleh Putra. Ketegangan pun terasa kian mencekam berkat kabar Yeorobun yang kini dikuasai oleh mantan Putri tersebut dengan penuh siasat dan tipu daya. 

Putri tidak tahu harus berkata apa saat dicecar oleh Mamak. Ia tidak kuasa untuk menentang tatapan dari kelopak mata yang mulai keriput dan layuh itu. Putri tidak tega. 

“Cerito, lah. Mamak dak bakal nanyo apo alesannyo, yo? Apo lagi sampe salah-salahin anak mamak ini.”

“Putri takut ngecewain Mamak. Putri jugo takut Mamak bakal bilang Putri buang-buang waktu bae empat tahun pacaran, putus jugo. Putri dak mau bebanin Mamak.”

Mamak geleng-geleng kepala dengan tingkah Putri, tetapi perempuan itu sudah berjanji untuk tidak menumpahkan kesalahan pada Putri. Kesal, ia umpat Putra sia-sia. “Kurang ajar, yo, Putra tuh. Nak kusembelih, apo?!”

“Mak, Mak. Udah, Mak. Baru jugo keluar penjaro.” Dinda mengingatkan sang ibu yang telah bertobat. Ibu mereka tersandung kasus dengan debt collector, tetapi Mamak yang bekerja di tempat penjagalan hewan ternak di kampung jadi gelap mata lantas membuat debt collector masuk rumah sakit dan nyaris meregang nyawa. 

Mamak pun menghela napas berat seperti dengus kerbau. “Mamak dak pernah melarang kamu untuk pacaran. Mama dak nyalah-nyalahin jugo karena Mamak sadar, Mamak jugo pernah salah pilih–”

“Jadi Mamak ceritanyo dulu nyesel kawin sama bapaknyo Dinda, mangkonyo kawin lagi sama bapaknyo Putri?” Dinda tetiba ikutan baper tanpa filter mendengar kata-kata ibu mereka. Si sulung pun dihadiahi pelototan tajam lantaran menyela omongan Mamak yang belum kelar.

“Aduh sakit perut, mules.” Dinda berkilah dengan meninggalkan mereka pergi ke WC tak jauh dari dapur merangkap ruang makan. Mamak tidak peduli dan lanjut bicara.

“Tapi, kalo boleh jujur … Mamak senang kamu putus samo Putra.”

Putri tersengat, apalagi melihat senyuman yang terbit di wajah ibunya.

“Mamak seneng Putri putus samo Putra. Karena sejak kamu pacaran samo dio, Mamak lihat kamu berubah. Awalnyo bagus, jadi lebih semangat punya usaha. Tapi belakangan, kamu jadi sedih, murung, sering membangkang. Sedih, Mamak."

Putri melihat ibunya seakan tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

“Mamak seneng karena Putri sekarang udah biso melewati dan menghadapi masalah seberat ini.”

“Mamak dak marah?”

“Samo Putri atau samo Kak Dinda?” tanya Mamak lebih spesifik.

“Aduuuh perutnyo sakit …. Aduuuh, Maaak.” Terdengar suara Dinda mengerang kesakitan dari WC meminta perhatian juga.

Putri beranjak memeluk Mamak ketika sang ibu memberi ia isyarat untuk mendekat. Mamak bahkan mencium kening Putri seperti bungsu kesayangan itu masih kecil.

“Mokasih, yo, Mak.”

“Yo, lah. Kalo idak, Mamak kawinkan pulak kau samo Doni.”

“Mamak!” protes Putri kesal. Ibunya hanya tertawa karena berhasil mengancam setengah bercanda agar Putri tidak bersedih lagi. Putri pun ikut tergelak, sementara Dinda terus ribut di WC. 

Di ruang tamu, gawai Putri tergeletak  begitu saja di antara tumpukan berkas di lantai. Sore tadi, Putri sudah berniat membayar uang sewa setelah sukses mentransfer gaji Doni, tetapi lupa.

***

Siang hari yang cerah di Kota Jambi. Di salah satu sudut pusat kota, berdiri sebuah toko roti mungil bernama Yeorobun. Tidak jauh dari sana berjejer pula papan bunga berisi ucapan selamat. Dari balik  pintu kaca, tampak suasana toko yang rapi dan furniturnya dipoles mengilap, siap untuk diluncurkan secara resmi kali kedua oleh pemilik berbeda. Frans beserta sepasang suami istri–Putra dan Gadis sedang duduk santai di meja sambil menyeruput kopi dingin.

“Jadi, gimana kalo kita ekspansi ke Bandung?” cetus Frans bersemangat dengan segudang ide brilian dalam kepala. Namun, Gadis menampik. “Sumatra aja dulu, Pak. Toko yang ini juga belum dinaikin kapasitasnya. Setelah dua itu kelar, bolehlah kita jadiin franchise ke luar pulau.”

“Betul, kita jadikan franchise. Seperti cita-cita saya, Pak.” Putra mendukung rencana istrinya

Tiba-tiba, Mariyanto masuk melalui pintu depan yang tidak terkunci. Ia tidak datang sendiri, melainkan bersama beberapa orang anak buahnya. Mariyanto segera memberi mereka instruksi singkat di ruangan itu.

“Kardi, nanti mesin dan alat-alat yang ada dikardusin aja. Kita jual ketengan–Tono, liat biji kopi apa aja yang tersisa, kita bawa pulang.”

Keduanya segera melaksanakan tugas. Frans, Putra dan Gadis terlonjak berdiri menyaksikan invasi Mariyanto dan anak buahnya yang datang sekonyong-konyong. 

“Permisi, Pak. Bapak siapa, ya?” Putra menghampiri Mariyanto dengan sikap terancam.

“Lho. Saya yang punya tempat ini,” ujar Mariyanto tegas.

Gadis menyusul mereka dan berdiri di samping suaminya. “Kami udah beli toko ini, Pak.”

“Sama siapa? Ngawur, kamu,” semprot Mariyanto tidak terima.

“Ya, kami pemilik resminya, Pak. SITU, SIUP, semua atas nama saya. Bapak punya apa?”

Mariyanto menjawab. “Sertifikat, IMB, PBB.”

Gadis segera menyadari ada yang salah. Ia menoleh ke belakang pada Frans yang masih asyik menyeruput kopi. “Pak Frans, kemaren belinya sudah termasuk sewa tempat, ‘kan?”

Frans terdiam dengan tangan masih memegangi cangkir kopi. Bibirnya belepotan sisa kopi, sementara ia sedang menerka kekeliruannya.

“Bukti transaksi jual belinya ada, ‘kan, Pak?” Giliran Putra bertanya tidak sabar pada rekannya, tetapi malah dijawab oleh Mariyanto, “Emang ada?” Sepotong bun  di piring Putra raib bagai sulap, lalu meluncur cepat ke dalam mulut lelaki itu. Mariyanto pun mengunyah nikmat.

Life like buns on your plate. 

Softened, you're eaten.

Hardened, you're thrown.

TAMAT

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi