Disukai
1
Dilihat
2
Pendusta Nggak Enakan
Slice of Life
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Gue benci kebohongan, sekalipun terletak pada seseorang yang menyimpan surga di telapak kakinya.

゜゜゜゜゜-y(^。^)。o0○

Gue gak kepikiran sama sekali soal uang kas, karena emang gue udah bayar dan clear. But… mama gue lari-lari kecil ke arah gue.

“Ka, kamu bawa uang, nggak?” tanyanya, dengan ekspresi rusuh yang khas.

“Enggak,”

“Duhh… gimana ya. Ini mama gak bawa uang buat bayar aksesoris bekas lomba kelasmu kemarin,” ujarnya frustasi.

Gue mengernyit, bayar aksesoris?

“Aksesoris apa?”

“Aksesoris kemarin bekas kelasmu lomba senam. Itu bayar kan, 25 ribu.”

“Kan aku udah,” ucap gue, setengah yakin setengah ingin amnesia.

“Hah? kamu udah?” suara mama meninggi—bukan marah, bukan kaget, tapi… rusuh.

Kerusuhan yang udah familiar di telinga gue.

“Iya,” gue beralih menatap layar ponsel.

“Tapi itu apa atuh, pada nyodorin kertas. Itu isinya data pembayaran uang aksesoris,” jelas mama, tanpa menjelaskan apapun.

“Mamanya si itu pada bayar, tadi. Kan ini mau libur, jadi harus bayar sekarang.”

“Emang mama ditagih?” gue kembali mendongak, menatapnya lekat-lekat.

“Hah? emang kamu udah bayar?”

“Ckck… mama DITAGIH ENGGAK?” gue menggertakkan gigi, menekan kata-kata terakhir, menahan nada agar tetap kalem seperti sedia kala.

“Iya, ditagih,” jawabnya cepat. Seperti yakin… tapi meragukan. Matanya menatap jauh pada udara.

Gue menunduk, kembali menatap layar ponsel sambil berpikir keras. Mencoba memutar kembali momentum yang baru saja berlalu tiga hari, di dalam kepala.

Ka, kamu nitip uang ke Rezka 70 ya?” mama Niki mendekat, sambil memasangkan selendang di pinggang gue.

“Iya.”

“Ooh, iya. Ini kan 25 ya… kemarin kamu ngasih 50 sama 20 ke Rezka. Jadi tinggal 5 ribu lagi buat ini,” mata mama Niki melirik aksesoris untuk lomba senam kelas kami.

“Iya…” gue berpikir sejenak.

“Heem, saya ngingetin aja,” mama Niki menarik ikatan terakhir selendang di pinggang gue.

“Yaudah, ini sekarang aja,” ujar gue cepat, sebelum mama Niki berlalu pergi.

“Eeh, gapapa. Nanti gak ada buat jajan.”

“Enggak… aku bawa banyak, kok.” jawab gue spontan, sambil mengeluarkan uang.

“Owhh… banyak, katanya… hhhaaahhaaa!” mama Niki tertawa, diikuti oleh dua mama lainnya yang hadir pagi ini untuk membantu persiapan anak-anak dalam mengikuti lomba.

Gue meringis di dalam hati, ‘Mana cuma bawa 15 ribu lagi,’

But its okay, mau dibesok-besokkan juga sama aja gue bakal tetep bayar pake uang jajan. No minta-minta tambahan ke mama.

“Duh, gimana ya bilang ke bapak,” gumam mama, seraya mengeluarkan selembar uang rupiah berwarna biru.

Gue mendelik, katanya gak bawa duit…

“Dahlah, pake ini dulu aja,” mama berlalu dari hadapan gue, kembali ke ruang kelas gue yang terletak tepat di seberang taman kecil ini—hanya terhalang oleh lapangan voli.

30 menit kemudian.

“Kaaaaa… tuh, kamu ditanyain sama mama Niki,” mama muncul lagi, dengan totebag biru di tangan—menandakan bahwa acara sudah selesai.

Gue langsung berdiri, menghampiri mama Niki yang berada di depan kelas sambil memegang sebuah buku dan pulpen.

“Ehmm, Kaaaaa… kamu udah ngasih kas 70 ke Rezka?”

“Iya, sama kemarin 5,” jawab gue, tenang.

“Ohh.. iya, iya. Berarti kas november dan desember udah ya, sama buat itu,” tangan mama Niki tampak bergetar. Maklum, sepertinya ia lelah… ada apa-apa di sekolah, sosok mom yang turun tangan hampir selalu hanya dirinya saja.

Gue mengangguk-angguk.

“Gimana? udah?” mama gue nyusul, mendekat ke mama Niki.

“Iya, udah,” mama Niki mengangguk.

Selanjutnya, gue harus berdiri 5 menit disana hanya untuk menunggu mama gue curhat soal nilai gue yang turun.

*****

“Mama bayar lagi enggak?” tanya gue, untuk kesekian kalinya.

“Enggak, kan tadi kata mama Niki…” mama menceritakan kembali bagaimana di kelas tadi mama Niki menagih uang aksesoris bekas lomba tiga hari silam.

“Mama ngasih uang 50, terus kata mama Niki… sama uang kas aja ya, gak ada kembalian, katanya. Terus mama ambil lagi deh uangnya soalnya kan gak ada lagi. Kamu belum bayar uang kas?”

“Udahhhh… semuanya udah aku bayar,” aku menatapnya dengan kedua alis bertaut.

Kami berhenti di depan kolam ikan hias, di dekat gerbang sekolah.

“Terus tadi kata dia…” mama mengulang kalimat yang sama, tentang uang 50 yang diambilnya lagi karena tak ada kembalian.

“Udah… itu mah udah. Uang aksesoris kan pake uang kas desember, 25.” jelas gue, sedikit menjelaskan.

“Kamu mau beli bakso?” mama mengalihkan tatapannya ke lapak bakso pakde di depan sekolah.

Gue menghela napas, mencoba untuk bersabar.

Kami berjalan ke lapak bakso itu.

Sesampainya di depan lapak bakso, mama malah melirik warung di sebelah lapak itu, “Eeh, itu telor berapaan, Ka?” tanyanya, seraya menunjuk omelet di gerobak warung serba ada itu.

“Lima,” jawab gue.

“Ha? beli itu aja, yuk,” ajaknya, dengan mata berbinar-binar.

Gue mendengus—selain karena bosan makan telur, gue sebenarnya lebih bosan menghadapi sikap mama yang meletup-letup melebihi molotov.

“Oh yaudah atuh, kalo kamu pengen bakso mah,” mama melenggang masuk ke dalam lapak bakso.

“Kamu mau bakso atau mie ayam?”

“Mie ayam,” jawab gue.

Lalu kami makan disana.

“Gausah beli minum ya? gak ada lagi uangnya,” ujar mama, beberapa kali selama kami makan.

Gue hanya mengangguk kecil.

Saat mangkuk bakso mama sudah tandas, mangkuk mie ayam gue masih tinggal setengah. Belum lagi sepotong bakso yang mama layangkan tiba-tiba ke mangkuk gue.

“Ayo cepet, mama tungguin di depan ya,” mama pergi duluan, setelah membayar.

Gue makan lebih cepat. Jika saja lapak ini tidak semakin ramai dan sesak, tentu gue akan dengan senang hati tetap makan sebagaimana tuan putri.

Sepotong bakso yang tak ada dalam pesanan gue, gue masukkan ke dalam mulut dengan sedikit paksaan.

Jujur… ini terlalu kenyang.

Setelah itu, gue segera keluar dan menghampiri mama.

“Yuk ah pulang,” ujarnya, tanpa berbicara lagi soal minum.

Gue merengut, kayak gak ikhlas gak sih? apa-apaan coba, makan gak minum. Mending gausah sekalian. Lagian dia sendiri yang mulai.

“Gausah telpon abang, ya. Kita jalan kaki aja. Kasian abang lagi masak sama bapak.” ujar mama.

Gue berjalan di belakangnya, dengan mulut huh-hah dan perut yang sebah.

Sesampainya di rumah.

“Eehhh kok udah pulang sih?” sambut abang.

“Hheeheee… gausah, bang. Jalan aja kan abang masak,” ujar mama.

Gue melenggang masuk ke dalam toilet, mencuci kaki yang gatal terkena becek air hujan di jalanan.

Setelah duduk, mama mulai bicara.

“Bang… tadi teh dimintain uang 30 ribu buat bayar aksesoris bekas lomba senam kemarin.”

“Mama gak bawa uang, jadi mama minjem ke mama temennya Kaaaaa yang rumahnya di bawah itu.”

“Terus kan pada ngasih hadiah ke walas. Biasa lah… kalo dibagi rapor suka pada ngasih kayak gitu. Nah, itu dimintain uang juga. Jadinya 40 ribu, mama minjem di si itu tuh yang rumahnya di bawah sana. Nanti kalo ngambil uang dari si Ajeng—adik bapak, ipar mama—, kasih ke mama 40 buat bayar ke si itu.” pungkasnya.

Gue diam—tak ingin terlibat, tapi selalu dipaksa untuk terlibat.

“Ya, kan Ka? bekas lomba senam waktu itu kan pake aksesoris, ya, harus dibayar.” ujar mama, melirik ke gue sekilas.

“Oohhh iya, ntar diambil uangnya.” jawab abang.

“Iyaa…. kemarin si Ajeng ngirim duit 100 kan ke bapak? itu 40 nya sini buat dibayarin ke si itu, mamanya temen sekelas Ka.”

“Heem,” jawab abang, lagi.

“Mana fotonya coba liat, Ka. Pas tadi mama Niki ngasih hadiah ke guru.”

Gue diam, fokus pada buku tulis di tangan. HP gue barusan gue charger, meskipun baterainya masih aman. Sejak mama buka suara soal uang aksesoris 30 ribu yang sebenernya gak pernah ada itu, gue udah tau, apa yang bakal terjadi selanjutnya.

Dan HP gue… untuk kali ini saja biarkan jangan terlibat dalam sandiwaranya.

“Kamu udah bayar kas?” tanya mama, dengan suara yang sangat jelas—you know? biar abang dan bapak dengar—.

“Udah,” jawab gue, sambil hati-hati.

“Terus uang aksesorisnya belum, ya… tadi mama Niki nagih 30 ribu.” ujar mama.

“Kok 30,?” tanggap gue—sayang, suara gue pelan… seolah-olah udah kemakan sama mie ayam traktiran mama gue tadi.

Mama menoel paha gue, matanya berkedip.

I know… gue gak menggubrisnya lagi, gue biarkan dia melanjutkan sandiwaranya.

Untuk kali ini dan seterusnya, gue gak mau lagi jadi bagian dari sandiwara kebohongannya.

Sore harinya.

Mama menyodorkan sebuah kertas ke gue. Isinya, “Yang bener tuh sebenernya tadi mama bayar uang aksesoris 25 ribu. Uang mama 50 ribu, dikembalian 25 ribu sama mama Niki. Kata mama Niki, kenapa gak sekalian bayar kas aja? kasnya belum. Gitu. Mama minta ganti ke bapak 30, lumayan 5 ribunya buat gantiin beli bakso tadi.”

Aku mengangguk saja, tidak mengerti lagi.

Terserah…

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)