Disukai
4
Dilihat
1,266
Hanya Sebatas Kerikil Kecil
Slice of Life

Bekerja di kota besar dengan gaji dua digit atau lebih mungkin menjadi impian sebagian orang. Apalagi jika berlokasi di lantai belasan sebuah gedung pencakar langit yang ada di ibu kota. Itu sebuah impian, karena pada kenyataannya diterima bekerja pada perusahaan swasta yang hanya terdiri tiga lantai sudah cukup untuk disyukuri. Setidaknya biaya hidup selama di ibu kota masih bisa tercukupi walau setiap hari harus menyiapkan banyak stok kesabaran. Hal itu yang dirasakan oleh Thalita Nahwa, gadis 26 tahun seorang karyawati pada perusahaan swasta di tengah ramainya ibu kota.

Thalita telah bekerja selama dua tahun di perusahaan swasta yang tidak bisa dikatakan kecil. Meski hanya bertempat pada gedung dengan tiga lantai, perusahaan itu telah memiliki banyak karyawan dan beberapa cabang yang tersebar di Indonesia. Beruntung bagi Thalita bisa di tempatkan langsung pada perusahaan cabang di ibu kota tanpa perlu susah payah berkinerja baik agar dilirik pimpinan. Namun, bekerja di tempat yang enak, tidak melulu harus merasakan kenyamanan.

“Gila sih! Masak laporan segedhe gunung itu enggak dikerjakan juga?” protes salah seorang rekan kerja Thalita diiringi dengan suara gebrakan meja yang tentu bisa di dengar seluruh orang di ruangan.

“Kenapa, Bang Nan?” tanya Thalita yang sejak tadi hanya menyimak bagaimana rekan kerjanya menahan emosi.

Thalita bekerja dengan empat rekan kerja lainnya. Salah satunya Nando, senior paling lama di bidang sumber daya manusia. Sudah sangat hafal jika Nando memiliki sifat yang bar-bar dan paling berani melawan pimpinan. Bukan sekali dua kali hal yang dirasakan para karyawan terjadi di bidang Thalita. Memang sudah bukan rahasia umum jika salah satu pimpinan di tempat kerja gadis itu memiliki perangai buruk. Bukan perihal sikap, melainkan kinerja yang sama sekali tidak kompeten.

“Tuh, lo lihat sendiri aja. Berkas udah numpuk bukannya dikerjain, malah ngilang entah ke mana,” ujar Nando dengan raut wajah emosi.

Seluruh pasang mata menatap ke arah ruangan Thalita saat suara Nando menggelegar. 

“Kan butuh menenangkan diri dulu, Nan,” timpal Ardi, rekan kerja Thalita yang juga sama-sama senior.

Nando hanya terlihat mendengkus. Sementara itu, Thalita turut menggeleng pelan melihat dua seniornya sudah saling menimpali. Mata bulat gadis itu melirik sebentar ke arah ruangan atasan yang kosong dengan tumpukan berkas di meja. Rasanya hanya bisa menghela napas karena hampir setiap hari selalu seperti itu. Namun, di mata pimpinan tertinggi, semua seolah tidak terlihat.

The power of jabatan suami. Thalita membatin karena memang kenyataan itu telah tersebar luas di perusahaan. Namun, dia tidak bisa melakukan apa-apa, karena sadar akan posisinya yang hanya sekadar kerikil kecil di tempat bekerja.

Tidak hanya para kantor pemerintahan yang menggunakan kekuatan orang dalam untuk mempertahankan jabatan, sebagian perusahaan swasta seperti tempat kerja Thalita pun masih banyak praktik seperti itu. 

“Tha, makan siang enggak?” tanya seorang gadis yang hampir sepantaran dengan Thalita.

Dia salah satu rekan kerja Thalita yang juga merupakan teman dekatnya.

“Kantin saja ya, Far. Masih banyak kerjaan yang harus dikirim hari ini,” jawab Thalita segera diangguki oleh rekan kerjanya yang bernama Farah.

“Mbak Sari ikut enggak?” ajak Thalita ke salah satu rekan kerjanya yang lain.

“Skip dulu deh. Mau makan di ruangan saja. Nanggung kerjaan masih dikit lagi,” jawab Sari.

Thalita hanya mengangguk sekilas. Dia dan Farah segera melangkah untuk meninggalkan ruangan meski sebenarnya belum memasuki jam istirahat. Mereka berdua seperti tidak peduli karena pimpinan yang seharusnya mengawasi bawahannya saja sering menghilang entah ke mana. Mau mengeluh juga entah kepada siapa. Perusahaan besar itu tidak memiliki cukup ruang untuk menampung seluruh keluh-kesah pegawainya.

“Capek rasanya. Tiap hari kok disuruh sabar terus. Lo ngerasa gitu juga enggak, Tha?” tanya Farah yang baru merasakan beratnya bekerja di bidang sumber daya manusia dengan pimpinan tidak kompeten.

Gadis yang memakai setelan sederhana itu hanya tersenyum tipis mendengar keluhan rekan kerjanya. Dulu ketika Thalita baru diterima bekerja di perusahaan, dia merasa mendapatkan tantangan baru dan berusaha dengan baik untuk menyelesaikan seluruh tugas. Namun, itu hanya bertahan selama beberapa bulan setelah mengetahui bagaimana kinerja dari sang pimpinan. Dia pernah merasakan hari-hari berat hingga menangis lantaran kesal dengan sikap pimpinan di bidangnya.

“Itu kapan sih Bu Lusi pindah? Atau enggak sekalian resign deh,” keluh Farah lagi.

“Coba tanyain ke suaminya, he he he,” timpal Thalita dengan niat sedikit bercanda.

“Yeee, kita cuma remahan rengginang, Tha. Yang ada malah kita entar kena mutasi ke cabang kecil. Lo emang mau gitu di tempatkan di pelosok?”

Tawa renyah Thalita berikan saat mendengar omongan Farah. Tidak salah memang apa yang dikatakan oleh rekan kerjanya itu. Meski memiliki saluran pengaduan, bukan berarti tempat itu bisa memberikan efek jera kepada pegawai yang tidak berkompeten seperti pimpinan di bidang Thalita. Malah semua bisa berbalik kepada diri sendiri, seperti dimutasi ke kantor cabang yang jauh dari perkotaan. Semua pegawai menghindari itu, sehingga membuat mereka memilih menyimpan penat di dalam hati.

“Sabar, Far. Ingat Tuhan itu enggak tidur,” ucap Thalita untuk sedikit mendinginkan teman dekatnya.

Farah mencebik kesal. Rasanya tidak ada yang merasa tenang untuk menghadapi pimpinan bernama Bu Lusi itu. Setiap hari selalu membuat ulah hingga mengundang amarah. Sayangnya, Thalita dan yang lain hanya kerikil kecil di perusahaan. Mau protes atau apa pun itu sangat sedikit didengarkan. Entah karena memang sengaja atau sekadar merasa tidak nyaman dengan pekerjaannya, sehingga membuat wanita paruh baya yang menjabat sebagai pimpinan itu sering mengabaikan.

Suara pemberitahuan dari ponsel Thalita sedikit mengalihkannya dari perbincangan. Mereka kini sudah berada di kantin dengan makanan yang tersaji di hadapan. Farah hanya menyimak sambil menikmati nasi soto ayam yang menghangatkan. Sementara itu, Thalita tampak memejamkan mata setelah melihat pesan yang muncul pada layar ponselnya.

“Kenapa?” tanya Farah saat melihat raut wajah Thalita berubah.

Gadis bermata bulat itu tidak menjawab. Dia hanya menyodorkan ponsel sambil kembali melanjutkan kegiatan makan.

“Wah! Apaan, nih? Udah hampir seharian ngilang, malah tiba-tiba minta laporan dipercepat. Dahlah, Tha. Mending kita makan dulu. Urusan Bu Lusi bisa belakangan,” ucap Farah.

Thalita hanya mengangguk menyetujui. Mereka menghabiskan sedikit waktu untuk beristirahat sambil melepaskan penat di dalam hati. Meski sejujurnya itu mustahil untuk dilakukan karena sudah ada pekerjaan yang menunggu.

Sampai kapan harus begini terus. Thalita mengeluh dalam hati diiringi dengan helaan napas pelan saat dia melangkah menuju ruangan bersama Farah.

Berat rasanya untuk kembali ke ruangan yang setiap hari selalu diliputi oleh drama pimpinan. Mungkin akan terasa kosong jika tidak berulah dalam satu hari. Kali ini Thalita harus kembali menelan kesabaran saat melihat laporan apa yang diminta. Ditambah jangka waktu penyelesaiannya hari ini juga. Sebenarnya surat dari bagian pimpinan tertinggi sudah diterima wanita paruh baya itu sejak dua hari yang lalu. Memang dasarnya Bu Lusi yang suka menghilang, sehingga membuat keterlambatan dalam penyampaian informasi.

“Bu, lain kali jangan begini. Ini surat sudah dua hari yang lalu Ibu terima dan baru sekarang disampaikan kepada saya. Padahal jika Ibu berikan kemarin, masih ada waktu untuk saya kerjakan,” protes Thalita tepat di hadapan Bu Lusi.

Wanita paruh baya itu bergeming sebentar sebelum memberikan jawaban yang tidak mengenakan untuk Thalita.

“Pekerjaan di bagian Sumber Daya Manusia itu semua penting. Kalo kamu tidak bisa, biar lainnya yang mengerjakan,” jawab Bu Lusi dengan santai.

Sementara itu, Thalita hanya bisa tersenyum remeh. Meski sebenarnya gadis itu pendiam, tetapi jika sudah berhadapan dengan pimpinan seperti Bu Lusi, maka tidak bisa begitu saja mengabaikan. Selama ini Thalita sudah cukup bersabar menghadapi pimpinan yang selalu abai terhadap pekerjaan. Bahkan dia sering berinisiatif sendiri melakukan pengawasan data yang seharusnya dilakukan oleh seorang pimpinan.

“Benar, semua itu penting, Bu Lusi. Tapi, memangnya selama ini Ibu mengerjakan apa? Berkas di meja Ibu jika kami tidak bilang, mana mungkin Ibu akan menyentuhnya. Jadi, bagian mana dari makna penting menurut Ibu?” ucap Thalita dengan wajah datar.

Seluruh pasang mata yang ada di ruangan hanya bisa terdiam saat mendengar ucapan Thalita. Mereka tidak menyangka jika gadis yang terkenal pendiam bisa mengatakan hal itu di depan pimpinan. Thalita sendiri langsung memilih pergi menuju ke mejanya dan sedikit membanting berkas yang baru saja diberikan oleh Bu Lusi. Tidak ada yang berani menegur di saat gadis itu dalam mode senggol bacok. Bahkan wanita paruh baya yang sempat membanggakan diri dengan mengatakan perihal pekerjaannya juga tidak bisa membantah.

Thalita kembali menghela napas. Dia sudah berkutat dengan layar monitor di hadapannya sambil mendinginkan hati yang panas. Gadis itu ingin sekali mengumpat kasar karena pimpinannya yang selalu membuat masalah.

“Nih, air putih untuk lo minum,” ujar Ardi sambil menyodorkan sebotol air mineral di dekat Thalita.

“Makasih, Kak,” jawab Thalita.

Segera Thalita membuka botol minuman itu dan menenggak isinya. Dia harus berjuang mengerjakan laporan sebelum jam lima sore. Thalita bukan tipe pegawai yang senang kerja lembur. Jika pekerjaan bisa dilanjutkan besok, dia lebih memilih untuk pulang dan melawan kemacetan ibu kota. Gadis itu lebih senang menghabiskan hari dengan beristirahat agar stok kesabarannya semakin melimpah.

Sebenarnya bidang yang Thalita kerjakan bukanlah tugas yang berat. Namun, memang volume pekerjaan hampir setiap hari selalu ada dan butuh ketelitian tinggi dalam mengerjakan. Tugas yang menyangkut sumber daya manusia memang bukan sesuatu yang mudah. Apalagi ini berhubungan langsung dengan pegawai. Salah sedikit, pasti akan langsung mendapatkan teguran dari pimpinan tertinggi. Hanya, hal itu tidak disadari oleh pimpinan di bidang Thalita. Bu Lusi selalu menghindari pekerjaan yang memiliki risiko tinggi untuknya. Wanita itu akan memilih untuk menyembunyikan diri di ruangan lain daripada mengurusi pekerjaan yang tidak membuatnya nyaman.

“Gimana? Sudah beres?” tanya Nando saat melihat Thalita masih berkutat dengan layar monitor.

“Sedikit lagi, Bang,” jawab Thalita.

“Siniin. Biar gue aja yang nyelesaikan. Lo pulang saja. Sudah jam lima sore,” ucap Nando sambil meminta berkas yang memang belum Thalita selesaikan.

Ada rasa tidak enak, tetapi melihat raut wajah seniornya yang memaksa, membuat Thalita akhirnya menyerahkan pekerjaan dan mulai membereskan meja untuk pulang. Meski begitu, dia tidak lupa mengucapkan terima kasih dengan memesankan segelas kopi dan makanan untuk Nando. Gadis itu segera melangkah pergi setelah memberitahu seniornya jika nanti makanan akan dititipkan di pos satpam depan.

Langkah Thalita terasa sedikit ringan ketika mulai meninggalkan kantor. Tubuh penat gadis itu rasanya sudah meminta untuk direbahkan di kasur empuk. Sejujurnya penat itu bukan karena volume pekerjaan, tetapi dari segi suasana kerja yang selalu mengundang kesal. Beruntung Thalita masih memiliki rekan kerja yang saling mendukung. Setidaknya hal itu masih bisa membuat hari-hari Thalita di kantor terasa lebih baik.

“Kenapa masih ada pimpinan kayak gitu? Itu dulu cara nyaringnya gimana, ya?” tanya Thalita di dalam hati.

Dia menghela napas lelah setiap kali mengingat hari-hari berat ketika menghadapi pimpinannya. Namun, Thalita selalu tersenyum remeh ketika mengingat dirinya hanya kerikil kecil yang sangat mudah untuk disingkirkan. Berulah sedikit saja ancamannya bisa dimutasikan ke cabang yang berada di kota kecil.

“Mau berhenti, tapi nyari kerjaan di ibu kota itu sulit sekali,” keluh Thalita yang kini telah berjalan menuju halte bus terdekat.

Langkah gadis itu memelan sambil menatap sekitarnya yang terlihat ramai oleh lalu-lalang kendaraan. Terlihat pula wajah pias dari mereka yang menanti kedatangan bus atau angkutan kota. Semua orang sama-sama merasakan lelahnya hari ini dan berharap segera sampai di rumah. Mereka tidak banyak bicara, hanya sesekali menguap sambil melihat jam pada pergelangan tangan. Bahkan mereka mengabaikan para pedagang yang masih semangat menjajakan dagangan.

Harus banyak bersyukur, Tha. Meski tiap hari harus bersabar. Thalita membatin setelah melihat bagaimana hidup di ibu kota masih terus berjalan meski malam beranjak menghiasi angkasa.

Deru kendaraan yang saling bersahutan, antrean panjang halte bus, para pejalan kaki, cukup membuktikan bagaimana mereka saling berjuang pada alur masing-masing. Wajah lelah yang terlihat juga menjadi saksi bagaimana satu hari ini telah dilewati dengan banyak cerita. Tidak terkecuali Thalita. Gadis 26 tahun itu senantiasa bersabar menanti bus bersama puluhan orang lainnya. Meski harus berdesak-desakkan, dia tetap berusaha menikmati hari dengan penuh syukur. Namun, keadaan itu hanya bertahan beberapa saat ketika sebuah pemberitahuan surat elektronik baru saja mengalihkan atensi Thalita. Di tengah kerumunan orang, dia harus menghela napas sangat berat setelah membaca isi dari surat elektronik itu. Malam sudah menyapa, tetapi rasanya belum cukup bagi sang pimpinan untuk membuat ulah.

“Bodoh amatlah. Aku mau pulang,” ujar Thalita segera menyimpan kembali ponselnya.

Bu Lusi, pimpinan bidang Thalita baru saja mengirimkan laporan yang harus diperbaiki. Padahal itu adalah laporan yang Thalita buat dua hari yang lalu. Namun, dengan seenaknya wanita paruh baya itu baru meneliti laporan hari ini. Tentu saja itu bukan kesalahan Thalita. Dia telah berusaha sebaik mungkin bekerja dengan memperhatikan jatuh tempo, sang atasan malah senang membuat repot bawahannya karena tidak kompeten menjadi seorang pimpinan.

Sebuah suara pemberitahuan kembali membuat Thalita memejamkan mata. Dia sudah lelah, tetapi waktu seolah tidak membiarkan dirinya untuk beristirahat. Dengan sedikit malas, akhirnya gadis itu membuka ponsel kembali dan menemukan sebuah pesan dari grup kecil yang berisi lima orang pegawai di bidang sumber daya manusia.

Kalo Bu Lusi kirim email, tidak perlu tanggapi, gaes. Biarin saja. Itu orang kalo dibiarkan gini terus, enggak bakal sadar-sadar.

Itulah salah satu pesan yang dikirim oleh senior Thalita. Selama ini memang sebagai seorang bawahan sudah cukup lelah menghadapi kinerja dari atasan yang tidak kompeten. Setiap hari selalu berangkat siang, sering tidak ada di tempat, dan paling buruk, menghindari pekerjaan yang membutuhkan tanggung jawabnya sebagai seorang pimpinan.

“Dulu mimpi apa aku sampai dapat atasan kayak gini.” Thalita kembali mengeluh.

Perjalanannya menuju ke rumah tampak sedikit lambat karena kemacetan jalanan. Dia baru sampai ke rumah pukul delapan malam dengan badan yang telah lelah. Rasanya seluruh energi yang tersisa sudah terkuras semua. Thalita beranjak untuk membersihkan diri secepat mungkin agar bisa segera memasuki alam mimpi. Namun, itu hanya keinginan ketika baru sampai di rumah. Nyatanya, kini Thalita terdiam sambil memandang langit-langit kamar. Tidak ada kata yang dia keluarkan. Hanya memandang dalam dia dengan pikiran entah ke mana. Ada helaan napas lirih terembus dari Thalita. Jemari gadis itu juga perlahan meraih ponsel yang tergeletak di nakas. Tidak ada niatan untuk membuka grup percakapan, dia malah menggulirkan jemari pada aplikasi mini blog miliknya. Di sana sudah banyak tertuang keluh-kesah Thalita selama satu tahun terakhir.

Catatan Malam ke #50

Apa lagi yang ingin aku tuliskan ketika seluruh perasaan tetap sama? Lelah, kesal, ingin menangis melebur kembali menjadi satu untuk ke sekian kali. Sudah banyak kesabaran yang terbuang, tetapi rasanya tidak pernah cukup untuk membuatnya sadar. Ingin memberontak, tetapi tidak bisa. Diri ini hanya kerikil kecil di perusahaan yang kapan pun bisa dihilangkan dengan mudah. Hanya, berharap itu masih boleh, kan? Semoga ke depannya dapat bertemu dengan pimpinan yang jauh memiliki tanggung jawab terhadap tugas-tugasnya.

Thalita menyelesaikan satu catatan sebelum dia mengarungi mimpi. Ada senyuman tipis terlukis sebelum kedua mata bulatnya meredup untuk mengisi kembali energi. Untuk kembali menumbuhkan kesabaran dalam menghadapi kenyataan dalam bekerja. Thalita memang bukan seorang budak korporasi, tetapi tugas-tugasnya sudah bisa mewakili seperti mereka yang bekerja di gedung pemerintahan. Beban pekerjaan dan tekanan mental seolah saling berjalan beriringan membuat setiap hari terasa begitu berat.

Saat mentari mulai menyapa pun, rasanya Thalita enggan untuk bangun dan kembali mengarungi hari yang sama. Namun, hari yang telah di depan mata gadis itu sudah bersiap untuk menggulirkan cerita. Mata bulat milik Thalita mulai mengerjap pelan. Dia menyesuaikan bias cahaya yang masuk dan kemudian menatap jam dinding yang ada di kamarnya. Gadis itu kembali menghela napas. Rasanya baru semalam dia merebahkan diri, tetapi pagi sudah menyambut lagi. Segera Thalita bangun dari kasur empuknya dengan sedikit malas. Lalu berjalan gontai menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

“Pengen cuti saja deh,” ujar Thalita.

Semua itu hanya angan belaka saat Thalita harus kembali berkutat pada jalanan ibu kota. Waktu memang masih cukup pagi untuk memulai hari, tetapi mengingat ibu kota yang sering macet, gadis itu memilih berangkat ke kantor lebih awal. Selain untuk menghindari kemacetan, dia lebih menyukai berangkat pagi karena udara ibu kota masih cukup segar. Thalita sedikit merapikan baju sebelum melangkah keluar dari rumah untuk menuju halte terdekat. Sudah seperti kebiasaan, dia tidak pernah menggunakan waktu yang lama untuk bersiap. Gadis itu hanya mengenakan baju sederhana yang nyaman untuknya dengan sepatu kets berwarna putih.

“Semoga hari ini cukup baik untukku,” ujar Thalita ketika tengah menanti kedatangan bus.

Selalu harapan yang sama Thalita lambungkan setiap hari. Dulu mungkin dia sempat memiliki simpati kepada atasannya dan menilai baik atas sikap lemah lembut yang diberikan. Namun, itu hanya bertahan selama enam bulan. Setelahnya, gadis itu benar-benar hilang kepercayaan karena melihat sendiri bagaimana sang atasan sama sekali tidak kompeten pada jabatannya.

Thalita terkadang berpikir, kenapa orang seperti itu bisa menduduki jabatan tinggi di perusahaan. Semangat kerjanya tidak ada, kinerja buruk, sering lari dari tanggung jawab, dan suka merasa tertekan jika dilimpahi banyak pekerjaan. Gadis itu beberapa kali merasa jika perusahaan sia-sia memberikan gaji kepada Bu Lusi. Karena memang nyatanya selama ini pekerjaan yang dilakukan oleh wanita paruh baya itu sama sekali tidak bisa diacungi jempol.

“Thalita!” seru seorang gadis yang tengah berlari menuju ke arah Thalita.

“Pagi, Far. Tumben kamu pagi banget datangnya?” tanya Thalita saat mengetahui jika sang rekan kerja yang menyapa dirinya.

“Lagi bosen berangkat siang, Tha,” jawab Farah yang berhasil mengundang senyuman tipis dari Thalita.

Bercanda di pagi yang cerah memang menyenangkan. Setidaknya untuk pemanasan sebelum kembali menahan tekanan selama bekerja. Dua gadis yang tidak jauh berbeda tinggi itu berjalan bersama melewati jembatan penyeberangan untuk menuju ke gedung perusahaan. Mereka sesekali berbagi cerita tentang keseharian atau sekadar mencurahkan hati perihal pekerjaan yang tidak pernah ada habisnya. 

“Tumben kalian berangkat bareng?” tanya Ardi, senior yang memang suka berangkat lebih pagi daripada Thalita.

“Tadi ketemu di jalan, Kak,” jawab Thalita.

Mereka memang baru saja sampai di lobby perusahaan. Tidak heran jika bidang yang bertugas mengurusi sumber daya manusia di perusahaan swasta itu sering berangkat lebih pagi daripada karyawan lain. Thalita termasuk empat orang rekan kerjanya senang bekerja lebih awal karena ada banyak berkas yang harus diselesaikan. Hal itu juga karena atasan mereka tidak memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan, sehingga seluruhnya dipegang oleh anak buah.

“Bagaimana laporan semalam yang diminta dadakan?” Ardi kembali melanjutkan obrolan tentang surat elektronik yang masuk di saat mereka dalam perjalanan pulang.

“Ini baru mau aku kerjakan, Kak. Semalam udah capek dan milih tidur lebih awal,” jawab Thalita.

“Ya kali, Bang. Sudah jam pulang malah dikasih kerjaan. Bener kata Kak Nando. Enggak perlu dipikirin. Itu salah Bu Lusi sendiri. Kenapa laporan yang harusnya sudah bisa ditindaklanjuti kemarin-kemarin, tapi baru semalam diperiksa,” timpal Farah yang memang akan selalu kesal jika menyangkut kinerja atasan.

Thalita menepuk pelan pundak Farah untuk menenangkan.

“Sudah, Far. Emosinya ditahan buat nanti saja,” ujar Thalita sedikit membuat gurauan.

Memang seharusnya pagi diawali dengan hal yang menyenangkan. Bukan membahas tentang pimpinan yang tidak kompeten terhadap tugasnya.

“Perusahaan enggak bisa apa ya keluarin atau mindahin Bu Lusi? Lama-lama capek tiap hari kayak gini terus,” keluh Farah.

“Kalo lo berani ambil resiko sih enggak apa-apa, Far. Cabang di luar Jawa masih butuh orang, tuh.” Ardi ikut menimpali dan berhasil membuat Farah mendengkus kesal.

Ancaman mutasi ke luar Jawa memang selalu menjadi ketakutan tersendiri bagi karyawan. Apalagi jika di tempatkan di kota kecil yang tidak banyak transportasi. Mereka pasti lebih memilih menahan tekanan pekerjaan di kantor cabang ibu kota daripada harus berjauhan dengan keluarga.

Ketiga orang berbeda usia itu telah memasuki ruangan yang dihiasi oleh sepi. Memang baru mereka bertiga yang datang. Sementara itu, yang lain tentu masih berjuang melawan kemacetan ibu kota. Pagi yang hangat, tetapi segudang pekerjaan sudah menanti. Belum lagi ada agenda pertemuan dengan pimpinan tertinggi membahas kinerja yang telah berlangsung selama ini.

Sebenarnya agenda seperti itu bisa menjadi ajang untuk menyampaikan keluh-kesah. Namun, tidak banyak karyawan yang memiliki keberanian untuk mengambil risiko besar jika mengutarakan setiap tekanan selama bekerja.

“Ibuknya belum datang?” tanya Nando kepada empat rekan kerja yang langsung menjawab dengan menggeleng.

Sudah menjadi kebiasaan bagi Bu Lusi yang sering datang siang. Seolah wanita itu tidak memiliki ketakutan tentang sanksi perusahaan. Dia selalu santai melenggang duduk saat waktu telah menunjukkan hampir pukul delapan pagi. Padahal jam kerja perusahaan tempat Thalita bekerja adalah setengah delapan.

“Bang Nan, laporan kemarin sudah?” tanya Thalita pelan.

“Tenang saja. Udah gue email ke sekretaris pimpinan,” jawab Nando.

Thalita mengangguk pelan pertanda mengerti. Dia memilih untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda sebelum agenda pertemuan dilakukan. Tidak hanya Thalita, empat orang rekan kerjanya turut fokus pada pekerjaan masing-masing. Mereka saling berdiam diri. Bahkan kedatangan Bu Lusi tidak mereka hiraukan. Memang seperti mereka tidak memiliki atasan atau itulah yang sebenarnya. Ada maupun tidak ada akan terasa sama saja. Karena yang bekerja jauh lebih keras adalah bawahan bukan atasan.

“Mbak Thalita bisa ke ruangan saya?” Bu Lusi terdengar memanggil ke arah Thalita.

Gadis dengan setelan sederhana itu menghela napas pelan sebelum beranjak untuk menghadap. Tidak ada senyuman yang Thalita berikan. Dia hanya menatap dengan datar ke arah Bu Lusi yang menampilkan senyuman manis.

“Begini, Mbak. Nanti kan mau ada pertemuan, saya minta tolong siapkan data pengawasan sumber daya manusia di perusahaan, ya,” ucap Bu Lusi dengan suara yang lemah lembut.

Thalita yang mendengar hal itu lantas memberikan respons bingung. Selama ini tugas pengawasan bukan berada pada dirinya. Seharusnya Bu Lusi yang mengambil tanggung jawab untuk melakukan tugas itu.

“Lho, Bu. Itu kan tugas Ibu. Selama ini saya dengan yang lainnya sudah memberikan data kepada Ibu. Harusnya Ibu sudah membuat pengawasan dari data tersebut. Kok ini Ibu malah minta ke saya,” ujar Thalita sedikit tidak terima dengan tugas yang diberikan.

Bukan menolak, hanya Thalita merasa wewenang itu bukan ranahnya. Dia hanya kerikil kecil yang bertugas untuk pengumpulan data dari sumber. Sementara itu, Bu Lusi yang menjadi pengolah data untuk menjadi sebuah informasi.

“Bu Lusi tidak bisa begini dong. Jangan melimpahkan wewenang yang seharusnya Ibu lakukan sendiri. Saya minta maaf, Bu. Saya tidak bisa menyediakan hasil pengawasan itu.” Thalita kembali berujar sebelum meminta izin untuk beranjak keluar ruangan.

Hati Thalita merasa kesal. Dia benar-benar menampilkan wajah muram setelah keluar dari ruangan atasannya. Pimpinan yang seharusnya mengambil tanggung jawab besar malah bersikap seenaknya sendiri. Tidak pernah melakukan pembelaan terhadap anak buah, melainkan bawahan yang harus melindungi citra dari atasan.

Baru saja Thalita mendudukkan diri pada kursi, kini giliran Sari, senior yang terkenal baik hati diminta untuk menghadap. Seluruh pasang mata yang berada di bidang Thalita menatap ke arah Sari. Mereka seakan berharap jika Sari pun akan memilih menolak melakukan permintaan dari Bu Lusi. Namun, ketika gadis itu telah keluar, hanya ada senyuman tipis yang terlukis. Hal itu sudah cukup membuktikan jika Sari menerima pekerjaan yang bukan wewenangnya.

“Sar, jadi orang jangan terlalu baik. Entar yang ada malah ngelunjak,” ucap Nando.

Sari tidak menjawabnya. Dia memilih mengerjakan tugas yang diberikan karena agenda pertemuan akan segera dimulai.

“Mbak, mau dibantu?” Thalita menatap ramah ke arah Sari. Namun, senior Thalita itu menggeleng pelan.

Thalita tidak bisa berbuat apa-apa jika sudah seperti itu. Dia kembali melanjutkan pekerjaan yang lain sampai waktu menunjukkan pukul sebelas siang, seluruh karyawan akhirnya dikumpulkan. Satu per satu karyawan mulai meninggalkan ruangan untuk menuju ke aula. Tidak terkecuali Thalita bersama rekan kerjanya. Mereka berjalan bersama sambil sesekali membahas laporan yang belum selesai. Sudah menjadi kebiasaan Thalita dan rekan kerjanya setiap kali berjalan bersama. Pembahasan mereka tidak akan jauh dari pekerjaan atau sikap Bu Lusi yang tidak pernah kompeten terhadap tugasnya.

Di ruangan luas yang bisa menampung seluruh karyawan itu telah ramai oleh perbincangan ringan sebelum agenda dimulai. Karyawan yang terpisah lantai saling menyapa dan membahas banyak hal. Ada juga yang hanya sekadar memainkan ponsel sambil menunggu waktu dimulainya acara. Mereka memiliki kegiatan masing-masing. Saling sibuk dengan dunia mereka seolah baru saja dipertemukan setelah sekian lama terpisah. Memang terkadang berada di lantai yang berbeda seperti memiliki kehidupan tersendiri.

“Gimana kerjaanmu di bagian sumber daya manusia, Tha?” sapa salah seorang teman Thalita yang pernah satu bidang.

Thalita hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Sikap seperti itu sudah biasa Thalita tampilkan untuk mengartikan bagaimana pekerjaannya selama di bidang sumber daya manusia. Banyak cerita yang terjadi antara enak dan tidak enak. Apalagi dipimpin oleh orang yang tidak memiliki kompetensi sebagai seorang atasan. Sepertinya bidang Thalita yang memiliki tantangan besar untuk sekadar bekerja dengan baik.

Tidak banyak perbincangan yang terjadi karena kegiatan sudah dimulai. Thalita segera mencari tempat duduk sedikit ke belakang agar tidak terlalu menjadi pusat perhatian. Dia duduk dengan tenang di dekat orang-orang bidang lain. Sementara itu, empat rekan kerja Thalita memilih duduk di sebelah kanan yang jauh dari pandangan pimpinan tertinggi.

“Selamat siang seluruh karyawan yang berbahagia,” sapa pembawa acara sebelum memasuki agenda inti.

Di depan sana sudah duduk pimpinan tertinggi yang siap menyampaikan materi. Tidak hanya itu, para pimpinan bidang juga telah duduk rapi di barisan depan. Mereka tampak memperhatikan dengan saksama. Tidak ada obrolan di antara mereka. Hanya sesekali menimpali dengan senyuman senang karena pembawa acara berhasil menciptakan tawa.

“Untuk itu mari kita simak arahan dari pimpinan tertinggi dari perusahaan ini,” ujar pembawa acara mempersilakan kepada laki-laki paruh baya yang masih terlihat segar untuk berdiri menyampaikan materi.

Suara tegas dan berat mulai menggema di dalam ruangan. Setiap karyawan yang mendengarkannya hanya terdiam sambil menyimak. Mereka terlihat antusias untuk memperhatikan setiap arahan yang diberikan oleh pimpinan tertinggi. Tidak jarang ada yang rajin untuk mencatat. Namun, ada pula yang menguap lebar karena merasa bosan.

“Dalam bekerja, kita harus memiliki prinsip dasar untuk tercapainya sebuah keputusan. Prinsip dasar itu dimulai dari pembuat kebijakan yang merupakan wewenang dari perusahaan pusat. Lalu disusul oleh kita yang bertugas memastikan kebijakan itu akan dilaksanakan dengan baik oleh unit cabang kecil. Semua itu tersusun atas inisiatif kerja yang mencangkup dasar adanya target perusahaan. Kemudian ada program kerja untuk mewujudkannya. Dari sanalah sebuah aktivitas untuk mencapai tujuan itu terbentuk,” jelas pimpinan tertinggi dengan bijak.

“Lantas bagaimana prosesnya? Yaitu KORSA, kolaborasi, reorganisasi, segmentasi, dan akselerasi. Semua itu harus terwujud hingga membentuk segitiga teamwork. Dimulai dari bawahan yang mendapatkan data dari cabang dan mengolahnya. Kemudian memberikan hasilnya kepada atasan untuk dijadikan sebagai informasi yang akan disalurkan menuju pimpinan tertinggi. Semua harus berjalan demikian untuk mencapai sebuah keputusan,” lanjut laki-laki paruh baya itu.

Seluruh pasang mata saling menyimak dengan tenang, kecuali Thalita yang malah tersenyum remeh. Dia menilik ke arah keadaan bidangnya yang sangat berbeda dengan apa yang digambarkan. Gadis itu merasa segitiga dalam bidangnya sudah hancur di bagian paling atas.

“Bagaimana mau mengambil keputusan jika pimpinan yang memiliki wewenang tidak bisa memutuskan sendiri?” tanya Thalita dalam hati.

Waktu terus bergulir dengan menyimak arahan dan materi dari pimpinan tertinggi. Seluruh karyawan tidak ada yang menyanggah dengan pertanyaan. Mereka masih mendengarkan sambil sesekali menguap karena mulai merasa bosan. Saat tiba pada sesi pertanyaan, Thalita yang duduk di belakang langsung mengangkat tangan. Dia dengan berani ingin menyuarakan apa yang ada di dalam benaknya.

“Selamat siang, Pak. Izin bertanya tentang segitiga teamwork yang sempat Bapak jelaskan tadi. Bagaimana jika pimpinan yang seharusnya menjadi pengambil keputusan tidak bisa melakukannya sendiri? Bahkan bisa dikatakan tidak memiliki kompetensi sebagai seorang atasan. Tidak bisa menyampaikan informasi kepada bawahannya, sehingga mereka seperti berjalan sendirian. Apa segitiga teamwork itu tetap bisa diterapkan?” tanya Thalita dengan tenang.

Semua atensi mengarah kepada Thalita. Tidak pernah ada yang menduga gadis penyuka ketenangan justru paling berani mengutarakan pertanyaan. Sementara itu, rekan kerja Thalita saling tersenyum bangga. Mereka sebenarnya juga turut merasakan bagaimana segitiga teamwork itu tidak bekerja di bidangnya.

Pertanyaan yang dilontarkan Thalita membuat penasaran banyak orang. Terlebih pimpinan tertinggi tidak bisa menjawabnya dengan bijak. Thalita hanya bisa menampilkan senyuman tipis lalu kembali duduk. Dia menghela napas sebentar untuk menghalau seluruh perasaan yang ada. Thalita sebenarnya cukup gugup, tetapi dirinya ingin mendengarkan bagaimana tanggapan pimpinan mengenai hal itu. Kasus seperti yang diutarakan gadis itu harusnya bisa menjadi perhatian khusus agar tidak terus-menerus bawahan menjadi korban.

“Lo berani banget, Tha. Empat jempol buat lo,” ujar Farah saat agenda arahan telah selesai.

Seluruh karyawan sudah mulai berhamburan keluar dari aula. Mereka sesekali terdengar berbisik membahas pertanyaan Thalita dan menautkannya dengan pimpinan di bidang gadis itu. Sementara itu, Bu Lusi yang sudah berjalan di depan Thalita sepertinya tidak merasa jika pertanyaan beberapa waktu lalu dilontarkan adalah menyangkut dirinya.

“Kita memang kerikil kecil, Far. Tapi, bukan berarti kita harus selamanya dibungkam,” ucap Thalita dengan pandangan teduhnya.

Mata bulat Thalita melihat ke sekitar. Banyak hal yang dia pelajari selama ini di bawah tekanan kepemimpinan Bu Lusi. Rasanya setiap hari Thalita hanya harus menelan kekecewaan karena kinerja atasan yang tidak membantu sama sekali. Pencapaian target pemenuhan data sumber daya manusia juga dikerjakan oleh lima orang pegawai yang menjadi pelaksana. Sementara itu, Bu Lusi hanya mengambil waktu untuk bersenang-senang atau memilih menyembunyikan diri karena merasa beban pekerjaannya terlalu berat.

“Semoga saja setelah ini pimpinan tertinggi sadar lalu memutasi Bu Lusi ke tempat yang jauh,” ujar Farah dengan santai.

Thalita terkekeh pelan. Dia sebenarnya tidak ingin menebak bagaimana alur ke depannya setelah mengutarakan semua itu. Thalita hanya berharap jika akan ada kesadaran diri dari Bu Lusi untuk melakukan perubahan terhadap kinerjanya. Gadis itu masih menghormati jabatan atasan yang diemban oleh Bu Lusi. Hanya perihal kinerja, Thalita tidak bisa menoleransi bagaimana kekacauan yang telah banyak terjadi. Bukan hanya menguras tenaga, tetapi juga batin yang terus-menerus menahan kekesalan setiap hari.

“Kita mungkin tidak berharga di mata pimpinan tertinggi karena hanya sebatas kerikil kecil. Kita bisa dengan mudah disingkirkan tanpa perlu meminta pertimbangan. Bisa juga ditendang jauh atau diinjak hingga menjadi debu. Tapi, pimpinan tertinggi juga perlu tahu, jika kerikil kecil pun bisa membuat luka mengangga pada kaki. Mereka bisa menjadi bumerang untuk keberlangsungan perusahaan. Tanpa kerikil kecil itu, perusahaan ini tidak ada apa-apanya,” jelas Thalita kepada Farah ketika mereka melangkah menuju ruangan.

Farah mengangguk menyetujui. Diri mereka memang hanya sekadar bagian kecil di perusahaan. Karyawan yang hanya memiliki jabatan rendah dan bisa kapan pun dipindahkan dengan mudah.

“Lo benar, Tha. Kita memang hanya kerikil kecil. Tapi, perusahaan tetap membutuhkan kita,” timpal Farah.

Thalita kembali tersenyum. Mereka saling melanjutkan obrolan dengan menyenangkan. Melupakan sejenak perihal Bu Lusi yang tidak berkinerja baik. Mereka hanya ingin menikmati sedikit waktu sebelum kembali bergelut dengan pekerjaan yang menumpuk. Setidaknya mereka harus tetap waras menjalani kehidupan yang belum tentu beralur mudah ke depannya.

Kami memang hanya kerikil kecil di perusahaan. Tapi, perusahaan bisa lumpuh jika tidak ada kerikil kecil seperti kami. Thalita membatin dengan senyuman teduh untuk menatap jalan panjang yang ada di hadapannya.

~ Selesai ~

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@graceagustina : terima kasih kak ^^
@lovaerina : Bu Lusi orang kuat. Mutasian kemarin aja enggak ikut ke angkut pindah. :') Seharusnya Thalita bangga ya punya atasan orang kuat yang kebal mutasian :)
Ayo lanjut part 2 sampai Bu Lusi dimutasi🤣
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi