Temani Aku Menyeberang Jalan
7. Chapter 7

EXT. TOKO MAINAN GUMILANG - NIGHT

Prima baru saja keluar dari toko. Ia menyeberang jalan, KAKI KIRINYA melangkah duluan. Ia tidak awas pada keadaan sekitar. Sebuah sepeda motor melintas dan menyerempetnya.

PENGENDARA MOTOR

Goblok!

Motor itu oleng namun terus melaju. Prima jatuh terguling namun dapat segera bangkit kembali. Ia tidak peduli, menengok ke belakang pun tidak. Langkahnya terus bergerak maju menuju rumahnya.

INT. TOKO MAINAN GUMILANG - NIGHT

Dedi membuka pintu toko dengan hati-hati.

DEDI

Prim?

Panggilan Dedi tidak mendapat jawaban. Dedi memutuskan terus masuk. Di dalam gelap, kosong. Dedi mencoba menyalakan lampu, tapi lampu tak bisa menyala.

DEDI

Prima?

Dedi menyalakan senter ponselnya dan bergerak ke bagian dalam toko.

Dedi tidak memercayai pemandangan yang disaksikannya. Ruang itu BERANTAKAN. Rak-rak berjatuhan. Lantai dipenuhi serpihan kertas termasuk robekan foto yang berasal dari papan progres penelitian. Papannya sendiri sudah terjungkir, posisinya terbalik atas dan bawah. Laptop di ruangan yang biasa digunakan Prima dan kawan-kawan telah menghilang.

Prima tidak tampak batang hidungnya. Di atas meja terdapat selembar kertas yang tidak rusak seperti barang lain dalam ruangan. Ia mengangkat dan membacanya.

VERA (V.O.)

Untuk Prima...

Dedi tiba-tiba berhenti membaca. Ia berpikir, menimbang-nimbang...

DEDI

Sori, Prim. Sori, Mbak. 

...sebelum meneruskan membaca.

VERA (V.O.)

Kalau kamu ngebaca ini...

EXT. JALAN RAYA - NIGHT

Prima berjalan cepat-cepat. Langkahnya lebar-lebar. Wajahnya gusar. Matanya bengkak.

VERA (V.O.)

Kemungkinan Mbak telat narik ini dari buku kamu. Atau...

(beat)

Uji coba teleportasinya gagal.

INT. TOKO MAINAN GUMILANG - NIGHT

Dedi terus membaca.

VERA (V.O.)

Mbak nulis surat ini untuk jaga-jaga, seandainya sesuatu yang buruk terjadi dan kita nggak bisa ketemu lagi.

EXT. JALAN RAYA - NIGHT

Prima berjalan dengan menenteng Trisula. Ia mulai MENEMBAKI benda-benda sekitarnya secara acak.

VERA (V.O.)

Teleportasi. Pertama kali Mbak denger itu dari kamu, Mbak kaget. Bukan karena Mbak nggak percaya kamu bisa bikin alat secanggih itu, Mbak tahu sepinter apa adik Mbak. Bukan, Mbak kaget karena KAMU yang harus jadi orang pertama yang mencoba alat itu.

BRIM BRIM. Gundukan pasir. MENGHILANG.

VERA (V.O.)

Mbak nggak mungkin biarin itu, Prim. Mbak nggak mungkin biarin adik Mbak yang dari kecil udah terlalu banyak menderita sampai mudah sekali menangis tapi bisa terus belajar, bekerja keras, sampai sekarang jadi mahasiswa jenius, ngambil risiko sebesar itu.  

BRIM BRIM. Tong sampah. MENGHILANG.

VERA (V.O.)

Mbak nggak tahu kamu masih inget sama Ayah atau nggak. Dia pergi ninggalin kita waktu kamu masih seusia Zulva sekarang. Entah memang karena pingin bebas dari keluarga atau nggak tahan lagi sama Ibu.

BRIM BRIM. Tiang penunjuk jalan. MENGHILANG

KLANG. Papan penunjuk jalan jatuh dengan SUARA KERAS di belakang Prima. Ia tidak peduli, menengok pun tidak.

VERA (V.O.)

Tapi untung ada Ibu yang masih bertahan kan? Ha ha. Semenjak Ayah pergi, Ibu udah nggak sekeras dulu. Bekas pukulan dan cubitannya juga sudah sembuh. Tapi bekas luka di ingatan kita nggak akan pernah pulih.

BRIM BRIM. Sepeda yang diparkir di depan rumah seorang warga. MENGHILANG.

Seseorang keluar dari dalam rumah. Seorang LAKI-LAKI TUA, beruban, hanya memakai singlet putih dan celana kolor. Ia celingukan mencari sepedanya. Melihat Prima, ia langsung menginterogasinya.

LAKI-LAKI TUA

Kamu apakan sepedaku, hah? Tadi jelas-jelas ada di sini!

Prima tidak menjawab. Ia memang tidak punya pembelaan. Yang ia lakukan hanya mengangkat Trisula hingga sebatas kepala laki-laki itu.

Mata Si Laki-laki Tua berputar mengikuti arah Trisula Prima, bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang Prima lakukan.

VERA (V.O.)

Beruntungnya kita punya orang tua yang melengkapi satu sama lain. Yang satu pengecut, yang satunya pemecut.

BRIM BRIM BRIM. Sinar ungu melesat dari Trisula.

INT. TOKO MAINAN GUMILANG - NIGHT

Dedi berhenti membaca. Ia melihat serpihan-serpihan barang yang berserakan. Ia merasakan relik kekecewaan dan murka Prima.

Fokusnya ia kembalikan ke surat Vera.

VERA (V.O.)

Mbak gagal ngelindungin kamu. Dari dua orang yang kebetulan menjadi orang tuamu. Orang tua kita.

(beat)

Mbak nggak boleh gagal kali ini.

EXT. TAMAN KOTA - NIGHT

Prima berjalan melewati sekelompok orang yang sedang berbincang. Salah seorang sedang berjongkok dan merokok. Trisula yang dipegang Prima menyenggol kepalanya.

Pria ini BESAR dan BERSEPATU BOT.

PRIA BESAR

Anjing! Punya mata gak?

Prima tidak menyahut. Ia terus berjalan.

PRIA BESAR (O.S.)

Asu!

Yang didengar Prima hanya suara Vera.

VERA (V.O.)

Kalau memang terjadi apa-apa, Mbak minta maaf belum bisa jadi kakak yang sempurna, Prima.

EXT. JALAN GANG - NIGHT

Prima menyusuri jalanan di gang yang sempit sebelum ia berhenti. Ia sudah sampai di rumahnya.

INT. RUMAH PRIMA, KAMAR PRIMA - NIGHT

Prima membuka pintu kamarnya dan menemukan Zulva yang terlelap.

VERA (V.O.)

Mbak titip Zulva ya. Mbak nggak pernah mencintai Mas Krisna, tapi... Zulva itu malaikat Mbak.

Prima menutupnya kembali. Ia bergegas menuju kamar ibunya.

INT. MOBIL DEDI - NIGHT

Dedi telah meninggalkan toko dan bersiap kembali ke rumah Prima. Ia menyempatkan untuk membaca lanjutan surat Vera.

VERA (V.O.)

Mbak yakin surat ini cuma bakal jadi surat konyol, karena alat buatan Prima dan kawan-kawan pasti berkualitas Prima. He he. Tapi bagaimana pun, dengan atau tanpa Mbak, Prima-

Lanjutan surat itu kabur tak terbaca karena tinta yang basah. Bekas air mata Prima tertinggal jelas di sana.

Dedi melipat surat itu dan menyalakan mesin mobilnya. Segera tancap gas.

INT. RUMAH PRIMA, KAMAR IBU - NIGHT

Prima membuka pintu kamar. Seakan sudah menunggunya, Ibu Prima yang berdaster duduk di tepi kasur menghadap ke arahnya.

Prima seketika membidikkan Trisula ke arah ibunya. Ia berpose persis seperti superhero yang sering ditontonnya di televisi ketika hendak menumpas monster musuhnya.

Ibu mengangkat kepalanya, melihat Trisula yang diacungkan Prima, dan tersenyum.

IBU

Ibu kira udah rusak.

PRIMA

Jangan senyum. Monster nggak bisa senyum.

Senyum Ibu tak lekang oleh kata-kata tajam Prima.

IBU PRIMA

Malam sekali pulangnya, Prim.

PRIMA

Kalau bisa, aku nggak akan pulang ke sini.

IBU PRIMA

Ibu senang, udah lama Ibu nggak bicara sama anak Ibu yang paling ganteng.

PRIMA

Nggak usah pura-pura, Bu. Ibu tahu kenapa aku nggak mau bicara sama Ibu.

(beat)

Aku takut, Bu! Aku anak yang takut sama ibunya sendiri.

MEMORY FLASH: Prima baru pulang bermain ketika ibunya menghampirinya lalu MENJAMBAK RAMBUTNYA. Ibunya memarahinya sembari menunjuk-nunjuk televisi yang mati. Prima menangis.

MEMORY FLASH: Ibu Prima menghampiri Prima yang sedang duduk di dalam kamarnya lalu MENCUBIT TENGKUKNYA. Ibu Prima menunjukkan bungkusan makanan kucing milik Prima. Prima menangis.

MEMORY FLASH: Ibu Prima memarahi Prima sambil menunjuk-nunjuk vas bunga yang pecah. Prima menangis sambil melirik Karin yang mengintip dari kejauhan.

BACK TO SCENE

Prima menurunkan tangannya.

PRIMA

Aku nggak pernah dengar sepatah kata maaf pun dari Ibu. Mbak Vera mungkin nggak akan pernah dengar.

Senyum ibunya memudar.

IBU PRIMA

Prima, semua yang Ibu lakuin itu karena Ibu sayang sama Prima. Dan Vera.

Pandangan mereka menyatu. Iba menjalar di pikiran Prima. Genggamannya di Trisula melemah. Ia menyelidiki sekali lagi rupa ibunya.

Wajah ibunya yang memohon pengertiannya perlahan berubah...

CUT TO:

INT. TOKO MAINAN GUMILANG - DAY (FLASHBACK)

...menjadi wajah beringas ibunya yang sesaat lagi akan menamparnya untuk kedua kali.

Prima (8) mengarahkan trisula mainannya ke arah ibunya. Ia menekan tombol. Tanpa ragu.

BRIM BRIM BRIM. MAINAN TRISULA BERBUNYI.

Prima menodongkan mainan di genggamannya ke arah ibunya dan menekan tombolnya berkali-kali dengan wajah penuh air mata.

BRIM BRIM. BRIM BRIM. BRIM BRIM.

Ibu terhenyak. Vera (13) memeluk adiknya.

Ibu merampas mainan tersebut dan membantingnya ke lantai.

IBU PRIMA

Nggak dibolehin malah ngambil sendiri ya! Kecil-kecil udah jadi maling. Maling ke orang tua sendiri lagi!

VERA

Ibu, itu hadiah dari aku! Hadiah ulang tahun. Aku beli dari toko lain.

IBU PRIMA

Ulang tahun? Siapa yang ulang tahun?

Ibu melirik Prima dan mendengus.

IBU PRIMA

Udah Ibu bilang laki-laki jangan dikit-dikit nangis!

Ia bergegas pergi meninggalkan toko.

Vera mematung. Prima melepaskan diri dari pelukan Vera. Ia berjalan ke arah mainannya yang setengah rusak dan mengangkatnya sambil mengelus pipinya yang baru ditampar.

Bibirnya bergetar lalu menekuk. Namun, kali ini ia menekuk ke atas. Membentuk lengkungan yang kontras dengan keseluruhan raut wajahnya.

Prima TERSENYUM di tengah-tengah tangisnya.

PRIMA

Ayo mbak.

VERA

Hah?

PRIMA

Temani aku menyeberang jalan.

BACK TO:

INT. RUMAH PRIMA, KAMAR IBU - NIGHT

Keringat deras mengalir di wajah Prima. Tangannya telah terangkat kembali. Jarinya di pelatuk Trisula.

Di depannya, teronggok kasur tanpa penghuni.

IBUNYA TELAH LENYAP.

Prima masih menatap kasur yang kosong. Tangannya bergetar, tak percaya ia mampu menekan pelatuk. 

MEOW. Pom mendekati Prima. MEOW. Prima menutup matanya, seakan mengerti perkataan Pom. MEOW. MEOW. Makin lama terdengar makin pedih.

Prima mengelus kepala Pom. Trisula ia masukkan kembali ke kantung jaketnya. Ia keluar sebentar lalu kembali dengan sebungkus cemilan kucing. Bungkusnya ia robek kemudian ia sajikan di hadapan Pom.

Pom mulai menyantap hidangannya dalam kedamaian. Prima meninggalkannya sendirian.

INT. RUMAH PRIMA, KAMAR PRIMA - NIGHT

Zulva masih terlelap di atas kasur. Prima berjingkat-jingkat agar tak menimbulkan suara. Ia dengan hati-hati mengambil ranselnya dan mulai mengisinya dengan barang-barang: laptop, charger laptop dan ponsel, beberapa buku, baju dan celana, seperangkat perkakas, parfum, dan sikat gigi.

Ia melepaskan kemeja putih yang telah dikenakannya seharian lalu menggantinya dengan kaus oblong hitam. Celananya ia ganti dengan jeans belel gelap. Yang terakhir, ia membalut badannya dengan MANTEL ABU-ABU. Ia berlama-berlama di depan cermin, memandangi pantulan dirinya.

Ia telah bertransformasi menjadi PRIA BERMANTEL ABU-ABU.

Sosoknya di pagi hari hampir tidak dapat dikenali lagi. Rambutnya acak-acakan. Setelannya jauh dari elegan. Dan wajahnya... wajah seseorang yang kehilangan harapan. Duka dan murka membaur di muka. Ia menutupi ubun-ubunnya dengan tudung jaket lalu beranjak dari sana.

Prima kemudian memasukkan barang terakhir ke dalam ranselnya. FOTONYA, VERA, DAN ZULVA yang ia ambil dari rak di sudut kamar. Sebelum pergi, ia membenahi selimut yang melingkupi Zulva. Tubuh Zulva berguling sedikit, namun ia tak terbangun. 

Prima meraih Trisula di atas meja kamarnya, mengusap ketiga sulanya yang berdarah hingga bersih dengan tisu, lalu menyalakan mode ANNIHILATION.

EXT. RUMAH PRIMA - NIGHT

Dari depan rumah, kita dapat melihat jendela kamar Prima yang ditutupi gorden tipis. Tiba-tiba tampak KILATAN WARNA UNGU dari dalam kamar. KILATAN WARNA UNGU itu meredup secepat ia meletup.

EXT. RUMAH PRIMA - NIGHT (LATER)

Mobil Dedi tiba di depan rumah.

INT. RUMAH PRIMA, KAMAR PRIMA - NIGHT

Dedi membuka pintu kamar. Prima telah pergi. Ia menemukan Zulva dan Pom di tengah kamar.

DEDI

Zulva, kok nggak tidur? Ini tengah malam, loh.

ZULVA

Berisik soalnya. Kucingnya ngeong terus dari tadi. Ibu sama Abang Prima juga masih belum ada.

Dedi mendecak. Cemas.

ZULVA

Oh, nenek juga nggak ada di kamarnya.

Dedi tidak cemas lagi. Ia ketakutan.

DEDI

Oh my god.

Dedi mengatakannya sembari melihat sudut kamar Prima. SESUATU HILANG dari sana. Rak yang berisi deretan piala, piagam penghargaan dan foto-foto Prima yang sebelumnya tertata rapi kini menjadi RUANG KOSONG.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar