Flash Fiction
Disukai
1
Dilihat
2,801
Retori Ironi Cinta
Drama

Dimana aku bisa?

Aku terus bertanya. Dimana aku bisa?

Bahagia seperti itu. Iya. Bahagia.

Ba.ha.gi.a.

Dimana aku bisa? Kalau aku tidak punya perasaan.

Tapi aku punya keinginan. Keinginan untuk punya perasaan. Seperti kau. Iya. Kau yang tau perasaanmu. Aku iri. Tapi cuma itu perasaan yang aku punya. Iri. Aku senang, aku sedih, kata orang. Tapi aku tak merasakannya. 

Cinta. Aku tak pernah tau bagaimana rasanya. Sampai kau datang. Ahh... aku benci. Ini picisan sekali. Jelek. Tak akan laku di pasaran. Tapi aku hanya ingin bilang, aku ingin punya perasaan. Seperti kau. Kau yang cinta, kau yang bebas, kau yang kesepian, kau yang tau apa yang kau mau, kau yang punya perasaan.

Aku memang robot. Robot. Kata orang aku manusia, tapi aku tau aku robot. Aku tak punya perasaan, tak punya keinginan, selain keinginan untuk bisa merasakan. Aku tak punya kendali, selain dikendalikan. Betapa ingin aku punya perasaan. Aku tak tau caranya. Aku tak tau caranya. Tunjukkan caranya, tolonglah aku. Kendalikan aku lagi. Kendalikan, sampai aku punya kendali. 

Aku ingin bisa menangis. Aku ingin bisa tertawa. Tanpa ragu, tanpa beban, dengan kendaliku sendiri. Haruskah aku membeli chip pengendali, agar aku punya pengendali yang ada di otakku sendiri. Kau bilang, kalau kau mau, kau pasti bisa. Apa yang aku mau? Aku tak tau. Kau harus pasang lagi chip kemauan di otakku. Aku terlalu terkendali, terprogram. Aku bukan komputer. Komputer pun kadang bisa menolak perintah. Aku mesin primitif. Aku tak bisa memikirkan apalah aku lebih tepatnya. Mereka bilang aku manusia. Tapi organ-organku terlalu berjalan sesuai kendali, yang bukan kendaliku. Sehingga aku tak punya perasaan, tak punya. Tak punya kemauan. 

Aku diperkosa. Kau bilang aku diperkosa. Aku bahkan tak tau. Terlalu primitif. Aku ingin sekali menjalani hidup yang aku mau. Seperti yang kaulakukan. Kau menjalani hidup yang kau mau. Kau bebas memilih. Kau diperkosa atas kemauanmu. 

Penyesalan? Aku tidak menyesal. Aku terima ini semua. Aku terima dengan pasrah, dengan senyum dan air mata yang tak keluar. Aku memang harus bersyukur. Kau juga. KAU HARUS BERSYUKUR. Tapi siapalah yang bisa mengendalikanmu. Mengatakan apa yang harus kau lakukan. Kau bebas memilih. Kau. Manusia. Aku? Aku tak punya pilihan. Aku robot primitif. Ingat?

Dimana aku bisa?

Kapan aku bisa menjadi manusia?

Dimana aku bisa?

Aku ingin belajar darimu. Manusia. Aku ingin belajar. Tapi tidak akan semudah itu. Keinginanku di luar kendaliku. Aku sudah lupa berkeinginan. Bagaimana rasanya? Dimana aku bisa?

Aku ingin bersamamu. Manusia. Aku ingin bersamamu. Aku bisa belajar. Meniru tingkahmu. Manusia. Tapi itu juga aku tidak bisa. Aku tidak bisa bersamamu. Manusia. Aku hanya robot primitif. Aku berkata-kata sekali-sekali. Aku tidak bebas mengungkapkan perasaanku seperti kau. Kau selalu minta supaya aku bercerita tentang apa yang kurasakan. Bagaimana aku bisa bercerita kalau aku tidak punya perasaan. Aku tidak bisa merasakan apa-apa. Aku butuh kau. Manusia. Aku butuh kau untukku bisa merasakan. Untukku bisa menangis dan tertawa tanpa ragu. Dengan kendaliku.

Oh Tuhan, aku ingin bersamamu. Manusiaku. Manusiaku. Manusiaku yang bukan milikku atau siapa pun di dunia ini. Manusia. Kau begitu indah. Aku masih ingat kulitmu yang halus. Manusia. Kau sangat indah dengan segala kebahagiaan, kesedihan, keterbatasan, kebodohan, kebebasan, keberanianmu. 

Manusia. Kadang kita memang tidak bisa mendapatkan apa yang kita mau. Itu manusiawi. Untuk mendapatkannya kita butuh kemauan. Aku memang bukan manusia. Kemauan. Aku lupa.

Manusia. Lebih baik aku punya sayap saja. Robot yang bersayap, karena malaikat terlalu jauh bagi robot sepertiku. 

Ironi. Ironi. Ironi. Ironi. 

Oh Tuhan. Aku ingin bersamamu. Manusia. Oh Tuhan aku ingin manusiaku. Manusia mengajariku berperasaan. 

Dimana aku bisa?

Kapan aku bisa?

Ironi kenapa aku harus bertemu dengan kau, manusia. Kenapa aku tidak bersama robot-robot yang lain di dunia ini. Robot-robot yang berjalan patuh. Robot-robot yang tanpa cela. Hanya karena mereka terkendali. 

Ironi. Kau telah mengajarkan sebuah robot, cinta. Mereka bilang itu perasaan terindah yang manusia punya. Tapi cinta. Cinta. Cinta. Cinta ini ironi. Bisakah robot mencintai? Katakan padaku, manusia. Bisakah robot berperasaan? Apalagi cinta. Retori. Retori ironi cinta.

Aaaaaaaaaaaaagggggggggghhhhhhhhh…

Aku bisa gila. Aku bisa kelebihan program. Aku bisa overload. Aku bisa meledak. AKU CUMA ROBOT, Manusia. Hey kau dengar? Aku cuma robot. 

Tapi semua itu mungkin. Semua mungkin. Bahkan ikan pun bisa terbang. Tapi aku bukan ikan. Aku robot.

Kau bilang, kau tidak akan pernah meninggalkanku. Manusia. Aku tidak ingin begitu. Aku tau kau akan meninggalkanku jika kau mau. Kau manusia. Kau bebas memilih. Kau berjanji, kau bebas untuk tidak tepati. Aku? Aku lain. Aku robot. Aku pun tidak ingin meninggalkan kau. Manusia. Kau yang ajari aku mengatakannya. Tapi akankah aku jadi manusia kalau tidak aku tepati?

Katakan padaku manusia? Akankah aku jadi manusia?

Dimana aku bisa? Kapan? Bagaimana?

Ajari aku manusia... ajari robot menyedihkan ini. Aku benar-benar butuh kau. Manusia.

Sebelum aku benar-benar kosong. Tong kosong. 

Cinta. Akankah aku bisa? Akankah aku menemukan caranya? Ironi. Retori ironi cinta.

Dimana aku bisa? Kapan? Bagaimana?

Buat apa bertanya? Aku sudah tau jawabannya. 

Bandung, 16 Maret 2006

17.35 WIB

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@egidperdana89 : Hai salam kenal! Terima kasih udah baca. Yak mirip, lebih ke sosiopat tapi. Hehe.
Aku nangkapnya ini curhatan ODGJ atau kalau gak curhatan seorang sosiopat dari pernyataan si Aku disini tidak memiliki perasaan. Salam kenal. 🙏
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi