Saya adalah anak seorang buruh serabutan. Dulunya, Ayah juga bukan orang yang terlahir dari keluarga berada. Ia juga berjuang mati-matian untuk hidup dan melanjutkan kehidupannya. Seperti lumrahnya orang-orang zaman dulu, ia menikah di usia yang sangat muda dengan Ibu saya. Tidak dibekali ilmu parenting yang cukup, tapi beliau telah berhasil menjadi ayah yang baik bagi saya.
Tamatan sekolah dasar menjadi hal umum kala itu. Ya, memang begitulah keadaannya. Sedangkan saya hidup di era yang lebih stabil, pemerintah sudah mulai melirik pentingnya pendidikan dan saya hanya anomali di keluarga. Saya benar-benar sudah memaafkan untuk apa pun, keinginan saya yang tidak pernah Ayah wujudkan, pernak pernik yang dimiliki anak lain tapi saya tidak punya. Saya sudah memaafkan hal kecil itu, karena sampai saat ini Ayah tidak pernah membiarkan kami kekurangan makan, rumah kami nyaman dan kami selalu bisa tidur dengan pulas.
Dulu, Ibu saya diberi pilihan oleh Kakek. Mau rumah atau mau sekolah. Konon katanya karena ia perempuan, layaknya saudara Kartini yang lain, ia memilih rumah. Kakak laki-lakinya, paman saya, melanjutkan pendidikan hingga menjadi seorang Kepala Sekolah di salah satu SD di daerah Cimahi. Ekonominya stabil sehingga biaya sekolah saya, buku-buku yang saya butuhkan berasal dari beliau.
Paman hidup menjadi seseorang yang sangat bijaksana. Ia mendorong saya untuk tidak putus sekolah. Saya pun memiliki hasrat yang sama. Menjadi sangat bergairah ketika bertemu dengan buku-buku baru. Menjadi sangat kehausan ketika diceritakan banyak hal-hal baru. Namun nyatanya hidup di lingkungan tidak bersekolah itu sedikit sulit.
Sejak SD saya sering diikutsertakan untuk mengikuti lomba Calistung (Membaca, Menulis, Berhitung). Saya dibekali tangan yang lihai untuk merangkai abjad demi abjad di buku tulis. Tegak bersambung, begitulah konsep menulis yang dikompetisikan. Sejak SD otak saya berkembang cukup baik. Katanya, kecerdasan diturunkan oleh gen ibu. Tapi sejauh ini saya tidak pernah melihat itu. Maaf, Bu. Haha.
Menuju SMP, Ibu saya sangat khawatir dengan biaya sekolah. Saya tidak pernah mengerti apa yang ada di benak Ibu, apa yang menjadi keresahan Ibu, apa yang menjadi kekhawatiran Ibu, apa Ibu sempat menangis dalam diam saat itu, saya tidak tahu. Maaf, ya Bu.
Tapi ya begitulah takdir selalu berjalan semestinya. Saya melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Saya selalu mendapat jalan yang mulus untuk bersekolah. Entah itu karena keberuntungan atau kebijakan-kebijakan baik yang dikeluarkan oleh pemerintah kala itu. Saya juga selalu menjadi peringkat pertama, itu memberi saya jalan lain untuk meraih mimpi, pikir saya.
Masih teringat waktu pertama kali saya tahu bahwa di sekolah menengah, mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) tidak hanya satu. Ia dapat dipecah menjadi banyak macam, seperti Kimia, Fisika dan Biologi.
Fisika menarik semua perhatian saya. Ilmu itu dengan mudahnya saya pelajari, hingga saya menjadi anak kesayangan Bu Guru Neni di kelas. Apakah kau tahu bahwa otak kita ternyata memiliki kemampuan untuk berubah berdasarkan pengalaman baru dan melalui proses belajar? Ini biasanya disebut plastisitas sinaptik. Banyak hal baru yang saya temukan ketika sekolah menengah. Dan saya merasa kepintaran itu benar-benar terjadi dalam satu malam. Jujur saya heran, ternyata kepala saya membawa sesuatu yang hebat bukan hanya rambut bergelombang yang menyebalkan. Ya, saya benci poni dan rambut saya yang susah sekali diatur.
Siang itu saya pergi ke perpustakaan. Mengincar novel remaja yang menjadi rebutan banyak siswa. Saya lupa apa nama judulnya, kalau tidak salah, "Roda Pasti Berputar". Novel klasik tentang percintaan anak-anak bau kencur. Nyaris tak pernah sepi pembaca, setiap hari saya mendengar spoiler nya dan lagi-lagi novel itu sudah berpindah tangan.
Menurut cerita yang beredar, isi novel itu mengandung kisah memilukan. Seorang gadis yang terkena penyakit kanker, entahlah. Ia dan teman satu sekolahnya saling mencintai. Namun, si laki-laki itu juga dicintai sahabatnya si wanita. Hingga akhir hayat, saat si wanita itu dipanggil ke Rahmatullah, kisah cinta mereka tak pernah terwujud. Siang kemarin, novel lecek itu ada di tangan Iben. Ketua kelas 7F yang terkenal tidak suka membaca, tapi kali ini ia tidak ingin ketinggalan. Entahlah dia jadi orang yang keberapa. Sampulnya masih bagus, tapi bentuknya sudah tidak semestinya. Nampak bekas digulung-gulung. Mungkin sempat digunakan untuk memukul kepala orang juga. Entah, malang nian nasib novel satu-satunya itu.
Saya mengendap-endap ke rak buku lain, terlihat satu yang paling mewah. Berbeda dari rak lainnya yang berbahan kayu dan bawahnya dilapisi koran bekas, rak satu ini justru sangat molek dan bersih. Terbuat dari alumunium terbaik dan berpintukan kaca bening. Ada lima jilid ensiklopedia. Warnanya tidak mencolok, malah terkesan dominan gelap.
"Bisa kah itu dipinjam?" Kata saya lirih kepada Ibu penjaga perpustakaan.
"Bisa, tapi satu-satu ya." Jawabnya sedikit kurang ramah.
Jilid buku itu sangat mengkilap, kualitas premium dan tidak pernah tersentuh tangan-tangan kotor penuh noda spidol. Gambar di jilid itu seperti didesain khusus. Corak, perpaduan warna dan pemilihan gradasi seolah-olah dirangkai penuh perhitungan. Saya takjub.
Satu per satu halaman saya buka. Aroma buku baru membuat saya jatuh hati. Bibliosmia. Ya, begitulah orang-orang Yunani menyebutnya. Buku itu masih sangat baru, saya pertama kali membuka dan inilah ilmu baru yang tidak pernah diceritakan Bu Guru di kelas. Astronomi. Ilmu tentang benda luar angkasa dan jagat raya. Itu bukan kali pertama saya mengenal astronomi. Di sekolah dasar, saya sudah belajar delapan planet di Tata Surya, dan kisah legendaris tentang Si Pluto yang harus di keluarkan dari Kartu Keluarga, walau masih satu rumah. Sedikit menyedihkan.
Sebelumnya saya jatuh cinta pada awan. Titik-titik air yang melayang-layang di udara. Pak Asep mengenalkan jenis-jenis awan di pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Awan sirus, kumulus, stratus, nimbus, dan kumulonimbus. Mari saya ajak berimajinasi sebentar saja. Tak bisa kah kau membayangkan sebuah awan menjulang vertikal di sore hari di sebelah utara. Bagian kirinya disinari cahaya senja. Awan itu menggulung dengan gagahnya. Berkilau di antara putih dan biru langit. Itu sangat indah di benak saya.
Ada lagi awan sirus. Awan ini sepeti serabut tipis-tipis di langit, biasanya terdiri dari partikel es. Kehadirannya menandakan hari yang cerah. Tak jarang, rainbow fire sering kali terbentuk pada awan ini. Awan nimbus juga membawa kedamaian tersendiri bagi saya. Awan itu kadang ditemani angin dan kemarahannya. Membawa aura gelap, menimbulkan ketakutan sehingga dunia menjadi sunyi senyap untuk sesaat. Lalu hujannya membawa berkah. Awan nimbus kadang menjelma menjadi sangat tidak ramah, kumulonimbus. Awan badai yang terkadang bermuatan petir. Pernahkah kau menonton film Up? Ya, saat itu Russell dan Carl terjebak di awan ini.
Saya mencintai apa pun tentang langit. Langit cerah, langit sebelum hujan badai dan langit malam berbintang. Saya hidup di bawah naungan kubah raksasa ini untuk waktu yang lama, wajar saja jika saya mudah untuk jatuh cinta.
Saya bercita-cita menjadi seorang kosmonaut. Tapi nampaknya itu hanya mimpi. Waktu itu saya juga pernah bilang ingin menjadi seorang ilmuwan saat Bu Reni Bahasa Inggris bertanya, "What's your dream?"
Tapi di buku binder saya bilang ingin jadi polwan, pilot, guru, dan dokter. Nyatanya sekarang belum jadi apa-apa juga. Apa kabar teman-teman yang di buku binder-nya bercita-cita ingin menjadi polisi, pramugari, koki dan guru? Sudah terwujud juga?
Setiap hari melihat langit, mustahil kalian tidak pernah menemukan apa yang saya lihat. Gerombolan bintang. Suatu malam saat pulang terawih, saya melihat bintang kecil tipis-tipis bergerombol. Saya tidak yakin, tapi kalau dilihat dengan seksama, kira-kira bintangnya ada tujuh buah. Berbeda dengan bintang lainnya, mereka saling berdekatan satu sama lain.
Di akhir kelas sembilan, lagi-lagi saya dan dua rekan saya menjuarai kompetisi MIPA SMP se-kabupaten. Kami berangkat pagi waktu itu dan pulang agak malam. Berat memboyong piala dua tingkat. Tapi saya bangga, akhirnya saya disaksikan banyak mata saat upacara bendera, dipanggil ke depan dan diberi tepuk tangan bak pahlawan.
Namun, siapa peduli dengan piala dan seonggok daging di kepala saya?
Nyatanya kala itu, Ibu sempat bilang begini. "Ibu bingung kamu lanjut SMA atau tidak. Ibu tidak punya uang. Kerja di pabrik aja ya, nduk?"
Jika saja saat itu doa tak pernah kami panjatkan, mustahil sekali tulisan ini sampai kepada kalian.
"Saya ingin sekolah." Begitu kata saya kepada Ibu.
Ibu mana sih yang tidak mendoakan kebaikan untuk anaknya? Saya meyakini bahwa barangkali saat Ibu berdoa, pintu langit sedang terbuka lebar. Saya meyakini bahwa doa apa pun yang dipanjatkan oleh Ibu saya, malaikat merasa malu untuk menghalanginya. Doa dari Ibu adalah harta paling berharga yang saya miliki, lantas kepada siapa lagi nantinya saya memohon restu jika ia telah berpulang?
Begitulah Allah mewujudkan itu kepada saya. Saya melanjutkan sekolah seperti anak-anak lainnya.
Singkat cerita, proses seleksi sudah selesai. Semua siswa yang dinyatakan lolos, akan menjalani masa orientasi. Kegiatan pengenalan sekolah dengan bumbu-bumbu drama senior. Pagi hari kami sudah disambut di depan gerbang. Di balik layar mereka menyusun strategi agar kegiatan orientasi ini menjadi ajang pengenalan yang berkesan, katanya. Ada yang ditugaskan sebagai mentor dan panitia. Ya, idealnya tugas seorang mentor adalah membimbing, memfasilitasi dan menjadi tokoh protagonis. Nah, panitia beperan sebagai tokoh antagonis bagi siswa baru dan para mentor. Kerjaan panitia hanya marah-marah dari pagi hingga sore hari. Bodohnya saya dulu, malah merasa takut. Padahal, empat dari lima belas panitia itu tetangga saya. Ah, entahlah, bisa-bisanya mereka berakting judes dan galak padahal setiap hari bertemu di kampung.
Kegiatan orientasi berlangsung selama seminggu. Bagi saya mudah sekali menemukan teman baru. Bagi saya juga mudah untuk tidak berkenalan dengan siapa pun. Sekolah mengadakan tes pengetahuan umum, entah untuk apa. Jumlah soal yang harus dikerjakan lumayan banyak dan beragam. Tapi saya juara satu. Lagi-lagi. Saya benar-benar tidak mengerti, kok bisa? Di antara banyak kepala, mengapa harus saya yang memegang piala itu? Apa sebenarnya ada siswa cerdas yang berpura-pura bodoh saat itu tapi sengaja berendah hati?
Selama ini saya hanya mengandalkan keberuntungan dan doa-doa untuk meraih setiap impian saya. Tentang uang, saya harus bersusah payah mengumpulkan rupiah demi rupiah. Mustahil kalau bukan karena campur tangan-Nya semua mimpi itu terwujud. Saya tidak punya apa-apa.
Hari berganti bulan, tempat ini mempersilakan saya mengenal astronomi lebih dekat. Astronomi menjadi salah satu bidang yang diikutsertakan di ajang Olimpiade Nasional. Takdir bisa dengan mudah menarik saya masuk, menerobos banyak sekat. Saya salah satu siswa yang terpilih.
Setiap kesempatan tentang ilmu ini, memberi saya kesanggupan untuk menyelaminya lebih dalam. Saya benar-benar larut dan jatuh cinta pada setiap aksara dan angka-angka di astronomi. Susah, tapi begitulah cinta.
Buku pertama yang saya baca saat itu adalah buku pelangi. Buku bahan ajar yang disusun oleh Tim Pembina Olimpiade Astronomi. Halaman demi halaman saya baca dan telaah. Ternyata pusing. Astronomi bukan hanya perihal teori, ada banyak rumus dan konsep matematis yang tidak saya kenal. Saya pikir wajar saja kala itu, toh saya masih baru pertama kali belajar.
Perlu kita garis bawahi, terkadang kita hanya perlu menerima semua ilmu adalah fakta dan hasil penelitian terbaru. Saya masih sangat dini untuk mempertanyakan benar tidaknya hal tersebut. Mengingat ilmu yang saya miliki masih sangat sedikit. Ada orang-orang yang sudah dibekali keahlian dan pengalaman bertahun-tahun untuk meneliti, dan ya.. itu hasilnya. Jadi, sebagai siswa, saya merasa cukup dengan mempercayai teori tanpa mempertanyakan banyak hal.
Semakin jauh saya belajar, kini saya menemukan apa yang saya cari. Bintang-bintang bergerombol itu, yang kata saya ada tujuh buah, ternyata ia memiliki identitas yang indah. Pleiades. Gugus bintang di rasi Taurus, ia memiliki banyak nama lain seperti Kartika, Bintang Tujuh, Bintang Puyuh, Tsurayya atau Subaru, apa kau pernah mendengarnya? Apa kau juga pernah melihatnya? Lihatlah langit malam sesekali.
Gugus bintang ini jaraknya sangat jauh sekali dari Bumi. Kami biasanya menggunakan konsep tahun cahaya untuk menentukan jarak bintang. Satu tahun cahaya setara dengan 9,46 triliun kilometer. Pleiades berjarak sekitar 444 tahun cahaya.
Jumlah bintang terang yang dapat dilihat oleh mata telanjang memang sekitar tujuh sampai sembilan buah. Berdasarkan penelitian terbaru, gugus ini memiliki lebih dari seribu bintang anggota. Pleiades memiliki kesan dan ruang sendiri di hati saya sebagai objek astronomis. Ia perlu ditemukan dalam waktu yang panjang, melewati banyak proses dan ketakutan.
Jika saja saat itu doa tak pernah kami panjatkan, mustahil saya mengenal Pleiades. Gerombolan bintang itu hanya akan menjadi gerombolan bintang biasa, tanpa saya ketahui namanya.
"Nanti kamu ikut Olimpiade Astronomi di ITB ya!" Seseorang mengagetkan saya.
Kesempatan lagi? Gumam saya dalam hati.
"Se-SMA, Pak?" Saya balik bertanya.
"Iya, se-Indonesia juga."
Satu hal yang saya mengerti saat ini, alam semesta benar-benar sedang bahu-membahu mewujudkan apa yang bisa mengubah saya. Takdir itu datang satu persatu dan saat saya sudah merasa siap.