Temani Aku Menyeberang Jalan
13. Chapter 13

FADE IN:

I/E. TOKO MAINAN GUMILANG - NIGHT

Prima baru saja menyeberangi jalan dan tiba di depan toko. Ia memasuki toko yang gelap dan masih dipenuhi pecahan barang.

Ia duduk di depan meja dan menyalakan laptopnya. Sesaat setelah ia menyalakan laptop, sebuah notifikasi pop-up menyambutnya.

Pesan dari Markus.

Semangat Prima kembali.

MARKUS (ON TEXT)

Oke, tapi ini yang terakhir kali.

Prima segera membalasnya.

PRIMA (ON TEXT)

Mar, makasih banyak.

Balasan Markus datang dengan segera.

MARKUS (ON TEXT)

Setelah aku pikir, ada cara yang bisa kamu coba.

MARKUS (ON TEXT)

Coba nonaktifkan mode ANNIHILATION.

PRIMA (ON TEXT)

Bisa jelasin lebih lanjut?

Prima membuka aplikasi Trisula dan mengubah pengaturannya. Markus membalas pesannya.

MARKUS (ON TEXT)

Meski digunakan bergantian, ketiga fase teleportasi selalu aktif secara simultan. Energi yang disalurkan ke ketiga fase pun sama besar.

MARKUS (ON TEXT)

Tubuh manusia jauh lebih kompleks dari subjek mana pun. Butuh energi yang besar untuk diteleportasi. Menonaktifkan fase pertama bisa memberikan energi yang lebih besar fase kedua dan ketiga.

PRIMA (ON TEXT)

Seandainya berhasil pun, apakah orang-orang bisa kembali dengan sempurna?

MARKUS (ON TEXT)

Sejujurnya aku nggak tahu, Prim. Yang kita bisa lakukan hanya mencoba dan melihat hasilnya. Efek antara kelinci dan manusia bisa jadi sangat berbeda. 

MARKUS (ON TEXT)

Kemungkinan manusia bisa dapat kembali dengan utuh meski sudah melewati waktu yang aman.

Prima langsung bekerja. Ia menutup chatroom dengan Markus dan berpindah untuk mengubah baris-baris kode aplikasi serta membongkar Trisula untuk kesekian kali.

Setelah pekerjaannya selesai, ia menyatukan kembali bagian-bagian Trisula. Rampung, ia membuka folder di dalam aplikasi. Di dalam folder, ia memilih file di baris paling bawah. File X-031. File milik Pria Besar.

Data dimuat 100%.

Trisula menyala hijau. Prima berbalik badan dan mengarahkannya ke ruang kosong. Ia menutup mata dan menekan pelatuk.

ZING ZING ZING. Suara yang telah ratusan kali ia dengar BERGEMA di dalam ruangan menyertai sinar hijau yang melesat dari Trisula.

Prima melepaskan jarinya dari pelatuk dan membuka matanya. Ia melihat sepatu boot yang MELEKAT PADA KAKI SEORANG PRIA BERTUBUH BESAR. Pria Besar KEMBALI. Sosoknya sedang menatap Prima dengan tajam, belum terbiasa dengan kegelapan.

Mengenali Prima dan senjata yang sedang ia pegang, Pria Besar BERTERIAK HISTERIS dan melarikan diri keluar dari toko.

Setelah sekian lama, Prima dapat tersenyum lagi. Benar-benar tersenyum.

Ia kembali ke laptopnya. Ada pesan baru dari Markus, namun Prima terlalu bersemangat dan mengabaikannya. Di aplikasi Trisula, ia memilih file X-030. File Karin.

MEMORY FLASH: Gambar manusia tanpa tangan dan tungkai kaki di buku tulis Prima.

BACK TO SCENE

Prima membatalkan pilihannya. Ia memilih file di atasnya. X-029.

Ia lalu membangkitkan salah satu rak mainan yang sebelumnya tumbang sehingga menciptakan pembatas antara dirinya dengan ruangan di belakang rak. Tas berisi pakaian ia angkut ke belakang rak. Ia bersiap-siap dengan berdiri di depan rak itu kemudian menyelipkan tangannya yang memegang Trisula ke balik rak.

Data dimuat 100%. Prima menekan pelatuk. Cahaya hijau menyelimuti ruangan di balik rak. Tulisan SUCCESS tampak di layar laptop. Suara seseorang muncul dari balik rak. Suara satpam kantor Vera.

SATPAM (O.S.)

Hah, kok gelap.

PRIMA

Pak! Di dekat situ ada tas, cari pakaian bapak.

SATPAM (O.S.)

Hah, aku telanjang!

PRIMA

Cepetan!

Terdengar suara Satpam yang mengenakan pakaiannya. Ia lalu keluar dari balik rak dan muncul di hadapan Prima. Prima memerhatikannya dari atas ke bawah.

Satpam itu UTUH. Tidak ada bagian tubuhnya yang tertinggal. Prima menarik napas lega. Lama sekali. Beban besar hilang dari benaknya.

Melihat Prima, satpam itu panik.

SATPAM

Jangan tembak saya lagi, Mas.

Prima menunjuk pojok ruangan.

PRIMA

Bapak tunggu saja di sebelah sana.

Satpam itu menurut. Ia beringsut-ingsut berjalan ke pojok ruangan.

Prima melanjutkan pekerjaannya.

JUMP CUT

Satpam telah didampingi oleh karyawan-karyawan yang menghilang bersamanya. Mereka membentuk barisan di pojok ruangan.

Jari Prima dilepaskan dari pelatuk. Seseorang melangkah dari balik rak. Si Laki-laki Tua dengan singlet dan celana kolornya. Ia bergabung di dalam barisan.

Prima kembali duduk di hadapan meja.

PRIMA

Kalian boleh pergi.

Semua orang di barisan bergerak dengan ragu-ragu. Ketika mereka sampai di ambang pintu, Prima mengingatkan:

PRIMA

Jangan coba-coba lapor polisi.

Mereka saling berpandangan kemudian segera keluar dari toko.

Prima menatap laptopnya. Tersisa tiga file. X-001, X-005, dan X-030. VERA, IBUNYA, DAN KARIN.

Pertama, ia memilih file Karin. Ia menyelipkan tangannya kembali ke balik rak kemudian menunggu.

Data dimuat 25%. 50%. 75%. 99%.

Tangannya bergetar.

Data dimuat 100%.

Ibu jari Prima menekan pelatuk. ZING ZING ZING. Cahaya hijau melesat. Ia menunggu beberapa saat. Terdengar suara dari balik rak. Suara seseorang berpakaian. Tanpa aba-aba dari Prima.

Setelah itu, KARIN melangkah dari balik rak. Berkemeja putih dan rok abu-abu seperti sebelum ia menghilang.

Ia mendekati Prima. Selangkah demi selangkah.

KARIN

Kamu janji nggak akan gampang nangis, kan. Primo.

PRIMA (O.S.)

Kamu selalu tahu apa yang harus dilakuin.

Di hadapannya, AIR MATA PRIMA TAK TERBENDUNG.

Prima membalikkan badannya, tak ingin Karin terus-terusan melihat wajahnya.

PRIMA

Pulang, Rin. Ibumu nyari kamu dari kemarin.

Prima merentangkan tangannya ke belakang untuk menyerahkan ponsel Karin. Bukannya menerima ponselnya, tangan Karin menggapai pundak Prima. Kepalanya menunduk.

KARIN

Kamu nggak kangen aku?

Prima terdiam.

KARIN

Aku lumayan tersinggung karena kamu nggak ngenalin aku.

PRIMA

Kamu banyak berubah. Lebih... girly.

Karin menjitak kepala Prima.

KARIN

Kamu nggak berubah, Prim.

Karin mengangkat kepalanya. Tangannya masih menempel di pundak Prima.

KARIN

Temanku yang dulu nggak pernah mau diajak main karena selalu diledekin, karena selalu nangis kalau kalah.

PRIMA

Itu yang kamu inget dari aku?

KARIN

Juga temanku yang ngaku mecahin vas bunga yang aku pecahin walaupun tahu bakal nangis diamuk ibunya. 

Mereka mengambil jeda sebentar.

PRIMA

Kenapa kamu santai gini, Rin? Kamu harusnya lagi gebukin aku kayak kamu gebukin anak-anak dulu.

Karin tergelak. 

KARIN

Jangan ngasih ide yang nggak-nggak, dong.

(beat)

Seperti yang kamu bilang, aku udah berubah, Prim. Aku sekarang cuma sales biasa, bukan bos geng cilik kayak dulu.

Diam sesaat.

KARIN

Aku seneng kamu nggak nepatin janjimu, Prim. Kamu bikin janji yang konyol gara-gara aku. Maaf ya.

PRIMA

Kamu minta maaf buat apa? Aku yang seharusnya dari tadi minta maaf.

(beat)

Aku cuma nggak yakin... kamu mau maafin aku. Atau... aku layak diberi maaf.

Karin mengelus rambut Prima.

KARIN

Aku pikir-pikir dulu ya.

Karin mengatakannya dengan nada jahil.

PRIMA

Kamu nggak pernah bilang udah balik ke sini.

KARIN

Aku baru balik ke sini dari 6 bulan yang lalu. Setelah ayahku meninggal.

Selama beberapa saat, Prima dan Karin berbagi kesunyian.

PRIMA

Berarti kamu harus pulang segera. Ibumu nunggu sendirian.

Karin mengangkat tangannya dari pundak Prima, mengambil ponselnya, kemudian beranjak pergi.

Ia melihat layar ponselnya yang telah menyala.

KARIN

(bergumam)

Ibu nelpon aku terus. Hah, hari ini udah tanggal 25?

Karin terus melangkah pergi. Sesampainya di ambang pintu, ia bertanya:

KARIN

Aku nggak tahu ingatanku bener apa nggak, tapi bentar lagi ulang tahunmu ya, Primo?

Prima tidak mengiyakan, juga tidak mengelak.

KARIN

Hadiahnya gimana kalau... permintaan maaf diterima? 

PRIMA

Hadiahmu terlalu mewah, Rin.

Karin tersenyum dan meninggalkan toko.

Prima bersusah payah menahan air matanya yang kembali mengalir deras. Ia mengumpulkan kembali konsentrasinya. Hidungnya tersumbat. Bernapas saja susah. Tapi, pekerjaannya belum berakhir.

SUPER: 25 April. 22.00.

INT. RUMAH DEDI, KAMAR DEDI - NIGHT

Jam dinding di kamar Dedi menunjukkan pukul 10 lebih sedikit. Zulva masih bermain dengan konsol game. Dedi mengawasinya sambil membaca komik di kursi.

DEDI

Zulva, waktunya tidur.

Zulva bergeming.

DEDI

Bang Prima bilang dia pulang besok loh.

Kata-kata itu mampu membuat Zulva bereaksi.

ZULVA

Beneran? Sama Ibu kan?

Dedi ragu, namun ia menjawab dengan nada lugas.

DEDI

Iya dong. Makanya Zulva tidur ayo, biar besok seger.

Zulva langsung mematikan konsol gamenya dan beranjak ke atas ranjang. Ia membungkus tubuhnya dengan selimut. 

Dedi melihatnya dengan senyum yang dipaksakan.

DEDI

(bergumam)

Please, Prim.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar