Hujan turun sore itu ketika aku duduk di sudut mushala kampus. Aku memeluk ransel, menunggu azan Magrib, memperhatikan lantai yang basah oleh jejak sandal. Mushala itu tidak ramai, hanya beberapa mahasiswa yang datang dan pergi. Suasananya tenang, tapi aku merasa sendirian.
Namaku Alya. Usia dua puluh tiga tahun. Dan seperti banyak perempuan seusiaku, aku pernah berpikir bahwa jodoh adalah soal siapa yang datang lebih cepat.
Aku keliru.
---
Doa yang Terlalu Spesifik
Dulu, aku punya daftar panjang tentang seperti apa jodoh yang kuinginkan. Tingginya berapa, wajahnya bagaimana, pekerjaannya apa, kebiasaannya seperti apa. Bahkan aku menambahkan syarat kecil yang menurutku wajar: ia harus jatuh cinta padaku tanpa membuatku terlalu berharap lebih dulu.
Setiap selesai shalat, aku menyebut nama seseorang dalam doa. Kadang satu nama, kadang berganti. Aku berdoa dengan yakin, seolah aku tahu apa yang terbaik untuk hidupku.
“Ya Allah, kalau dia baik untukku, dekatkan.”
Namun ketika doa-doa itu tidak terjawab seperti yang kuharapkan, aku kecewa. Bukan pada orang-orang itu, tapi diam-diam pada Allah. Aku merasa sudah berdoa dengan sungguh-sungguh, tapi mengapa hasilnya tidak sesuai.
Aku tahu itu salah. Dan rasa bersalah itu justru membuatku semakin diam.
---
Patah yang Membuat Diam
Orang pertama yang membuatku benar-benar berharap adalah seseorang yang terlihat baik. Ia rajin shalat, tutur katanya lembut, dan hafal beberapa ayat yang sering ia sebutkan saat kami berbincang. Aku mengira itu pertanda.
Ternyata tidak.
Setelah ia pergi, aku tidak langsung menangis seperti di drama. Tapi ada sesuatu yang kosong. Aku sering berhenti lama di depan cermin, bertanya pada diri sendiri apakah aku terlalu berharap pada orang yang salah.
Beberapa teman menyarankan agar aku membuka hati lagi. Ada yang mengenalkanku pada orang baru, ada pula yang berkata bahwa jodoh tidak boleh ditunggu terlalu lama. Aku mengangguk, tapi dalam hati aku justru semakin ragu. Aku takut mengulang kesalahan yang sama: berharap terlalu cepat, lalu kecewa sendirian.
Sejak itu, aku mulai menjaga jarak. Bukan karena benci pada cinta, tapi karena lelah salah paham dengan niat sendiri.
Ia pergi dengan alasan belum siap. Sementara aku sudah terlanjur berharap lebih jauh. Setelah itu, malam-malamku terasa panjang. Aku jarang bercerita pada siapa pun karena lelah menjelaskan kenapa hatiku sakit, padahal tidak ada hubungan resmi, tidak ada janji, dan tidak ada ikatan halal.
Dari sana aku belajar satu hal: tidak semua yang terlihat baik datang untuk tinggal.
---
Nasehat yang Mengganggu
Suatu sore, aku membantu Ustazah Maryam merapikan rak kitab di pesantren kecil tempatku mengajar ngaji anak-anak. Tanganku pegal, pikiranku penuh.
“Tahu nggak, Alya,” katanya tiba-tiba, “kadang jodoh datang justru setelah kita berhenti memaksa Allah mengikuti rencana kita sendiri.”
Aku tersenyum tipis.
“Berarti doa saya salah ya, Ustazah?”
“Doanya tidak salah,” jawab beliau. “Yang sering salah itu perasaan kita yang merasa paling tahu kapan dan dengan siapa kita akan bahagia.”
Kalimat itu terus teringat di kepalaku selama berhari-hari. Mengganggu, tapi jujur.
---
Berhenti Mengejar, Mulai Memperbaiki
Hari-hariku perlahan berubah. Aku mulai lebih sering datang lebih awal ke mushala, bukan untuk berdoa panjang, tapi hanya untuk duduk dan menenangkan pikiran. Aku menyadari bahwa selama ini aku terlalu sibuk meminta, tapi jarang benar-benar mendengarkan.
Mengajar anak-anak mengajiku juga memberiku banyak pelajaran. Mereka tidak bertanya kapan akan pintar, mereka hanya datang dan belajar. Dari mereka, aku belajar bahwa proses tidak selalu perlu dipercepat.
Aku juga berhenti membandingkan hidupku dengan orang lain. Ketika undangan pernikahan datang bertubi-tubi, aku tetap tersenyum, meski kadang pulang dengan hati yang berat. Aku belajar menerima bahwa setiap orang punya garis waktunya sendiri.
Sejak saat itu, aku mengubah cara berdoa. Aku berhenti menyebut nama manusia. Aku mulai berdoa tentang sifat dan arah hidup.
Aku meminta jodoh yang bisa mendekatkanku kepada Allah. Dan jika orang itu belum datang, aku meminta agar Allah memperbaiki diriku lebih dulu.
Perubahannya tidak terasa besar. Tidak ada kejadian dramatis. Tapi aku merasa lebih tenang. Aku fokus kuliah, mengajar, dan belajar menerima kesepian sebagai bagian dari proses.
Aku mulai mengerti bahwa kesepian tidak selalu berarti kekurangan. Kadang itu hanya ruang yang belum diisi.
---
Pertemuan yang Biasa Saja
Aku bertemu Rafi secara tidak sengaja di perpustakaan kampus. Kami berebut colokan listrik.
“Maaf, ini sudah dipakai?” tanyanya.
“Belum,” jawabku singkat.
Tidak ada kesan istimewa. Kami hanya saling menyapa ketika bertemu lagi di hari-hari berikutnya. Obrolan kami seperlunya, tanpa basa-basi berlebihan.
Rafi bukan tipe yang mencuri perhatian. Ia sederhana dan tidak berusaha membuat siapa pun terkesan. Anehnya, aku merasa nyaman berada di dekatnya.
Aku baru sadar keberadaan Rafi setelah beberapa kali melihatnya di tempat yang sama. Ia sering duduk di sudut perpustakaan dengan laptop dan tumpukan buku. Kami tidak pernah berbincang lama, tapi ia selalu menyapa dengan sopan.
Suatu hari, ia bertanya tentang buku yang sedang kubaca. Percakapan kami singkat, tidak mengarah ke mana-mana. Justru itu yang membuatku tidak merasa terintimidasi. Tidak ada usaha untuk membuatku terkesan, dan aku tidak merasa perlu bersikap apa pun.
Aku tidak langsung berpikir tentang jodoh. Aku hanya merasa, berbincang dengannya tidak melelahkan.
---
Istikharah yang Tenang
Ketika Rafi menyampaikan niatnya melalui perantara dosen pembimbing, aku terkejut. Bukan karena tidak tertarik, tapi karena tidak ada rasa panik seperti biasanya.
Aku sempat ragu. Bukan pada Rafi, tapi pada diriku sendiri. Aku bertanya-tanya apakah ketenangan ini hanya karena aku sudah lelah berharap. Aku berkonsultasi dengan ibuku, dan ia hanya berkata satu kalimat sederhana: “Kalau hatimu tenang, jangan cari alasan untuk resah.”
Kalimat itu membuatku berhenti mencari tanda-tanda berlebihan. Aku berhenti menafsirkan setiap kejadian kecil sebagai isyarat. Aku memilih berjalan pelan, sambil tetap berdoa agar Allah menjaga langkahku.
Aku shalat istikharah beberapa kali. Tidak ada mimpi atau tanda khusus. Yang ada hanya perasaan tenang, tanpa dorongan untuk menolak atau memaksa.
Hatiku tidak memberontak. Itu saja.
---
Jodoh Bukan Tentang Kesempurnaan
Setelah menikah, aku baru benar-benar memahami makna jodoh. Rafi tidak selalu romantis, dan aku tidak selalu sabar. Kami pernah bertengkar karena hal sepele, bahkan soal arah kiblat sajadah.
Namun setiap kali lelah, kami kembali pada satu hal yang sama: niat awal karena Allah.
Aku belajar bahwa jodoh bukan tentang hidup tanpa masalah, tapi tentang memilih untuk menyelesaikan masalah bersama tanpa meninggalkan nilai-nilai yang kami pegang.
---
Jawaban Doa yang Datang Terlambat
Suatu malam setelah shalat Isya berjamaah, aku teringat semua doa lamaku. Nama-nama yang pernah kusebut dengan yakin, dan air mata yang pernah jatuh karena kecewa.
Aku tersenyum. Bukan karena semuanya sia-sia, tetapi karena Allah menjawabnya dengan cara yang lebih tepat.
Waktu yang dulu terasa terlambat ternyata digunakan Allah untuk mempersiapkanku—dan jodohku.
Dalam perjalanan rumah tangga, aku baru memahami bahwa cinta tidak selalu terasa hangat setiap hari. Ada hari-hari ketika kami sama-sama lelah dan memilih diam. Ada juga hari-hari ketika kami tertawa karena hal sepele.
Namun di antara semua itu, ada satu hal yang tidak pernah kami tinggalkan: saling mengingatkan untuk kembali pada Allah. Dari situlah aku mengerti, jodoh bukan tentang menemukan orang yang sempurna, tapi tentang dua orang yang mau belajar bersama.
---
Penutup
Malam itu hujan turun pelan. Aku menutup mushaf dan melihat suamiku menyiapkan teh di dapur. Dalam hati aku berdoa sederhana, tanpa daftar dan tanpa syarat. Aku bersyukur, bukan karena mendapatkan apa yang kuinginkan, tapi karena diberi apa yang kubutuhkan.
Di situlah aku mengerti: jodoh bukan hadiah karena kita pantas, melainkan amanah karena kita dipercaya.