Disukai
0
Dilihat
1079
MINE & YOURS
Slice of Life

“Ini sudah pertemuan keempat dan kita tidak ada kemajuan. Kalau kalian memang tidak ingin saling bicara, tidak ingin saling memandang, saya rasa kita harus berhenti di sini.”

But we pay you…” si brengsek mulai protes.

Oh, trust me, I love your money. Tapi sebagai profesional, saya lebih suka menyelesaikan masalah kalian. That’s number one reason why you two, come to me.”

Then fix us…” aku menuntut.

Speak first! Saling bicara, saling dengarkan. Empat kali pertemuan, tiga ratus enam puluh menit, yang saya bisa catat hanya Anila bilang ‘Terserah’ 42 kali, dan Ino bilang ‘Gak tahu’ 18 kali.”

Rima, konselor kami, hanya menghela napas panjang dan tidak bicara lagi. Aku tahu, ini berat untuknya. Dengan reputasi sebagai konselor pernikahan selama belasan tahun, dan sudah berhasil membuat puluhan pasangan mengurungkan niat untuk bercerai, tentu permasalahan kami, yang tidak pernah kami bahas dengannya, membuatnya super frustasi.

“Kalau kalian tetap seperti ini, saya rasa pertemuan selanjutnya tidak usah dilakukan lagi. Tidak ada yang ingin dibicarakan, tidak ada yang ingin didiskusikan, tidak ada saling tatap dan menguatkan, rasanya berpisah mungkin lebih baik.”

Aku bernapas lega. Karena ujung-ujungnya, kami memang seharusnya bercerai. Aku mengangguk pelan dan mengaitkan tali tas pada bahuku. Ketika berdiri, si brengsek Ino malah buka suara.

“Saya mau bicara. Tapi tanpa Anila.”

Finally,” ucap Rima. “Kamu sudah mau pulang, atau bersedia menunggu di luar, setelah itu kamu bisa bicara juga dengan saya tanpa Ino?” 

“Saya pulang, dan gak akan datang lagi ke sini.” ucapku datar ke arah Rima, lalu memandang Ino. “I thought we have agreed on this!

Kutinggalkan Ino di ruangan Rima. Aku tidak ingin tahu apa yang dibicarakan si brengsek itu. Tapi kalau akhirnya dia mengubah kesepakatan kami, rasanya aku harus cepat-cepat menghubungi Shera, pengacara perceraian yang tidak pernah gagal dalam hal perebutan hak asuh anak.

***

ANILA KATRINA

AN UNHEALTHY LIFE

“Mba Nila, email aku soal mobil listrik, udah dibaca belom?”

“Hah, kita mau ada klien mobil listrik?”

“Iiih, pasti belom dibaca deh. Pak Anwar nyuruh aku buat kasih proposal mereka ke Mba Anila. Kata Pak Anwar, kalau Mba Nila oke, dia juga oke buat ambil project ini.”

Sorry…sorry, kayaknya aku ke-skip sama launching drive thru rumah sakit kemarin. Bisa tolong di-print aja gak terus kasih ke aku sekarang.”

“Oke mba, lima menit ya.”

Aku hanya mengangkat kedua jempolku ke arah Rian, dan langsung masuk ke ruangan. Tidak sampai lima menit, Rian sudah datang ke ruanganku dan memberikan berlembar-lembar profile klien dan product knowledge mereka. Aku tahu klien ini rela mengeluarkan banyak uang untuk mengejar predikat ‘Tesla-nya Indonesia’. Hanya saja aku kurang sreg dengan produk mereka. Aku lalu mengangkat telepon dan memencet extension 233.

“Maureen, ada anak baru kan di finance, siapa namanya?”

“Yasa. Kenapa lo nanya-nanya dia? Kemudaan buat lo kecengin.” Goda Maureen, yang juga teman satu angkatanku saat masuk ke kantor ini.

“Ngawur lo! Udah suruh dia ke sini dulu. Mau ada klien mobil listrik nih. Pak Anwar minta gue buat ngeliat dulu product knowledge-nya.”

“Emang beda ya anak emas mah, pendapatnya selalu didengerin.”

“Taik lo! Kalau bukan karena gue ngincer posisi dia as CEO pas dia pensiun nanti, gue juga ogah nih double job begini.”

“Hahaha, ambisi lo tuh dari dulu gak berubah ya, gak pernah slow down. Ya udah bentar, nanti gue suruh dia ke sana.”

Maureen adalah manager finance di kantorku. Sedangkan Yasa adalah anak probation bagian finance. Ini pertama kalinya Yasa kupanggil tanpa ekspektasi apa-apa. Tidak sampai 3 menit, Yasa sudah mengetuk pintu ruanganku. Aku bisa melihat sosoknya dari tirai yang tidak tertutup rapat.

“Bu Anila, kata Bu Maureen panggil saya ya.”

“Iya, duduk dulu Yas.”

Yasa terlihat tegang, of course. Walaupun aku bukan atasannya langsung, tapi seluruh kantor ini sudah tahu bagaimana kejam dan dinginnya mulutku jika ada sesuatu yang tidak aku sukai. 

“Kamu transportasinya sehari-hari ke kantor naik apa?” tanyaku.

“Naik motor, Bu.”

“Bisa nyetir mobil tapi?”

“Bisa Bu, alhamdulillah.”

“Kalau kamu dapat doorprize mobil ini, mau gak?” tanyaku lagi sambal memberikan kertas print yang bergambar mobil listrik tersebut.

Yasa menerimanya. Ia tersenyum lebar, lalu menatapku. “Jelas mau lah, Bu.”

“Mobilnya dipakai beneran untuk ke kantor, continuously sampai mobilnya ringsek, atau cuma dipakai beberapa kali terus dijual?”

Tanpa pikir panjang, Yasa langsung menjawab, “Kayaknya cuma beberapa kali aja Bu, abis itu saya jual. Mobil listrik masih belum common soalnya.”

“Gak mau dihadiahin aja buat orang tua atau siapa gitu?” aku masih berusaha untuk membuatnya mau memakai mobil ini. 

“Wah kalau dikasih ke orang tua, kasian nanti ayah saya. Dia pasti bingung perawatannya, biayanya juga pasti gak murah. Jadi mendingan dijual aja Bu. Gak apa-apa dipake sebulan atau dua bulan, yang penting pernah nyobain, Bu.”

Aku menghela napas. Rasanya aku tahu, bagian mana yang membuatku kurang sreg dengan product knowledge mereka. Untuk memastikan, aku kembali memencet extension beberapa divisi. Feedback mereka hampir sama. Kunci terakhir, aku rasanya harus menghubungi si brengsek Ino. Aku lalu mencari nama ‘Tuan Takur’ dan melakukan panggilan. Pada nada sambung kedua, Ino mengangkatnya.

“Halo Nil?”

“Kamu masih di jalan apa udah sampe kantor?”

“Masih di jalan sih, tapi sebentar lagi nyampe. Ada apa?”

“Lagi buka laptop atau cek email?”

“Enggak kok, aku baru aja masukin laptop ke tas.”

“Okay, aku cuma mau nanya cepet aja…”

Aku menceritakan product knowledge mobil listrik tersebut. Tidak me-mention kalau itu calon klien kami, tapi aku rasa dia pasti sudah menebak. Aku ingin mengetahui pandangannya soal mobil listrik.

“Kalau kamu minta pendapatku, I don’t think I want to ride it for a daily. Klaim mereka sekali charge bisa 12 jam riding hours. Tapi kan kita tinggal di Jakarta, dan kondisi jalanan selalu unpredictable. Ingat gak dua minggu lalu hujan badai dan jalanan banyak yang banjir. Kamu pulang dari kantor jam 7 malam aja, sampe rumah udah lewat tengah malam. Kayaknya kalau aku punya mobil listrik, paling aku pakai buat jalan-jalan santai atau pamer aja sih. Kalau lagi reunian, golf, atau lagi ketemu klien-klien penting yang janjiannya bukan di mall, tapi di tempat yang parkirannya terbuka.”

“Tapi kalau ada uangnya, kamu mau beli?”

“Kalau kita gak punya kebutuhan apa-apa lagi, dan keuanganku surplus banyak, why not?”

Aku mendengar suara pintu mobil dibuka, dan suara satpam menyapa Ino. Dia pasti sudah sampai.

“Ya udah, thank you for the opinion. Happy working…”

“Eh Nil, aku…”

Aku tidak ingin mendengar lanjutannya. Aku langsung menutup telepon. Tujuanku hanya membahas soal mobil listrik, bukan untuk mendengar pembicaraan setelahnya.

***

Jam 9 malam aku sudah duduk santai di ruang tengah bersama Falla, anak perempuanku yang kini berusia 5 tahun. Ia sedang asyik bereksperimen dengan peralatan science sederhana. Falla masih school from home, dan beruntung sekali sekolah Falla tidak fokus untuk membuat anak muridnya harus dapat nilai 100 di semua mata pelajaran. Salah satu sistem pendidikan yang harusnya dibuat merata, tidak hanya oleh sekolah swasta yang biaya masuk dan semesterannya bisa membuat sakit kepala.

“Mam, aku bikin solar system.” ucap Falla sambil memintaku untuk mendekat.

“Oh wow. Kamu tahu nama urutan planet-planetnya?”

“Tahu dong. Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus.” kata Falla sambil menunjuk miniatur planet-planet yang tadi disusunnya.

“Loh, Pluto mana?”

“Mami, Pluto is not a planet anymore.

“Hah, sejak kapan?”

Falla lalu menceritakan tentang si Pluto ini. How I hate this little girl when she talks about something that she likes. Matanya sangat mirip dengan si brengsek. Aku mendengar suara pintu dibuka. Kulihat jam, belum jam sepuluh. Tumben dia sudah pulang.

“Papiiiiii….” 

Falla berteriak kecil sambil berlari ke arah Ino. Ditangkapnya Falla sambil digendong berputar-putar. I hate their expression when they both happy. 

“Papi kok tumben pulangnya cepat?” tanya Falla.

“Iya, Papi gak jadi meeting, soalnya klien Papi sakit, harus dirawat di rumah sakit.”

“Sakit apa Pi?”

“Katanya perutnya sakit, sampe muntah-muntah.”

“Kayak Mami dong, Pi.” kata Falla sambil menunjuk ke arahku. Ino langsung menoleh padaku. Aku berdiri dan langsung mengambil Falla dari pelukan Ino.

“Udah mau jam sepuluh, kita gosok gigi dulu, ganti baju, abis itu kita tidur, okay?”

“Kamu sakit?” Ino bertanya, tapi aku tidak menggubrisnya. Aku langsung membawa Falla masuk ke kamar dan menyiapkannya untuk tidur.

***

Falla sudah setengah mengantuk saat Ino masuk ke kamarnya. Aku, yang sedang membacakan buku Alice in Wonderland, langsung bersiap untuk beranjak dari kasur. 

“Mami sama Papi di sini aja tidurnya ya. Aku mau tidur sama Mami sama Papi malam ini.” ucap Falla sambil memeluk tanganku erat.

Aku dan Ino lihat-lihatan. Momen-momen seperti ini adalah hal yang tidak aku sukai. Aku suka menemani Falla sampai tertidur, tapi tidak dengan si brengsek ini. Sayangnya, si brengsek ini memiliki kepekaan minus untuk bisa menangkap auraku, kalau aku tidak ingin menidurkan Falla bersamanya. Ino malah menyelipkan diri di samping Falla, sehingga Falla berada di tengah. Ino memeluknya, menjulurkan tanganya sampai menyentuh tanganku yang sedang dipeluk Falla. Jiwaku meronta ingin menarik tanganku secepatnya.

“Falla udah baca doa belum?” tanya Ino ke Falla dalam bisikan.

“Udah Pi. Aku udah baca doa tadi sama Mami.”

“Falla mau baca doa lagi gak sama Papi? Papi belom baca doa…”

Falla akhirnya melepas pelukan tanganku, dan menghadap ke arah Ino. Mereka berdua lalu membaca doa sebelum tidur. Setelah selesai baca doa, Falla enggan membalikkan badan lagi ke arahku dan tidur di pelukan Ino. Aku merebahkan badanku sedikit, menunggu sampai Falla tertidur pulas, lalu keluar dari kamar ini.

“Kamu sakit?” Ino bertanya dalam bisikan ke arahku.

Aku menoleh ke arahnya. How can this bastard still have such a warm look for me?? Setelah apa yang dia lakukan padaku, setelah apa yang keluarganya lakukan padaku, bagaimana bisa aku masih melihat kehangatan di matanya???

“Jangan berisik, nanti Falla bangun!” aku menggertaknya.

Aku akhirnya beranjak pelan dari tempat tidur dan keluar dari kamar Falla. Saat menuju ke kamar, aku mendengar pintu kamar Falla dibuka. Si brengsek pasti mengejarku. Buru-buru aku masuk kamar. Saat akan menutup pintunya, tangan Ino tiba-tiba masuk untuk menahan pintu agar tidak bisa ditutup.

“Kamu ngapain sih?” aku bertanya kesal.

“Susah ya, jawab pertanyaanku? Aku dari tadi nanya, kamu kenapa? Kamu sakit?”

“Mau aku sakit kek, aku jungkir balik kek, bukan urusan kamu. Kita udah sepakat ya buat urus diri masing-masing!”

“Kamu yang sepakat sama diri kamu sendiri. Aku gak pernah sepakat soal itu.”

Aku menghela napas panjang. Setelah seharian adu argumen dengan Pak Anwar soal mobil listrik, aku tidak ingin energiku habis untuk berdebat dengan laki-laki ini. Aku lalu mengibas tanganku ke arahnya, memintanya untuk pergi. Bukannya pergi, si brengsek ini malah meraupku ke dalam pelukannya. Aku meronta kaget, tapi dekapannya memang luar biasa kuat dan nyaman. Lagi-lagi, aku dipaksa untuk mendengarkan detak jantungnya.

I’m sorry…” ucapnya lirih di telingaku.

Sensasi gairah itu datang. Ditambah desah napasnya yang ia hembuskan ke pundakku, membuatku merinding. Tanganku yang awalnya memblok antara tubuhku dan tubuhnya, perlahan turun ke arah pinggangnya. Kuremas kencang bajunya, untuk menutupi perasaan kesalku yang seketika berhasrat ini.

I’m sorry….” ucapnya lagi.

Aku melepaskan diriku pelan dan mendongak ke arahnya. “I will not forgive you.” balasku tajam, dan berhasil membuat dia melumat bibirku, menggendongku, dan mengunci pintu kamarku.

***

Tiga tahun terakhir, seks kami selalu seperti ini. Seperti azas kebutuhan, bukan pengerat rasa cinta. Setidaknya, bagiku seperti itu. Aku tidak bisa mengeluarkan hasrat seksualku pada alat. Si brengsek mungkin masih bisa menonton film porno dua menitan, ereksi, lalu masturbasi dan mendapat kepuasan. Bagiku, dildo tidak bisa semenyenangkan itu. Hanya bergetar. No touch on the back, suction on my nipple, or even dirty words. I need his fucking good dick inside me, to make a big O.

Aku bangun dan duduk perlahan, sambil mengambil selimut untuk menutupi bagian dadaku. Kuperhatikan wajah si brengsek yang masih tertidur. Dengkurannya halus, tapi menandakan ia masih nyenyak. Tangannya yang kekar masih memeluk bagian perutku dari dalam selimut. Kakinya masih menjadikan pahaku sebagai gulingnya. Aku bisa merasakan gumpalan daging di antara pahanya mulai mengeras lagi. Jam 6 pagi, of course. Setidaknya his little brother masih berfungsi normal di pagi hari.

Si brengsek mulai bergerak, mengelus perutku, dan menggesekkan gumpalan daging yang mulai mengeras itu ke pahaku. He wants third round…or fourth?

Morning sunshine…” ucapnya parau sambil mempererat pelukannya pada perutku. Tangannya yang mendominasi itu lalu memaksaku untuk kembali rebah dipelukannya. 

Kami lalu bertatapan. Aku masih mengenal tatapan itu. Tatapan yang sama seperti yang ia berikan dulu, saat kami selesai bercinta untuk pertama kalinya. 

I can't imagine anyone else waking up next to me after this.” ucapnya lagi, sama persis setiap kali kami habis melakukan great sex.

But I can…” balasku, agar dia mengerti betapa aku sangat membencinya.

Then don’t…” larangnya sambil mendekatkan wajahnya, dan kembali menciumku. Kali ini ciumannya perlahan dan lembut. Hasratku masih belum bisa menolaknya. I still want him for the next 15 to 30 minutes.

Kubiarkan kebutuhan batinku terpenuhi, lagi. Saat ia berada pada posisi misionaris, ia memberikan jeda.

I want another baby….” katanya sambil menatapku.

Then I have to kill your mom…” aku menjawab dalam bisikan yang dalam.

Ino tersenyum. Ia sama sekali tidak keget dengan ucapanku. Aku tahu, jauh….jauh di dalam hatinya, ia juga membenci ibunya selama puluhan tahun. Sama seperti aku yang sangat membenci ayahku selama puluhan tahun.

And I killed your father afterwards…

Maybe we should…

***

PATRIARKI - MATRIARKI

Terlahir sebagai perempuan dalam keluarga Batak yang masih kental dengan adat adalah siksaan. Aku heran, kenapa sebelum dilahirkan, aku malah setuju membuat perjanjian dengan Tuhan untuk lahir di keluarga menyebalkan ini.

Aku anak pertama dari empat kakak-adik Sinaga. Sialnya, hanya aku yang perempuan. Tiga adikku laki-laki. Sangat jelas kalau semua perhatian akan mengarah ke adik laki-lakiku. Apalagi ayahku yang gila dengan garis keturunan, selalu membanggakan ketiga adikku.

Jarak antara aku dan adik-adikku tidak terlalu jauh. Dengan Fariz hanya berjarak dua tahun. Fariz ke si kembar Kaffa-Kaffi bahkan hanya satu setengah tahun. Jadi ada masa di mana waktu aku kelas 5 SD, sekolahku dikuasai oleh anak-anak Pak Sinaga. Fariz kelas 3 SD, sedangkan si kembar baru masuk kelas 1 SD. Ada masa Pak Sinaga mengantar kami berempat ke sekolah, menggunakan mobil espass silver, dan yang diantar sampai ke depan kelas hanya Fariz dan si kembar. Bahkan, ada masa di mana orang-orang tahunya anak Pak Sinaga hanya Fariz dan kembar. Why? Because my father is a hard-line patriarchal systemist. Dia tidak pernah menceritakan tentang diriku pada orang-orang.

And where’s my mom? She died when I was in middle school. Sejak saat itu, kehidupanku sebagai perempuan satu-satunya di rumah, dalam koloni patriarki, dipaksa untuk dihilangkan atau invisible. Dasar sial!

Kukira kehidupan super menyebalkan karena sistem patriarki ini hanya kurasakan sendiri saja. Sewaktu aku masih berusia 23 tahun dan menjadi jurnalis lifestyle di majalah fashion , aku bertemu dia, Mulino Ravento. Saat itu sedang diadakan Jakarta Food and Fashion Festival di Kelapa Gading. Majalahku adalah salah satu media partner, dan membuatku harus standby di lokasi selama berhari-hari. Untungnya hotel akomodasi tempatku menginap tidak jauh dari lokasi acara. 

Di hari ketiga, saat aku sedang menulis artikel di lounge hotel, aku melihat Alphard hitam berhenti di depan pintu lobi. Satpam langsung sigap berdiri di samping mobil, dan ketika pintu terbuka, aku melihat tiga orang wanita cantik turun dengan pakaian stylish. Aku tidak kenal dua wanita yang masih tergolong muda itu, tapi satu wanita tua yang tinggi semampai dan cocok menjadi induk kawanan itu, adalah salah satu desainer yang ikut dalam peragaan busana nanti malam. Ketiga wanita tersebut langsung masuk ke hotel, menuju lift, tanpa mau menoleh untuk melihat sekeliling. Di belakang, dua orang satpam dibantu petugas hotel, mengangkat koper-koper dan baju untuk peragaan nanti malam. Sopir mereka bertugas membawa handy bag yang tersisa. Aku bergidik membayangkan betapa lelahnya kehidupan mereka.

Selang satu jam, selagi aku masih mengetik, seorang laki-laki duduk di hadapanku. Sekilas aku mencuri pandang dengan beberapa kali lirikan. Sepertinya ini si sopir desainer tadi. Walaupun hanya lirikan sekilas, aku tahu kalau wajahnya sama sekali tidak jelek. Ia rupawan. Badannya cukup atletis. Ia terlihat sibuk chatting dengan handphone-nya, iPhone 5 yang pada saat itu sedang happening. Gila juga gaji yang dia dapatkan sebagai sopir, bisa menopang lifestyle seperti ini. Baru saja ingin mempreteli detail penampilannya yang lain, handphone-ku berbunyi. Merry, atau biasa dipanggil Ses Merry, redaktur fashion kantorku.

“Halo…”

“Nil, nanti malam fotografer yang dateng, Banar ya.”

“Banar doang? Satu lagi dong Ses, Alpin. Buat di runway sama backstage…”

“Tapi ID Card aman gak? Yang didaftarin buat hari ini cuma Banar soalnya.”

“Aman, nanti biar Alpin masuk sama aku pas di venue.”

“Sama hari ini kan ada peragaan busananya Lutfiah Hanum, kalau bisa lo ketemuan buat wawancara dia ya. Profil satu halaman kayaknya oke juga tuh dia.”

I just saw her enter the lobby.

Hanya satu baris kalimat itu, si laki-laki yang duduk di depanku langsung menatap tajam. Shit, I forgot her driver still here!

“Nah kalau gitu, bisa dong ya lo kejar atau door stop buat janjian di luar acara. Soalnya tema dia malam ini, beda banget dari tahun-tahun sebelumnya. Dia bawa konsep sustainable fashion. Lo coba perdalam di bagian itu ya.”

Okay, nanti aku coba buat wawancara dia ya Ses.”

“Sip, tengkyu Nil.”

Aku mematikan panggilan telepon dan berpura-pura untuk sibuk mengetik lagi. Si sopir masih memandangiku, ingin tahu.

“Wartawan?” tanya si sopir tiba-tiba.

Aku mengangguk pelan, salah tingkah karena merasa sudah tertangkap basah sedang membicarakan bosnya.

“Butuh wawancara sama Bu Lutfiah?”

“Butuh Mas. Masnya bisa tolongin aku ketemu bosnya gak?” aku spontan menodongnya. 

Ia hanya tertawa kecil, tapi pandangannya tetap mengarah ke mataku. “Nanti aku coba ngomong ke bos kalau mau ada yang wawancara. Tapi gak bisa sekarang kayaknya. Biasanya dia sama anak-anaknya mau rileks dan spa dulu sebelum acara.”

“Yang dua orang tadi itu anak-anaknya, Mas?”

“Yes, anak pertama dan anak kedua.”

“Kayaknya aku pernah baca artikel, tapi lupa di mana, kalau anak-anaknya gak tinggal sama dia. Satu ikut sama ayahnya tinggal di Singapur, satu lagi udah menikah dan tinggal di Bali. She’s divorced, right?” tanyaku memasikan.

Right, she’s divorced. Anak pertamanya sudah menikah sama bule dan tinggal di Bali. Anak keduanya ikut sama mantan suaminya, tinggal di Singapur karena lagi ambil S2 dan udah kerja juga di sana.”

“Terus dua-duanya hari ini balik ke Jakarta? Support their mom?

Of course, gak ada hal paling berharga buat Bu Lutfiah Hanum Caniago selain dua anak perempuannya.”

Aku tertegun melihat dan mendengar nada suaranya. Redam. Dendam. Sepertinya ia kesal dengan kalimat yang baru saja ia katakan.

“Oh iya, aku minta nomor kamu aja, boleh? Sekarang aku harus balik ke apartemen, karena ada beberapa barang yang ketinggalan. Abis antar barang yang ketinggalan, aku bakal nanya ke bos apa bisa diwawancara sama kamu.”

Aku lalu merogoh tas laptopku dan mengambil kartu nama yang kusimpan beberapa lembar di sana. Kuberikan kartu namaku padanya, dan dia membacanya.

“Sinaga….” ucapnya lirih. “Senior lifestyle reporter. Pasti super melelahkan ya kalau lagi big event begini?”

Well, I have magic words for that…

“Apa?”

I love my job.

Ia tertawa terbahak-bahak. Aku memang bermaksud untuk melucu, tapi tidak berpikir bahwa efeknya akan seperti punchline untuknya. 

Okay, aku harus pergi sekarang. See you later, then…

“Eh Mas…” ujarku tiba-tiba saat ia sudah berdiri dan mau pergi. “I don’t know your name…

“Ino…” jawabnya sambil tersenyum dan pergi, diiringi menoleh sekali lagi ke arahku saat ia akan keluar lobi.

Fuck!

***

Peragaan busana berjalan lancar malam itu. Aku, yang berada di kursi paling depan, meneliti setiap gaya busana dari belasan desainer malam ini. Hanya ada beberapa yang wow, selebihnya biasa. Tema busana Lutfiah dengan sustainable fashion, adalah salah satu yang kusuka. Cutting-nya, warna earth tone-nya, detail layer pada kerahnya, semuanya aku suka. Aku harap Banar dan Alpin bisa mendapatkan detail-detail itu untuk rubrik Runway bulan ini.

Selesai acara jam 10 malam, aku bergegas kembali ke hotel bersama Banar dan Alpin. Aku butuh melihat foto-foto mereka untuk membuat artikel. Tiba-tiba saat kami berada di lobi ketika akan transfer foto, aku mendapati instant message dari nomor tak dikenal.

- Si Bos mau diwawancara malam ini jam 11 di lounge. Tapi dia minta sebelum sesi wawancara, dia mau difoto dulu sama dua anaknya. How?

“Mas Ban sama Mas Al, jangan pulang dulu bisa gak? Si Lutfiah Hanum mau diwawancara sekarang, tapi dia minta difotoin dulu. Stay bentar lagi gak apa-apa ya.”

“Di mana wawancaranya?”

“Di sini, di lounge jam 11 malem ini.”

“Ya udah, gue sama Alpin ke lounge dulu buat cari spot.”

- Hundred percent yes!!

Aku membalas pesan si sopir begitu kedua fotograferku hunting spot menuju lounge.

***

Tidak ada yang aneh dari sesi foto sebelum wawancara. Lutfiah dan kedua anaknya berpose sangat anggun, sehingga aku seperti melihat patung dengan pahatan super mulus. Aura yang mereka pancarkan sangat elegan, kaku, dan dingin. Setelahnya, sesi wawancara pun berjalan lancar. Walaupun nada suaranya sangat mengintimidasi, Lutfiah jelas memiliki pandangannya sendiri seputar dunia fashion. Menurutnya, fashion bukan sekadar karya untuk dinikmati dan diperjual-belikan, tetapi sesuatu yang harus diteruskan. Kalau aku punya hak suara untuk vote ke majalah Forbes, aku pasti akan mencalonkan dia sebagai salah satu wanita paling berpengaruh di dunia fashion.

Seperti yang kukatakan di awal, tidak ada yang aneh dari sesi wawancara kami, kecuali satu hal, si sopir. Setelah mengantarku kepada bosnya yang sedang foto-foto di lounge, ia tidak menyingkir. Masih berada di sekitarku sambil mengawasi pemotretan. Setelah sesi pemotretan selesai, Lutfiah menyuruh dua anak perempuannya untuk duduk didekatnya. Si sopir, yang tiba-tiba duduk di sebelah anak-anaknya, diusirnya dengan suara yang halus. Tapi panggilannya untuk si sopir agak aneh menurutku.

“Uda, kamu di meja sebelah ya, sayang. Biar Uni aja yang nemenin di sini.”

***

Bulan depannya, saat liputan tentang Latifah terbit di majalahku, aku memberanikan diri untuk mengirim pesan pada si sopir. Isinya sebenarnya singkat saja, memberitahu kalau liputan bosnya sudah terbit. Sebenarnya memberitahu soal liputan sudah terbit bukan nomor satu tujuanku. Aku ingin bertemu lagi dengannya. Saat itu, setelah selesai wawancara, ia sama sekali tidak mau memandangku, dan tidak lagi mengirim pesan instan. Padahal kukira, kami memiliki rasa ketertarikan walaupun hanya sedikit.

- Hai Mas Ino, ini Anila. Lagi sibukkah?

Balasannya langsung datang tidak sampai lima menit.

- Hai Nil, apa kabar? Aku gak sibuk kok. Gimana...gimana...?

- Enggak kok Mas. Cuma mau kasih tau kalau artikel Bu Lutfiah udah terbit.

- Oh okay. Nanti aku kasih tau si bos kalau udah terbit ya.

- Aku boleh minta alamat untuk kirim majalahnya kah? Biasanya narasumber untuk rubrik profile, ada jatah 5 majalah gratis untuk dikasih.

- Hmm, kita ketemuan aja, gimana? Kamu kasih majalahnya ke aku aja.

Ini yang aku tungguin dari tadi, Ino! Aku memang berharap kalau kamu akan ajak aku ketemuan untuk ambil majalahnya.

- Boleh Mas. Mas Ino bisanya kapan?

- Malam ini, how?

- Bisa Mas. Aku gak ada deadline kok. Mau ketemuan di mana, Mas?

- Kantor kamu di Kuningan, kan? Menara RST?

- Iya, kok tahu?

- I'm googling it.

- Oh gitu...

Aku mulai kehabisan kalimat respon. Aku tidak tahu tujuan dia menyebut lokasi kantorku. Tidak mungkin dia berniat untuk menjemputku kan?

- Ya udah gini aja. Aku sekarang lagi di daerah Tebet. Aku jam 7 malam aku jemput, gimana? Nanti kita nongkrong sekitaran situ aja. How?

Sialan kau Ino! Ajakanmu ini adalah satu tingkat di atas flirting buatku. Tadinya skenarioku adalah kita ketemuan di tempat yang sudah disepakati, aku kasih majalah, kita ngobrol sebentar, aku pamit harus pulang sebelum jam 10 malam dengan alasan sudah terlalu malam, dan kamu secara gentle bersedia mengantarku pulang. Aku tidak mempersiapkan reaksi untuk skenario yang baru saja kamu berikan padaku.

-Okay

Hanya itu saja yang mampu kubalas. Setelah itu, Ino mengirimkan emoticon smile, dan jantungku dibuat tidak karuan karenanya.

***

Sebelum Ino menjemput, aku harus menyadarkan diriku dulu dan menegaskan kalau aku hanya ingin bermain-main dengan Ino. Aku harus mengingat standar calon pasanganku. Tidak peduli handphone-nya adalah iPhone 5, sedangkan aku hanya hp android China, tapi profesinya hanya sebagai sopir pribadi Lutfiah Hanum. Tidak peduli gajinya lebih besar daripada gajiku, tapi dia bukan level yang bisa aku bawa ke acara reuni sekolah dan harus menahan malu ketika ditanya apa profesi pacarku. Sopir bukanlah profesi yang ingin aku gandeng dan pamerkan ke teman-temanku.

Jam tujuh kurang sepuluh, Ino mengirim pesan. Ia sudah di lobi gedung katanya. Aku, yang memang sedang berada di lift, memintanya menunggu sebentar. Setelah sampai di lobi, aku melihat mobil SUV berwarna biru metalik. Mobil itu lalu mendekat ke arahku dan mengklakson. Aku menunduk sedikit dan melihat Ino membuka kaca.

“Ayo naik, Nil…”

Ragu dan bingung, aku akhirnya masuk ke dalam mobil SUV itu. Tidak mungkin mobil ini miliknya dong. Tapi tidak mungkin juga Lutfiah berbaik hati meminjamkan mobil untuk sopirnya bermain di luar jam kantor.

“Kita ke kafe Taman aja ya.” ajaknya. Aku hanya mengangguk.

Sepanjang jalan, aku sama sekali tidak bisa memulai pembicaraan. Semua daftar pertanyaan yang sudah kusiapkan dari siang, macet seketika. Siapa sih sebenarnya si Ino ini? Kalau dia sopir, kenapa gaya hidupnya bukan seperti sopir? Apa mungkin dia manager-nya Lutfiah? Tapi kalau manager, kenapa waktu wawancara dulu, Lutfiah memanggilnya sayang?

“Majalahnya mau dipeluk sampe kapan?” Ino tiba-tiba bicara sambil menoleh sesekali ke arahku.

Aku, yang sejak masuk ke mobil tadi reflek memeluk 5 eksemplar majalah dalam tote bag, langsung salah tingkah. 

“Eh, sorry Mas. Ini majalahnya…” aku menyodorkan ke arahnya. Ino memberikan isyarat kalau tangannya tidak bisa melepas setir.

“Boleh tolong taro di kursi belakang aja gak? Taro di tengah aja gak apa-apa.”

Aku lalu membalikkan badan dan menaruh tote bag di bagian kursi yang bisa kuraih. Sekilas, aku melihat ada dua pasang sepatu, sepatu futsal dan pantofel pria. Aku kembali lagi ke posisi dudukku. Mataku melirik ke arah kakinya. Ia hanya menggunakan sendal santai. Jadi ini sebenarnya mobil siapa????

“Nil…”

Aku tersentak waktu ia memanggil sambil menepuk lenganku. Kulihat sekeliling, kami sudah tidak ada di jalan raya lagi. Mobil sudah berhenti, entah sejak kapan.

Are you okay?” tanyanya khawatir.

Yes…” jawabku ragu.

Ino tersenyum. Perutku serasa meleleh saat melihat senyumnya. “Kita udah sampe dari tujuh menit yang lalu. Kamu aku panggilin cuma diam bengong aja. Makanya aku tepuk biar kamu sadar.”

“Aduh, sorry Mas, gak fokus. Can we go now?

Of course. We’re not in movie car.

Aku cepat-cepat turun dan mencari table yang kosong. Ino mengikuti langkahku. Waitress mendatangi kami untuk mencatat pesanan. Aku memesan ice chocolate, sementara Ino memesan latte. Aku masih belum bisa bicara apa-apa. Bahkan untuk melihat langsung ke arah matanya pun aku takut.

“Anila, aku bikin salah ya?”

“Hah?”

You look uncomfortable with me…

Aku membuka mulut, tapi tidak bisa bersuara. Salah tingkah. Entah apa yang harus aku katakan sekarang.

“Oke, gini. Anggap aja aku orang yang no hurt feeling. Kamu boleh komplain apa aja, ngomong apa aja, protes ketidaksukaan kamu, apa aja Nil. You look so…weird…and pale right now.

Minuman kami datang. Aku cepat-cepat menyedot ice chocolate-ku agar gula darahku bisa cepat naik. Aku butuh sugar rush detik ini juga.

“Aku mau nanya, tapi kayaknya ini bakalan gak sopan, Mas. Aku takut Mas Ino tersinggung.”

Aku akhirnya memberanikan diri membuka suara. List pertanyaan yang sudah kususun, perlahan ingin kukeluarkan.

Like I said, I am a no hurt feeling man right now.

Who are you?” tanyaku pada akhirnya.

“Ino…” jawabnya pelan sambil tersenyum lebar.

“Bukan, maksudku…Who are you to Lutfiah?

Ino tidak lagi tersenyum lebar. Senyumnya kini hanya segaris, seperti menutupi sesuatu.

“Sebelum aku jawab, aku mau nanya dulu. Dari tadi di jalan, kepala kamu berteori apa aja emangnya?”

Smart man. He can read me. 

You still a no hurt feeling man, right?” tanyaku meyakinkan. Ino mengangguk. “Aku gak kepikiran kalau Mas Ino akan jemput aku naik mobil. Aku mikirnya Mas Ino akan jemput aku naik motor, or worst gak naik apa-apa dan kita naik taksi untuk ke sini. Pas naik mobil, aku mikirnya itu mobil Lutfiah yang kamu pinjam, tapi masa iya Lutfiah sebaik itu? Terus pas naro majalah di kursi belakang, aku ngeliat ada sepatu futsal dan sepatu pantofel. It feels like I'm riding in a man's car, not a woman designer’s car in her 50s…”

Aku menjeda teoriku. Senyum Ino kembali mengembang. Mungkin menurutnya, saat ini ia sedang zonk, mengajak kencan perempuan yang isi pikirannya sangat dangkal.

Who do you think I am to Lutfiah?” ia balik bertanya.

A driver, at first. Then looking at your stuff, I leveled up to manager. But when I heard her call you sayang...I don't know anymore.

Ino menarik napas panjang. Sepertinya ia akan menjawab hal yang berat.

“Oke, kenalin sekali lagi. Aku Ino. Mulino Ravento Caniago…”

“Caniago….wait. Caniago??”

Aku anak ketiga, anak bungsu dari Lutfiah Hanum Caniago.”

That’s it. I’m done. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini, tapi aku rasanya sedang menyelam ke lautan tak berdasar. Wajahku pasti bukan pucat lagi sekarang, melainkan merah menahan malu.

Should I go…?” tanyaku.

Why?” dia balik bertanya, kebingungan.

“Aku udah gak sopan nuduh kamu yang enggak-enggak. Aku udah gak sopan manggil nama ibu kamu cuma dengan namanya aja… and I feel so ashamed to face you…

Kali ini, Ino benar-benar tertawa. Padahal tidak ada punchline yang kulemparkan. Aku bingung dengan sikapnya.

“Kenapa kamu ngerasa malu berhadapan dengan orang yang posisinya sama dengan kamu?”

“Maksud Mas Ino?”

“Sinaga, right?”

Tiba-tiba, aku merasa lonceng di kepalaku berbunyi. 

“Kamu Sinaga perempuan di garis patriarki. Aku Caniago laki-laki di garis matriarki. Aku gak pernah merasa ada di keluargaku. Sejak mama sama papaku cerai, dan aku ikut mama, aku selalu jadi invisible atau dipaksa menyingkir kalau lagi kumpul. Harus tetap ikut, tapi tidak boleh menonjol. You saw it yourself during the interview, right? My mom asked me to step aside because she just wanted to be with her two daughters. Ring a bell?

Aku menghela napas tidak percaya. Skenario ini sangat tidak pernah ada di kepalaku. Aku tidak menyangka akan menemukan kembaranku dalam versi laki-laki. Hidupnya pasti semenyedihkan dan semenyebalkan itu!

I hate my Dad. Kadang-kadang dia cuma bilang punya tiga anak, bukan empat. Aku anak pertama dari empat bersaudara. Perempuan satu-satunya. I lost my mom when I was in middle school, so I was never defended by anyone when the old man told everyone that I didn't exist.

Ino lalu menjulurkan tangannya untuk menggenggam tanganku. That spark, I feel it. I know he feels it too.

“Rumah kamu di mana?” tanyanya.

“Aku ngekos deket kantor.”

“Bebas?” tanyanya, yang aku sudah tahu akan mengarah ke mana ini.

“Bebas…”

“Aku tinggal di Apartemen Semanggi. Sendirian…”

Kami saling pandang dan masih saling genggam. Percikan yang kami rasakan lama-lama berubah jadi api kecil. Aku tahu sebentar lagi api itu akan menjalar dengan cepat.

Your place or my place?” tanyanya lagi.

Your place…” jawabku tanpa ragu.

***

I THOUGHT YOU ARE THE ONE

Perbincangan alot dengan Pak Anwar soal mobil listrik masih dilanjut siang ini. Ia ingin menerima klien dan menunjukku sebagai leader project. Aku seratus persen menolak. Jika memaksa, aku meminta agar segmen pasar diganti, atau menyerahkan project ini untuk dipegang oleh orang lain. Pak Anwar tidak ingin ini dipegang oleh orang lain.

“Kamu tahu kan Nil, kita selalu dapat klien-klien yang out of the box. Hal seperti ini bukan yang pertama kali datang ke kita.”

“Saya tahu Pak, tapi dilihat dari segi mana pun, keinginan mereka gak akan achieved di kita. Dan ini bukan mobil listrik pertama di Indonesia, Pak. Brand mobil H sudah launching mobil listrik duluan awal tahun lalu.”

“Tapi mereka gak meledak. Bukan top of mind untuk masyarakat luas.”

“Karena saya yakin, ini gak bisa jadi top of mind dalam lima tahun ke depan. Regulasi untuk mobil listrik aja kita belum punya. Bengkel resminya aja masih jarang banget selain brand H yang punya. C’mon Pak, we never chase client's money and ignore the facts.

Pak Anwar terdiam. Aku tahu, uang 3.5M yang tertulis di proposal, pasti membuatnya berat untuk menolak klien ini. But he needs to know. He’s already old, and his ambition for money have to be slowed down.

“Kamu punya calon klien lain yang setara dengan ini?” tanyanya.

“Mungkin gak secara angka, Pak. Tapi kita bisa bikin campaign mereka di atas mobil listrik ini.”

Brand apa?”

Brand mobil M, Pak,” kataku sambil menyodorkan product knowledge mobil mereka. “Mereka punya produk high end dengan tagline ‘Pertamax used only’. I like that. Ini bukan hanya akan menyasar kelas A, tapi kelas B yang sudah peduli akan issue pertalite untuk subsidi dan sudah sadar akan perawatan mesin mobil, saya rasa bisa diambil oleh Mobil M ini Pak.”

Mapping secara detail?”

First jobber bukan sasaran, of course. Pekerja di atas 3 tahun dengan gaji per bulan sudah dua digit, bisa kita grab walaupun hanya 20-30%. Pekerja di atas 5 tahun, yang baru pertama kali ingin beli mobil, di atas 50% bisa kita ambil. Sisanya pekerja settled level A, yang akan mengganti mobil atau membeli mobil lagi, pangsa pasar utama. Pertamax used only.

Do you think the tagline is….I don’t know, make sense?

“Coba bayangin seandainya bapak lagi mau isi bensin di SPBU Self Service. Dengan mobil bapak merek L, yang harganya di atas 1M, bapak isi sama pertalite. Terus datang si Mobil M, yang harga termurahnya 800jtan, isi bensin di belakang bapak tapi dia ambil selang pertamax. Then both of you seeing each other. Who do you think will be embarrassed?”

Bosku kembali terdiam. Mungkin membayangkan bagaimana orang dengan Mobil M memandang rendah dirinya yang mengisi Mobil L dengan pertalite.

“Berapa budget mereka?”

“Saya baru mau ketemu mereka besok, Pak. Tapi secara obrolan, mereka bisa kasih 2M.”

Make it more. Own this project!

I will…

***

“Mam, kenapa Mami sama Papi gak tidur di kamar yang sama?”

Pertanyaan Falla malam ini sudah bisa kuprediksi sebelumnya. Usianya sudah 5 tahun, tentu dia bisa mencerna bagaimana dinginnya sikap Mami dan Papinya kalau sedang di rumah.

“Mami sama Papi lagi butuh waktu untuk sendiri-sendiri dulu. Mami lagi banyak pikiran, Papi juga lagi banyak pikiran. Kalau Mami Papi ada di kamar yang sama, bisa-bisa kami berantem terus karena gak ada yang mau ngalah.”

“Jadi pisah kamar biar gak berantem?” tanya Falla polos.

“Iya, Mami gak mau berantem sama Papi, makanya kami pisah kamar.”

“Tapi Mami sama Papi bukan mau pisah beneran kan? Bukan mau pisah rumah kan?”

Aku kaget mendengar pertanyaan ini. Kuubah posisi tidurku menghadapnya. Kuperhatikan matanya yang bulat, memancarkan keingintahuan yang besar. Bagaimana bisa pikirannya membimbing dia untuk berpikir bahwa aku dan Ino akan berpisah rumah?

“Falla kenapa ngomong gitu?”

“Waktu minggu lalu aku nginep di rumah Andung, aku ketemu Onty Elsha sama Farhan. Kata Andung, Onty Elsha sama Farhan nginep di rumah Andung udah seminggu, jadi aku tidurnya sama Andung. Andung bilang, kalau Onty Elsha lagi berantem sama Om Jefrey, makanya mereka nginap di rumah Andung. Terus besoknya Om Jefrey datang ke rumah Andung, dan bilang ke Onty Elsha kalau mereka pisah aja. Berarti Onty Elsha sama Om Jefrey bakalan pisah rumah ya Mi?”

Aku mengutuk Lutfiah Hanum sekencang mungkin di dalam hatiku. Bagaimana bisa ia berbicara tentang pertengkaran rumah tangga anaknya pada Falla. Jika rumah tangganya dulu selalu tidak harmonis sampai akhirnya bercerai, bukan berarti dia bisa menceritakan soal berpisah pada semua orang, apalagi ke anak umur 5 tahun, kan?

“Onty Elsha sama Om Jefrey mungkin lagi capek, jadinya berantem. Mungkin Om Jefrey bilang pisah, karena lagi emosi aja. Itu urusan mereka, sayang. Kalau Mami sama Papi, justru menghindari berantem.”

“Kalau gak berantem, jadinya gak akan pisah rumah kan, Mam?”

Aku mengangguk ragu dan menghela napas panjang. Perceraian adalah goal-ku saat ini. Kami hanya menunda sampai batas waktu yang tidak menentu. Satu-satunya cara agar aku kembali waras adalah keluar dari keluarga super toxic Ino, terutama dari Lutfiah Hanum Caniago, ibu mertua iblis yang bertopeng malaikat.

“Sekarang Falla tidur ya. Besok kan mau ada presentasi soal planet Mars kan? Falla udah belajar belum?”

“Udah dong Mam. Hari ini aku udah bikin replika planet Mars dibantu sama Mba Ami. Habis itu, Mba Ami juga dengerin aku cerita soal planet Mars. Kata Mba Ami, besok presentasi aku bisa dapat nilai excellent.”

Mba Ami yang dibicarakan oleh Falla adalah baby sitter-nya sejak Falla berusia 2 tahun. Menemukan baby sitter yang telaten dan sayang dengan anak-anak memang tidak mudah. Beruntung aku memiliki Ami yang paham dan tahan betul dengan kondisi rumah kami.

“Pinter anak Mami. Besok kalau udah selesai presentasi, jangan lupa bilang makasih sama Mba Ami karena udah bantuin kamu ya.”

“Oke Mami….”

“Sekarang kita baca doa ya, terus tidur.”

Falla membaca doa sebelum tidur, lalu terlelap beberapa menit kemudian. Aku masih memeluknya, menghirup aroma tubuhnya, dan mentrasfer rasa cintaku padanya. Baru sekitar satu jam kemudian, aku turun pelan-pelan dari tempat tidurnya, dan keluar dari kamarnya. Sewaktu berjalan menuju kamarku, di ruang tengah sudah ada si brengsek yang duduk lemas sambil merebahkan kepalanya ke sandaran sofa. Tadinya aku mau langsung mendondernya dan mengatakan kalau mamanya sudah sakit jiwa. Tapi melihat bahasa tubuhnya yang kelelahan, aku mengurungkan niat. Aku jalan sepelan mungkin agar tidak membangunkannya. Sialnya, kakiku malah menendang salah satu mainan Falla yang tergeletak di lantai.

Ino bangun seketika dan mendapatiku freeze di hadapannya. Ino lalu tersenyum lelah padaku. Damn you Mulino! Bagaimana bisa masih ada senyum seperti itu di balik kebencian yang sudah aku tusukkan beribu-ribu kali selama kurang lebih tiga tahun ini?

“Falla udah tidur?” tanyanya.

Aku mengangguk pelan, lalu berniat langsung jalan menuju kamar.

“Anila…temanin aku duduk sebentar, boleh?”

Tidak. Tentu saja tidak! Lelahmu bukan urusanku. Masalahmu juga bukan urusanku. Kita sudah sepakat untuk mengurus diri masing-masing, menunda perceraian resmi sampai waktu yang tidak ditentukan. Tapi penolakan dalam kepalaku kalah oleh hatiku. Panggilannya atas namaku, nada suaranya yang memohon, membuatku luluh dan menggerakkan kakiku untuk duduk menemaninya, di sofa terpisah.

Thank you.” ucapnya, sambil kembali merebahkan kepala di sandaran sofa.

Ditemani versi kami sekarang, adalah menemani secara fisik saja. Tidak ada skin ship, pelukan untuk saling menguatkan, atau cerita untuk meringankan pikiran. Aku tidak tahu apa yang dilaluinya hari ini. Mungkin syuting yang sulit dan panjang. Film yang ia produseri sedang masuk dalam tahap produksi. Tidak mungkin produksi berjalan semulus itu.

Sudah tiga tahun ini Ino menjabat sebagai produser di salah satu PH ternama di Indonesia. Perjalanan kariernya memang penuh liku. Sewaktu kami masih pacaran, jabatannya hanya sebagai kameramen di PH tersebut. Lanjut ke tahun pertama pernikahan, ia dipercaya untuk menjadi DOP, dan sudah empat film sukses ia kerjakan saat menjadi DOP. Mr. Chairman, begitu kami memanggil owner PH tempatnya bekerja, menawarkan Ino untuk menjadi sutradara. Saat itu masuk tahun ketiga pernikahan kami, dan aku sedang hamil anak pertama. Sibuknya menjadi sutradara, ditambah waktu itu aku baru pindah kerja ke agensi dan menjadi tim kreatif, kami kehilangan nilai pernikahan.

Aku kira dengan pindah ke apartemen yang lebih besar dari Apartemen Semanggi miliknya, bisa membuat kami semakin hidup nyaman. Ternyata tekanan pekerjaan, waktu yang semakin sedikit untuk bertemu, lelahnya fisik saat kami sama-sama bisa berada di rumah, membuat kehidupan pernikahan kami kacau balau. Kami sering bertengkar. Anak pertama yang harusnya tumbuh di rahimku, harus rela kulepaskan saat baru berusia 9 minggu. 

Kehidupan pernikahanku berubah menjadi neraka saat Lutfiah Hanum ikut campur di dalamnya. Ia mengatakan aku perempuan super egois yang tega membuat dirinya kelelahan sehingga membuat calon anak pertama Ino keguguran. Ia juga menyinggung soal ketidaksuburan. Menurutnya, anak-anak perempuannya bisa langsung hamil saat menikah dulu. Sedangkan aku harus menunggu 3 tahun baru bisa hamil anak pertama. 

Ino membelaku mati-matian, but in the end, Lutfiah still her mother. Ino tidak punya kuasa untuk menjadi durhaka atas ibunya. Ino hanya memberikanku waktu 4 bulan masa berkabung kehilangan anak pertama, sampai akhirnya ia memaksa untuk berhubungan seks kembali. Dari dua kali percobaan berhubungan seks, aku kembali hamil. Walaupun masih trauma akan keguguran anak pertama, tapi harus kuakui kalau aku merasa senang. Selama trimester pertama, aku benar-benar menjaga diriku agar bayi ini bisa berkembang dan kulahirkan ke dunia. 

Ketika memasuki usia kandungan di mana jenis kelamin sudah bisa terlihat, bayi yang ada dalam kandunganku menyapa dengan jenis kelamin perempuan. Ya, itu Falla. Setelah tahu bahwa anak yang kukandung perempuan, Ino dan Lutfiah membangun penjara dan dinding super tinggi yang tidak bisa kupanjat.

Lutfiah memaksaku untuk berhenti kerja, agar bayi yang kukandung bisa tumbuh normal. Ino memintaku hanya di rumah saja, tidak melakukan apa. Awalnya kupikir itu adalah rasa cinta Ino, agar aku bisa rileks dan menjaga kandunganku. Tapi ternyata tinggal di rumah, di apartemen lantai 28, artinya aku dikunci seorang diri. Aku tidak bisa keluar sama sekali. Lutfiah menyuruh PRT di rumahnya untuk pindah ke apartemen dan mengawasiku agar tidak melakukan aktivitas berat. Bahkan untuk menyetir ke supermarket saja, aku tidak diperbolehkan keluar tanpa Ino. 

Kunjungan-kunjungan dadakan Lutfiah selalu membuatku tidak nyaman. Yang selalu ia pegang adalah perutku. Yang ia puja-puja adalah calon anakku. Seolah-olah, aku hanya perantara untuk melahirkan cucunya nanti. 

“Kamu tahu apa yang membuat kamu berharga saat ini, dan sampai nanti? Calon anak yang akan kamu lahirkan. Dia akan menjadi perempuan Caniago, dengan atau tanpa marga. Hartaku dan semua aset-asetku akan kuturunkan atas namanya. Tugasmu menjaga anak ini sampai memasuki usia dewasa, saat ia sudah memiliki hak atas dirinya sendiri dan bisa menandatangani semua warisanku. Kalau aku mati sebelum usianya dewasa, aku tetap akan memastikan ia dan anak-anak perempuanku, akan mendapat semua warisanku. Jangan bermimpi untuk memilikinya juga, dasar Sinaga.”

Tepat saat itu, keinginan untuk membunuhnya selalu timbul. Aku ingin menggorok lehernya dan memutus pita suaranya. Aku ingin ia bersimbah darah dan terdiam selamanya. Aku tahu, pertama kali saat Ino mengenalkanku sebagai pacarnya, bukan perempuan Batak yang ia harapkan bisa menjadi menantunya. Ia mengharapkan Kinari, Koto, atau Dalimo yang bisa menjadi menantunya. Aku pun butuh perjuangan saat akan mengenalkan Ino ke Sinaga tua itu. Ia juga mengharapkan Nasution, Lubis atau Siregar yang bisa menjadi penerusnya. 

Sampai di titik di mana kami memutuskan living together tanpa pernikahan, baru kedua belah pihak menyetujui. Akhirnya untuk menghargai Sinaga tua dan Caniago gila itu, kami mengambil keputusan untuk menikah di KUA, tanpa resepsi. Kami toh bukan anak kebanggan keluarga, jadi rasanya menikah tanpa resepsi bukan masalah untuk mereka.

“Nil, kamu sakit apa?” tanya Ino dengan mata terpejam.

Pertanyaan ini lagi. Kemarin kupikir ia sudah melupakan tentang kondisiku. Ternyata ia masih tetap Ino, tidak akan berhenti bertanya sampai dapat jawaban.

“Asam lambungku naik. Mungkin stres atau kecapean. But it’s fine.

Ino bangun dari rebahnya, dan menatapku. “Kalau butuh apa-apa, kalau butuh ditemenin, bilang aku ya. Anytime. Just tell me.

“Kita udah sepakat untuk urus diri masing-masing.”

“Iya, aku akan urus diriku. Tapi aku gak menutup pintu kalau kamu mau masuk lagi. Dan aku juga tetap mau terlibat dihidup kamu.”

Then kill your mother, you son of a bitch!

***

Siang itu aku menyelesaikan meeting dengan orang-orang dari Mobil M. Mereka sepakat untuk memakai jasa agensi kami untuk me-launching produk mereka. Saat meeting akan bubar, perempuan yang sedang hamil besar di meja sebelah kami tiba-tiba berteriak kesakitan. Kakinya sudah basah oleh cairan. Ketubannya pecah.

Saat kehebohan terjadi, ingatan terdalam dan tersakit yang aku simpan selama lima tahun ini, tiba-tiba muncul lagi dalam hitungan detik. Aku sesak napas. Kuraih apa saja yang bisa membantuku untuk tetap berdiri. Seseorang menangkap tanganku. Entah siapa. Sekelilingku terlihat kabur. Badanku berkeringat hebat. Aku bisa mendengar samar suara gaduh dalam restoran. Beberapa berteriak menyuruh menelepon ambulance. Sebagian berteriak memanggil-manggil namaku. Dan tiba-tiba, semuanya menjadi gelap.

***

MULINO RAVENTO CANIAGO

I RUIN HER LIFE

Aku memutuskan untuk menikah saat berusia 30 tahun, dan Anila waktu itu masih 25 tahun. Kami pacaran 2 tahun. Hubungan putus-nyambung terpanjang dalam hidupku, tapi tetap aku nikmati. Tidak peduli ratusan kali Anila memintaku untuk meninggalkannya, karena masalah perbedaan suku kami, aku tetap bertahan dan yakin, kalau Anila orangnya. Kalau ditanya kapan aku yakin kalau satu-satunya wanita yang bisa berada di sisiku hanya Anila, aku bisa langsung menjawab, on the first morning after our first sex.

Aku terbangun lebih dulu dan mendapati Anila masih tidur dalam pelukanku. Rambutnya berantakan, sisa makeup-nya belum dibersihkan. Lengannya memar bersemburat biru. Mungkin tenagaku terlalu kuat mencengkeramnya semalaman. Ia kemudian bangun dan mendapatiku sedang memandangnya.

Good morning, sunshine…” ucapku sambil membelai rambutnya.

Iya tidak menjawab apa-apa. Aku bisa melihat setetes air mata mengalir dari matanya, melewati batang hidungnya. Aku tahu arti tangisan itu. That was her first.

I can't imagine anyone else waking up next to me after this.” ucapku, yang bisa kupastikan memiliki arti yang sebenarnya, bukan sebagai kalimat penenang.

Don’t leave me.” Anila memohon dalam bisikan.

Aku meraupnya dalam pelukanku. “I won’t…

***

Jam setengah dua siang, saat syuting masih berjalan, teleponku tidak berhenti berdering. Sunshine. Anila. Sebelas kali panggilan dan tidak terjawab olehku. Aku langsung menelepon balik. Pasti ada yang tidak beres. Pada panggilan pertama, telepon langsung diangkat. Suara laki-laki.

“Anila mana? Ini siapa?” tanyaku kasar.

“Mas, mas temannya Mba Anila atau keluarganya?”

“Saya suaminya. Anila mana?!” aku kembali menggertak tidak sabaran. 

“Mas, saya teman kantornya Mba Anila. Sekarang kami lagi dalam perjalanan ke rumah sakit. Mba Anila tadi abis meeting tiba-tiba kolaps dan pingsan.”

Darahku tiba-tiba mendidih mendengar kalau Anila pingsan. “Rumah sakit mana?”

“Cahaya Bunda, Mas.”

Aku meninggalkan lokasi syuting tanpa pamit. Kuminta Irfan, sopirku, untuk mengebut secepat dia bisa. Anila kolaps dan pingsan bukan hal wajar untukku. Dia pernah rutin kolaps dan pingsan dua tahun pertama setelah melahirkan Falla. I don’t want her suffer anymore. Aku mengecek nama-nama di handphone dan melakukan panggilan pada nama Rengga. Dia adalah salah satu temanku di rumah sakit Cahaya Bunda, yang dulu menjadi psikiater Anila pasca melahirkan Falla.

“Halo Ga, lo lagi tugas?”

“Ini baru selesai. Tadi gue praktek pagi.”

“Ga, Nila kolaps dan pingsan. Dia lagi otw dibawa temennya ke rumah sakit lo. Bisa tolong lo urus dulu sebelum gue sampe?”

“Oke No. Gue langsung siapin kamar aja biar Anila gak harus lama di UGD.”

Thank you, Ga.”

Aku kalut sepanjang jalan. Pasti ada pemicu kenapa Anila kolaps dan pingsan. Dulu, selama dua tahun sesi terapi dengan Rengga, Anila sudah bisa meredam traumanya dan hidup normal. Sesekali minum penenang saat stres berat. Selebihnya, Anila bisa menjalankan aktivitas normal sampai sekarang.

Kira-kira satu jam perjalanan, mobilku akhirnya memasuki parkiran rumah sakit. Aku menelepon Rengga dan ia mengatakan kalau Anila sudah ditangani dan berada di kamar 503. Aku langsung naik lift menuju lantai lima. Ketika membuka pintu, aku mendapati Rengga sedang mengecek infusan Anila.

Calm down, she’s fine.” kata Rengga padaku.

“Dia kenapa?”

“Tadi temennya yang bawa dia ke sini bilang, kalau mereka baru aja selesai meeting di Bistro. Pas mau pulang, pelanggan di meja sebelah mereka teriak kesakitan. Dia lagi hamil tua dan air ketubannya pecah. Istri lo panik, dan badannya langsung keringat dingin. Tiba-tiba sesak napas, dan pingsan. I guess we know the trigger for her to be like that.

Aku menghela napas. Entah lega atau ketakutan. Aku duduk di kursi samping tempat tidur dan memegang tangannya erat. Wajahnya pucat, sepucat dulu saat ia baru saja melahirkan Falla. Seketika, memori menyakitkan itu menyeruak di kepalaku.

***

Aku tidak ada di samping Anila waktu ia melahirkan Falla. Saat itu aku sedang syuting di luar kota. Kelahiran Falla lebih cepat dua minggu dari perkiraan. Anila sedang berada di kamar mandi saat ia terpeleset dan membuat air ketubannya pecah seketika. Ia berteriak minta tolong. Pengurus rumah langsung menelepon mama, dan mama langsung mengambil alih.

Ambulance langsung didatangkan mama ke apartemen, dan mereka menuju rumah sakit pilihan mama, Cahaya Bunda. Rumah sakit itu sama sekali tidak memegang rekam medis Anila selama proses kehamilan. Sampai di rumah sakit, mama langsung menyuruh untuk operasi caesar, padahal Anila sudah mengatakan padaku bahwa ia ingin lahiran normal. Dokter kami pun memantau kalau Anila bisa lahiran normal. Semuanya hancur karena mama.

Anila meronta tidak ingin lahiran caesar. Tapi kuasa mama lebih hebat. Tanpa pendampingan suami, jelas keputusan mama lah yang didengar oleh dokter. Terlebih, dokter tersebut adalah salah satu teman mama.

Rengga yang pertama kali mengenali Anila yang sedang dibawa ke ruang operasi. Ia langsung meneleponku dan mengatakan kalau Anila ada di rumah sakitnya. Aku panik. Kutelepon pengurus rumah dan mendapati kabari kalau Anila sudah mau lahiran. Aku langsung mencari penerbangan tercepat.

Sayangnya semua terlambat. Ketika aku sampai di sana, Falla sudah lahir. Mama yang mengadzankannya. Mama yang menunggui Falla di luar ruangan yang penuh bayi. Aku langsung menemui Anila di kamarnya. Matanya bengkak, wajahnya luar biasa pucat. Beberapa dokter berusaha mengikat tangannya agar infusnya tidak lepas lagi.

“Apa-apaan ini?!” aku membentak saat tahu Anila diperlakukan seperti orang yang dipasung.

“Bapak siapa?” tanya salah satu perawat.

“Saya suaminya.”

Dokter yang ada di ruangan lalu mengajakku keluar ruangan dan menjelaskan semua kejadiannya. Mama menandatangani berkas untuk prosedur operasi caesar. Pihak rumah sakit tidak tahu banyak soal kondisi Anila, karena ia tidak punya rekam medis di sana. Melihat ketuban yang sudah pecah, dokter akhirnya mengambil langkah teraman, yaitu operasi caesar. Saat operasi caesar, Anila hanya menerima anastesi dari pinggang ke bawah. Sehingga saat Falla lahir, Anila dalam kondisi syok dan menangis tanpa henti. Mama sibuk mengurusi cucu perempuan pertamanya. Ia sama sekali tidak mendampingi Anila. Bahkan saat Anila keluar dari ruang operasi dan diantar menuju kamar, tidak ada siapa-siapa yang menemani.

Hatiku hancur. Remuk redam. Aku tidak bisa memaafkan diriku yang membiarkan Anila sendirian menghadapi semua ini, menghadapi kekejaman mama. 

“Saat ini kondisi Ibu Anila sedang tidak stabil. Saya menyarankan pendampingan psikiater pasca melahirkan untuk Ibu Anila. Rumah sakit kami memiliki fasilitas itu, Pak. Jika bapak bersedia, saya bisa menyuruh perawat untuk membawakan form-nya dan nanti Bapak bisa bertemu langsung dengan psikiaternya.”

“Rengga Alfarisi….di sini ada psikiater yang namanya Rengga Alfarisi kan, Dok?”

“Iya, dokter Rengga salah satu psikiater di sini.”

“Saya mau dia, Dok.”

Akhirnya aku setuju untuk menandatangi form pendampingan psikiater untuk Anila. Saat aku masuk ke ruangan, Anila sudah terkulai lemah. Ia baru saja diberi penenang. Matanya menahan kantuk. Aku berusaha untuk mendekatinya. Ia mengucapkan satu kalimat, diucap berulang kali, ratusan kali, ribuan kali.

Kill me…kill me…kill me…kill me…kill me…kill me… kill me…kill me…kill me… kill me…kill me…kill me… kill me…kill me…kill me… kill me…kill me…kill me… kill me…kill me…kill me… kill me…kill me…kill me… kill me…kill me…kill me… kill me…kill me…kill me… kill me…kill me…kill me… kill me…kill me…kill me… kill me…kill me…kill me…

Saat itu, aku ingin segera membunuhnya, mengakhiri penderitaannya, lalu bunuh diri menyusulnya.

***

Efek dari mama ikut campur ke dalam proses lahiran Anila ternyata tidak berhenti sampai di situ. Anila stres hanya gerbang menuju kehancuran hubungan kami. Anila mentah-mentah menolak untuk menyusui Falla. Ia bahkan menolak Falla masuk ke ruangannya. Ia berteriak pada siapa saja yang datang dan masuk. Aku bertahan berada di dalam, walaupun ia selalu berusaha memukul dan melempar apa saja ke arahku. Rengga bilang, Anila mengalami fase baby blues akibat stres dan trauma. Aku mencoba menghubungi ayahnya, menjelaskan tentang kondisi Anila. Mungkin kalau bertemu dengan anggota keluarganya, Anila bisa lebih tenang. Tapi laki-laki tua itu memang sialan. Bukannya khawatir dengan kondisi anaknya, ia malah tidak mau tahu soal anaknya, apalagi cucu perempuannya.

“Kau sudah nikahi dia, sekarang dia jadi tanggung jawabmu sampai dia mati. Kecuali kau berniatkan ceraikan dia, baru aku akan ambil lagi anakku. Urusan anakku dan cucuku, itu urusanmu.”

Oh God, what kind of family did You give to me and Anila?

***

Anila membuka matanya perlahan. Aku tidak sekali pun meninggalkannya. Aku mendekatkan diri ke arah wajahnya. Sebulir air mata menetes. Aku hanya memandangnya. Makin lama, air matanya makin deras. Aku tahu alasannya menangis. Kuraup tubuhnya ke pelukanku agar ia bisa menangis sepuasnya.

***

Tangisan Anila berlangsung satu jam lebih. Bajuku sudah basah kuyup. Anila sudah terbatuk dan muntah-muntah. Hidungnya penuh lendir dan membuat dia sulit bernapas. Beberapa kali ia tersedak dan kembali muntah.

Sebelum Falla lahir, aku tidak pernah melihat Anila menangis sesegukan. Aku yakin, selain kematian ibunya, ia pasti tidak pernah menangis sehebat ini. Tapi sejak aku masuk ke kehidupannya, memaksa dia berhubungan seks untuk mendapatkan Falla, Anila berubah menjadi wanita yang tidak pernah kubayangkan. Rapuh. Berantakan. Menyerah terlalu cepat. I ruin her life.

“No….” panggilnya. Ini pertama kali sejak sekian lama, ia mau memanggil penggalan namaku.

“Iya Nil…”

Let’s get divorce. Kalau mama kamu mau ambil Falla, just take her. Anggap aja aku gak sayang Falla. Kalian boleh ambil dan rawat dia. Kalian boleh bilang kalau aku pergi ninggalin dia. Sampai dia besar, sampai dia nanti akan menikah, jangan pernah suruh dia untuk cari aku. Just let me go, No…

Aku menarik napas panjang. Ratusan kali aku sempat terpikir untuk setuju bercerai dengan Anila. Bukan karena aku tidak sayang dengannya, tapi mungkin tanpa aku, tanpa keluargaku, hidupnya akan kembali lagi seperti dulu.

Selama dua tahun ia berjuang melawan depresi dan traumanya dengan bantuan Rengga, aku tahu bahwa penyebab semua itu adalah aku dan keluargaku. Setelah ia mulai bisa hidup normal dan menginginkan untuk kembali bekerja, maka tidak kularang sama sekali. Aku mengizinkan Anila untuk kembali bebas. Hanya saja, jauh di dalam hatiku, aku tahu, bukan kebebasan seperti itu yang ia harapkan.

Do you love me?” aku bertanya padanya.

Just you. I love just you. I hate your mother, I hate your family, I even hate Falla sometimes.” 

Sudah, aku tidak sanggup lagi melihatnya begini. Aku harus mengalah.

Okay. Let’s get divorce…”

***

ANILA KATRINA 

HERE’S COME THE DAY

Dua tahun sudah aku hidup sendiri lagi. Aku pindah dari apartemen mewah milik Ino ke apartemen studio milikku sendiri. Aku tidak butuh penthouse untuk membuatku bisa hidup nyaman dan waras. Cukup pulang ke rumah, tanpa ada siapa-siapa, tanpa ada perasaan akan dijatuhkan, sudah membuatku merasa bersyukur bisa tetap hidup sampai sekarang.

Pekerjaanku pun berjalan lancar. Kini lebih banyak project yang langsung kutangani sendiri. Gaji dan bonusku sudah cukup menggendut di rekeningku. Bisa kunikmati untuk masa tuaku bersenang-senang. 

“Nil, mau ikut kita gak buat dinner sama orang Go Travel?”

Go Travel bukannya pegangannya Aska ya?”

“Iya, tapi mereka undang kita buat dinner bareng. Katanya lo juga boleh ikut.”

“Duh, enggak deh. Gue malam ini ada janji.”

“Iya deh, yang hubungannya lagi mesra-mesranya.”

Aku tersenyum, lalu keluar kantor. Di dalam lift menuju parkiran, handphone-ku berbunyi. Satu pesan masuk. Windmill.

- Aku udah di apartemen kamu ya. Can't wait to celebrate our anniversary

- Can't wait to 'riding' you, too

- Damn Anila! I hope you wear my favorite sexy underwear

Kami berbalas pesan dengan kesan nakal. Aku pernah baca beberapa artikel, bahwa foreplay bisa dimulai dari dirty message. It works. Aku sudah mulai merasakan gairah ketidaksabaran untuk bertemu dengan dia.

***

Malam anniversary kami dihabiskan dengan sangat liar, intens, dan tanpa jeda. Aku tahu laki-laki pilihanku ini tidak akan mengecewakan, baik di ranjang atau pun untuk urusan sehari-hari. Aku menyukai tangan kekarnya, pelukan hangatnya, dan bagimana dia bisa mengendalikan keadaan, dari yang berantakan, tidak tahu ujungnya ada di mana, sampai menemukan win-win solutin. Jelas apa yang diberikan laki-laki ini, jauh berbeda dengan apa yang diberikan si brengsek dulu.

Jam setengah empat pagi, handphone laki-laki hebatku berbunyi. Ia harus buru-buru pulang, karena mendapat kabar kalau ibunya masuk rumah sakit.

***

Jam delapan pagi, aku mendapat kabar kalau ibu dari lelakiku meninggal dunia. Aku ingin berada di sisinya, tapi ia melarang. Ia mengatakan aku boleh datang langsung ke pemakamannya jam dua siang nanti. Ia berencana ikut mobil ambulance dan ingin pulang bersamaku. Aku setuju. Aku cuti dari kantor hari ini.

***

Banyak orang yang datang saat pemakaman. Aku enggan mendekat, karena kulihat lelakiku masih berduka dan sibuk melayani salaman dan pelukan dari kerabat-kerabat yang berdatangan. Aku berdiam diri di mobil, menunggu suasana kondusif.

Setelah satu per satu kerabat meninggalkan makam, sampai akhirnya hanya lelakiku dan seorang anak perempuan berdiri di samping makam, aku baru memutuskan untuk datang menghampiri. Aku langsung memeluk anak perempuan yang berlari ke arahku. Lelakiku pun langsung memeluk kami. Ia masih menangis sebentar. Tidak lama, ia melepaskan pelukannya, menggandengku menuju makam ibunya. Aku membaca nisannya.

LUTFIAH HANUM CANIAGO

BINTI

NURACHMAN SUTARDJI

Hello mother in law. I hope God burns you every time you are revived. I hope not once in there, you feel comfortable or get God's forgiveness.” ucapku dalam hati.

“Mami, sekarang mami udah bisa tinggal sama-sama aku dan Papi lagi kan?” Falla bertanya penuh harap.

Forever…” bisikku ke telinganya.

Ino mengusap air mata terakhirnya. Ia lalu menggandeng tanganku dan Falla. Sebelum sampai ke mobil, Ino sempat berbisik padaku.

I think Falla needs a sister or brother. She was too selfish and spoiled for these 7 years.

Your place or my place?” tanyaku, mengulang kata-katanya yang dulu.

My place…forever…

***

MULINO RAVENTO

EPILOGUE

Jadi kalian bertanya-tanya, bagaimana bisa Anila tetap ada dalam kehidupanku, tetap sah menjadi istriku dan ibu yang selalu hadir untuk Falla? Tentu saja dengan alur penipuan yang sudah kurancang dan kujadikan kartu AS sampai saatnya tiba.

Saat Anila meminta untuk cerai di rumah sakit, dan kusetujui, besoknya aku langsung membawa akta perceraian ke rumah sakit. Anila bingung. Kenapa sudah ada akta cerai atas namaku dan namanya, dan sudah ditandatangani, tentu dengan tanda tangan palsu dan stempel palsu.

I don’t understand…” ucapnya waktu itu.

“Kita bercerai. Atau bisa dibilang, kita pura-pura bercerai. Aku akan ngomong ke pengacaraku untuk bikin wacana ke mama kalau kita sedang mengurus perceraian. But actually there will never be a divorce between us. Biarin mama berpikir kalau kita memang akan pisah.”

“Oke, terus…?”

“Mama akan ribut soal hak asuh. Menurut negara, sampai usia 12 tahun, jika ibunya tidak bermasalah, anak akan ikut dengan ibunya. Lagi-lagi aku akan minta pengacaraku bercerita ke mama, kalau kamu tidak menuntut hak asuh, dikarenakan kondisi mental kamu yang tidak stabil. Then Falla will be with me, will be with my mother…

“Ino…waktu kemaren aku bilang kalian boleh ambil Falla… I'm getting emotional for a moment. Aku gak mau pisah dari Falla.”

“Aku tahu, sayang. Minimal seminggu 3 kali aku pastiin kamu bisa ketemu Falla tanpa hambatan.”

“Dan perempuan gila itu akan tetap meneror aku. Perceraian palsu ini gak ada artinya kalau mama kamu tetap bisa menjangkau aku.”

Trust me, she will never be able to reach you again.

How?

Do you have money? Maksudku, uang atas nama kamu sendiri tanpa adanya campur tangan gajiku?”

Yes…”

“Bisa untuk beli apartemen tipe studio?”

Maybe…”

“Oke, pakai uang itu untuk beli apartemen studio secara cash. Tarik uang kamu langsung dalam jumlah banyak, dan mama akan bisa men-tracking itu. Penarikan uang dalam jumlah banyak akan membuat dia berpikir kalau kamu memang pergi dari hidup aku untuk membeli rumah sendiri dan memulai hidup yang baru. Cari apartemen di kawasan yang biasa-biasa aja.”

Anila masih terlihat bingung. Ia mencoba menerka ujung dari skenarioku.

“Terus…?”

“Proses perceraian bisa makan waktu lama kalau kedua pihak ikut hadir saat sidang. Kamu harus kongkalikong juga sama pengacara kamu untuk pura-pura sedang urus perceraian kita, dan memberikan kuasa sepenuhnya ke dia untuk urus semuanya. Kalau kita sama-sama gak hadir di persidangan, proses cerai akan berjalan cepat.”

Wait…wait….gimana caranya kita memainkan akting ini dipersidangan? Kamu mau bayar hakimnya juga?”

“Anila…sweetheart, there will never be such a thing as a divorce trial. Kamu tahu kan, koneksi mamaku di setiap bidang pekerjaan banyak dan kuat. Bukan gak mungkin ada satu orang yang disuruh mama untuk mengorek informasi dari pengacaramu. Our lawyers must have the same story to convince my mom, that we are indeed dealing with a divorce.

Anila mengangguk, sepertinya sudah mulai mengerti.

“Terus gimana caranya bawa Falla ke apartemenku tanpa ketahuan mama?”

Another scenario, of course. Dua sampai tiga bulan setelah kita cerai nanti, aku akan bikin kesan seolah-olah udah punya pacar lagi. Anonymous. Kali ini aku harus minta kamu potong rambut atau pakai wig kalau kita lagi ketemuan. Pakai aksesori apa pun yang bikin diri kamu beda dari sekarang. Aku akan datang ke apartemen atau hotel bareng Falla untuk ketemu sama 'pacar baruku'. Orang-orang suruhan mama akan bilang nanti kalau aku memang sudah punya pacar baru.”

“Menjelaskan skenario ini ke Falla bukan urusan gampang, No. Dia pasti akan susah untuk negerti.”

She’s your daughter. Dia pintar dan cerdas. Dia pasti akan ngerti. Aku pastiin dia akan ngerti. Bagian ngomong sama Falla, biar aku yang tanganin.”

“Dan mama pasti akan minta dikenalin secepatnya sama pacar baru kamu yang anonymous itu. I know your mother, No…

“Itu juga bagianku. Itu tugas aku menahan selama mungkin untuk gak bawa pacar baruku kenalan sama mama.”

“Sampai kapan kita akan jalanin skenario ini?”

Mom’s death….

Then what do we get from pretending like that?

Your freedom. Ada hal yang harus aku bayar dan aku perjuangkan untuk tetap mempertahankan kamu.”

Isn't a real divorce much easier than this?

I told you before, I can't imagine anyone else waking up next to me.

Anila mendekatkan wajahnya padaku. Ditatapnya mataku. Aku mengenal tatapan itu. Tatapan yang selalu ia berikan padaku sebelum adanya Falla.

You know, we used to always believe that we would strengthen each other. My name and hers are destined to complete each other. Anila is the wind, Mulino a Vento is the windmill. Kita memang sudah ditakdirkan bersama.

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi